Harmoni...

Jakarta, September 2010

Harmoni...

Jakarta, Desember 2010

Belahan jiwa

......

...Belahan jiwa...

......

ceria...

Jakarta, 8 Januari 2012

Nora Uzhma Naghata

Bogor, 24 Februari 2011

Nora Uzhma Naghata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Taman Safari Puncak

Bogor, 24 Februari 2011

Bandara Ahmad Yani

Semarang, 28 September 2011

Rileks

*********

Nur Rosihin Ana

Semarang, 19 Oktober 2010

Nur Rosihin Ana

mahkamah dusturiyyah, 18 Juli 2012

Nur Rosihin Ana

Hotel Yasmin, Puncak, Desember 2010

Nora Uzhma Naghata

Naghata

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Demak, 11 September 2011

Nur Rosihin Ana

Nagreg, Bandung 11 Juli 2011

Nora Uzhma Naghata, Sri Utami, Najuba Uzuma Akasyata, Nur Rosihin Ana

Sapa senja di Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Sapa Senja Jepara

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

...bebas, lepas...

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Rabu, 22 April 2015

Menguji Fungsi Pengawasan Internal MA

Hubungan asmara antara Ina Mutmainah dengan Muhammad Hibrian pada awalnya berbunga-bunga. Namun, semua sirna kala Ina berbadan dua. Pada 12 Februari 2015, Ina melahirkan anak laki-laki dari hasil hubungannya dengan Hibrian.
Masa-masa indah itu berlalu menjadi kelabu. Mantan karyawati Bank Republik Indonesia (BRI) Cabang Kalianda Lampung Selatan, ini merasa dikhianati dan dicampakkan pasangannya, Muhammad Hibrian, Hakim Pengadilan Negeri Kalianda, Lampung Selatan. Terlebih lagi setelah Ina mengetahui ternyata Hibrian telah berisitri.
Ina melaporkan kasusnya ke Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung. Dua lembaga negara pelaku kekuasaan kehakiman menjatuhkan putusan berbeda terhadap kasus ini. KY menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap. Sedangkan MA menjatuhkan sanksi disiplin berat.
Munculnya dua putusan berbeda inilah yang dipersoalkan oleh Ina Mutmainah. Perbedaan putusan ini sangat rancu, tidak mendasar, dan tumpang tindih. Ina merasa hak konstitusionalnya telah dirugikan.
Ina melalui kuasa hukum Yandi Suhendra, Dian Farizka Maskuri, dkk, mendatangi Mahkamah Konstitusi. Melalui surat bertanggal 13 Maret 2015, Ina melalui kuasanya, mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU KK) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Adapun materi yang diujikan, yaitu Pasal 32A ayat (1) UU MA dan Pasal 39 ayat (3) UU KK.
Permohonan ini diregistrasi oleh Kepaniteraan Mahkamah pada 23 Maret 2015 dengan Nomor 39/PUU-XIII/2015. Sidang pemeriksaan pendahuluan perkara ini digelar pada 7 April 2015.

Pasal 32A ayat (1) UU MA
“Pengawasan internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung.”
Pasal 39 ayat (3) UU KK
“Pengawasan internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung.”

Ina Mutmainah didampingi kuasa hukum Dian Farizka Maskuri, usai menjalani sidang pemeriksaan pendahuluan di Mahkamah Konstitusi, Selasa (7/4/2015). Foto Humas MK/Ganie

Muruah Hakim
Perubahan Ketiga UUD 1945 pada 2001 menyepakati pembentukan KY dengan dua kewenangan Konstitusional, yaitu untuk menyeleksi Calon Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain untuk dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Kehormatan, martabat dan perilaku hakim harus dijaga jangan sampai jatuh terpuruk baik akibat perbuatannya sendiri ataupun akibat perbuatan pihak lain.
Putusan hakim adalah martabat dan kehormatan hakim, maka jika hakim memainkan putusannya sebenarnya ia telah menjatuhkan martabat dan kehormatannya sendiri. Demikian halnya jikalau perilaku hakim tidak patut atau tidak sesuai dengan tata susila, baik di dalam maupun di luar tugas kedinasannya maka sebenarnya ia telah menjatuhkan kehormatan dan martabatnya sendiri sebagai seorang hakim. Disinilah Komisi Yudisial hadir untuk menegakkannya.
Secara Konstitusional, lembaga penjaga dan penegak perilaku hakim adalah KY. Maka ada kesalahan Konstitusional apabila ada lembaga lain diberikan kewenangan menjaga atau menangani perilaku hakim.
Ketentuan dalam UU MA dan UU KK menyebutkan pengawasan Internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh MA. Ketentuan ini menimbulkan kerancuan jika disandingan dengan kewenangan KY sebagai penjaga dan penegak perilaku hakim.
Kewenangan menjaga dan menegakkan perilaku hakim, semata merupakan kewenangan KY. Namun faktannya dalam UU MA dan UU KK disebutkan Pengawasan Internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh MA. Rumusan MA sebagai pengawasan tingkah laku hakim menimbulkan kerancuan jika disandingan dengan kewenangan KY sebagai penjaga dan penegak perilaku hakim. Oleh karena itu, menurut Pemohon, ketentuan Pasal Pasal 32A ayat (1) UU MA dan Pasal 39 ayat (3) UU KK, bertentangan dengan Pasal Pasal 24B ayat (1) dan 28D ayat (1) UUD 1945.
Kewenangan KY dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, merupakan amanat Pasal 24B UUD 1945. Untuk menjalankan amanat ini, KY diberikan kewenangan, tugas dan kewajiban melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY).
Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku Hakim, KY mempunyai tugas memutuskan benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim sebagaimana dituangkan dalam Pasal 20 ayat (1) huruf d UU KY. Untuk melaksanakan tugas sebagaimana Pasal 20 ayat (1) huruf d UU KY, KY juga mempunyai kewajiban yaitu menegakkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim. Kemudian dalam hal dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim dinyatakan terbukti maka, KY mengusulkan penjatuhan sanksi terhadap Hakim yang diduga telah melakukan pelanggaran kepada Mahkamah Agung, sebagaimana Pasal 22D ayat (1) UU KY.

Dua Sanksi Berbeda
KY telah memeriksa dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim yang dilakukan oleh Hakim Pengadilan Negeri Kalianda, Muhammad Hibrian (Terlapor). Hasil pemeriksaan, KY mengeluarkan keputusan Nomor 138/SP.KY/X/2014. KY menjatuhkan sanksi berat kepada Muhammad Hibrian berupa pemberhentian tetap dengan hak pensiun.
KY telah mengusulkan kepada MA untuk menjatuhkan sanksi berat terhadap Muhammad Hibrian, berupa pemberhentian tetap dengan hak pensiun. Namun, MA mengeluarkan penjatuhan sanksi yaitu Hakim nonpalu selama 2 (dua) tahun pada Pengadilan Banda Aceh.
Badan Pengawas (Bawas) MA telah memeriksa dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim yang dilakukan oleh Hakim Pengadilan Negeri Kalianda, Muhammad Hibrian (Terlapor) dengan Nomor 1263/BP/PS.02/10/2014 tanggal 1 Oktober 2014. Kemudian Ketua MA mengeluarkan Keputusan Nomor 11/DJU/SK/KP02.2/10/2014. Hibrian terbukti telah melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009-02/SKB/P.KY/IV/2009 angka 5.1.1 jo angka 7.1. Peraturan Bersama Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI Nomor 02/PB/MA/IX/2012-02/PB/P.KY/09/2012 Pasal 9 ayat (4) huruf a dan Pasal 11 ayat (3) huruf a.

Keputusan KY Nomor 138/SP.KY/X/2014
1.     Menyatakan TERLAPOR Sdr. Muhammad Hibrian, S.H., terbukti melanggar SKB-KEPPH Angka 5.1.1 dan angka 7.1 jo PB-PP KEPPH Pasal 9 ayat (4) dan Pasal 11 ayat (3) huruf a;
2.    Menjatuhkan sanksi berat kepada TERLAPOR Sdr. Muhammad Hibrian, S.H., berupa pemberhentian tetap dengan hak pensiun.

Keputusan MA Nomor 11/DJU/SK/KP02.2/10/2014
Menjatuhkan hukuman disiplin berat berupa “Hakim Non Palu Selama 2 (dua) tahun pada Pengadilan Banda Aceh” dengan akibat hukum selama menjalani hukuman disiplin tersebut tunjangan yang bersangkutan sebagai Hakim sebagaimna diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 tidak dibayarkan, kepada:
Nama                        :    MUHAMMAD HIBRIAN, S.H.
NIP                            :    19780914 200312 1 002
Pangkat/Gol. Ruang   :    Penata (III/c)
Jabatan                     :    Hakim Pratama Madya
Unit Kerja                  :    Pengadilan Negeri Kalianda

Tidak ada satupun pasal dalam Konstitusi yang mengatur secara eksplisit tentang kewenangan MA dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Kewenangan MA yang diberikan oleh Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 yaitu mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh UU. Berbeda dengan kewenangan KY yang secara eksplisit sangat jelas dan gamblang diatur dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, Ina Mutmainah melalui tim kuasa hukumnya meminta Mahkamah menyatakan Pasal 32A ayat (1) UU MA dan Pasal 39 ayat (3) UU KK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Nur Rosihin Ana
Rubrik Catatan Perkara Majalah Konstitusi No. 98 April 2015


readmore »»  

Selasa, 21 April 2015

Gaji Terlarang Pembina Yayasan

Yayasan dilarang memberi gaji kepada pembina dan pengawas. UU Yayasan digugat.

Tidak semua profesi dan jabatan serta merta mendapatkan imbalan berbentuk gaji atau sejenisnya. Tengoklah misalnya jabatan pembina dan pengawas yayasan yang terlarang mendapatkan imbalan gaji.
Pembina dan pengawas yayasan sama sekali tidak digaji. Bahkan terlarang menerima gaji, upah, honorarium, yang bersumber dari kekayaan yayasan. Pelanggaran terhadap hal ini pun berbuntut sanksi pidana. Demikian ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (UU Yayasan).
Dahlan Pido, Pembina Yayasan Toyib Salmah Habibie, merasa dirugikan akibat berlakunya ketentuan tersebut. Sebagai pembina yayasan, Dahlan terlarang menerima dana yang bersumber dari kekayaan yayasan. Dahlan lalu melayangkan permohonan uji materi UU Yayasan ke MK. Permohonan Dahlan diregistrasi oleh Kepaniteraan Mahkamah dengan Nomor 5/PUU-XIII/2015.
Dahlan yang hadir di persidangan tanpa didampingi kuasa hukum menyatakan pengecualian terhadap pembina untuk mendapatkan gaji, telah melanggar prinsip keadilan dan persamaan di depan hukum. Dahlan mendalilkan, kegiatan yayasan dilakukan secara bersama-sama oleh pengurus, pembina, dan pengawas.
Oleh karena itu menurut Dahlan, selayaknya hak-hak pembina juga diperlakukan sama dengan pengurus, termasuk hak untuk mendapatkan gaji. “Pembina dan pengurus, serta pengawas sama-sama bekerja melaksanakan tugas untuk tercapainya tujuan yayasan,” kata Dahlan Pido dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan di MK, Kamis (22/1/2015).
Menurut Dahlan, ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) UU Yayasan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, dalam petitum, Dahlan meminta Mahkamah menyatakan ketentuan dalam UU Yayasan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.

Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU Yayasan
(1)      Kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh Yayasan berdasarkan Undang-Undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji, upah, maupun honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas.
(2)      Pengecualian atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditentukan dalam Anggaran Dasar Yayasan bahwa Pengurus menerima gaji, upah, atau honorarium, dalam hal Pengurus Yayasan:
a.     Bukan pendiri Yayasan dan tidak terafiliasi dengan Pendiri, Pembina, dan Pengawas; dan
b.     Melaksanakan kepengurusan Yayasan secara langsung dan penuh.

Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) UU Yayasan
(1)      Setiap anggota organ Yayasan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
(2)      Selain pidana penjara, anggota organ yayasan sebagaimana dimaksu dalam ayat (1) juga dikenakan pidana tambahan berupa kewajiban mengembalikan uang, barang, atau kekayaan yayasan yang dialihkan atau dibagikan.
Halal Jadi Haram
Kerugian konstitusional akibat berlakunya ketentuan dalam UU Yayasan ini, juga dirasakan oleh Safri Nurmantu. Kiprah Safri di yayasan antara lain, sebagai pendiri Yayasan Ilomata/STIAMI dan Yayasan Nurul Amal.
Sebagai dosen sekaligus pembina dan pengurus yayasan, Safri memberikan kuliah, merancang, mengawasi sistem pendidikan yang didirikan oleh yayasan. “Dengan adanya UU Yayasan tersebut, imbalan yang tadinya halal di hadapan Allah dan di hadapan negara, berubah menjadi haram di hadapan negara,” kata Safri Nurmantu saat bertindak sebagai ahli dalam persidangan kali keempat yang digelar di MK, Senin (16/3/15).

Sarang Pencucian Uang
Menanggapi permohonan Dahlan Dipo, anggota Komisi III DPR RI Junimart Girsang mengungkapkan adanya kecenderungan mendirikan yayasan untuk berlindung di balik status badan hukum yayasan. Kecenderungan lainnya, yayasan didirikan untuk memperkaya diri para pendiri, pengurus, dan pengawas, atau untuk kegiatan pencucian uang. “Ada dugaan yayasan digunakan untuk menampung kekayaan yang berasal dari para pendiri atau pihak lain yang diperoleh dengan cara melawan hukum,” kata Junimart Girsang saat menyampaikan keterangan DPR RI dalam persidangan MK, Selasa (24/2/2015).

  Junimart Girsang. Foto Humas MK/Ganie.

Salah satu upaya hukum untuk mencegah kecenderungan tersebut, terang Junimart, maka diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU Yayasan. Pelarangan pengalihan dan pembagian kekayaan yayasan sebagaimana ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Yayasan dimaksudkan agar kekayaan yayasan hanya dipergunakan untuk mencapai maksud dan tujuan didirikannya yayasan yaitu sebagai wadah untuk pengembangan kegiatan sosial, keagamaan, kemanusiaan, dan tidak untuk kepentingan lainnya. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 26 ayat (4) UU Yayasan.
Kemudian mengenai pengujian Pasal 70 UU Yayasan, DPR berpendapat bahwa ketentuan pemberian sanksi adalah merupakan bagian dari upaya penegakan hukum agar ketentuan yang diatur dalam norma-norma UU Yayasan khususnya Pasal 5 Undang-Undang Yayasan dapat dipatuhi, sehingga maksud dan tujuan dari dibentuknya UU Yayasan dapat terwujud. Hal tersebut telah sejalan dengan prinsip negara hukum dan kepastian hukum sebagaimana diamanatkan pada Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Mengembalikan Fungsi Yayasan
Sejatinya, yayasan merupakan badan hukum yang mempunyai maksud dan tujuan bersifat sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Yayasan mempunyai organ yang terdiri atas Pembina, Pengurus, dan Pengawas. Ketiga organ yayasan ini masing-masing memiliki fungsi, wewenang, dan tugas yang tegas. Hal ini untuk menghindari kemungkinan konflik intern yayasan yang tidak hanya dapat merugikan kepentingan yayasan melainkan juga pihak lain.
Menurut Pemerintah, ketentuan Pasal 5 UU Yayasan bertujuan untuk memisahkan kekayaan yayasan dengan kekayaan pendirinya. Demi tercapainya tujuan yayasan dan untuk menjamin yayasan tidak disalahgunakan, maka seseorang yang menjadi pembina, pengurus, dan pengawas yayasan harus bekerja secara sukarela tanpa menerima gaji, upah, atau honor tetap.
Pada umumnya pendiri yayasan merupakan donator sekaligus pengurus. Sebelum adanya UU Yayasan, banyak terjadi pendiri merangkap jabatan sebagai pengurus atau sebaliknya. “Hal ini mengakibatkan timbulnya kepentingan pribadi dari pengurus yayasan yang tentu saja dapat merugikan yayasan,” kata Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Wicipto Setiadi, saat menyampaikan keterangan Pemerintah dalam persidangan di MK, Selasa (24/2/2015).
Sudah sewajarnya ada perbedaan antara pengurus sebagai pendiri dan pengurus yang tidak terafiliasi dengan pendiri. Pemerintah menegaskan ketentuan ini tidak diskriminatif dan tidak bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.

Nur Rosihin Ana
Rubrik Ruang Sidang Majalah Konstitusi No. 98 April 2015

readmore »»  

Menengahi Konflik KONI-KOI

Prestasi olahraga di Indonesia cenderung menurun dalam beberapa tahun terakhir. Centang-perenang tata kelola olahraga di Indonesia berbanding simetris dengan minimnya prestasi atlet kita. Tengoklah hasil yang mengecewakan pada ajang bergengsi SEA Games XXVII tahun 2013 di Myanmar. Perolehan medali atlet-atlet kita sangat jauh dari target. Posisi Indonesia hanya mampu bertengger di peringkat empat pesta olahraga negara-negara Asean tersebut.
Ironi, menurunnya prestasi justru disebabkan oleh hal-hal yang tidak berkaitan dengan olahraga. Perorangan maupun kelompok kepentingan ikut bermain dalam organisasi olahraga. Organisasi olahraga menjadi ajang perebutan kepentingan politik. Masyarakat Indonesia sibuk berpolemik ihwal kisruh yang menimpa organisasi olahraga. Kisruh yang berkepanjangan mengakibatkan terabaikannya pengelolaan, pembinaan, dan pengembangan olahraga prestasi.
Renggangnya hubungan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dan Komite Olimpiade Indonesia (KOI) menambah panjang deretan permasalahan keolahragaan nasional. Dua institusi tinggi olahraga nasional ini terlibat konflik. Sengketa kewenangan menjadi sumber konflik KONI-KOI.
Konflik antara KONI dan KOI sangat mengganggu eksistensi pembinaan organisasi dan pencapaian prestasi atlet. Konflik organisasi yang berimbas pada menurunnya prestasi atlet merupakan masalah yang harus diselesaikan.
Sejatinya, tidak ada yang perlu diributkan, apalagi berujung konflik berkepanjangan. Apa yang terjadi hanya masalah koordinasi antara KONI dan KOI dalam mengimplementasikan tugas, kewenangan, dan kewajibannya. Sebab KONI dan KOI masing-masing memiliki kewenangan yang cukup tegas. Penyelenggaraan pekan olahraga nasional menjadi tugas KONI. Sedangkan Penyelenggaraan olahraga internasional menjadi tugas KOI. Adapun induk organisasi cabang olahraga bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan kejuaraan olahraga tingkat nasional dan tingkat internasional.
Tidak terjadi duplikasi antara tugas, fungsi, maupun pengakuan internasional terhadap KONI maupun KOI. Diibaratkan sekeping mata uang logam, satu sisinya adalah KONI dan sisi yang lain adalah KOI. Tidak terdapat tumpang tindih kewenangan antara keduanya. Masing-masing dapat bekerja berdasarkan tupoksinya untuk memajukan prestasi olahraga di Indonesia.
KONI dan KOI harus memiliki visi dan misi yang sama dalam tata kelola olahraga. Terlebih lagi dalam waktu dekat akan digelar ajang SEA Games 2015. Sejumlah turnamen lainnya juga membutuhkan persiapan yang matang, yaitu Olimpiade 2016, dan Asian Games 2018. Indonesia sebagai shahibul bait (tuan rumah) penyelenggaraan Asian Games 2018 tentu dituntut betul-betul siap dan mampu menyumbang prestasi yang optimal dalam setiap cabang kompetisi.
Sinergi dan kerjasama KONI-KOI menjadi angin segar bagi para atlet dan pelatih untuk bangkit meraih prestasi. Rakyat Indonesia akan bangga menyematkan garuda di dada, manakala prestasi olahraga Indonesia mampu bicara di tingkat dunia.



Nur Rosihin Ana
Editorial Majalah Konstitusi No. 98 April 2015
readmore »»  
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More