Sabtu, 03 Mei 2014

Pancasila adalah Dasar Bukan Pilar

Frasa “Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara” dalam UU Parpol menempatkan Pancasila sejajar dengan UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Sangat rancu memosisikan Pancasila sebagai salah satu pilar kebangsaan. Menyamakan "Dasar Negara" dengan "Pilar" merupakan kekeliruan yang sangat fundamental.

Pidato Ir. Soekarno pada 1 Juni 1945 di hadapan rapat besar Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) menggagas Pancasila sebagai philosophisce grondslag. Gagasan Ir. Soekarno ini diterima oleh segenap anggota BPUPK dengan tepuk tangan riuh rendah. Kemudian pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 18 Agustus 1945 menyepakati pencantuman Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945.
Pancasila sebagai dasar negara RI juga ditegaskan oleh Ir. Soekarno dalam Kursus Pancasila (Pendahuluan) Presiden tentang Pancasila di Istana Negara pada 26 Mei 1958. Soekarno dalam pidatonya menyatakan, “... Saudara mengerti dan mengetahui bahwa Pancasila adalah saya anggap sebagai dasar dan negara Republik Indonesia atau dengan bahasa Jerman: Weltanschauung di atas mana kita meletakkan Negara Republik Indonesia itu ..”.
Di era reformasi, MPR RI melalui Sidang Istimewa tahun 1999 konsisten berpegang bahwa kedudukan Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia yang tertuang dalam Tap MPR Nomor XVIII/MPR/1998. Segala agenda reformasi termasuk peraturan perundangan yang sudah dibuat serta akan dibuat haruslah berpangkal tolak dari Pancasila.
Fakta sejarah yang menempatkan Pancasila sebagai dasar negara merupakan suatu philosopical consensus sekaligus sebagai political consensus. Maka Tidak heran apabila kemudian George MT Kahin dalam bukunya “Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia” menyebut rumusan Pancasila sebagai “Gagasan-gagasan yang diutarakan Soekarno dalam pidato ini penting karena menyajikan filsafah social yang matang dari para pemimpin nasionalis Indonesia yang paling berpengaruh dan dari seorang yang kemudian menjadi pemimpin politik Republik Indonesia yang paling penting...”

Empat Pilar
Pancasila ditempatkan menjadi salah satu dari empat pilar kebangsaan. Partai Politik diarahkan untuk memprioritaskan kegiatan empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Begitulah ketentuan dalam Pasal 34 ayat (3b) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol).
Ketentuan tersebut mengundang keberatan sejumlah kalangan yang berprofesi sebagai dosen, mahasiswa, peniliti, wartawan dan wiraswasta. Mereka yaitu Basuki Agus Suparno (Dosen), Hendro Muhaimin (Dosen/Peneliti), Hastangka (Dosen), Diasma Sandi Swandaru (Mahasiswa S2 UGM/Peneliti), Esti Susilarti (Wartawan), Susilastuti Dwi Nugraha Jati (Karyawan Swasta), Teguh Miyatno (Karyawan Swasta), Pujono Elly Bayu Efendi (Wiraswasta), Didik Nur Kiswanto (Wiraswasta), dan Agustian Siburian (Wiraswasta).
Para Pemohon pada 11 November 2013 mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi. Kepaniteraan MK mencatat permohonan dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi pada 25 November 2013 dengan Nomor 100/PUU-XI/2013. Adapun
Pasal yang dimohonkan hak uji materi adalah Pasal 34 ayat (3b) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol). Dalam Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Parpol disebutkan bahwa Partai Politik wajib mensosialisasikan 4 (empat) Pilar Kebangsaan yang menempatkan Pancasila sebagai salah satu pilar.

Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Parpol menyatakan,
(3a)  Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota Partai Politik dan masyarakat.
(3b)  Pendidikan Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3a) berkaitan dengan kegiatan:
a. pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. pemahaman mengenai hak dan kewajiban warga negara Indonesia dalam membangun etika dan budaya politik; dan
c.       pengkaderan anggota Partai Politik secara berjenjang dan berkelanjutan.

Menurut para Pemohon, ketentuan tersebut memosisikan Pancasila sejajar dengan UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI yang dalam hal ini disebut dengan istilah "Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara". Penggunaan Pancasila sebagai kata Pilar adalah tidak tepat karena Pancasila merupakan Dasar Negara. Selain itu, dalam sosialisasi Pancasila sebagai Dasar Negara dalam pasal tersebut dikhawatirkan terjadi penyalahgunaan yang potensial merugikan bangsa dan negara Indonesia.
Kedudukan Pancasila justru mengalami degradasi ketika diposisikan sejajar dengan UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI. Hal ini bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 Alinea keempat dan TAP MPRS Nomor XX/MPRS/1966. Dalam TAP MPRS Nomor XX/MPRS/1966 Pancasila secara yuridis formal sebagai dasar falsafah negara RI dan sebagai sumber dari segala sumber hukum (negara) dalam urutan yang pertama dan utama.
Apabila Pancasila sebagai “Dasar Negara” yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 (sebagai Philosophiche Grondslag) itu diubah menjadi “Pilar”, maka sama halnya dengan mengubah dan membubarkan negara proklamasi 1945. Menyamakan "Dasar Negara" dengan "Pilar" merupakan kekeliruan yang sangat fundamental, bahkan fatal. Sebab hal ini sama artinya telah mengubah Dasar Negara RI.
Pancasila sebagai Dasar Negara merupakan harga mati bagi bangsa dan Negara Indonesia yang telah disepakati oleh para pendiri NKRI. Pancasila mendapatkan tempat yang teramat istimewa dalam Pembukaan UUD 1945 dan karenanya harus menjadi ruh dan sumber ketatanegaraan Indonesia. Karena Pancasila mendapat tempat yang terhormat semacam itu, maka tidak dibenarkan Pancasila diberi label, disandingkan secara sejajar dengan NKRI, Bhinneka Tunggal Ika dan UUD 1945, atau diubah penyebutannya, selain sebagai dasar negara.
Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum (negara), dan karenanya semua peraturan perundangan positif haruslah mengacu kepada Pancasila. Lima sila dalam Pancasila secara tegas disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat, "... maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa; Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab; Persatuan Indonesia; Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan; serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.”
Pengertian “... dengan berdasarkan kepada...”, dalam Alinea keempat UUD 1945 menurut Guru Besar Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Prof. Dr. Kaelan MS, secara yuridis memiliki makna sebagai Dasar Negara. Hal ini didasarkan atas interpretasi historik sebagaimana ditentukan oleh BPUPK bahwa Dasar Negara Indonesia itu disebut dengan istilah Pancasila.
Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 pada sidang BPUPK dalam pidatonya menyatakan, “... menurut anggapan saya, yang diminta oleh paduka Tuan Ketua yang mulia ialah dalam bahasa Belanda: 'philosopische grondslaag' daripada Indonesia merdeka. Philosopische grondslaag itulah fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia merdeka yang kekal dan abadi...”
Ketika Pancasila dianggap bagian dari Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara, maka dengan demikian berarti ada: Pilar Pancasila; Pilar UUD 1945; Pilar Bhinneka Tunggal Ika dan Pilar NKRI. Dengan demikian berarti kedudukannya disejajarkan.
Sesungguhnya kedudukan Pancasila adalah tidak sama, tidak sejajar dengan UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI. Pancasila adalah pondasi dari UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI.
Penyebutan kata-kata "empat Pilar" dalam satu nafas berarti dianggap sejajar. Kata penghubung yang dipakai di situ adalah "dan" yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan kata penghubung "dan" ini artinya dianggap setara dan sejajar. Padahal sejatinya tidak demikian.

Sosialisasi Biaya Tinggi
Sosialisasi Pancasila yang dianggap bagian dari Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara telah dilakukan di antaranya melalui kegiatan Sosialisasi Empat Pilar di TVRI, Legislator yang sedang reses turun ke konstituen melakukan sosialisasi yang dilakukan oleh partai-partai politik, acara sosialisasi Empat Pilar di Metro TV, acara sosialisasi Empat Pilar di PWI Jogjakarta.
Program sosialisasi yang dilakukan oleh MPR RI tersebut selanjutnya dilaksanakan oleh anggota MPR di seluruh Indonesia. Program ini  tentu menghabiskan biaya negara yang begitu besar.
Gencarnya sosialiasasi Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara oleh MPR menyebabkan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono melakukan kesalahan dalam pidato kenegaraan di depan sidang DPR RI dan DPDRI, Jakarta, Jumat, 16 Agustus 2013, yang menyatakan, “Para pendiri republik telah mewariskan 4 konsensus dasar, atau empat Pilar kehidupan bernegara, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKR/ dan Bhinneka Tunggal Ika. Mari kita jadikan keempat Pilar ini menjadi sumber energi dan inspirasi untuk mensukseskan pembangunan bangsa di masa kini dan masa depan.”
Para Pemohon tidak berniat menghalangi sosialisasi Pancasila dalam bentuk apapun. Sebab Pancasila bukan saja perlu disosialiasikan namun juga diinternalisasikan bagi seluruh anak bangsa, tentu saja dengan penjelasan aspek filosofis, historis dan ideologis yang benar.
Apa yang dipersoalkan oleh para Pemohon adalah apabila Pancasila tidak ditempatkan sebagai dasar negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat, melainkan dengan sebutan yang lainnya akan merugikan kepentingan pendidikan dan keutuhan berbangsa dan bernegara karena telah menimbulkan berbagai tafsir di masyarakat yang tidak menentu.
Oleh karena itu, para Pemohon menginginkan pencabutan ketentuan yang menempatkan Pancasila sebagai salah satu Pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan dicabutnya atau dinyatakan tidak berlakunya Pasal dan ayat yang menjadi permohonan uji materi ini tidak berarti menghilangkan komponen UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Para Pemohon menginginkan agar Pancasila ditempatkan pada posisinya yang orisinal dan otentik sebagai dasar negara. Jika ini tidak dilakukan, maka bangsa dan negara ini akan mengalami potensi kerugian yang sangat besar di masa yang akan datang.
Dalam petitum permohonan, para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 34 ayat (3b) huruf a. UU Partai Politik bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hikum mengikat. “Yang pertama, mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Yang kedua, menyatakan ketentuan Pasal 34 ayat (3b) huruf a, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dinyatakan tidak berlaku dan dicabut,” kata kuasa hukum para Pemohon, TM. Luthfi Yazid, dalam persidangan pendahuluan di MK, Selasa (10/12/2013).

Materi Penting
Mahkamah berpendapat, maksud UU Parpol adalah untuk memberikan landasan hukum kaidah demokrasi, yaitu menjunjung tinggi hukum, aspirasi, keterbukaan, keadilan, tanggung jawab dan perlakuan non-diskriminatif dalam NKRI. Parpol adalah sarana partisipasi politik bagi masyarakat untuk mengembangkan kehidupan demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan yang bertanggung jawab.
Dalam rangka menguatkan pelaksanaan demokrasi dan sistem kepartaian yang efektif sesuai dengan UUD 1945 diperlukan penguatan kelembagaan serta peningkatan fungsi dan peran parpol. Untuk penguatan fungsi dan peran Parpol maka di antara ayat (3) dan ayat (4) Pasal 34 disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (3a) dan ayat (3b), yang memerintahkan supaya bantuan keuangan dari APBN/APBD kepada Parpol diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota parpol dan masyarakat, yang antara lain, melalui kegiatan pendalaman mengenai “empat pilar”.
Dari perspektif materi pendidikan politik, sesungguhnya ketentuan tersebut tidak ada persoalan konstitusionalitasnya. Sebab keempat materi pendidikan politik tersebut merupakan materi yang penting dan mendasar untuk diketahui, dihayati, dan diamalkan oleh seluruh komponen bangsa pada umumnya dan anggota parpol pada khususnya. Sudah sewajarnya jika Parpol sebagai sarana pendidikan politik dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan negara, menjadikan keempat substansi tersebut sebagai materi pendidikan politik.

Kekacauan Epistimologis, Ontologis, dan Aksiologis
Permasalahan konstitusional muncul dikarenakan materi muatan pasal tersebut tidak hanya berupa materi pendidikan politik semata, melainkan memberikan pengertian juga bahwa keempat materi pendidikan politik dimaksud dalam pasal tersebut didudukkan dalam posisi yang sama dan sederajat, yakni, sebagai pilar kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Hal terakhir inilah yang sesungguhnya merupakan argumentasi penting dalam permohonan pengujian konstitusionalitas pasal dalam UU Parpol, sehingga menurut para Pemohon, Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Parpol bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pembukaan UUD 1945 alinea keempat.
Menurut Mahkamah, permasalahan konstitusionalitas tersebut terjadi karena di dalam pasal tersebut terdapat frasa “empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu ...”. Akibatnya, Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI yang menjadi materi pendidikan politik tersebut masing-masing diposisikan sebagai pilar yang memiliki kedudukan yang sama dan sederajat. Frasa yang terdiri atas beberapa kata tersebut yang paling substansial dalam memberikan pengertian yang belakangan ini adalah dua kata pertama, yaitu  “empat pilar”.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “pilar” memiliki tiga arti. Pertama, tiang penguat. Kedua, dasar (yang pokok); induk. Ketiga, Kap tiang berbentuk silinder pejal atau berongga untuk menyangga balok geladak atau bagian konstruksi lain di kapal. Dari ketiga arti tersebut, dua yang pertama merupakan arti yang bersifat umum dan satu yang terakhir merupakan arti yang bersifat khusus, yaitu untuk konstruksi kapal.
Berdasarkan arti yang pertama, frasa empat pilar berarti empat tiang penguat berbangsa dan bernegara. Berdasarkan arti yang kedua, frasa empat pilar berarti empat dasar yang pokok atau induk dalam berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, terkait dengan keempat materi pendidikan politik tersebut berarti mendudukkan keempatnya sama dan sederajat sebagai tiang penguat, dasar yang pokok atau induk dalam berbangsa dan bernegara.
Hal demikian, menurut Mahkamah dari perspektif konstitusional adalah tidak tepat. Sebab, keempat materi pendidikan politik tersebut sebenarnya seluruhnya telah tercakup dalam UUD 1945 yaitu Pancasila sebagai suatu istilah atau nama, meski di dalam Pembukaan UUD 1945 tidak disebutkan secara eksplisit.
Namun manakala merujuk pada isi yang terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat,  Pancasila adalah dasar negara. Kemudian, UUD 1945 adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan yang terdapat pada lambang negara, Garuda Pancasila, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 36A UUD 1945 yang menyatakan, “Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika.”
Sedangkan NKRI adalah bentuk susunan pemerintahan yang menjadi cita negara dan ketentuan konstitusional dalam UUD 1945, yaitu Pembukaan UUD 1945 alinea kedua yang menyatakan, “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.” Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, ”Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.”, dan Pasal 37 ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan, “Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan”.
Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 menyatakan, “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Secara konstitusional Pembukaan UUD 1945 tersebut mendudukkan apa yang terkandung di dalam Pancasila adalah sebagai dasar negara. Sebagai dasar negara, Pancasila secara normatif harus menjadi fundamen penyelenggaraan Pemerintahan Negara Indonesia yang berfungsi memberikan perlindungan, penyejahteraan, pencerdasan, dan berpartisipasi dalam ketertiban dunia sebagaimana diuraikan di muka. Atas dasar Pancasila dan fungsi Pemerintahan Negara Indonesia yang demikian itu maka  disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat.
Menurut Mahkamah, pendidikan politik berbangsa dan bernegara tidak hanya terbatas pada keempat pilar tersebut. “Masih banyak aspek lainnya yang penting, antara lain, negara hukum, kedaulatan rakyat, wawasan nusantara, ketahanan nasional, dan lain sebagainya,” kata Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi membacakan Pendapat Mahkamah dalam persidangan di MK, Kamis (3/4/2014).
Menempatkan Pancasila sebagai salah satu pilar selain mendudukkan sama dan sederajat dengan pilar yang lain, juga akan menimbulkan kekacauan epistimologis, ontologis, dan aksiologis. Pancasila memiliki kedudukan yang tersendiri dalam kerangka berpikir bangsa dan negara Indonesia berdasarkan konstitusi. Pancasila di samping sebagai dasar negara, juga sebagai dasar filosofi negara, norma fundamental negara, ideologi negara, cita hukum negara, dan sebagainya. “Oleh karena itu, menempatkan Pancasila sebagai salah satu pilar dapat mengaburkan posisi Pancasila,” lanjut Fadlil.
Berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, permohonan para Pemohon sepanjang mengenai frasa “empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu”  dalam Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Parpol, beralasan menurut hukum. Akhirnya, dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan mengabulkan pengujian frasa “empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu”  dalam Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Parpol. “Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva Hamdan dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya, saat membacakan Putusan Nomor 100/PUU-XI/2013, Kamis (3/4/2014) di ruang Sidang Pleno Gedung MK.
Mahkamah menyatakan Frasa “empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu” dalam Pasal 34 ayat (3b) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5189) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Ikhtilaf Pendapat
Dalam putusan ini, terdapat dua hakim konstitusi yang menyatakan ikhtilaf. Hakim Konstitusi Arief Hidayat memiliki alasan berbeda (concurring opinion). Sedangkan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion).
Arief Hidayat menyatakan istilah “empat pilar” adalah kurang tepat dan tidak memiliki pijakan yuridis konstitusional. Namun pada tataran praksis, istilah “empat pilar” ini merupakan metode untuk memudahkan penyebutan dalam sosialisasi nilai-nilai pokok dan fundamental dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Istilah “empat pilar” yang memasukkan Pancasila sebagai salah satu pilar, tidak dapat dimaknai bahwa Pancasila memiliki kedudukan yang sama dengan UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. “Karena pada dasarnya masing-masing pilar memiliki kedudukan yang beragam sesuai dengan karakter dan fungsinya masing-masing, yakni Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, UUD 1945 sebagai konstitusi negara, Bhinneka Tunggal Ika sebagai semangat pemersatu bangsa, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk negara,” kata Arief Hidayat membacakan concurring opinion.
Menurut Arief, Mahkamah perlu mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian dengan memberikan putusan tidak konstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Dengan demikian, menurut Arief, frasa “empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu” dalam Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Parpol bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai Pancasila merupakan dasar dan ideologi negara dan istilah pilar merupakan istilah dalam rangka sosialisasi empat pilar yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar yang memiliki pendapat berbeda dalam putusan ini, menyatakan pemahaman mengenai empat pilar itu mensetarakan atau mensejajarkan, mensederajatkan antara satu pilar dengan pilar yang lain. Menurut Patrialis, pandangan tersebut tidaklah tepat. “Pancasila tidaklah bisa disamaratakan atau disetarakan, atau disejajarkan dengan Bhinneka Tunggal Ika misalnya, atau dengan NKRI, atau dengan Undang-Undang Dasar sekalipun,” kata Patrialis menyampaikan pendapatnya yang berbeda.
Selain itu, persoalan yang sangat serius  adalah mengenai  integrasi  bangsa. Sebagai bangsa yang majemuk dan heterogen, saat ini Indonesia mengalami tantangan yang serius di tengah-tengah era globalisasi yang tidak hanya terkait dengan integrasi kewilayahan teritorial.  Bertolak dari realitas tersebut, MPR periode  2009-2014 memandang tidak hanya Undang-Undang Dasar 1945 yang harus disosialisasikan di tengah-tengah  masyarakat, namun juga Pancasila, nilai-nilai yang terkandung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Untuk lebih memudahkan sosialisasi, maka MPR mengambil inisiatif untuk mengelompokan empat hal besar sebagai acuan mendasar dan  sifatnya  pokok,  menjadi induk yang memiliki fungsi untuk merajut, merangkai, sekaligus menjalin keragaman yang sangat luar biasa dari berbagai sisinya. Empat hal tersebut perlu untuk kemudian menjadi ingatan kolektif bangsa ini, untuk harapannya terjadi proses internalisasi dan pada akhirnya itu bisa  mengejawantah dan terwujud dalam implementasi. Bahwa perlu untuk mendapatkan sebuah kosa kata, istilah, yang memudahkan apa yang dimaksud dengan empat hal yang penting itu, yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika.
Patrialis berpendapat, permohonan ini bukan menyangkut persoalan konstitusionalitas norma dalam UU. “Saya berpendapat bahwa apa yang dimohonkan oleh para Pemohon pada dasarnya bukanlah persoalan konstitusionalitas norma suatu Undang-Undang melainkan implementasi nilai yaitu praktik yang terjadi dalam proses sosialisasi empat pilar berbangsa dan bernegara, maka  seharusnya permohonan ini tidak dapat diterima,” pungkas Patrialis. (Nur Rosihin Ana)



Lukman Hakim Saifuddin
Berawal dari Sosialisasi UUD 1945

Istilah empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara bermula dari lahirnya UU 22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang kemudian dipertegas oleh UU 27/2009. “Di situ dinyatakan bahwa MPR diamanatkan untuk memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” kata Wakil Ketua MPR RI Lukman Lukman Hakim Saifuddin
Ketika MPR menyosialisasikan UUD 1945, ada persoalan yang sangat serius yaitu mengenai integrasi bangsa. Sebagai bangsa yang plural, dan heterogen, Indonesia mengalami tantangan yang serius di tengah era globalisasi yang tidak hanya terkait dengan integrasi kewilayahan teritorial. MPR periode 2009-2014 memandang tidak hanya UUD 1945 yang harus disosialisasikan. MPR kemudian mengambil inisiatif dengan mengelompokkan empat hal mendasar yang memiliki fungsi merajut, merangkai, sekaligus menjalin keragaman kita yang sangat luar biasa dari berbagai sisinya. Empat hal ini perlu untuk menjadi ingatan kolektif bangsa ini dengan harapan akan terjadi proses internalisasi dan pada akhirnya bisa mengejawantah, mewujud dalam implementasi. “Itulah kemudian kami mendapatkan kata pilar, kata yang sesungguhnya berasal dari bahas Inggris, tapi kemudian sudah diserap menjadi bahasa baku Indonesia,” lanjut Lukman.
Jika MPR mengatakan empat pilar adalah Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, maka hal ini tidak bermaksud menafikan pilar-pilar bangsa yang lain. MPR perlu mengklarifikasi pemahaman seakan-akan Pancasila itu disetarakan dengan tiga pilar lainnya. “Kami ingin menganalogkan, misalnya dalam umat Islam ada keyakinan terkait dengan rukun iman. Setiap muslim haruslah meyakini, beriman kepada Tuhan, malaikat, rasul, kitab suci, dan seterusnya. Bukan berarti lalu kemudian kepercayaan kita kepada Tuhan lalu kemudian disejajarkan dengan malaikat, atau Tuhan sejajar dengan kitab suci, atau dengan rasul,” jelasnya.

DPR
Tiap Pilar Memiliki Tingkat, Fungsi, dan Konteks Berbeda

Penggunaan kata "empat Pilar" menurut Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia dibenarkan baik secara linguistik maupun akademis. Empat Pilar MPR adalah Pancasila yang  merupakan dasar negara,  UUD 1945 merupakan landasan konstitusional, NKRI merupakan bentuk negara, serta Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan negara. “Penggunaan istilah tersebut hanya sebagai judul agar praktis, tetapi sisi akademis, linguistik, dan semantik, tetap dapat dipertanggungjawabkan,” kata Hari Wicaksono membacakan keterangan DPR dalam persidangan di MK, Senin (17/2/2014).
Penyebutan empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dimaksudkan bahwa keempat pilar tersebut memiliki kedudukan yang sederajat, namun keempat pilar tersebut memiliki kedudukan yang berbeda. Setiap pilar memiliki tingkat, fungsi dan konteks yang berbeda. “Pada prinsipnya Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara kedudukannya berada di atas tiga pilar lainnya,” lanjut Hari.
Dimasukkannya Pancasila sebagai bagian dari empat pilar, semata-mata untuk menjelaskan adanya landasan ideologi dan dasar negara. Pancasila menjadi pedoman penuntun bagi pilar-pilar kebangsaan dan kenegaraan lainnya. Pilar NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika sudah terkandung dalam UUD 1945.


Pemerintah
Pancasila Sebagai Dasar dan Pilar

Ibarat sebuah bangunan yang megah, Republik Indonesia berdiri di bumi yang bernama proklamasi, mempunyai fondasi yang kuat bernama Pancasila, dan mempunyai empat pilar yang kokoh bernama Pancasila sebagai Pilar Utama, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Sejatinya Pancasila memegang dua peran penting, yakni baik sebagai fondasi, tetapi juga sebagai pilar,” kata Staf Ahli Mendagri bidang Hukum, Politik, dan Hubungan Antarlembaga, Reydonnyzar Moenek, saat menyampaikan keterangan Presiden dalam persidangan di MK, Senin (17/2/2014).
Istilah empat pilar kebangsaan memang bukan istilah yang resmi. Istilah ini dicetuskan dalam sebuah ikrar yang didahului kajian ilmiah. Akan tetapi, dia merupakan semangat yang tumbuh dari sebuah refleksi kehidupan masyarakat Indonesia. Untuk itulah perlu dipahami secara memadai bahwa makna empat pilar tersebut sehingga kita dapat memberikan penilaian secara tepat, arif, dan  bijaksana terhadap empat pilar dimaksud dan dapat menempatkan secara akurat dan proporsional dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Mengeluarkan Pancasila dari jajaran empat pilar kebangsaan justru akan melemahkan keberadaan Pancasila, baik di mata rakyat Indonesia maupun di mata internasional. “Bayangkan kalau satu pilar saja dikeluarkan, maka dari sisi content dan konteksnya sudah tidak akan menjamin keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” jelas Donny Moenek.

Sujito
Menyadarkan yang “Tersesat”

Program sosialisasi Empat Pilar yang dilakukan oleh MPR RI tidak memiliki kejelasan teori dan ilmu. “Maka praktik sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan jelas merupakan aktifitas tidak ilmiah, menyesatkan, jelas menghamburkan anggaran negara, dan membodohi rakyat, kata Kepala Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada (PSP UGM), Sujito, saat bertindak sebagai ahli dalam persidangan di MK, Selasa, (4/3/2014).
PSP UGM sudah sekian lama menaruh perhatian terhadap kontroversi penggunaan istilah Empat Pilar. Berbagai upaya telah dilakukan oleh PSP UGM untuk menyadarkan para pihak “tersesat” dalam memahami Pancasila. Di antaranya melalui diskusi secara terbuka dan ilmiah dalam kegiatan Kongres Pancasila. “Terhadap kontroversi penggunaan istilah Empat Pilar, berbagai upaya telah dilakukan untuk menyadarkan para pihak yang dalam tanda kutip tersesat pemahamannya tentang Pancasila, kritik Sujito.
PSP UGM sangat mendukung langkah MPR dalam menyosialisasikan Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Bahkan PSP UGM telah menjalin kerja sama dengan MPR dalam program sosialisasi. "Sekali lagi, kita tidak menolak tetapi mendukung niat baik itu, namun kita ingatkan bahwa niat baik itu menjadi kontra produktif ketika penggunaan istilahnya tidak tepat, itu yang kita sampaikan sebagai kritik dan keberatan," jelas Sujito.


Kaelan
UU Parpol Cacat Hukum

Program pemasyarakatan Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara yang diprakarsai oleh MPR, merupakan suatu prakarsa yang sangat mulia dan layak mendapat apresiasi positif. Hal ini mengingat kondisi bangsa yang semakin jauh dari jati dirinya. Namun, sangat disayangkan, program tersebut menggunakan terminologi nomenklatur yang tidak lazim. “Sangat disayangkan dalam program pemasyarakatan tersebut pemasyarakatan tersebut MPR, DPR, bersama Pemerintah menggunakan terminologi nomenklatur serta istilah yang tidak lazim,” kata Kaelan, Dosen Pascasarjana UGM pada mata kuliah Filsafat Pancasila, saat bertindak sebagai ahli dalam persidangan di MK, Selasa, (4/3/2014).
UU Parpol Pasal 1 ayat (1) menegaskan Pancasila sebagai dasar negara. Namun Pasal 34 ayat (3b) mencantumkan Pancasila sebagai pilar berbangsa dan bernegara. Hal ini berarti bahwa pada UU Parpol memiliki cacat hukum. “Undang-Undang tersebut memiliki suatu ciri atau kecacatan secara hukum, memiliki ketidakkonsistenan dan ketidakkoherenan,” tuding Kaelan.
Fakta menunjukan munculnya reaksi dan penolakan terhadap program politik tersebut di berbagai daerah. Secara prinsipiil visi UU Parpol sangat baik, terutama ketentuan tentang pendidikan politik. Namun demikian pada Pasal 34 ayat (3b), esensi Pancasila yang diletakkan hanya pada tingkatan sebagai pilar itu menimbulkan kesesatan dan menimbulkan kerancuan norma hukum. “Oleh karena itu, istilah pilar yang meletakkan Pancasila sebagai salah satu pilar bernegara, sudah saatnya untuk diluruskan,” saran Kaelan.

Jawahir Thontowi

Cacat Historis, Yuridis, dan Sosiologis
Penggunaan Empat Pilar Kebangsaan sebagaimana diatur dalam Pasal 34 (3b) memiliki cacat secara historis, yuridis, dan sosiologis. “Jelas memiliki cacat secara historis, secara yuridis, dan secara sosiologis,” kata  Guru besar Hukum Tata Negara UII Yogyakarta, Jawahir Thontowi, saat bertindak sebagai ahli dalam persidangan di MK, Selasa, (4/3/2014).
Secara kualitatif keberadaan Pasal 34 ayat (3b) telah terjadi pelanggaran berat secara konstitusional. Secara faktual pelanggaran yang terjadi justru karena bertentangan dengan alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Norma hukum Empat Pilar Kebangsaan tidak memiliki derajat dan kualitas sebanding. “Karenanya sangat lemah untuk dipertahankan dan jelas menimbulkan ketidakpastian hukum, baik dalam arti kognitif, afektif, dan juga psikomotorik bagi keberaaan Pancasila sebagai dasar negara di Indonesia,” urainya.
Pemerintah, MPR, DPR, dan DPD serta pihak-pihak pendukung, tidak selayaknya mempertahankan metode pendidikan politik melalui Empat Pilar Kebangsaan tanpa dukungan dan kajian akademis mendalam dan komprehensif. Seyogyanya kita kembali kepada khittah nasional yaitu meneguhkan Pancasila sebagai Dasar Negara atau Dasar Falsafah NKRI. “Empat Pilar Kebangsaan yang menempatkan Pancasila sebagai salah satu pilar adalah jelas penuh keraguan. Secara asal-usul historis, yuridis, dan sosiologis terdapat keterputusan nasab atau keluarga atau missing link,” tandas Jawahir.



Nur Rosihin An

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More