Harmoni...

Jakarta, September 2010

Harmoni...

Jakarta, Desember 2010

Belahan jiwa

......

...Belahan jiwa...

......

ceria...

Jakarta, 8 Januari 2012

Nora Uzhma Naghata

Bogor, 24 Februari 2011

Nora Uzhma Naghata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Taman Safari Puncak

Bogor, 24 Februari 2011

Bandara Ahmad Yani

Semarang, 28 September 2011

Rileks

*********

Nur Rosihin Ana

Semarang, 19 Oktober 2010

Nur Rosihin Ana

mahkamah dusturiyyah, 18 Juli 2012

Nur Rosihin Ana

Hotel Yasmin, Puncak, Desember 2010

Nora Uzhma Naghata

Naghata

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Demak, 11 September 2011

Nur Rosihin Ana

Nagreg, Bandung 11 Juli 2011

Nora Uzhma Naghata, Sri Utami, Najuba Uzuma Akasyata, Nur Rosihin Ana

Sapa senja di Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Sapa Senja Jepara

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

...bebas, lepas...

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Minggu, 15 Desember 2013

Lempar Tanggung Jawab Kebijakan Pangan

“Bukan lautan hanya kolam susu,
Kail dan jala cukup menghidupmu,
Tiada badai tiada topan kau temui,
Ikan dan udang menghampiri dirimu,
Orang bilang tanah kita tanah surga,
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman,”

Begitulah petikan lirik lagu berjudul “Kolam Susu” karya Koes Plus, grup musik legendaris Indonesia yang dibentuk pada 1969. Lagu tersebut merupakan potret Indonesia yang “gemah ripah loh jinawi” (tenteram, makmur dan tanah yang sangat subur). Gugusan kepulauan bertabur kehijauan membuat Indonesia dikenal sebagai zamrud khatulistiwa.
Pesona “ijo royo-royo” (kehijauan), “gemah ripah loh jinawi” itu kini kehilangan konteks, manakala masalah gizi buruk (malnutrition) dan busung lapar (hunger), justru terjadi di daerah produsen pangan, yaitu pedesaan. Petani, nelayan serta pembudidaya ikan dan peternak di wilayah pedesaan dan pesisiran sebagai produsen sekaligus konsumen pangan dan masyarakat perkotaan sebagai konsumen pangan, sama-sama mengalami kendala akses kepada kecukupan pangan yang layak.

Anak-anak sejak dini diajarkan cara bercocok tanam. Taman Wisaata Matahari, Cisarua, Bogor (17/4/2012). Foto: Naghata Doc.
  

Hak Atas Pangan
Pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap manusia. Hak atas Pangan adalah hak yang tidak terpisahkan dari martabat manusia yang inheren, serta tidak bisa ditinggalkan dalam pemenuhan hak asasi manusia lainnya yang tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Hak atas pangan diakui oleh Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, ICESCR). Bahkan ICESCRmembebankan kewajiban kepada negara untuk menghormati, memenuhi dan melindungi hak atas pangan warga negaranya. Pemerintah RI telah meratifikasi hal ini melalui UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights.
Pemenuhan hak atas pangan tidak saja terkait ketersediaan bahan pangan, tetapi juga soal akses, kualitas, penerimaan secara budaya, cadangan pangan dan kebijakan bantuan pangan kepada kelompok khusus (rentan) dan untuk situasi khusus (rentan) serta penyadaran rawan pangan diperlukan sinkronisasi antara kebijakan pangan dengan kebijakan pertanian, perikanan, peternakan, pertanahan, industri, perdagangan, keuangan, kesehatan, dan pendidikan serta jaminan sosial. Oleh karena itu, negara berkewajiban mengambil langkah-langkah di bidang pangan termasuk langkah legislasi untuk memaksimalkan sumber daya yang tersedia. Hal ini untuk merealisasikan secara penuh hak atas pangan dan juga untuk memastikan tidak adanya diskriminasi.
DPRRI pada Kamis, 18 Oktober 2012, mengesahkan UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (UU Pangan). Seharusnya kehadiran UU ini, mengoreksi kelemahan pada UU Pangan sebelumnya, yakni UU Nomor 7 Tahun 1996. Namun, ternyata, UU terakhir belum juga menjamin hak atas pangan warga negara. Hal ini tercermin dari ketidakjelasan tentang frasa “kebutuhan dasar manusia”, ketidakjelasan kewenangan penanggung jawab kecukupan produksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan dan tentang rekayasa genetika di bidang pangan.
Hal tersebut melatarbelakangi 12 lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk melakukan uji materi UU Pangan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ke-12 LSMdimaksud yaitu Indonesian Human Rights Committee For Social Justice (IHCS), Aliansi Petani Indonesia (API), Serikat Petani Indonesia (SPI), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Perserikatan Solidaritas Perempuan (SP), Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Perkumpulan Sawit Watch, Farmer Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy (FIELD), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Indonesia for Global Justice (IGJ), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), dan Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Desa). Permohonan uji materi UU Pangan ini diregistrasi oleh Kepaniteraan MK pada Senin, 18 November 2013 dengan Nomor 98/PUU-XI/2013.
Adapun materi UU Pangan yang diujikan, yaitu Pasal 3, Pasal 36 ayat (3), Pasal 69 huruf c, Pasal 77 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 53, dan Pasal 133. Menurut para Pemohon, ketentuan pasal-pasal UU Pangan yang diujikan tersebut, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Pasal 3 UU Pangan menyatakan, “Penyelenggaraan Pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan berkelanjutan berdasarkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan.”
Tiada penjelasan mengenai apa maksud “kebutuhan dasar manusia” dalam pasal tersebut. Para Pemohon berdalil, ketidakjelasan mengenai definisi “kebutuhan dasar manusia” akan menyulitkan pemenuhan hak atas pangan sebagai kebutuhan dasar manusia, yang berimbas pada ketidakjelasan tanggung gugat negara dalam hal negara gagal atau lalai di dalam memenuhi kewajibannya terhadap hak atas pangan warga negara.

Impor Pangan Rawan Suap
Kebijakan impor pangan menjadi pertentangan (sengketa kewenangan) antara Kementerian Koordinator Ekonomi, Kementrian Perindustrian, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kementerian-kementerian tersebut saling lempar tanggung jawab ketika para petani dan nelayan selaku produsen pangan, menuntut pertangungjawaban atas kebijakan impor pangan para menteri.
Hal tersebut terjadi karena ketidakjelasan kewenangan penanggung jawab kecukupan produksi pangan pokok dalam negeri dan cadangan pangan. Ketidakjelasan kewenangan ini tergambar jelas dalam ketentuan Pasal 36 ayat (3) UU Pangan yang menyatakan, “Kecukupan Produksi Pangan Pokok dalam negeri dan Cadangan Pangan Pemerintah ditetapkan oleh menteri atau lembaga pemerintah yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang Pangan.”
Menurut para Pemohon, dalam ketentuan umum, penjelasan maupun di dalam Pasal 36 ayat (3) UU Pangan, tidak menyebutkan secara jelas siapa yang disebut menteri atau lembaga pemerintah yang bertanggung jawab untuk menetapkan kecukupan produksi pangan pokok dalam negeri dan cadangan pangan pemerintah. Padahal impor pangan berdasarkan ketentuan 14 ayat (2) dan Pasal 36 ayat (2) Pangan, hanya dilakukan apabila kecukupan pangan dalam negeri dan cadangan pangan nasional tidak mencukupi. Cadangan pangan nasional sendiri terdiri dari cadangan pangan masyarakat dan cadangan pangan pemerintah. Cadangan pangan pemerintah akan diatur oleh menteri atau lembaga. Sedangkan cadangan pangan masyarakat tidak dijelaskan bagaimana aturan kecukupannya dan siapakah yang bertanggung jawab untuk menentukan kecukupan tersebut.
Hal tersebut menunjukan bahwa impor pangan ditentukan sepihak oleh pemerintah dengan mengabaikan masyarakat selaku pengelola cadangan pangan masyarakat. Akibatnya, penilaian kecukupan pangan nasional tidak seimbang karena hanya dilihat dari sudut cadangan pangan pemerintah dan mengabaikan penilaian masyarakat terkait kecukupan cadangan pangan masyarakat.
Terjadi ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum dalam menentukan cadangan pangan nasional. Tidak jelas pula siapa yang bertanggung jawab menentukan berapa kebutuhan impor pangan. Ketidakjelasan impor pangan rawan menimbulkan praktek suap. Pasal 36 ayat (3) menyebabkan ketidakpastian hukum karena ketidakjelasan institusi atau lembaga yang menentukan kecukupan produksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan pemerintah serta tidak memperhatikan ketersediaan cadangan pangan masyarakat sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Kriminalisasi Pengusaha Pangan Kecil
Definisi “pelaku usaha pangan” terlalu luas dan tidak membedakan antara pengusaha besar, pengusaha kecil dan perseorangan. Ketentuan dan larangan yang terdapat dalam Pasal 53 UU Pangan sangat berpotensi mengandung kriminalisasi terhadap pengusaha kecil dan perseorangan. Pasal 53 UU Pangan menyatakan, “Pelaku Usaha Pangan dilarang menimbun atau menyimpan Pangan Pokok melebihi jumlah maksimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52.”
Kegiatan menimbun ataupun menyimpan pangan pokok yang berakibat pada sanksi pidana diatur dalam Pasal 133 UU Pangan yang menyatakan, “Pelaku Usaha Pangan yang dengan sengaja menimbun atau menyimpan melebihi jumlah maksimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang mengakibatkan harga Pangan Pokok menjadi mahal atau melambung tinggi dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).” Ketentuan Sanksi pidana pada ketentuan Pasal 133 UU Pangan ini mensyaratkan dua hal penting yaitu, (1) untuk memperoleh keuntungan, dan (2) yang mengakibatkan harga Pangan Pokok menjadi mahal atau melambung tinggi.
Pengusaha pangan skala kecil dan perseorangan, dalam praktiknya memang menyimpan pangan pokok demi mendapatkan keuntungan akan tetapi tidak menimbulkan gejolak harga. Tiadanya pemisahan antara pengusaha pangan besar dengan pengusaha pangan kecil dan pemberlakuan yang sama antara pengusaha besar dengan petani, nelayan dan pembudi daya ikan, adalah tindakan diskriminatif secara tidak langsung. Seharusnya pemerintah berkewajiban melindungi penyimpanan cadangan pokok yang dilakukan oleh pengusaha pangan skala kecil dan perseorangan karena tidak menimbulkan gejolak harga. Terlebih lagi, pengusaha pangan skala kecil menyimpan cadangan pangan pokok adalah demi menghindari kerugian yang lebih besar.

Rekayasa Genetika dan Implikasinya
Rekayasa genetika adalah sebuah proses bioteknologi modern yang mengubah karakter sebuah organisme (hewan/tumbuhan) dengan mentransfer gen dari satu spesies ke spesies lainnya atau bisa juga hanya mengubah gen yang ada dalam spesies itu sendiri. Nama lain istilah ini adalah Genetically Modified (GM), Genetically Modified Organism (GMO) atau transgenik.
Rekayasa genetika dalam Pasal 69 huruf c dan Pasal 77 ayat (1) dan ayat (2) Rekayasa Genetika Pangan mengganggu kestabilan ekosistem, mengganggu kesuburan tanah, terjadinya Polusi Genetik yang mengganggu kesehatan manusia, mengakibatkan hilangnya varietas lokal, menciptakan ketergantungan petani terhadap benih pabrik yang memberatkan perekonomian petani.
Tiada kepastian keamanan rekayasa genetika. Sebab, hingga saat ini, rekayasa genetika bidang pangan masih dalam proses penelitian apakah rekayasa genetika bidang pangan aman atau tidak. Oleh karena itu, Pemerintah seharusnya melarang rekayasa genetik bidang pangan dan bukan memberikan pengaturan terhadap Pangan Produk Rekayasa Genetik.
Larangan terhadap rekayasa genetika bidang pangan adalah suatu keharusan yang bersifat mutlak. Hal ini sebagai wujud konsistensi negara dalam melindungi dan memenuhi para petani kecil, utamanya petani pemulia tanaman sebagai produsen pangan skala kecil, sebagaimana telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 99/PUU-X/2012.
Ketiadaan definisi yang jelas mengenai pelaku usaha pangan, membuka ruang kepada pengusaha pangan skala besar untuk menguasai produksi dan distribusi pangan dari hulu sampai ke hilir dari, di mana rekayasa genetika pangan merupakan bagian dari proses produksi. Hal ini merupakan wujud dari pengabaian pemerintah terhadap kewajiban dan tanggung jawabnya untuk melakukan perlindungan dan pemenuhan terhadap hak-hak petani pemulia benih.
Pangan produk rekayasa genetika adalah politik dominasi produk dari luar negeri terhadap bahan pangan dalam negeri yang justru mengakibatkan tersingkirnya para petani pemulia tanaman. Hal ini tentu menjadi ancaman bagi terwujudnya hak hidup sejahtera bagi para petani dalam negeri.

Nur Rosihin Ana
Catatan Perkara Majalah Konstitusi Edisi Desember 2013 klik di sini   
readmore »»  

Jumat, 15 November 2013

UU Perlindungan Petani, Lindungi Siapa?

Hak asasi petani untuk mendapatkan penghidupan yang layak merupakan perjuangan panjang tak bertepi. Kerja keras bermandi peluh tak jua mengubah nasib para petani. Kemiskinan masih setia mendera para petani.
“Perlidungan” konstitusional untuk para petani pun masih “jauh panggang dari api”. Bahkan, hak petani justru dikebiri oleh ketentuan yang berlabel “perlindungan dan pemberdayaan petani.” Hal ini tergambar dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (UU Perlintan).
Lahirnya UU Perlintan yang disahkan DPR pada pada 9 Juli 2013 ini justru mengundang pertanyaan kritis dari sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mengenai sejauh mana UU Perlintan melindungi dan memberdayakan petani. Sebab, permasalahan utama yang dihadapi petani, yakni lahan pertanian, justru tidak masuk dalam konsiderans UU Perlintan.
Bagian “Menimbang” UU Perlintan, tidak memasukkan tanah dalam permasalahan yang dihadapi petani. UU Perlintan tidak secara komprehensif mengupayakan redistribusi tanah kepada petani. UU Perlintan hanya mengatur tentang konsolidasi tanah, tanah terlantar, dan tanah negara bebas yang bisa diredistribusikan kepada petani. Tanah yang diredistribusikan kepada petani, pun tidak menjadi hak milik petani, melainkan sebatas hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan.
Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menuding bahwa biaya sewa yang dibayarkan oleh petani penggarap kepada negara merupakan pelanggaran prinsip Hak Menguasai Negara. Biaya sewa ini berarti menjadikan negara sebagai pemilik tanah yang disewa oleh petani.
Demikian inti dari uji materi UU Perlintan ke Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh 12 LSM, yaitu Indonesian Human Rights Committee For Social Justice (IHCS), Serikat Petani Indonesia (SPI), Farmer Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy (FIELD), Aliansi Petani Indonesia (API), Yayasan Bina Desa Sadajiwa, Konsorsium Pembaharuan Agraria(KPA), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Desa), Indonesia for Global Justice (IGJ), Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Perkumpulan Sawit Watch, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), dan Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS). Permohonan uji konstitusionalitas materi UU Perlintan ini diregistrasi oleh Kepaniteraan MK dengan Nomor 87/PUU-XI/2013 pada Rabu, 23 Oktober 2013.
Adapun materi UU Perlintan yang diujikan yakni, Pasal 59, Pasal 70 ayat (1), dan Pasal 71. Sebagai alat ujinya, para Pemohon menggunakan Pasal 27 ayat (2) Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2), 28I ayat (2), dan Pasal 28Eayat (3) UUD 1945.
Pasal 59 UU Perlintan menyatakan, “Kemudahan bagi Petani untuk memperoleh lahan Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3) huruf a diberikan dalam bentuk hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan.”
Pasal 70 ayat (1) UU Perlintan menyatakan, “Kelembagaan Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) terdiri atas: a. Kelompok Tani; b. Gabungan Kelompok Tani; c. Asosiasi Komoditas Pertanian; dan d. Dewan Komoditas Pertanian Nasional.”
Pasal 71 UU Perlintan menyatakan, “Petani berkewajiban bergabung dan berperan aktif dalam Kelembagaan Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1).”

Negara Bukan Pemilik Tanah
Para Pemohon melalui kuasa hukum dari Tim Advokasi Hak Asasi Petani, berdalil bahwa hak sewa tanah negara menimbulkan ketidakpastian hukum sebab bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960) yang menyatakan bahwa penggunaan tanah negara dilakukan dengan hak pakai, dan bukan dengan sewa-menyewa, sebagaimana ketentuan Pasal 41 UUPA 1960. Ketentuan ini juga dipertegas dengan Penjelasan Pasal 44 dan 45 UUPA 1960 yang menyatakan, “Oleh karena hak sewa merupakan hak pakai yang mempunyai sifat-sifat khusus maka disebut tersendiri. Hak sewa hanya disediakan untuk bangunan-bangunan berhubung dengan ketentuan pasal 10 ayat 1. Hak sewa tanah pertanian hanya mempunyai sifat sementara (pasal 16 jo 53). Negara tidak dapat menyewakan tanah, karena Negara bukan pemilik tanah.”
"Hak sewa tanah pertanian hanya mempunyai sifat sementara. Negara tidak dapat menyewakan tanah, karena Negara bukan pemilik tanah."
Seharusnya negara memberikan tanah kepada petani dalam bentuk hak, bukan dalam bentuk izin. Sebab, petani akan mempunyai posisi hukum yang kuat jika mendapatkan tanah dalam bentuk hak, dibandingkan sekadar pemegang izin. Selain itu, pemberian tanah dalam bentuk hak akan menunjang perekonomian petani.
Selayaknya jika petani mendapatkan hak milik atas tanah, sebagaimana ketentuan UUPA 1960. Negara minimal memberikan hak pakai atas tanah kepada petani. Negara tidak sepatutnya membebani petani dengan kewajiban membayar biaya sewa tanah.

Praktik Feodalisme
Penyewaan tanah oleh negara kepada petani merupakan praktik foedalisme yang menempatkan negara sebagai tuan tanah dan petani sebagai penggarap. Konsep sewa-menyewa dan perizinan, berpotensi meyulitkan petani untuk memperoleh penghidupan yang layak. Petani tidak akan mampu membayar biaya sewa dan mengurus perizinan. Selain itu, praktik sewa-menyewa tanah akan menggiring petani dalam perangkap lintah darat dan sistim ijon.
Sisa-sisa feodalisme tersebut sesungguhnya yang hendak diberantas oleh UUPA 1960. Oleh karena itu, menurut para Pemohon, pemberlakuan Pasal 59 UU Perlintan sepanjang frasa “hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan,” adalah bertentangan dengan prinsip pengaturan dalam UUPA 1960. Ketidakpastian hukum ketentuan Pasal 59 UU Perlintan merupakan pengingkaran Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Korporatisme Negara
Ketentuan Pasal 70 ayat (1) dan Pasal 71 UU Perlintan merupakan korporatisme negara. Negara melalui pemerintah memfasilitasi pembentukan lembaga petani (sentralisme). Kemudian, negara mewajibkan petani bergabung dalam lembaga bentukan negara.
Korporatisme negara pernah dipraktikkan oleh rezim Orda Baru, yaitu pemberlakuan organisasi petani dalam wadah tunggal yang dikooptasi oleh negara. Petani tidak diberi kebebasan berorganisasi karena sudah ditentutan dalam wadah organisasi yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Akibatnya, petani yang tidak bergabung dalam lembaga berbeda yang disebut dalam ketentuan Pasal 70 ayat (1) UU Perlintan, berpotensi tidak diberdayakan, tidak dilindungi oleh pemerintah.
Pemerintah tidak perlu mengintervensi pembentukan kelembagaan petani. Seharusnya yang dilakukan oleh pemerintah adalah melindungi keanekaragaman lembaga petani yang telah ada. Pemerintah juga seharusnya membiarkan petani atas kesadarannya untuk menentukan jenis kelembagaan dan jenis keikutsertaannya. Kewajiban utama pemerintah adalah melindungi dan mengakui lembaga yang telah ada. Pemaksaan kepada petani untuk bergabung dalam lembaga bentukan pemerintah merupakan pengingkaran terhadap kebebasan untuk berserikat sebagaimana amanat Pasal 28Eayat (3) UUD 1945.
Menurut para Pemohon, ketentuan Pasal 59, Pasal 70 ayat (1) dan Pasal 71 UU Perlintan menimbulkan pelanggaran hak asasi petani. Ketentuan Pasal 71 sepanjang frasa “berkewajiban”, menyebabkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, dalam petitum, para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 59, Pasal 70 ayat (1) dan Pasal 71 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.

Nur Rosihin Ana


Catatan Perkara Majalah Konstitusi Edisi November 2013 klik di sini


Update:

MK Kabulkan Sebagian Permohonan

Pengujian UU Perlintan diputus setahun kemudian, tepatnya Rabu, (5/11/2014). Mahkamah dalam amar Putusan Nomor 87/PUU-XI/2013 menyatakan mengabulkan sebagian permohonan. Mahkamah menyatakan frasa “hak sewa” dalam Pasal 59 UU Perlintan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kemudian Pasal 70 ayat (1) UU Perlintan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “termasuk kelembagaan petani yang dibentuk oleh para petani.” Pasal 70 ayat (1) UU Perlintan selengkapnya menjadi, “Kelembagaan Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) terdiri atas: a. Kelompok Tani; b. Gabungan Kelompok Tani; c. Asosiasi Komoditas Pertanian; dan d. Dewan Komoditas Pertanian Nasional, serta kelembagaan petani yang dibentuk oleh para petani”.
Selain itu, Mahkamah menyatakan kata “berkewajiban” dalam Pasal 71 UU Perlintan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasal 71 UU Perlintan selengkapnya menjadi, “Petani bergabung dan berperan aktif dalam Kelembagaan Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1).”

Putusan selengkapnya dapat diunduh di sini 
readmore »»  

Selasa, 15 Oktober 2013

PP Muhammadiyah Kupas Absurditas UU Ormas

Rapat Paripurna DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) menjadi Undang-Undang, pada Selasa 2 Juli 2013 lalu. Keberadaan UU yang belum seumur jagung ini menuai protes dari Pimpinan Pusat Persyarikatan Muhammadiyah (PP Muhammadiyah). PP Muhammadiyah berdalil, kehadiran suatu UU yang berfungsi memberikan pembatasan hak asasi manusia untuk berserikat dan berkumpul, telah dikebiri melalui UU Ormas. Kebebasan untuk berserikat dan berkumpul dikekang dengan alasan untuk menciptakan ketertiban yang dibungkus melalui UU yang bersifat represif dan bernuansa birokratis. Hal ini bermakna bahwa UU Ormas tidak memberikan perlindungan bagi segenap bangsa Indonesia.

Demikian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) yang yang dilayangkan oleh PP Muhammadiyah ke Mahkamah Konstitusi (MK). Materi UU Ormas yang diujikan PP Muhammadiyah yaitu Pasal 1 angka 1, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 21, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 30 ayat (2), Pasal 33 ayat (1) dan (2), Pasal 34 ayat (1), Pasal 35, Pasal 36, Pasal 38, Pasal 40 ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), Pasal 57 ayat (2) dan (3), Pasal 58, dan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3) huruf a. Ketentuan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan paragraf keempat Pembukaan UUD 1945, Pasal 28, Pasal 28A, Pasal 28C Ayat (2), dan Pasal 28Eayat (3) UUD 1945.
Permohonan PP Muhammadiyah diregistrasi oleh Kepaniteraan MKpada 23 September 2013 dengan Perkara Nomor 82/PUU-XI/2013. Selanjutnya MKmenetapkan susunan panel hakim untuk memeriksa perkara ini. Panel hakim terdiri dari tiga hakim konstitusi, yakni Hamdan Zoelva (ketua panel), Ahmad Fadlil Sumadi, dan Arief Hidayat. Selain itu, menetapkan jadwal sidang pemeriksaan pendahuluan pada Kamis, 10 Oktober 2013

Definisi Ormas dalam Pasal 1 angka 1 UU Ormas menyebutkan bahwa Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan NKRI yang berdasarkan Pancasila. Pasal 4 UU Ormas juga menerangkan bahwa Ormas bersifat sukarela, sosial, mandiri, nirlaba, dan demokratis. Selain itu, Pasal 5 UU Ormas secara tegas memaksa Ormas untuk secara kumulatif bertujuan antara lain yaitu untuk menjaga nilai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Definisi Ormas sebagai organisasi yang yang bersifat nirlaba, merupakan definisi yang absurd. Sebab, dalam Pasal 39 UU Ormas justru memperbolehkan adanya pendirian badan usaha Ormas. Hal ini jelas ketentuan yang bertentangan satu sama lain yang pada akhirnya tidak memberikan kepastian hukum dan merugikan kepentingan kontitusional PP Muhammadiyah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Absurditas UU Ormas kian tampak nyata ketika dihadapkan antara Pasal 1 dengan Pasal 5. Sebab, bagaimana mungkin menjalankan tujuan Ormas sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 huruf c UU Ormas yakni, “menjaga nilai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,…” jika Ormas sendiri hanya didefinisikan sebagai “….organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia…” Ketika aspek kesamaan agama tidak dapat mendasari terbentuknya Ormas, bagaimana mungkin tujuan sebagaimana ditentukan dapat dilaksanakan?

Konstruksi Legislasi Asosiologis

Konstruksi legislasi perumusan norma dalam pasal-pasal tersebut tidak memiliki pijakan sosiologis yang tepat untuk menjabarkan Pasal 28 UUD 1945, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.” Sebab UU Ormas mencakup organisasi berdasarkan minat olahraga, seni/budaya, profesi (advokat, notaris, dokter, wartawan, dll), hobi, keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, sosial, kepemudaan dan sebagainya. Apa pun istilah lain bagi Ormas itu (lembaga swadaya masyarakat, organisasi non-pemerintah, dan organisasi sosial) semuanya tercakup dalam UU Ormas. Padahal pemilihan sebuah istilah tentu memiliki alasan dan sudut pandang tertentu.

Mendefinisikan masing masing istilah tersebut di atas tanpa tolak ukur yang jelas, maka akan menjadi sebuah kompleksitas tersendiri. Apa yang dimaksud dengan LSM? Apa bedanya dengan Ornop/NGO? Kenapa pula ada yang disebut dengan OMS? Kesimpangsiuran terjadi diakibatkan karena istilah-istilah tersebut (LSM, Ornop/NGO, dll) sesungguhnya adalah istilah-istilah yang berada pada wilayah praktis sehingga pemaknaan maupun perspektif terhadap masing-masing istilah sangat bergantung pandangan para pihak kepada organisasi yang bersangkutan. Oleh karena itu, perumusan dan konstruksi legislasi yang menjadikan Ormas seperti “BASKOM” dari kemerdekaan berserikat menjadi ambigu dikarenakan UU Ormas seolah-olah menyeragamkan maskud kebebasan berserikat itu sendiri.

PP Muhammadiyah mensinyalir adanya upaya pembentuk UU untuk “ikut campur” yang terlalu berlebihan terhadap kemerdekaan berserikat dan berkumpul. Hal ini tercermin dalam ketentuan Pasal 33 ayat (1) dan (2) UU Ormas yang menyatakan, “(1) Setiap warga negara Indonesia berhak menjadi anggota Ormas. (2) Keanggotaan Ormas bersifat sukarela dan terbuka.” Kemudian Pasal 34 ayat (2) UU Ormas menyatakan, “Setiap anggota Ormas memiliki hak dan kewajiban yang sama.”

Sepatutnya pembentuk UU tidak terlampau jauh mengatur hal-hal yang sesungguhnya menjadi kewenangan absolut Ormas. Tidak semua warga negara Indonesia berhak menjadi anggota suatu ormas apabila terdapat perbedaan yang prinsipil seperti perbedaan agama, perbedaan kehendak, dan atau perbedaan platform pemikiran sehingga mekanisme organisasi yang berhak menentukan apa kriteria tertentu untuk masuk kedalam organisasi tertentu. Oleh karena itu, norma tersebut jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 28A dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945.

Kemudian mengenai kewajiban membuat laporan pertanggungjawaban keuangan bagi Ormas yang menghimpun dan mengelola dana dari iuran anggota, sebagaimana ketentuan Pasal 38 UU Ormas, merupakan ketentuan yang mengada-ngada dan mereduksi makna Pasal 28Eayat (3) UUD 1945. Sangat tidak relevan apabila UU menentukan bahwa Ormas yang mengelola keuangan iuran anggota diwajibkan membuat laporan pertanggungjawaban keuangan sesuai dengan standar akuntansi. Hal ini tidak perlu diatur dalam UU. Sebab, proses pertanggungjawaban dalam hal apapun yang dilakukan oleh ormas, merupakan hak prerogatif ormas itu sendiri. Pelaporan berkala yang ditentukan justru mengaburkan makna kebebasan berserikat dan berkumpul sebagaimana dijamin dalam UUD 1945.

Selubung Kepentingan

Pemberdayaan terhadap Ormas yang dilakukan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah, sebagaimana ketentuan Pasal 40 UU Ormas, merupakan ketentuan yang berpotensi menimbulkan tindakan korup yang dilakukan atas nama pemberdayaan Ormas. Pembinaan Ormas juga potensial membawa kepentingan terselubung bagi pemerintah dan/atau pemerintah daerah untuk membangkitkan kembali “ormas plat merah” sebagaimana yang dulu besar pada masa Orde Baru melalui ketentuan-ketentuan yang serupa.
Pemerintah juga tidak perlu ikut campur tangan dalam perselisihan internal Ormas. Sengketa Ormas tidak perlu dimasukkan ke dalam jalur hukum (litigasi), kecuali yang berkaitan dengan tindak pidana, ataupun sengketa prestasi yang bersifat privat. Campur tangan Pemerintah dalam ketentuan Pasal 57 UU Ormas jelas-jelas berlebihan.

Ihwal larangan menerima atau memberikan sumbangan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, sebagaimana ketentuan Pasal 59 ayat (3) huruf a UU Ormas. Ketentuan ini multitafsir dan sesungguhnya telah diatur dalam UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang khususnya pada Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5. Multitafsir dikarenakan di satu sisi perbuatan yang demikian itu merupakan tindak pidana dan di sisi lain hanya bersifat pelarangan yang justru akan membingungkan.

Berdasarkan dalil-dalil tersebut, PP Muhammadiyah meminta MK menyatakan Pasal 1 angka 1, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 21, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 30 ayat (2), Pasal 33 ayat (1) dan (2), Pasal 34 ayat (1), Pasal 35, Pasal 36, Pasal 38, Pasal 40 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 58, dan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3) huruf a UU Ormas bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Paragraf Keempat Pembukaan UUD 1945, Pasal 28, Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28Eayat (3) UUD 1945, serta tidak berkekuatan hukum mengikat. Atau menjatuhkan putusan alternatif, yaitu menyatakan UU Ormas bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Paragraf Keempat Pembukaan UUD 1945, Pasal 28, Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28Eayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan.

Nur Rosihin Ana

Catatan Perkara, Majalah Konstitusi Edisi Nomor 80 – Oktober 2013
Download majalah di sini 

Edisi e-book klik di sini

Baca juga:

Meretas Konstitusionalitas UU Ormas



readmore »»  

Kamis, 05 September 2013

Jangka Waktu Tujuh Hari Potensial Gugurkan Praperadilan

Praperadilan merupakan salah satu sub sistem peradilan pidana. Masuknya praperadilan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia (KUHAP) dianggap sebagai bentuk kontrol horizontal lembaga judikatif terhadap kekuasan eksekutif dalam hal ini fungsi penyidik untuk melakukan upaya paksa.
Praktik praperadilan yang diatur dalam Pasal 82 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d KUHAP telah memunculkan multitafsir yang menyebabkan ketidakseragaman hukum acara praperadilan di Indonesia. Multitafsir dimaksud yaitu pada frasa “selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya." Dalam praktik pula, ketidakseragaman ini telah mengakibatkan tidak tercapainya kepastian hukum. Padahal keberadaan praperadilan dalam sistem hukum pidana Indonesia adalah dalam rangka menjamin hak asasi manusia. Apakah pengaturan praperadilan telah menjamin HAM sebagai negara hukum atau justru menjadikan jaminan itu menjadi kabur?
Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut, Anwar Sadat alias Sadat bin Satim dan Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana, mengadu ke MK. Keduanya mengujikan Pasal 82 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28 D ayat (1), dan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945. Permohonan mereka kemudian diregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 78/PUU-XI/2013 pada 20 Agustus 2013.
Anwar Sadat adalah Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup lndonesia (WALHI) Sumatera Selatan. Anwar aktif mendampingi masyarakat Ogan Ilir Sumatera Selatan yang menuntut pengembalian hak atas tanah mereka yang diambilalih PTPN VII Cinta Manis, Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Aksi Anwar dan para petani di depan markas Kepolisian Daerah Sumatera Selatan pada 28 Januari 2013 berujung kekerasan, penangkapan dan penahanan. Anwar menganggap proses penangkapan dan penahanan dirinya tidak sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP.
Saat proses pemeriksaan praperadilan tengah berlangsung di PN Palembang, ternyata pokok perkara yang didakwakan kepadanya mulai disidangkan. Berdasarkan ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP, Majelis Hakim yang mengadili permohonan praperadilan yang diajukan Anwar memutuskan bahwa Permohonan Praperadilan Anwar dinyatakan gugur. Putusan ini didasari oleh alasan bahwa Pokok Perkara Pemohon telah mulai disidangkan.
Pemohon lain yang menggugat ketentuan ini adalah Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana. LSM ini didirikan atas dasar kepedulian untuk dapat memberikan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia.
Pasal 82 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d KUHAP menyatakan, “Acara pemeriksaan pra peradilan untuk hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 ditentukan sebagai berikut: (b) dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang; (c) pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya; (d) dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada pra peradilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur.”
Menurut para Pemohon, frasa “…hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang…” dalam ketentuan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab frasa ini menjadi dasar praktik dari persidangan praperadilan terkait dengan penafsiran bahwa pengadilan wajib mendengar keterangan kedua belah pihak dalam sidang praperadilan.
Dalam praktik, pejabat yang berwenang sebagai termohon praperadilan, setelah dipanggil secara patut dan layak oleh pengadilan untuk hadir dalam sidang yang dibuka pertama kali, ternyata tidak menghadiri persidangan praperadilan tanpa alasan yang jelas. Persidangan pun harus ditunda beberapa kali. Akibatnya, pemohon praperadilan sebagai pihak yang dikenakan upaya paksa terancam tidak dapat dilindungi berdasarkan pasal 28 D ayat (1) KUHAP.

Upaya Gugurkan Praperadilan

Ketidakhadiran pejabat di persidangan praperadilan membuat jangka waktu pemeriksaan praperadilan secara umum melebihi 7 hari sebagaimana diatur secara tegas dalam Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP. Hal ini disinyalir merupakan upaya dari pejabat yang berwenang untuk menggugurkan permohonan praperadilan dengan menunggu ataupun mempercepat dilimpahkannya berkas perkara pokoknya ke pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP.
Pengadilan seharusnya dapat melanjutkan pemeriksaan permohonan praperadilan, meskipun termohon tidak hadir pada pemeriksaan yang pertama. Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP tidak mengatur secara tegas awal dimulainya perhitungan 7 hari untuk pemeriksaan praperadilan. Setidaknya berkembang empat penafsiran yang berbeda-beda mengenai sejak kapan 7 hari dimulai. Pertama, perhitungan dimulai setelah perkara didaftarkan dan mendapat nomor registrasi PN. Kedua, setelah ketua PN melakukan penunjukan hakim tunggal praperadilan. Ketiga, setelah hakim tunggal praperadilan membuka sidang perdana. Keempat, perhitungan dimulai setelah para pihak lengkap.

"Ketidakhadiran pejabat yang berwenang di persidangan praperadilan disinyalir merupakan upaya untuk menggugurkan permohonan praperadilan ..."

Apabila penafsiran waktu dimulainya 7 hari berdasarkan pada saat kedua belah pihak hadir lengkap, maka membuka kemungkinan bagi Pejabat yang berwenang untuk menunda kehadiran pada waktu panggilan sidang yang pertama, meski panggilan tersebut telah dilakukan secara patut dan layak. Penundaan kehadiran pejabat yang berwenang seringkali menjadi salah satu penyebab lamanya waktu pemeriksaan praperadilan dan menjadi faktor gugurnya pemeriksaan praperadilan karena pokok perkara telah didaftarkan ke pengadilan
Gugurnya praperadilan saat dimulainya pemeriksaan pokok perkara, menghilangkan hak tersangka untuk menguji keabsahan penangkapan dan penahanan. Pengaturan dalam pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAPyang mengakibatkan gugurnya suatu pemeriksaan di praperadilan apabila pokok perkara telah mulai diperiksa di PN adalah ketentuan yang inkonstitusional. Sebab ketentuan ini menyebabkan hilangnya hak tersangka untuk menguji keabsahan penangkapan dan penahanan sebagimana dijamin Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Oleh karena itu, para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 82 ayat (1) b KUHAP bertentangan dengan pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, selama tidak dimaknai “hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang dapat dilakukan tanpa dihadiri oleh pejabat yang berwenang dan dapat menjatuhkan putusan tanpa kehadiran pejabat yang berwenang”. Kemudian, menyatakan Pasal 82 ayat (1) c KUHAP bertentangan dengan pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 selama tidak dimaknai “pemeriksaan selambat-lambatnya 7 hari tersebut dimulai pada saat hakim tunggal praperadilan membuka sidang pertama kali dengan atau tanpa kehadiran pejabat yang berwenang.” Para Pemohon juga meminta Mahkamah menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAPbertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.

Nur Rosihin Ana

Catatan Perkara, Majalah KONSTITUSI edisi September 2013

edisi e-book klik di sini
readmore »»  

Selasa, 20 Agustus 2013

Aturan Iklan Rokok dalam UU Penyiaran Dinilai Menyesatkan

Materi Iklan dan promosi rokok telah menyimpang dari fakta yang sebenarnya, bersifat manipulatif dan metamorfosa. Momentum olahraga, seni, musik, dan kegiatan lainnya, menjadi sasaran empuk iklan rokok untuk memperluas pangsa pasar perokok dari berbagai kalangan. Tak mengherankan jika industri rokok gemar melakukan kegiatan atau menjadi sponsor kegiatan olah raga. Iklan rokok juga seringkali mewarnai pagelaran musik dengan menghadirkan artis domestik maupun mancanegara.
Siar iklan niaga promosi rokok dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) telah merubah paradigma karakter rokok. Karakter zat adiktif dalam kandungan rokok telah berubah seakan-akan menjadi hal yang normal, lazim, bahkan menjadi sesuatu yang positif. Pasal 46 ayat (3) huruf c UU Penyiaran menyatakan, “Siaran iklan niaga dilarang melakukan: (c) promosi rokok yang memperagakan wujud rokok.”
Slogan yang mengusung citra “kejantanan, kebersamaan, kenikmatan tertinggi”, menjadi siar iklan niaga rokok. Selain itu, siar iklan rokok menggunakan frasa enjoy aja,” “gak ada loe gak rame.” Slogan tersebut sangat menyesatkan, pemutarbalikan fakta dan manipulasi informasi karena memberikan pembenaran terhadap informasi yang tidak sehat dan merusak mental, pikiran dan psikologis agar mendorong setiap orang yang melihat iklan promosi rokok untuk membeli produk rokok (zat adiktif).
Fakta-fakta tersebut membuktikan industri rokok dengan sengaja mendesain, membuat dan menyiarkan iklan promosi rokok dengan memanfaatkan/menggunakan berbagai momentum atau tema kontemporer yang berkaitan dengan kesadaran atau kecenderungan atau kegiatan umum yang dilakoni para remaja (secara yuridis masih termasuk batas usia anak). Strategi, materi dan cara serta momen siar iklan promosi rokok yang sedemikian rupa, bukan tanpa perencanaan, tapi melalui survei dan studi yang cukup komprehenship. Target yang pasar yang dibidik yaitu perokok pemula (anak-anak) dan mempertahankan loyalitas perokok.
Dorong Konsumsi
Promosi iklan rokok melalui lembaga penyiaran merupakan bentuk kegiatan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi, membujuk, atau mengajak konsumen membeli atau menggunakan produk (barang) yang diiklankan atau dipromosikan. Laporan US Surgeon General menyebutkan, iklan dan promosi rokok dapat meningkatkan konsumsi dengan cara: mendorong anak-anak dan remaja untuk mencoba-coba merokok sehingga kemudian menjadi pengguna tetap; mendorong perokok untuk meningkatkan konsumsinya; mengurangi motivasi perokok untuk berhenti merokok; mendorong mantan perokok untuk mulai merokok kembali; membatasi diskusi terbuka dan menyeluruh tentang bahaya merokok akibat ketergantungan media pada pendapatan iklan rokok; menghambat upaya pengendalian tembakau karena ketergantungan organisasi penerima sponsor pada perusahaan tembakau; dan menciptakan lingkungan dimana merokok diterima dan dianggap wajar tanpa menghiraukan peringatan bahaya merokok bagi kesehatan dengan cara pemasangan iklan diberbagai tempat, promosi dan pemberian sponsor.
Pengaturan iklan niaga rokok sebagaimana diatur Pasal 46 ayat (3) huruf c UU Penyiaran, memberikan landasan hukum bahwa rokok adalah produk yang aman dikonsumsi dan dapat dijual secara bebas kepada masyarakat umum, sehingga mengiklankan rokok secara terbuka kepada masyarakat luas pun  dibenarkan. Padahal, promosi rokok sama artinya dengan promosi nikotin dan tar serta zat berbahaya lain yang bersifat adiktif yang mengandung lebih 4000 jenis zat kimia dengan 69 zat diantaranya bersifat karsinogenik dan bersifat adiktif. Nikotin zat-zat yang terkandung dalam rokok berdampak negatif bagi kesehatan masyarakat, ekonomi masyarakat, dan rusaknya generasi muda bangsa.

Demikian dalil permohonan uji materi UU Penyiaran yang dilayangkan oleh Hilarion Haryoko, Sumiati, Normansyah dan Winarti, Ari Subagio Wibowo dan Catharina Triwidarti, serta Syaiful Wahid Nurfitri. Kepaniteraan MK meregistrasi permohonan ini dengan Nomor Perkara 71/PUU-XI/2013 pada Selasa, 16 Juli 2013. MK juga telah membentuk panel hakim untuk memeriksa perkara ini. Panel hakim MK mengagendakan gelar sidang pendahuluan pada Kamis (15/8/2013) dan sidang perbaikan permohonan pada Rabu (28/8/2013). Menurut para Pemohon, ketentuan yang membolehkan iklan promosi rokok sebagaimana diatur dalam Pasal 46 ayat (3) huruf c UU Penyiaran sepanjang frasa yang memperagakan wujud rokok”, adalah bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28C ayat (1) Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, para Pemohon meminta MK menyatakan ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.


Nur Rosihin Ana

Catatan Perkara Majalah Konstitusi Edisi Agustus 2013:
readmore »»  

Sabtu, 20 Juli 2013

Perokok Persoalkan Cukai Ganda

Cukai rokok secara definitif merupakan jenis pajak tidak langsung yang dipungut otoritas negara terhadap produk rokok. Disebut pajak tidak langsung karena subjek yang harus menanggung beban cukai pertama kali adalah pihak produsen rokok, baik dalam kapasitasnya sebagai pembuat atau sebagai pengimpor. Selanjutnya beban pungutan cukai rokok dialihkan kepada konsumen terakhir atau pemikul pajak yang sebenarnya, yaitu para perokok. Ketentuan mengenai cukai cukai rokok, diatur oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (UU Cukai). Pasal 1 angka 1 UU Cukai menyatakan, “Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam undang-undang ini.”

Adapun kriteria yang dimaksud “barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik”, dalam Pasal 1 angka 1 UU Cukai tersebut di atas, yaitu barang-barang yang konsumsinya perlu dikendalikan; peredarannya perlu diawasi; pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Barang-barang yang masuk dalam kriteria ini yaitu rokok jenis sigaret kretek dan sigaret putih. Oleh karena itu, rokok jenis sigaret kretek dan sigaret putih, dikenai cukai.

Sigaret kretek (rokok) dibebani tarif cukai berdasarkan tarif paling tinggi, sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 5 UU Cukai. Sigaret kretek dianggap merupakan barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik tertentu, sehingga diatur secara khusus (lex specialis) dengan dibebani pengenaan tarif cukai paling tinggi. Oleh karena itu, berlakunya ketentuan pajak rokok atas cukai rokok dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD), menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil berdasarkan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Demikian antara lain dalil permohonan uji materi UU PDRD yang dilayagkan ke MK oleh Mulyana Wirakusumah, Hendardi, Aizzudin, Neta S. Pane, dan Bambang Isti Nugroho. Para pemohon yang mengambil kedudukan hukum (legal standing) sebagai perokok yang menanggung beban pajak terakhir dari produk rokok. Pemohon merasa dirugikan akibat berlakunya Pasal  1 angka 19, Pasal 2 ayat (1) huruf e, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 94 ayat (1) huruf c dan Pasal 181 UU PDRD. Sebagai peokok, mereka merasa mengalami perlakuan yang tidak sama dengan subjek pajak daerah lainnya di hadapan hukum karena pemberlakuan pajak ganda.

Permohonan uji materi UU PDRD ini diregistrasi oleh Kepaniteraan MK dengan Nomor r 64/PUU-XI/2013 pada Rabu, 12 Juni 2013. MK juga telah menjadwalkan sidang pemeriksaan pendahuluan untuk perkara ini pada Selasa, 9 Juli 2013.

Pajak Ganda

Pasal-pasal dalam UU PDRD yang diuji konstitusional tersebut, mengatur tentang Pajak Rokok yang dipungut atas cukai rokok. Padahal, pengenaan pajak terhadap rokok, sebelumnya sudah dibebani pajak (cukai) berdasarkan UU Cukai. Imbasnya, para Pemohon sebagai konsumen rokok terkena beban bayar pajak dua kali (pajak ganda).

Menurut Pemohon, ketentuan dalam UU PDRD yang mengatur pungutan pajak rokok ini, in litis adalah merupakan ekstensifikasi terhadap barang kena pajak (objek pajak). Hal ini terlihat dalam ketentuan Pasal 1 angka 19 UU PDRD yang menyebutkan bahwa “Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah.”

Berlakunya ketentuan tersebut menimbulkan pungutan baru, yakni pungutan terhadap pungutan cukai yang sebelumnya diatur dalam UU Cukai. Dengan demikian, ketentuan pasal-pasal UU PDRD yang dimohonkan untuk diuji konstitusionalitasnya tersebut, tidak sinkron dengan UU Cukai. Para Pemohon selaku perokok berpendapat, ketidaksinkronan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menentukan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum."

Pemohon berdalil, merokok merupakan suatu kegiatan legal, atau sekurang-kurangnya tidak dilarang, sehingga merokok merupakan perbuatan yang diizinkan oleh hukum. Dengan demikian terdapat kepentingan-kepentingan antinomik antara perokok dan masyarakat lingkungannya. Dalam keadaan demikian, menurut para Pemohon, negara wajib mengatur secara konstitusional, proporsional dan akomodatif dengan mengakomodasi kepentingan perokok dan kepentingan lingkungan dalam aturan hukum. Kesemuanya itu sebenarnya sudah dipertimbangkan secara adil dan seimbang berdasarkan UU Cukai. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 5 UU Cukai, barang kena cukai di antaranya adalah rokok, telah dikenakan tarif cukai paling tinggi dengan mempertimbangkan keadilan dan keseimbangan. Oleh karena itu, apabila kemudian rokok dikenakan lagi pajak sebagaimana yang diatur dalam UU PDRD, justru akan menjadi tidak adil atau bertentangan dengan keadilan, karena telah dibebani pajak pajak ganda.

Kekeliruan Perpajakan

Wajib pajak rokok dari kalangan industri adalah subjectum cukai rokok yang dikenai tarif pajak rokok sepuluh persen dari cukai rokok. Sedangkan objek pajak rokok adalah konsumsi rokok yang dibebankan selaku tatbestand sesuai dengan tujuan pajak rokok untuk menekan konsumsi rokok. Hal ini pada hakikatnya merupakan kekeliruan perpajakan (belastingendwaling) yang merugikan hak konstitusional setiap warga negara selaku subjectum wajib pajak rokok, sehingga ketentuan Pasal 27 ayat (2), Pasal 26 ayat (1) dan Pasal 29 UU PDRD, menurut Pemohon, bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak kecualinya.”

Sedangkan subjek pajak rokok adalah konsumen rokok yang dibebankan selaku tatbestand. Konsumen rokok merupakan sasaran pemajakan atas suatu objek pajak yang tidak seharusnya dibebankan kepada subjek pajak rokok tersebut, sehingga hal dimaksud menurut Pemohon, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”


Fungsi pengaturan yang adil seharusnya terdapat dalam ketentuan Pasal 1 angka 19, Pasal 2 ayat (1) huruf e, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 94 ayat (1) huruf c dan Pasal 181 UU PDRD. Ketentuan tersebut mengatur pajak rokok sebagai pajak daerah. Sistem pemungutan pajak rokok mengacu pada tarif cukai rokok di tingkat pusat, sehingga ketentuan dalam UU PDRD tersebut berakibat pada pembebanan pajak yang berbeda antara warga negara, khususnya yang perokok dengan para pemikul pajak daerah lainnya. Warga negara perokok memikul pajak daerah (selain pajak rokok) yang ditetapkan berdasarkan desentralisasi dan sekaligus pajak rokok yang mengacu pada besaran cukai rokok yang sentralistik. Dengan demikian, ketentuan tersebut menekankan fungsi mengatur yang tidak adil. Pajak rokok telah membuat pembedaan kedudukan hukum antara warga negara, khususnya yang perokok selaku wajib pajak di daerah yang otonom.

Nur Rosihin Ana

readmore »»  
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More