Frasa “Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara” dalam UU
Parpol menempatkan Pancasila sejajar dengan UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka
Tunggal Ika. Sangat rancu memosisikan Pancasila sebagai salah satu pilar
kebangsaan.
Menyamakan "Dasar Negara" dengan "Pilar" merupakan
kekeliruan yang sangat fundamental.
Pidato Ir. Soekarno pada 1 Juni 1945 di hadapan rapat besar
Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) menggagas Pancasila
sebagai philosophisce grondslag. Gagasan
Ir. Soekarno ini diterima oleh segenap anggota BPUPK dengan tepuk tangan riuh
rendah. Kemudian pada sidang
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 18 Agustus 1945 menyepakati
pencantuman Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945.
Pancasila sebagai dasar negara RI juga ditegaskan oleh Ir.
Soekarno dalam Kursus Pancasila (Pendahuluan) Presiden tentang Pancasila di
Istana Negara pada 26 Mei 1958. Soekarno dalam pidatonya menyatakan, “...
Saudara mengerti dan mengetahui bahwa Pancasila adalah saya anggap sebagai
dasar dan negara Republik Indonesia atau dengan bahasa Jerman: Weltanschauung di atas mana kita
meletakkan Negara Republik Indonesia itu ..”.
Di era reformasi, MPR RI melalui Sidang Istimewa tahun 1999
konsisten berpegang bahwa kedudukan Pancasila sebagai Dasar Negara Republik
Indonesia yang tertuang dalam Tap MPR Nomor XVIII/MPR/1998. Segala agenda
reformasi termasuk peraturan perundangan yang sudah dibuat serta akan dibuat
haruslah berpangkal tolak dari Pancasila.
Fakta
sejarah yang menempatkan Pancasila sebagai dasar negara merupakan suatu philosopical consensus sekaligus sebagai
political consensus. Maka Tidak heran apabila kemudian George MT Kahin
dalam bukunya “Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia” menyebut rumusan
Pancasila sebagai “Gagasan-gagasan
yang diutarakan Soekarno dalam pidato ini penting karena menyajikan filsafah
social yang matang dari para pemimpin nasionalis Indonesia yang paling
berpengaruh dan dari seorang yang kemudian menjadi pemimpin politik Republik
Indonesia yang paling penting...”
Empat
Pilar
Pancasila ditempatkan menjadi salah satu dari empat pilar
kebangsaan. Partai Politik diarahkan untuk memprioritaskan kegiatan empat pilar
berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Begitulah ketentuan dalam Pasal 34
ayat (3b) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol).
Ketentuan tersebut mengundang keberatan sejumlah kalangan yang berprofesi sebagai dosen,
mahasiswa, peniliti, wartawan dan wiraswasta. Mereka yaitu Basuki Agus
Suparno (Dosen), Hendro Muhaimin (Dosen/Peneliti), Hastangka (Dosen), Diasma
Sandi Swandaru (Mahasiswa S2 UGM/Peneliti), Esti Susilarti (Wartawan), Susilastuti
Dwi Nugraha Jati (Karyawan Swasta), Teguh Miyatno (Karyawan Swasta), Pujono
Elly Bayu Efendi (Wiraswasta), Didik Nur Kiswanto (Wiraswasta), dan Agustian
Siburian (Wiraswasta).
Para
Pemohon pada 11 November 2013 mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi. Kepaniteraan MK
mencatat permohonan dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi pada 25 November 2013 dengan Nomor 100/PUU-XI/2013. Adapun
Pasal yang dimohonkan hak uji materi adalah Pasal 34 ayat
(3b) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol). Dalam Pasal
34 ayat (3b) huruf a UU Parpol disebutkan bahwa Partai Politik wajib
mensosialisasikan 4 (empat) Pilar Kebangsaan yang menempatkan Pancasila sebagai
salah satu pilar.
Pasal
34 ayat (3b) huruf a UU Parpol menyatakan,
(3a) Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota Partai
Politik dan masyarakat.
(3b) Pendidikan Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3a) berkaitan
dengan kegiatan:
a. pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan
bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
b. pemahaman mengenai hak dan kewajiban warga
negara Indonesia dalam membangun etika dan budaya politik; dan
c. pengkaderan anggota Partai Politik secara
berjenjang dan berkelanjutan.
Menurut para Pemohon, ketentuan tersebut memosisikan Pancasila
sejajar dengan UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI yang dalam hal ini
disebut dengan istilah "Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara". Penggunaan
Pancasila sebagai kata Pilar adalah tidak tepat karena Pancasila merupakan
Dasar Negara. Selain itu, dalam sosialisasi Pancasila sebagai Dasar Negara
dalam pasal tersebut dikhawatirkan terjadi penyalahgunaan yang potensial
merugikan bangsa dan negara Indonesia.
Kedudukan Pancasila justru mengalami degradasi ketika
diposisikan sejajar dengan UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI. Hal ini bertentangan
dengan Pembukaan UUD 1945 Alinea keempat dan
TAP MPRS Nomor XX/MPRS/1966. Dalam TAP MPRS Nomor XX/MPRS/1966 Pancasila
secara yuridis formal sebagai dasar falsafah negara RI dan sebagai sumber dari
segala sumber hukum (negara) dalam urutan yang pertama dan utama.
Apabila Pancasila sebagai “Dasar Negara” yang terkandung
dalam Pembukaan UUD 1945 (sebagai Philosophiche Grondslag) itu diubah
menjadi “Pilar”, maka sama halnya dengan mengubah dan membubarkan negara
proklamasi 1945.
Menyamakan "Dasar Negara" dengan "Pilar" merupakan
kekeliruan yang sangat fundamental, bahkan fatal. Sebab hal ini sama artinya
telah mengubah Dasar Negara RI.
Pancasila sebagai Dasar Negara merupakan harga mati bagi
bangsa dan Negara Indonesia yang telah disepakati oleh para pendiri NKRI. Pancasila
mendapatkan tempat yang teramat istimewa dalam Pembukaan UUD 1945 dan karenanya
harus menjadi ruh dan sumber ketatanegaraan Indonesia. Karena Pancasila
mendapat tempat yang terhormat semacam itu, maka tidak dibenarkan Pancasila
diberi label, disandingkan secara sejajar dengan NKRI, Bhinneka Tunggal Ika dan
UUD 1945, atau diubah penyebutannya, selain sebagai dasar negara.
Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum
(negara), dan karenanya semua peraturan perundangan positif haruslah mengacu
kepada Pancasila. Lima sila dalam Pancasila secara tegas disebutkan dalam
Pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat, "... maka disusunlah Kemerdekaan
Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang
terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa; Kemanusiaan Yang
Adil dan Beradab; Persatuan Indonesia; Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan; serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial
Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.”
Pengertian “...
dengan berdasarkan kepada...”, dalam Alinea
keempat UUD 1945 menurut Guru Besar Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Prof.
Dr. Kaelan MS, secara yuridis memiliki makna sebagai Dasar Negara. Hal ini
didasarkan atas interpretasi historik sebagaimana ditentukan oleh BPUPK bahwa
Dasar Negara Indonesia itu disebut dengan istilah Pancasila.
Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 pada sidang BPUPK dalam
pidatonya menyatakan, “... menurut anggapan saya, yang diminta oleh paduka Tuan
Ketua yang mulia ialah dalam bahasa Belanda: 'philosopische grondslaag'
daripada Indonesia merdeka. Philosopische grondslaag itulah fundamen, filsafat,
pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di
atasnya didirikan gedung Indonesia merdeka yang kekal dan abadi...”
Ketika Pancasila dianggap bagian dari Empat Pilar Berbangsa
dan Bernegara, maka dengan demikian berarti ada: Pilar Pancasila; Pilar UUD
1945; Pilar Bhinneka Tunggal Ika dan Pilar NKRI. Dengan demikian berarti
kedudukannya disejajarkan.
Sesungguhnya kedudukan Pancasila adalah tidak sama, tidak
sejajar dengan UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI. Pancasila adalah
pondasi dari UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI.
Penyebutan kata-kata "empat Pilar" dalam satu
nafas berarti dianggap sejajar. Kata penghubung yang dipakai di situ adalah
"dan" yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dengan kata penghubung "dan" ini artinya
dianggap setara dan sejajar. Padahal sejatinya tidak demikian.
Sosialisasi
Biaya Tinggi
Sosialisasi Pancasila yang dianggap bagian dari Empat Pilar
Berbangsa dan Bernegara telah dilakukan di antaranya melalui kegiatan
Sosialisasi Empat Pilar di TVRI, Legislator yang sedang reses turun ke
konstituen melakukan sosialisasi yang dilakukan oleh partai-partai politik, acara
sosialisasi Empat Pilar di Metro TV, acara sosialisasi Empat Pilar di PWI Jogjakarta.
Program sosialisasi yang dilakukan oleh MPR RI tersebut selanjutnya
dilaksanakan oleh anggota MPR di seluruh Indonesia. Program ini tentu menghabiskan biaya negara yang begitu
besar.
Gencarnya sosialiasasi Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara
oleh MPR menyebabkan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono melakukan kesalahan
dalam pidato kenegaraan di depan sidang DPR RI dan DPDRI, Jakarta, Jumat, 16
Agustus 2013, yang menyatakan, “Para pendiri republik telah mewariskan 4
konsensus dasar, atau empat Pilar kehidupan bernegara, yaitu Pancasila, UUD
1945, NKR/ dan Bhinneka Tunggal Ika. Mari kita jadikan keempat Pilar ini
menjadi sumber energi dan inspirasi untuk mensukseskan pembangunan bangsa di
masa kini dan masa depan.”
Para Pemohon tidak berniat menghalangi sosialisasi Pancasila
dalam bentuk apapun. Sebab Pancasila bukan saja perlu disosialiasikan namun
juga diinternalisasikan bagi seluruh anak bangsa, tentu saja dengan penjelasan
aspek filosofis, historis dan ideologis yang benar.
Apa yang dipersoalkan oleh para Pemohon adalah apabila
Pancasila tidak ditempatkan sebagai dasar negara sebagaimana diamanatkan dalam
Pembukaan UUD 1945 alinea keempat, melainkan dengan sebutan yang lainnya akan
merugikan kepentingan pendidikan dan keutuhan berbangsa dan bernegara karena
telah menimbulkan berbagai tafsir di masyarakat yang tidak menentu.
Oleh karena itu, para Pemohon menginginkan pencabutan
ketentuan yang menempatkan Pancasila sebagai salah satu Pilar kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dengan dicabutnya atau dinyatakan tidak berlakunya
Pasal dan ayat yang menjadi permohonan uji materi ini tidak berarti
menghilangkan komponen UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Para Pemohon menginginkan
agar Pancasila ditempatkan pada posisinya yang orisinal dan otentik sebagai
dasar negara. Jika ini tidak dilakukan, maka bangsa dan negara ini akan
mengalami potensi kerugian yang sangat besar di masa yang akan datang.
Dalam petitum permohonan, para Pemohon meminta
Mahkamah menyatakan Pasal 34 ayat (3b) huruf a. UU Partai Politik bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hikum mengikat. “Yang pertama, mengabulkan permohonan Pemohon
untuk seluruhnya. Yang kedua, menyatakan ketentuan Pasal 34 ayat (3b) huruf a,
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Partai Politik dinyatakan tidak berlaku dan dicabut,” kata kuasa hukum para Pemohon, TM. Luthfi Yazid, dalam persidangan
pendahuluan di MK, Selasa (10/12/2013).
Materi
Penting
Mahkamah berpendapat, maksud UU Parpol adalah untuk
memberikan landasan hukum kaidah demokrasi, yaitu menjunjung tinggi hukum,
aspirasi, keterbukaan, keadilan, tanggung jawab dan perlakuan non-diskriminatif
dalam NKRI. Parpol adalah sarana partisipasi politik bagi masyarakat untuk mengembangkan
kehidupan demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan yang bertanggung jawab.
Dalam rangka menguatkan pelaksanaan demokrasi dan sistem
kepartaian yang efektif sesuai dengan UUD 1945 diperlukan penguatan kelembagaan
serta peningkatan fungsi dan peran parpol. Untuk penguatan fungsi dan peran
Parpol maka di antara ayat (3) dan ayat (4) Pasal 34 disisipkan 2 (dua) ayat,
yakni ayat (3a) dan ayat (3b), yang memerintahkan supaya bantuan keuangan dari
APBN/APBD kepada Parpol diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik
bagi anggota parpol dan masyarakat, yang antara lain, melalui kegiatan
pendalaman mengenai “empat pilar”.
Dari perspektif materi pendidikan politik, sesungguhnya
ketentuan tersebut tidak ada persoalan konstitusionalitasnya. Sebab keempat
materi pendidikan politik tersebut merupakan materi yang penting dan mendasar
untuk diketahui, dihayati, dan diamalkan oleh seluruh komponen bangsa pada
umumnya dan anggota parpol pada khususnya. Sudah sewajarnya jika Parpol sebagai
sarana pendidikan politik dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan
negara, menjadikan keempat substansi tersebut sebagai materi pendidikan politik.
Kekacauan
Epistimologis, Ontologis, dan Aksiologis
Permasalahan konstitusional muncul dikarenakan materi muatan
pasal tersebut tidak hanya berupa materi pendidikan politik semata, melainkan
memberikan pengertian juga bahwa keempat materi pendidikan politik dimaksud
dalam pasal tersebut didudukkan dalam posisi yang sama dan sederajat, yakni,
sebagai pilar kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Hal terakhir inilah yang
sesungguhnya merupakan argumentasi penting dalam permohonan pengujian
konstitusionalitas pasal dalam UU Parpol, sehingga menurut para Pemohon, Pasal
34 ayat (3b) huruf a UU Parpol bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pembukaan
UUD 1945 alinea keempat.
Menurut Mahkamah, permasalahan konstitusionalitas tersebut
terjadi karena di dalam pasal tersebut terdapat frasa “empat pilar
berbangsa dan bernegara yaitu ...”. Akibatnya, Pancasila, UUD 1945, Bhinneka
Tunggal Ika, dan NKRI yang menjadi materi pendidikan politik tersebut
masing-masing diposisikan sebagai pilar yang memiliki kedudukan yang sama dan sederajat.
Frasa yang terdiri atas beberapa kata tersebut yang paling substansial dalam
memberikan pengertian yang belakangan ini adalah dua kata pertama, yaitu “empat pilar”.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “pilar”
memiliki tiga arti. Pertama, tiang penguat. Kedua, dasar (yang pokok); induk. Ketiga, Kap tiang berbentuk silinder pejal atau berongga untuk menyangga balok
geladak atau bagian konstruksi lain di kapal. Dari ketiga arti tersebut, dua
yang pertama merupakan arti yang bersifat umum dan satu yang terakhir merupakan
arti yang bersifat khusus, yaitu untuk konstruksi kapal.
Berdasarkan arti yang pertama, frasa empat pilar berarti
empat tiang penguat berbangsa dan bernegara. Berdasarkan arti yang kedua, frasa
empat pilar berarti empat dasar yang pokok atau induk dalam berbangsa dan
bernegara. Dengan demikian, terkait dengan keempat materi pendidikan politik
tersebut berarti mendudukkan keempatnya sama dan sederajat sebagai tiang
penguat, dasar yang pokok atau induk dalam berbangsa dan bernegara.
Hal demikian, menurut Mahkamah dari perspektif
konstitusional adalah tidak tepat. Sebab, keempat materi pendidikan politik
tersebut sebenarnya seluruhnya telah tercakup dalam UUD 1945 yaitu Pancasila sebagai
suatu istilah atau nama, meski di dalam Pembukaan UUD 1945 tidak disebutkan
secara eksplisit.
Namun manakala merujuk pada isi yang terkandung di dalam
Pembukaan UUD 1945 alinea keempat, Pancasila adalah dasar negara. Kemudian, UUD
1945 adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bhinneka
Tunggal Ika adalah semboyan yang terdapat pada lambang negara, Garuda
Pancasila, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 36A UUD 1945 yang menyatakan,
“Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika.”
Sedangkan NKRI adalah bentuk susunan pemerintahan yang
menjadi cita negara dan ketentuan konstitusional dalam UUD 1945, yaitu
Pembukaan UUD 1945 alinea kedua yang menyatakan, “Dan perjuangan pergerakan
kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan
selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang
kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan
makmur.” Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, ”Negara Indonesia ialah
Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.”, dan Pasal 37 ayat (5) UUD 1945 yang
menyatakan, “Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat
dilakukan perubahan”.
Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 menyatakan, “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Secara konstitusional
Pembukaan UUD 1945 tersebut mendudukkan apa yang terkandung di dalam Pancasila
adalah sebagai dasar negara. Sebagai dasar negara, Pancasila secara normatif
harus menjadi fundamen penyelenggaraan Pemerintahan Negara Indonesia yang
berfungsi memberikan perlindungan, penyejahteraan, pencerdasan, dan
berpartisipasi dalam ketertiban dunia sebagaimana diuraikan di muka. Atas dasar
Pancasila dan fungsi Pemerintahan Negara Indonesia yang demikian itu maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia
itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam
suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat.
Menurut Mahkamah,
pendidikan politik berbangsa dan bernegara tidak hanya terbatas pada keempat
pilar tersebut. “Masih banyak aspek lainnya yang penting, antara lain, negara
hukum, kedaulatan rakyat, wawasan nusantara, ketahanan nasional, dan lain
sebagainya,” kata Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi membacakan Pendapat
Mahkamah dalam persidangan di MK, Kamis (3/4/2014).
Menempatkan Pancasila
sebagai salah satu pilar selain mendudukkan sama dan sederajat dengan pilar
yang lain, juga akan menimbulkan kekacauan epistimologis, ontologis, dan
aksiologis. Pancasila memiliki kedudukan yang tersendiri dalam kerangka
berpikir bangsa dan negara Indonesia berdasarkan konstitusi. Pancasila di
samping sebagai dasar negara, juga sebagai dasar filosofi negara, norma
fundamental negara, ideologi negara, cita hukum negara, dan sebagainya. “Oleh
karena itu, menempatkan Pancasila sebagai salah satu pilar dapat mengaburkan
posisi Pancasila,” lanjut Fadlil.
Berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah,
permohonan para Pemohon sepanjang mengenai frasa “empat pilar berbangsa dan
bernegara yaitu” dalam Pasal 34 ayat
(3b) huruf a UU Parpol, beralasan menurut hukum. Akhirnya, dalam amar putusan,
Mahkamah menyatakan mengabulkan pengujian frasa “empat pilar berbangsa dan
bernegara yaitu” dalam Pasal 34 ayat
(3b) huruf a UU Parpol. “Mengabulkan permohonan para Pemohon
untuk sebagian,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva Hamdan dengan didampingi delapan hakim
konstitusi lainnya, saat membacakan Putusan Nomor 100/PUU-XI/2013, Kamis (3/4/2014) di ruang Sidang Pleno Gedung
MK.
Mahkamah menyatakan Frasa
“empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu” dalam Pasal 34 ayat (3b) huruf a Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5189) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Ikhtilaf Pendapat
Dalam putusan ini, terdapat dua hakim konstitusi yang menyatakan ikhtilaf.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat memiliki alasan berbeda (concurring opinion).
Sedangkan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar memiliki pendapat berbeda (dissenting
opinion).
Arief Hidayat
menyatakan istilah “empat pilar” adalah kurang tepat dan tidak memiliki pijakan
yuridis konstitusional. Namun pada tataran praksis, istilah “empat pilar” ini
merupakan metode untuk memudahkan penyebutan dalam sosialisasi nilai-nilai
pokok dan fundamental dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Istilah “empat pilar” yang memasukkan Pancasila sebagai salah satu pilar, tidak
dapat dimaknai bahwa Pancasila memiliki kedudukan yang sama dengan UUD
1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. “Karena pada dasarnya masing-masing pilar
memiliki kedudukan yang beragam sesuai dengan karakter dan fungsinya
masing-masing, yakni Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, UUD 1945
sebagai konstitusi negara, Bhinneka Tunggal Ika sebagai semangat pemersatu
bangsa, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk negara,” kata
Arief Hidayat membacakan concurring opinion.
Menurut Arief, Mahkamah perlu mengabulkan permohonan para Pemohon untuk
sebagian dengan memberikan putusan tidak konstitusional bersyarat (conditionally
unconstitutional). Dengan demikian, menurut Arief, frasa “empat pilar
berbangsa dan bernegara yaitu” dalam Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Parpol
bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai Pancasila merupakan dasar
dan ideologi negara dan istilah pilar merupakan istilah dalam rangka sosialisasi
empat pilar yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar yang memiliki pendapat
berbeda dalam putusan ini, menyatakan pemahaman
mengenai empat pilar itu mensetarakan atau mensejajarkan, mensederajatkan
antara satu pilar dengan pilar yang lain. Menurut Patrialis, pandangan tersebut
tidaklah tepat. “Pancasila tidaklah bisa disamaratakan atau disetarakan, atau
disejajarkan dengan Bhinneka Tunggal Ika misalnya, atau dengan NKRI, atau
dengan Undang-Undang Dasar sekalipun,” kata Patrialis menyampaikan pendapatnya
yang berbeda.
Selain itu, persoalan
yang sangat serius adalah mengenai integrasi
bangsa. Sebagai bangsa yang majemuk dan heterogen, saat ini Indonesia
mengalami tantangan yang serius di tengah-tengah era globalisasi yang tidak
hanya terkait dengan integrasi kewilayahan teritorial. Bertolak dari realitas tersebut, MPR
periode 2009-2014 memandang tidak hanya
Undang-Undang Dasar 1945 yang harus disosialisasikan di tengah-tengah masyarakat, namun juga Pancasila, nilai-nilai
yang terkandung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan semboyan Bhinneka
Tunggal Ika.
Untuk lebih
memudahkan sosialisasi, maka MPR mengambil inisiatif untuk mengelompokan empat
hal besar sebagai acuan mendasar dan
sifatnya pokok, menjadi induk yang memiliki fungsi untuk
merajut, merangkai, sekaligus menjalin keragaman yang sangat luar biasa dari berbagai
sisinya. Empat hal tersebut perlu untuk kemudian menjadi ingatan kolektif bangsa
ini, untuk harapannya terjadi proses internalisasi dan pada akhirnya itu
bisa mengejawantah dan terwujud dalam
implementasi. Bahwa perlu untuk mendapatkan sebuah kosa kata, istilah, yang
memudahkan apa yang dimaksud dengan empat hal yang penting itu, yaitu
Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
Bhinneka Tunggal Ika.
Patrialis
berpendapat, permohonan ini bukan menyangkut persoalan konstitusionalitas norma
dalam UU. “Saya berpendapat bahwa apa yang dimohonkan oleh para Pemohon pada
dasarnya bukanlah persoalan konstitusionalitas norma suatu Undang-Undang
melainkan implementasi nilai yaitu praktik yang terjadi dalam proses
sosialisasi empat pilar berbangsa dan bernegara, maka seharusnya permohonan ini tidak dapat diterima,”
pungkas Patrialis. (Nur Rosihin Ana)
Lukman Hakim Saifuddin
Berawal
dari Sosialisasi UUD 1945
Istilah empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara bermula dari lahirnya UU 22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang kemudian dipertegas oleh UU 27/2009. “Di situ dinyatakan bahwa MPR diamanatkan untuk memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” kata Wakil Ketua MPR RI Lukman Lukman Hakim Saifuddin
Ketika MPR
menyosialisasikan UUD 1945, ada persoalan yang sangat serius yaitu
mengenai integrasi bangsa. Sebagai bangsa yang plural, dan heterogen, Indonesia
mengalami tantangan yang serius di tengah era globalisasi yang tidak hanya
terkait dengan integrasi kewilayahan teritorial. MPR periode 2009-2014 memandang tidak hanya UUD 1945
yang harus disosialisasikan. MPR kemudian mengambil inisiatif dengan
mengelompokkan empat hal mendasar yang memiliki fungsi merajut, merangkai,
sekaligus menjalin keragaman kita yang sangat luar biasa dari berbagai sisinya.
Empat hal ini perlu untuk menjadi ingatan kolektif bangsa ini dengan harapan
akan terjadi proses internalisasi dan pada akhirnya bisa mengejawantah, mewujud
dalam implementasi. “Itulah kemudian kami mendapatkan kata pilar, kata yang
sesungguhnya berasal dari bahas Inggris, tapi kemudian sudah diserap menjadi
bahasa baku Indonesia,” lanjut Lukman.
Jika MPR mengatakan empat
pilar adalah Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, maka hal ini
tidak bermaksud menafikan pilar-pilar bangsa yang lain. MPR perlu
mengklarifikasi pemahaman seakan-akan Pancasila itu disetarakan dengan tiga
pilar lainnya. “Kami ingin menganalogkan, misalnya dalam umat Islam ada
keyakinan terkait dengan rukun iman. Setiap muslim haruslah meyakini, beriman
kepada Tuhan, malaikat, rasul, kitab suci, dan seterusnya. Bukan berarti lalu
kemudian kepercayaan kita kepada Tuhan lalu kemudian disejajarkan dengan
malaikat, atau Tuhan sejajar dengan kitab suci, atau dengan rasul,” jelasnya.
DPR
Tiap Pilar Memiliki Tingkat, Fungsi, dan Konteks Berbeda
Penggunaan kata "empat Pilar" menurut Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia dibenarkan baik secara linguistik maupun akademis. Empat Pilar MPR adalah Pancasila yang merupakan dasar negara, UUD 1945 merupakan landasan konstitusional, NKRI merupakan bentuk negara, serta Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan negara. “Penggunaan istilah tersebut hanya sebagai judul agar praktis, tetapi sisi akademis, linguistik, dan semantik, tetap dapat dipertanggungjawabkan,” kata Hari Wicaksono membacakan keterangan DPR dalam persidangan di MK, Senin (17/2/2014).
Penyebutan
empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dimaksudkan bahwa keempat
pilar tersebut memiliki kedudukan yang sederajat, namun keempat pilar tersebut
memiliki kedudukan yang berbeda. Setiap pilar memiliki tingkat, fungsi dan
konteks yang berbeda. “Pada prinsipnya Pancasila sebagai ideologi dan dasar
negara kedudukannya berada di atas tiga pilar lainnya,” lanjut Hari.
Dimasukkannya
Pancasila sebagai bagian dari empat pilar, semata-mata untuk menjelaskan adanya
landasan ideologi dan dasar negara. Pancasila menjadi pedoman penuntun bagi
pilar-pilar kebangsaan dan kenegaraan lainnya. Pilar NKRI dan Bhinneka Tunggal
Ika sudah terkandung dalam UUD 1945.
Pemerintah
Pancasila
Sebagai Dasar dan Pilar
Ibarat sebuah bangunan yang megah, Republik Indonesia berdiri di bumi yang bernama proklamasi, mempunyai fondasi yang kuat bernama Pancasila, dan mempunyai empat pilar yang kokoh bernama Pancasila sebagai Pilar Utama, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. “Sejatinya Pancasila memegang dua peran penting, yakni baik sebagai fondasi, tetapi juga sebagai pilar,” kata Staf Ahli Mendagri bidang Hukum, Politik, dan Hubungan Antarlembaga, Reydonnyzar Moenek, saat menyampaikan keterangan Presiden dalam persidangan di MK, Senin (17/2/2014).
Istilah empat pilar kebangsaan memang bukan
istilah yang resmi. Istilah ini dicetuskan dalam sebuah ikrar yang didahului
kajian ilmiah. Akan tetapi, dia merupakan semangat yang tumbuh dari sebuah
refleksi kehidupan masyarakat Indonesia. Untuk itulah perlu dipahami secara
memadai bahwa makna empat pilar tersebut sehingga kita dapat memberikan
penilaian secara tepat, arif, dan
bijaksana terhadap empat pilar dimaksud dan dapat menempatkan secara
akurat dan proporsional dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Mengeluarkan Pancasila dari
jajaran empat pilar kebangsaan justru akan melemahkan keberadaan Pancasila,
baik di mata rakyat Indonesia maupun di mata internasional. “Bayangkan kalau satu pilar saja
dikeluarkan, maka dari sisi content dan
konteksnya sudah tidak akan menjamin keberadaan Negara Kesatuan Republik
Indonesia,” jelas Donny Moenek.
Sujito
Menyadarkan
yang “Tersesat”
Program sosialisasi Empat Pilar yang dilakukan oleh MPR RI tidak memiliki kejelasan teori dan ilmu. “Maka praktik sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan jelas merupakan aktifitas tidak ilmiah, menyesatkan, jelas menghamburkan anggaran negara, dan membodohi rakyat, kata Kepala Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada (PSP UGM), Sujito, saat bertindak sebagai ahli dalam persidangan di MK, Selasa, (4/3/2014).
PSP UGM sudah
sekian lama menaruh perhatian terhadap kontroversi penggunaan istilah Empat
Pilar. Berbagai upaya telah dilakukan oleh PSP UGM untuk menyadarkan para pihak “tersesat”
dalam memahami Pancasila.
Di antaranya melalui diskusi
secara terbuka dan ilmiah dalam kegiatan Kongres Pancasila. “Terhadap kontroversi penggunaan istilah Empat Pilar, berbagai upaya
telah dilakukan untuk menyadarkan
para pihak yang dalam tanda kutip tersesat pemahamannya tentang Pancasila, kritik
Sujito.
PSP UGM sangat mendukung langkah MPR dalam
menyosialisasikan Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Bahkan
PSP UGM telah menjalin kerja sama dengan MPR dalam program sosialisasi. "Sekali
lagi, kita tidak menolak tetapi mendukung niat baik itu, namun kita ingatkan
bahwa niat baik itu menjadi kontra produktif ketika penggunaan istilahnya tidak
tepat, itu yang kita sampaikan sebagai kritik dan keberatan," jelas
Sujito.
Kaelan
UU Parpol Cacat Hukum
Program pemasyarakatan Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara yang diprakarsai oleh MPR, merupakan suatu prakarsa yang sangat mulia dan layak mendapat apresiasi positif. Hal ini mengingat kondisi bangsa yang semakin jauh dari jati dirinya. Namun, sangat disayangkan, program tersebut menggunakan terminologi nomenklatur yang tidak lazim. “Sangat disayangkan dalam program pemasyarakatan tersebut pemasyarakatan tersebut MPR, DPR, bersama Pemerintah menggunakan terminologi nomenklatur serta istilah yang tidak lazim,” kata Kaelan, Dosen Pascasarjana UGM pada mata kuliah Filsafat Pancasila, saat bertindak sebagai ahli dalam persidangan di MK, Selasa, (4/3/2014).
UU
Parpol Pasal 1 ayat (1) menegaskan Pancasila sebagai dasar negara. Namun Pasal
34 ayat (3b) mencantumkan Pancasila sebagai pilar berbangsa dan bernegara. Hal
ini berarti bahwa pada UU Parpol memiliki cacat hukum. “Undang-Undang tersebut
memiliki suatu ciri atau kecacatan secara hukum, memiliki ketidakkonsistenan
dan ketidakkoherenan,” tuding Kaelan.
Fakta
menunjukan munculnya reaksi dan penolakan terhadap program politik tersebut di
berbagai daerah. Secara prinsipiil visi UU Parpol sangat baik, terutama
ketentuan tentang pendidikan politik. Namun demikian pada Pasal 34 ayat (3b),
esensi Pancasila yang diletakkan hanya pada tingkatan sebagai pilar itu
menimbulkan kesesatan dan menimbulkan kerancuan norma hukum. “Oleh
karena itu, istilah pilar yang meletakkan Pancasila sebagai salah satu pilar
bernegara, sudah saatnya untuk diluruskan,” saran Kaelan.
Jawahir Thontowi
Cacat
Historis, Yuridis, dan Sosiologis
Penggunaan
Empat Pilar Kebangsaan sebagaimana diatur dalam Pasal 34 (3b) memiliki cacat
secara historis, yuridis, dan sosiologis. “Jelas
memiliki cacat secara historis, secara yuridis, dan secara sosiologis,” kata Guru besar Hukum Tata
Negara UII Yogyakarta, Jawahir Thontowi, saat bertindak sebagai ahli
dalam persidangan di MK, Selasa, (4/3/2014).
Secara
kualitatif keberadaan Pasal 34 ayat (3b) telah terjadi pelanggaran berat secara
konstitusional. Secara faktual pelanggaran yang terjadi justru karena
bertentangan dengan alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Norma
hukum Empat Pilar Kebangsaan tidak memiliki derajat dan kualitas sebanding. “Karenanya
sangat lemah untuk dipertahankan dan jelas menimbulkan ketidakpastian hukum,
baik dalam arti kognitif, afektif, dan juga psikomotorik bagi keberaaan
Pancasila sebagai dasar negara di Indonesia,” urainya.
Pemerintah,
MPR, DPR, dan DPD serta pihak-pihak pendukung, tidak selayaknya mempertahankan
metode pendidikan politik melalui Empat Pilar Kebangsaan tanpa dukungan dan
kajian akademis mendalam dan komprehensif. Seyogyanya kita kembali kepada khittah nasional
yaitu meneguhkan Pancasila sebagai Dasar Negara atau Dasar Falsafah NKRI. “Empat
Pilar Kebangsaan yang menempatkan Pancasila sebagai salah satu pilar adalah
jelas penuh keraguan. Secara asal-usul historis, yuridis, dan sosiologis
terdapat keterputusan nasab atau keluarga atau missing link,” tandas
Jawahir.
Nur Rosihin An
Tidak ada komentar:
Posting Komentar