Harmoni...

Jakarta, September 2010

Harmoni...

Jakarta, Desember 2010

Belahan jiwa

......

...Belahan jiwa...

......

ceria...

Jakarta, 8 Januari 2012

Nora Uzhma Naghata

Bogor, 24 Februari 2011

Nora Uzhma Naghata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Taman Safari Puncak

Bogor, 24 Februari 2011

Bandara Ahmad Yani

Semarang, 28 September 2011

Rileks

*********

Nur Rosihin Ana

Semarang, 19 Oktober 2010

Nur Rosihin Ana

mahkamah dusturiyyah, 18 Juli 2012

Nur Rosihin Ana

Hotel Yasmin, Puncak, Desember 2010

Nora Uzhma Naghata

Naghata

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Demak, 11 September 2011

Nur Rosihin Ana

Nagreg, Bandung 11 Juli 2011

Nora Uzhma Naghata, Sri Utami, Najuba Uzuma Akasyata, Nur Rosihin Ana

Sapa senja di Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Sapa Senja Jepara

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

...bebas, lepas...

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Rabu, 17 Desember 2014

Organisasi Tani Bentukan Pemerintah Simpangi Konstitusi

Organisasi petani diintervensi. Pembentukan organisasi tani difasilitasi dan ditentukan sesuai selera Pemerintah. Harusnya Pemerintah memberikan kebebasan kepada petani untuk menentukan jenis kelembagaannya. Kewajiban Pemerintah melindungi dan mengakui organisasi bentukan petani. Pemerintah tidak perlu mengintervensi kelembagaan petani.

Kurang lebih satu tahun berlalu, tepatnya pada 11 Oktober 2013, Indonesian Human Rights Committee For Social Justice (IHCS), Serikat Petani Indonesia (SPI), dkk, mengajukan permohonan uji materi UU Perlintan ke MK. Permohonan ini dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK) pada 23 Oktober 2013 dengan Nomor 87/PUU-XI/2013, dan perbaikan permohonan diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah pada 20 November 2013. Para Pemohon mengujikan materi UU Perlintan Pasal 59 (sebagaimana diulas di muka), Pasal 70 ayat (1), dan Pasal 71 ayat (1). Ketentuan Pasal 70 ayat (1) dan Pasal 71 ayat (1), yang dipersoalkan para Pemohon yaitu mengenai pembentukan kelembagaan petani yang dilakukan secara sepihak oleh pemerintah dan kewajiban untuk bergabung dalam kelembagaan tersebut. Hal ini menurut para Pemohon, berpotensi menciptakan tindakan diskriminatif terhadap kelembagaan petani yang diinisiasi oleh masyarakat yang bentuknya berbeda dengan yang ditetapkan oleh pemerintah.

Diskriminasi Organisasi
Pembentukan lembaga petani difasilitasi oleh Pemerintah. Bentuk lembaga petani pun ditentukan sesuai selera Pemerintah (sentralisme). Begitulah ketentuan dalam Pasal 70 ayat (1) UU Perlintan ini.
Menurut para Pemohon, ketentuan tersebut merupakan praktek korporatisme negara. Praktik ini dilakukan oleh Rezim Militer Orde Baru, yaitu pemberlakukan organisasi petani dalam wadah tunggal yang dikooptasi oleh negara. Artinya, petani hanya diberikan kesempatan berorganisasi dalam wadah yang sudah ditentukan.
Penentuan bentuk kelembagaan petani secara sepihak oleh pemerintah adalah mengabaikan kelembagaan petani bentukan masyarakat. “Hal ini mengabaikan bentuk kelembagaan petani yang lain, yang sesuai dengan prinsip yang terkandung dalam Pasal 69 ayat (2) undang-undang a quo, misalnya Serikat Petani, Kelembagaan Subak di Bali, Kelompok Perempuan Tani, dan lain sebagainya,” kata Beni Dikty Sinaga, kuasa hukum Pemohon, saat memaparkan pokok permohonan uji materi UU Perlintan, dalam persidangan pendahuluan di MK, Kamis (7/11/2013).
Padahal di dalam Pasal 69 ayat (2) UU Pelintan tegas menyatakan pembentukan kelembagaan Petani harus sesuai dengan perpaduan dari budaya, norma, nilai, dan kearifan lokal petani. Hal ini tentu memungkinkan terbentuknya berbagai macam lembaga petani sesuai dengan sistem nilai yang berkembang dalam masyarakat petani.
Penentuan bentuk kelembagaan petani secara sepihak oleh pemerintah mengakibatkan petani yang tergabung dalam lembaga petani yang berbeda dari yang disebutkan oleh UU Perlintan, berpotensi untuk tidak diberdayakan dan dilindungi oleh pemerintah. Pemberlakuan Pasal 70 ayat (1) UU Perlintan menimbulkan diskriminasi terhadap petani sehingga bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.

Pasal 69 UU Perlintan
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban mendorong dan memfasilitasi terbentuknya Kelembagaan Petani dan Kelembagaan Ekonomi Petani.
(2)   Pembentukan kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan perpaduan dari budaya, norma, nilai, dan kearifan lokal Petani.
Pasal 70 ayat (1) UU Perlintan
(1)    Kelembagaan Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) terdiri atas:
a.     Kelompok Tani;
b.     Gabungan Kelompok Tani;
c.      Asosiasi Komoditas Pertanian; dan
d.     Dewan Komoditas Pertanian Nasional.
(2)    Kelembagaan Ekonomi Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) berupa badan usaha milik Petani.
Pasal 71 UU Perlintan
Petani berkewajiban bergabung dan berperan aktif dalam Kelembagaan Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1).

Intervensi Pemerintah
Setiap orang berhak untuk bebas membentuk atau ikut serta dalam keanggotaan atau menjadi pengurus organisasi dalam kehidupan bermasyarakat dalam wilayah NKRI. Kebebasan berserikat sebagaimana dijamin Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, merupakan hak. Pemegang hak memiliki keleluasaan mempergunakan haknya atau tidak menggunakannya. Kebebasan berserikat bukan merupakan kewajiban, sebagaimana diatur dalam Pasal 71 UU Perlintan.
Pemerintah tidak perlu mengintervensi organisasi petani. Tak perlu pula menentukan bentuk kelembagaan petani dan melindungi keanekaragaman bentuk lembaga petani yang telah ada. Seharusnya Pemerintah memberikan kebebasan kepada petani atas dasar kesadarannya untuk menentukan jenis kelembagaan dan jenis keikutsertaannya. Kewajiban utama pemerintah terhadap kelembagaan tersebut adalah melindungi dan mengakuinya. “Seharusnya Pemerintah tidak perlu mengintervensi atau menentukan bentuk kelembagaan petani,” kata kuasa hukum para Pemohon, Muh. Nur.
Mewajibkan petani untuk bergabung ke dalam kelembagaan petani yang dibentuk dan ditentukan secara sepihak oleh Pemerintah, adalah bertentangan dengan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Oleh karena itu, para Pemohon dalam petitum meminta Mahkamah menyatakan kata “berkewajiban” dalam Pasal 71 UU Perlintan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya.

Pemerintah Tak Batasi Lembaga Tani
Pengertian kelembagaan petani sebagaimana dimaksud pada Pasal 70 ayat (1), memuat spirit dari esensi lembaga itu sendiri, di mana kelembagaan petani, baik dalam bentuk kelompok tani, gabungan kelompok tani, asosiasi, maupun dewan komoditas nasional, mengandung makna, konsep, dan sebuah struktur yang bersendikan norma regulasi dan kultural kognitif yang menyediakan pedoman dan sumber daya yang harus ada dalam setiap bentuk kelembagaan tersebut agar dapat berfungsi untuk menyediakan stabilitas dan keteraturan dalam masyarakat. “Oleh karena itu, menurut Pemerintah, ketentuan Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, tidak membatasi kelembagaan petani. Petani tetap dapat berkumpul, berorganisasi, dengan berbagai wadah. Misalnya serikat petani, kelembagaan subak di Bali, kelompok perempuan tani, dan lain sebagainya,” kata Mualimin Abdi, menyampaikan keterangan Pemerintah, dalam persidangan di MK, Kamis, (19/12/2013).
Adapun ihwal kewajiban untuk bergabung dalam kelembagaan petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 menurut Pemerintah, adalah dimaksudkan untuk mendorong petani agar secara moral mempunyai tanggung jawab dalam pembentukan kelompok itu sendiri. Hal ini dilaksanakan untuk mengefektifkan upaya pemberdayaan petani melalui pendekatan kelompok dalam penyuluhan pertanian, mengingat pembinaan petani melalui penyuluhan tidak mungkin dilakukan dengan pendekatan perorangan. Hal ini menurut Pemerintah, telah sejalan dengan paradigma bahwa untuk mewujudkan tindakan kolektif, dibutuhkan daya kohesi, relasi sosial yang stabil, adanya hierarki, dan saling percaya dalam relasi yang saling tergantung. Dengan demikian, menurut Pemerintah, kata “berkewajiban” dalam Pasal 71 UU Perlintan, sejalan dengan amanat konstitusi. Karena pada hakikatnya pembentukan kelembagaan petani dilakukan oleh, dari, dan untuk petani itu sendiri, sebagaimana diatur dalam di Pasal 72 ayat (1). Sedangkan pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban atau mempunyai tanggung jawab untuk mendorong dan memfasilitasi pembentukannya.

Lembaga Tani Tak Dibatasi
Kelembagaan adalah suatu aturan yang merupakan produk dari nilai yang diharapkan terus berevolusi dan menjadi bagian dari budaya. Kelembagaan petani yang terdapat dalam Pasal 70 adalah kelembagaan yang sudah melembaga dan dikenal, serta dipahami oleh petani selama ini. Kelembagaan tersebut bertujuan untuk menyebut wadah kelembagaan sesuai tingkatannya yang sudah ada saat ini.
Sedangkan tujuan serta misi tiap lembaga dalam Pasal 70 tidak dibatasi. Petani bebas membentuk kelembagaan petani yang sesuai dengan perpaduan dari budaya, norma, nilai, dan kearifan lokal petani. Pembetukan wadah tersebut dimaksudkan sebagai bentuk hak berdemokrasi untuk membuat petani memiliki akses untuk memperjuangkan kepentingannya. “Jadi, bukan pada nomenklatur wadahnya, melainkan visi dan misi wadah tersebut dibuat,” kata Anggota Komisi III M. Nurdin.
Sementara itu, mengenai rumusan ketentuan Pasal 71 mengandung makna anjuran yang sangat kuat kepada petani untuk bergabung dalam kelembagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70. DPR berpendapat, penggunaan kata “berkewajiban” pada Pasal 70 UU Perlintan adalah menganjurkan demi kepentingan pemberdayaan petani. Ketentuan dalam Pasal 71 bila tidak dilaksanakan oleh petani tidak membawa konsekuensi petani dikenai sanksi. “Sebaiknya petani bergabung kepada kelembagaan petani yang disebut dalam Pasal 70,” tandas Nurdin.

Petani Bebas Membentuk Lembaga
Penguatan kelembagaan petani sangat perlu dilakukan oleh negara dalam rangka pemberdayaan petani, yaitu dengan membentuk organisasi-organisasi petani. Namun, hal ini tidak dapat diartikan bahwa negara mewajibkan petani harus masuk dalam kelembagaan yang dibuat oleh Pemerintah atau negara tersebut.
Penyebutan secara limitatif organisasi kelembagaan petani dalam Pasal 70 ayat (1) dengan penulisan nama organisasi dalam huruf besar menunjukkan nomenklatur organisasi yang telah ditentukan. Namun demikian, petani juga harus diberikan kesempatan untuk membentuk kelembagaan dari, oleh, dan untuk petani guna memperkuat dan memperjuangkan kepentingan petani itu sendiri.
Negara sebagai fasilitator bagi petani sesuai dengan kewenangannya seharusnya juga bertugas mendorong dan memfasilitasi terbentuknya kelembagaan petani dan dilaksanakan sesuai dengan perpaduan antara budaya,norma, nilai, dan kearifan lokal petani. Itikad baik dari negara untuk membentuk organisasi ataupun kelembagaan petani sangatlah positif karena akan lebih efektif dalam melakukan pembinaan kepada para petani seperti penyuluhan, penyaluran bantuan, memudahkan pertanggungjawaban, koordinasi, dan komunikasi Pemerintah dengan petani, antar petani.
Namun, pembentukan kelembagaan petani oleh negara tidak diartikan bahwa petani dilarang untuk membentuk kelembagaan petani lainnya, atau diwajibkannya petani untuk bergabung dalam organisasi atau kelembagaan petani bentukan Pemerintah saja. “Petani harus diberikan hak dan kebebasan untuk bergabung atau tidak bergabung dengan kelembagaan petani bentukan Pemerintah dan juga dapat bergabung dengan kelembagaan petani yang dibentuk oleh petani itu sendiri,” kata Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi.
Selain itu, menurut Mahkamah, kelembagaan petani yang dibentuk oleh para petani juga harus berorientasi pada tujuan untuk membantu dan memajukan segala hal ihwal yang ada kaitannya dengan pemberdayaan petani. Bantuan Pemerintah tidak boleh hanya diberikan kepada kelembagaan petani yang dibentuk oleh pemerintah atau hanya kepada petani yang bergabung pada kelembagaan petani yang dibentuk oleh Pemerintah saja.
Menurut Mahkamah ketentuan Pasal 70 ayat (1) UU Perlintan telah menghalangi hak para Pemohon yang dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 untuk membentuk wadah berserikat dalam bentuk kelembagaan petani. Oleh karena itu, Pasal 70 ayat (1) UU Perlintan harus dinyatakan bertentangan dengan konstitusi sepanjang tidak dimaknai, “termasuk kelembagaan petani yang dibentuk oleh para petani.” Pasal 70 ayat (1) UU Perlintan selengkapnya menjadi, “Kelembagaan Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) terdiri atas: a. Kelompok Tani; b. Gabungan Kelompok Tani; c. Asosiasi Komoditas Pertanian; dan d. Dewan Komoditas Pertanian Nasional, serta kelembagaan petani yang dibentuk oleh para petani.”
Mahkamah berpendapat, maksud dan tujuan keberadaan kelembagaan petani, sebagaimana dimaksudkan Pasal 70 ayat (1) UU Perlintan adalah untuk memudahkan akuntabilitas terhadap fasilitas dari Pemerintah agar tepat sasaran, mencegah terjadinya konflik antarpetani dalam memanfaatkan fasilitas yang disediakan Pemerintah dan mengefektifkan pembinaan petani. “Semangat tersebut bukan berarti melarang petani membuat kelompok petani yang sesuai dengan kemauan para petani,” lanjut Fadlil.
Mahkamah juga berpendapat, kata “berkewajiban” dapat disalahartikan sebagai sesuatu yang wajib sehingga akan mengekang kebebasan petani untuk berkumpul dan berserikat. Kata “berkewajiban” tidak bisa dilepaskan dari adanya suatu keharusan ditaati, dipatuhi, dan tidak bisa dibantah, sehingga apabila ada petani yang tidak bergabung dengan organisasi yang dibentuk oleh Pemerintah, maka akan mengalami diskriminasi oleh Pemerintah. “Dengan demikian frasa “berkewajiban” bertentangan dengan UUD 1945 sehingga dalil para Pemohon beralasan menurut hukum,” tandas Fadlil.


Nur Rosihin Ana
Laporan Utama Majalah Konstitusi No, 94 Desember 2014 hal. 15-17
readmore »»  

Selasa, 16 Desember 2014

Hapuskan Kewajiban Petani Bayar Sewa Tanah Negara

Negara tidak dapat menyewakan tanah. Sebab negara bukan pemilik tanah. Sewa menyewa tanah antara negara dengan petani merupakan pelanggaran hak asasi. Selayaknya ketentuan sewa menyewa tanah dalam UU Perlintan, divonis bertentangan dengan konstitusi.

Penduduk Indonesia sebagian besar berprofesi sebagai petani. Petani adalah garda pertahanan dan kedaulatan pangan nasional. Konsumsi bahan pangan manusia dihasilkan oleh petani. Maka tak heran jika bangsa ini memiliki ketergantungan yang tinggi kepada petani. Selayaknya petani mendapatkan perlindungan dan pemberdayaan.
Pada 09 Juli 2013, DPR RI telah mengesahkan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 131. Dalam konsiderans “MENIMBANG” Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (UU Perlintan) antara lain menyebutkan tentang kecenderungan meningkatnya perubahan iklim, kerentanan terhadap bencana alam dan risiko usaha, globalisasi dan gejolak ekonomi global, serta sistem pasar yang tidak berpihak kepada petani, sehingga petani membutuhkan perlindungan dan pemberdayaan.
Namun, perlindungan dan pemberdayaan petani ternyata masih jauh dari panggang api. Persoalan tanah yang merupakan hal vital yang dihadapi petani, justru tidak masuk dalam konsiderans UU Perlintan. UU ini pun dituding tidak secara komprehensif mengupayakan redistribusi tanah kepada petani. UU Perlintan hanya mengatur tentang konsolidasi tanah, tanah terlantar, dan tanah negara bebas yang bisa diredistribusikan kepada petani. Tanah yang diredistribusikan kepada petani pun tidak menjadi hak milik petani, melainkan hanya berupa hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan.
Maka tak pelak hal tersebut mengundang protes 12 lembaga swadaya masyarakat (LSM), yakni, Indonesian Human Rights Committee For Social Justice (IHCS), Serikat Petani Indonesia (SPI), Farmer Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy (FIELD), Aliansi Petani Indonesia (API), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Desa), Indonesia for Global Justice (IGJ), Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Perkumpulan Sawit Watch, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS). Jalur konstitusional pun ditempuh dengan mengujikan sejumlah ketentuan dalam UU Perlintan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Materi UU Perlintan yang diujikan yaitu Pasal 59, Pasal 70 ayat (1), dan Pasal 71 ayat (1). Ketentuan Pasal 59 UU Perlintan yang diuji ini berisi mengenai redistribusi tanah bagi petani dalam bentuk hak sewa, izin pengelolaan, izin pengusahaan, dan izin pemanfaatan atas tanah negara bebas. Sedangkan untuk Pasal 70 ayat (1) dan Pasal 71 ayat (1), para Pemohon mempersoalkan pembentukan kelembagaan petani yang dilakukan secara sepihak oleh pemerintah. Hal ini menurut para Pemohon, berpotensi menciptakan tindakan diskriminatif terhadap kelembagaan petani yang diinisiasi oleh masyarakat yang bentuknya berbeda dengan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Para Pemohon berdalil, pembatasan hak atas tanah petani yang diperoleh melalui redistribusi tanah berdasarkan hak sewa dan izin adalah merupakan bentuk dari tidak adanya upaya negara melakukan redistribusi tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pemberlakuan Pasal 59 UU Perlintan sepanjang frasa “hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan”, menurut para Pemohon, bertentangan dengan prinsip atau konsep hak menguasai dari negara dan tidak ditujukan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, sehingga bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945. Selain itu, adanya hak sewa tanah negara telah menimbulkan ketidakpastian hukum sebab bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria yang menyatakan bahwa penggunaan tanah negara dilakukan dengan hak pakai yang bukan sewa menyewa.

Redistribusi yang Membebani
Makna “hak sewa” dalam ketentuan Pasal 59 UU Perlintan yaitu petani penggarap membayar sewa kepada negara. Hal ini melanggar prinsip hak menguasai negara (HMN). Ketentuan pasal ini memosisikan negara sebagai pemilik tanah yang tanahnya disewa oleh petani. Padahal, pengertian HMN menurut tafsir MK (Putusan Nomor 002/PUU-I/2003 tentang pengujian UU Minyak dan Gas Bumi), bukan bermakna negara memiliki, tetapi dalam pengertian bahwa negara merumuskan kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), pengurusan (bestuurdaad), pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoudendaad).


Pasal 58 UU Perlintan,
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban memberikan jaminan luasan lahan Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf b bagi Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2).
(2)    Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memberikan kemudahan untuk memperoleh tanah negara bebas yang diperuntukan atau ditetapkan sebagai kawasan Pertanian.
(3)    Kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
a.     pemberian paling luas 2 hektare tanah negara bebas yang telah ditetapkan sebagai kawasan Pertanian kepada Petani, yang telah melakukan Usaha Tani paling sedikit 5 (lima) tahun berturut-turut.
b.  pemberian lahan Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1).
(4)    Selain kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya memfasilitasi pinjaman modal bagi Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) untuk memiliki dan/atau memperluas kepemilikan lahan Pertanian.
Pasal 59 UU Perlintan,Kemudahan bagi Petani untuk memperoleh lahan Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3) huruf a diberikan dalam bentuk hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan.


Menurut para Pemohon, berlakunya ketentuan Pasal 59 UU Perlintan khususnya pada frasa “hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan” bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2) serta Pasal 33 ayat (2) UUD 1945. Pembatasan hak atas tanah petani yang diperoleh melalui redistribusi tanah berdasarkan hak sewa dan izin, menunjukkan tidak adanya upaya negara melakukan redistribusi tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Seharusnya negara memberikan tanah kepada petani dalam bentuk “hak” bukan dalam bentuk “izin”. Sebab, dengan bentuk “hak”, petani sebagai pemegang hak atas tanah mempunyai posisi hukum yang lebih kuat dibandingkan sekedar pemegang izin. Pemberian tanah dengan bentuk “hak” secara langsung dapat menunjang perekenomian petani.
Selain itu, berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU PA), untuk memperkuat hak atas tanah petani, petani diberikan Hak Milik, minimal Hak Pakai, yang tanpa melibatkan hubungan sewa-menyewa.
Menurut para Pemohon, pemberlakuan Pasal 59 UU Perlintan sepanjang frasa “hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan” adalah sesuatu yang bertentangan dengan prinsip dan pengaturan yang terdapat dalam UU PA, sehingga berpotensi besar menimbulkan ketidakpastian hukum, yang dengan sendirinya merupakan pengingkaran terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Praktik Feodalisme
Konsep petani menyewa tanah kepada negara adalah sama saja dengan menghidupkan kembali praktik feodalisme. Dalam praktik feodalisme, negara diposisikan sebagai tuan tanah dan petani sebagai penggarap. Konsep sewa menyewa dan perizinan dalam praktik dan pemberlakuannya berpotensi menyulitkan petani untuk memperoleh penghidupan yang layak. “Bahwa konsep petani menyewa tanah kepada negara adalah suatu konsep yang menghidupkan kembali praktik feodalisme,” kata Beni Dikty Sinaga, kuasa hukum Pemohon, saat memaparkan pokok permohonan uji materi UU Perlintan, dalam persidangan pendahuluan di MK, Kamis (7/11/2013) satu tahun yang lalu.
Di hadapan panel hakim konstitusi yang diketuai Patrialis Akbar didampingi dua anggota panel Ahmad Fadlil Sumadi dan Anwar Usman, Beni mensinyalir praktik sewa menyewa tanah juga membawa petani dalam perangkap lintah darat dan sistem ijon. “Sisa-sisa penghisapan feodalisme inilah yang sesungguhnya hendak diberantas oleh undang-undang pokok agraria Nomor 5 Tahun 1960,” lanjut Beni.
Petani sebagai kelompok rentan, tidak mampu membayar sewa dan mengurus perizinan. Bagaimana mungkin petani dapat membayar biaya sewa dan izin, jika permasalahan utama mereka terkait penghidupan yang layak bagi dirinya dan keluarga saja sulit untuk terpenuhi? Sudah sepatutnya pemerintah berkewajiban untuk menyediakan tanah bagi para petani yang tidak bertanah, tanpa harus membebani petani dengan kewajiban untuk membayar sewa.

Bukan Solusi
Kemiskinan paling banyak dialami oleh penduduk pedesaan yang pada umumnya adalah petani. Dari total rakyat miskin di Indonesia, sekitar 66 persen berada di pedesaan dan sekitar 56 persen menggantungkan hidup sepenuhnya pada pertanian. Dari seluruh penduduk miskin pedesaan ini ternyata 90 persen bekerja. Artinya mereka bekerja keras tetapi tetap miskin.
Selama ini, petani kecil atau buruh tani menyewa tanah dari tanah individu, tanah kas desa dan tanah perusahaan. Oleh karena itu, petani mendapatkan tanah negara melalui mekanisme sewa, bukanlah solusi kemiskinan petani, karena tetap saja mereka tidak memiliki alat produksi berupa tanah milik sendiri karena tetap saja menyewa tanah.

Sewa Menyewa Antarpetani
Menanggapi permohonan para Pemohon, Pemerintah menyatakan hak sewa dalam ketentuan Pasal 59 UU Perlintan adalah hak sewa antara petani dengan petani. Jadi, sewa menyewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan sesama petani yang telah memperoleh kemudahan dari Pemerintah dalam satu kawasan pertanian yang tidak dapat dialihfungsikan di luar usaha non-pertanian.
Perlindungan dan pemberdayaan petani bertujuan untuk mewujudkan kedaulatan dan kemandirian petani dalam rangka meningkatkan taraf kesejahteraan kualitas dan kehidupan yang lebih baik. Selain itu, melindungi petani dari kegalauan risiko harga, menyediakan prasarana dan sarana pertanian yang dibutuhkan dalam mengembangkan usaha tani.
Pemberdayaan adalah segala upaya untuk meningkatkan kemampuan petani untuk melaksanakan usaha petani yang lebih baik, yaitu antara lain melalui pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pendampingan, pengembangan sistem dan sarana pemasaran hasil pertanian, konsolidasi, dan jaminan luasan lahan pertanian, ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, serta penguatan kelembagaan petani. Sedangkan perlindungan petani adalah segala upaya untuk membantu petani dalam menghadapi kesulitan memperoleh prasarana dan sarana produksi, kepastian usaha, risiko harga, kegagalan panen, praktik ekonomi biaya tinggi, dan perubahan iklim.
“Dari definisi tersebut, tentunya akan keliru dan tidak tepat, apabila memaknai pemberdayaan petani dicampuradukkan dengan memaknai perlindungan petani itu sendiri karena perlindungan petani diberikan kepada petani penggarap tanaman pangan yang tidak memiliki usaha tani dan menggarap paling luas dua hektare,” kata Mualimin Abdi saat menyampaikan keterangan Pemerintah dalam persidangan di MK, Kamis, (19/12/2013).
Dalam memahami ketentuan Pasal 59 UU Perlintan tidak dapat dilepaskan dengan ketentuan pasal-pasal lain, antara lain Pasal 58 dan 61 UU Perlintan. Mualimin juga menegaskan hak milik atas tanah kawasan pertanian oleh petani, sebagaimana kekhawatiran para Pemohon, tidak terhalang oleh ketentuan Pasal 59, karena pasal ini hanya menjelaskan lebih lanjut atas ketentuan Pasal 58 ayat (3) huruf a. Kekhawatiran ini tidak cukup beralasan karena kepemilikan lahan dan perluasan kepemilikan lahan dalam kawasan pertanian dijelaskan secara gamblang dalam Pasal 58 ayat (4).
Pemerintah menyatakan tidak sependapat dengan argumentasi para Pemohon yang menyatakan bahwa UU PA bertentangan dengan UU Perlintan. Sebaliknya, keduanya saling melengkapi. “Menurut Pemerintah, antara keduanya saling melengkapi,” tegas Mualimin.

Kemudahan bagi Petani
Rumusan ketentuan Pasal 59 UU Perlintan dimaksudkan untuk menentukan bentuk-bentuk kemudahan bagi petani dalam memperoleh paling luas dua hektare lahan pertanian sebagaimana diatur dalam Pasal 58 ayat (3) huruf a UU Perlintan. Adapun bentuk-bentuk kemudahan tersebut adalah berupa hak sewa, izin penguasaan, izin pengelolaan atau izin pemanfaatan atas anah negara bebas yang telah diperuntukkan atau ditetapkan sebagai kawasan pertanian.
Kemudahan perolehan lahan pertanian bagi petani dalam bentuk hak sewa, izin penguasaan, izin pengelolaan atau izin pemanfaatan dimaksudkan agar pemerintah dan pemerintah daerah dapat mengawasi pemanfaatan tanah negara bebas yang telah ditetapkan sebagai kawasan pertanian yang telah diberikan. Tujuan pengawasan dimaksudkan agar tanah tersebut tetap jumlahnya, yaitu dua hektare per petani. Dengan jumlah tersebut diharapkan petani mampu memperoleh keuntungan dalam mengelola tanah yang diberikan. “Bila tidak ada instrumen pengawasan dari Pemerintah, dikhawatirkan petani akan mengurangi luas lahan yang diberikan dengan mengalihkan kepada pihak lain dan dihabiskan, lahan kawasan pertanian akan berkurang,” kata Anggota Komisis III DPR-RI M. Nurdin, saat menyampaikan keterangan DPR dalam persidangan di MK, Kamis (16/1/2014).

Politik Hukum Hindia-Belanda
Distribusi tanah kepada petani adalah untuk memudahkan para petani memperoleh tanah negara bebas yang ditetapkan sebagai kawasan pertanian agar para petani mendapatkan kepastian hukum terhadap lahan yang diberikan oleh negara. Tujuan pemberian tanah negara bebas kepada petani agar tanah tersebut berdaya guna dan berhasil guna, serta berkesinambungan dan tidak mudah dipindahtangankan serta menjaga agar lahan pertanian tetap dapat dimanfaatkan secara turun temurun serta tidak mudah diambil begitu saja oleh negara (Pemerintah) kecuali untuk kepentingan umum dan yang dilaksanakan dengan suatu itikad baik dan atau memberikan ganti lokasi yang setara, maka diperlukan adanya suatu kepastian hukum kepada para petani.
Sewa menyewa tanah antara negara dengan warga negara khususnya petani, adalah politik hukum yang sudah ditinggalkan sejak berlakunya UU PA. Politik hukum yang bersifat eksploitatif ini merupakan peninggalan Hindia-Belanda. “Politik hukum demikian adalah politik hukum peninggalan Hindia-Belanda yang bersifat eksploitatif terhadap rakyat,” kata hakim konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi membacakan Pendapat Mahkamah dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 7/PUU-XI/2013, Rabu (5/11/2014).
Menurut Mahkamah, Pasal 59 UU Perlintan berarti negara dapat menyewakan tanah kepada petani. Hal ini bertentangan dengan prinsip pemberdayaan petani yang dianut dalam UU PA yang melarang sewa menyewa tanah antara negara dengan petani.

Sewa Menyewa Tak Perlu Diatur dalam UU Perlintan
Mahkamah berpendapat, sewa menyewa antara petani dengan petani tidak perlu diatur dalam UU Perlintan. Sebab praktik sewa menyewa berada pada hubungan hukum keperdataan biasa yang juga dimungkinkan oleh UU PA. Hal ini berlawanan dengan keterangan Pemerintah sebagaimana tersebut di atas yang menyatakan bahwa hak sewa dimaksud dalam Pasal 59 UU Perlintan adalah hak sewa antara petani dengan petani.
Kendati demikian, Mahkamah menegaskan bahwa negara dapat saja memberikan izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan kepada petani terhadap tanah negara bebas yang belum didistribusikan kepada petani. “Tetapi negara atau Pemerintah tidak boleh menyewakan tanah tersebut kepada petani,” ucap Fadlil.
Sewa menyewa tanah antara negara atau Pemerintah dengan petani bertentangan dengan prinsip pengelolaan bumi dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana dijamin Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Demikian pula dengan pemberian lahan sebesar 2 hektar tanah negara bebas kepada petani, haruslah memprioritaskan kepada petani yang betul-betul belum memiliki lahan pertanian dan bukan diberikan kepada petani yang cukup kuat dan telah memiliki lahan.
Memperkuat dalil, Mahkamah merujuk pada pertimbangan hukum mengenai pengertian “dikuasai oleh negara” dalam putusan-putusan sebelumnya, yakni Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 bertanggal 15 Desember 2004, Putusan Nomor 3/PUUVIII/2010 bertanggal 16 Juni 2011, dan Putusan Nomor 36/PUU-X/2012 bertanggal 13 November 2012. Pengertian “dikuasai oleh negara” harus diartikan penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Termasuk di dalamnya kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. “Sebesar-besar kemakmuran rakyat-lah yang menjadi ukuran utama bagi negara dalam menentukan pengurusan, pengaturan atau pengelolaan atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya,” lanjut Fadlil membacakan kutipan pendapat Mahkamah.
Mahkamah berpendirian bahwa bentuk penguasaan negara terhadap bumi dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dapat dilakukan dengan tindakan pengurusan dalam hal ini termasuk memberikan izin, lisensi, dan konsesi, tindakan pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan. Salah satu dari keempat tindakan tersebut dapat dilakukan oleh negara sepanjang berdasarkan penilaian tindakan yang memberikan manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. “Menurut Mahkamah, tindakan negara memberikan izin pengelolaan, izin pengusahaan, dan izin pemanfaatan tanah negara bebas di kawasan pertanian harus memberikan manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, sehingga pemberian izin tersebut dapat dilakukan oleh negara,” tandas Fadlil.
Alhasil, Mahkamah mengabulkan permohonan pengujian Pasal 59 UU Perlintan. Mahkamah menyatakan frasa “hak sewa” dalam Pasal 59 UU Perlintan bertentangan dengan UUD 1945 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Nur Rosihin Ana
Laporan Utama Majalah Konstitusi No, 94 Desember 2014 hal. 8-14
readmore »»  

Senin, 15 Desember 2014

Melindungi Petani

Sektor pertanian memegang peran strategis dalam perekonomian nasional. Pertahanan dan kedaulatan pangan nasional sangat bergantung pada sektor ini. Semestinya sektor pertanian menjadi primadona masyarakat Indonesia. Faktanya, para petani kita justru berangsur-angsur meninggalkan profesi yang telah turun temurun dari para leluhur.
Marjinalisasi bertubi-tubi menyelimuti perikehidupan petani. Kehidupan petani dari waktu ke waktu kian tak menentu. Sering kali petani harus menelan kenyataan pahit ketika terjadi permasalahan tanah.
Ironisnya, perlindungan kepada petani terkesan setengah hati. Bahkan masih jauh dari panggang api. Tengoklah perlindungan kepada petani dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (UU Perlintan).
Persoalan tanah merupakan hal vital yang dihadapi petani. Namun hal ini justru tidak masuk dalam konsiderans UU Perlintan. Redistribusi tanah kepada petani pun tidak menjadi hak milik petani, melainkan hanya berupa hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan.
Petani menyewa tanah negara. Inilah ketentuan Pasal 59 UU Perlintan yang menjadi salah satu pangkal persoalan yang kemudian mengundang keberatan beberapa LSM. Redistribusi tanah berupa hak sewa menunjukkan tidak adanya upaya negara melakukan redistribusi tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Tak ayal muncul tudingan bahwa UU Perlintan mengusung praktik feodalisme. Politik hukum yang bersifat eksploitatif ini merupakan peninggalan Hindia-Belanda. Bahkan Sewa menyewa tanah antara negara dengan warga negara khususnya petani, adalah politik hukum yang sudah ditinggalkan sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU PA). UU PA menegaskan bahwa penggunaan tanah negara dilakukan dengan hak pakai yang bukan sewa menyewa. Konsep sewa menyewa merupakan marjinalisasi petani yang berpotensi menyulitkan petani untuk memperoleh penghidupan yang layak.
Upaya marjinalisasi organisasi tani pun dilegalkan dalam UU Perlintan. Petani diwajibkan mengikuti organisasi bentukan pemerintah. Organisasi bentukan pemerintah yang tertuang dalam Pasal 70 ayat (1) dan Pasal 71 ayat (1) jelas merupakan tindakan diskriminatif. Sebuah upaya Pemerintah untuk memarjinalisasi organisasi yang diinisiasi oleh petani.
Organisasi tani diintervensi. Pembentukan organisasi tani difasilitasi dan ditentukan sesuai selera Pemerintah. Praktek korporatisme negara ini lazim dilakukan oleh Rezim Militer Orde Baru. Organisasi tani dihimpun dalam wadah tunggal yang dikooptasi oleh negara.
Padahal seharusnya Pemerintah memberikan kebebasan pada tumbuh dan berkembangnya organisasi tani. Pemerintah berkewajiban melindungi, mendorong dan memfasilitasi terbentuknya kelembagaan petani sesuai dengan perpaduan antara budaya,norma, nilai, dan kearifan lokal petani.
Tegakkan semboyan negara “gemah ripah loh jinawi” melalui perlindungan yang hakiki kepada petani. Lindungi petani dari penindasan, kooptasi. Jadikan petani sebagai tuan di negeri sendiri (al-fallâhu sayyidul bilâd).


Nur Rosihin Ana
Editorial Majalah Konstitusi No, 94 Desember 2014
readmore »»  

Rabu, 26 November 2014

Uji Kompetensi Dokter Digugat

Profesi dokter umum merupakan ujung tombak sistem pelayanan kesehatan primer. Sebagai tenaga kesehatan, peran dokter umum berada dalam garis terdepan (front line) dalam pelayanan kesehatan masyarakat. Dengan demikian, dokter umum sangat berperan dalam Sistem Kesehatan Nasional dalam penyelengaraan hak konstitusional pelayanan kesehatan bagi setiap orang (for all) yang dijamin secara eksplisit dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
Namun, berlakunya ketentuan dalam peraturan perundang-undangan, justru dinilai inskonstitusional dan menghambat pelayanan kesehatan masyarakat. Hal ini terangkum dalam permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran (UU Dikdok) terhadap UUD 1945 Pasal 28D ayat (1) dan (2), Pasal 28H ayat (1) dan (3).
Permohonan diajukan oleh Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI). PDUI mengujikan Pasal 36 ayat (1), (2), dan (3); Pasal 1 angka 9; Pasal 7 ayat (5) huruf b; Pasal 7 ayat (9); Pasal 8 ayat (1), (2), (3); (4), dan (5); Pasal 10; Pasal 19 ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 24 ayat (5) huruf b; Pasal 24 ayat (7) huruf b; Pasal 28 ayat (1) dan (2); Pasal 29 ayat (1) dan (2); Pasal 31 ayat (1) huruf b; Pasal 39 ayat (1) dan (2); Pasal 40 ayat (2) huruf b; dan Pasal 54 UU Dikdok.
Inti permohonan PDUI yaitu mengenai uji kompetensi dokter dan program pendidikan dokter layanan primer, yaitu frasa “uji Kompetensi” dan frasa “dokter layanan primer” dalam pasal-pasal UU Dikdok tersebut.

Uji Kompetensi
Uji Kompetensi mahasiswa dalam ketentuan Pasal 36 ayat (1) dan (2) UU Dikdok, dilaksanakan untuk menerbitkan sertifikat profesioleh perguruan tinggi. Penggunaan frasa “uji kompetensi” bagi mahasiswa untuk memperoleh sertifikat profesi dalam ketentuan tersebut inkonsistensi dengan kelulusan mahasiswa program profesi dokter untuk memperoleh Ijazah/Gelar Dokter.
Sedangkan uji kompetensi dokter dalam ketentuan Pasal 36 ayat (3) UU Dikdok, dilaksanakan oleh Fakultas Kedokteran bekerjasama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran dan berkoordinasi dengan organisasi profesi. Penggunaan frasa “uji kompetensi dokter” dalam ketentuan ini dicampuradukkan dan seakan-akan sama dengan “uji Kompetensi mahasiswa” dalam ketentuan Pasal 36 ayat (1) dan (2). Uji kompetensi dokter pun seakan-akan wewenang dan domain fakultas kedokteran. Padahal, dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Pradok), uji kompetensi dokter adalah wewenang dan domain organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) cq. Kolegium terkait.
Oleh karena itu, tidak beralasan jika ketentuan Pasal 36 ayat (3) UU Dikdok yang menormakan “uji kompetensi dokter” dilaksanakan oleh fakultas kedokteran bekerjasama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran dan berkoordinasi dengan organisasi profesi. Justru ketentuan ini merusak tatanan sistem hukum yang valid dan dipatuhi sesuai UU Pradok dan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) Nomor 6 Tahun 2011, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
Nomenklatur “uji kompetensi” dalam Pasal 36 ayat (1), (2) UU Dikdok yang dikaitkan pada kata “mahasiswa” sehingga menjadi frasa “Mahasiswa yang lulus uji kompetensi” adalah tidak tepat. Hal ini merugikan mahasiswa program profesi dokter. Sebab mahasiswa diharuskan mengikuti uji kompetensi sebagai Exit Exam. Padahal secara akademis mahasiswa sudah lulus ujian program profesi dokter, dan secara formal berhak memperoleh Ijazah/Gelar Dokter. Ketentuan ini merusak tatanan sistem pendidikan kedokteran yang sudah baku dan valid, serta merugikan kepentingan dokter yang sudah lulus untuk segera memasuki domain profesi dokter atau praktik kedokteran. Uji kompetensi dokter oleh fakultas kedokteran bukan hanya menimbulkan kerugian konstitusional yakni tidak adanya kepastian hukum, tapi juga menambah biaya pendidikan dan memicu komersialisasi pendidikan kedokteran.

Pasal 36 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran,
(1)   Untuk menyelesaikan program profesi dokter atau dokter gigi, Mahasiswa harus lulus uji kompetensi yang bersifat nasional sebelum mengangkat sumpah sebagai Dokter atau Dokter Gigi.
(2)   Mahasiswa yang lulus uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperoleh sertifikat profesi yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi.
(3)   Uji kompetensi Dokter atau Dokter Gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi bekerja sama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan Organisasi Profesi.

Dualisme Wewenang
Ketentuan Pasal 36 ayat (1), (2) dan (3) UU Dikdok merusak tatanan sistem praktik kedokteran dan menghambat proses formal pengakuan dokter karena dualisme wewenang uji kompetensi dokter. Adanya dualisme itu menghambatan penerbitan Surat Tanda Register (STR) oleh KKI karena berdasarkan UU Pradok dan Peraturan KKI, syarat penerbitan STR adalah hasil uji kompetensi dan sertifikat kompetensi dokter yang diterbitkan Kolegium terkait selaku organisasi profesi, bukan diterbitkan Fakultas Kedokteran.
Dualisme dalam penyelenggaraan uji kompetensi dan penerbitan sertifikat kompetensi bukan saja menganggu dokter baru yang akan mengikuti proses registrasi, akan tetapi justru yang paling signifikan adalah para dokter yang akan melakukan registrasi ulang Surat Tanda Register (STR) kepada KKI karena itu terganggu hak konstitusionalnya untuk memperoleh kepastian hukum registrasi ulang dan pengakuan atas keabsahan sertifikat kompetensi Kolegium terkait.
Hambatan memperoleh STR dan registrasi ulang STR tersebut, menimbulkan kerugian konstitusional memperoleh legalitas atau registrasi dokter, dan menghambat kepastian pelayanan kesehatan masyarakat/pasien. Keadaan itu merupakan kausal atas praduga dokter dianggap tidak menjalankan tugas pelayanan kesehatan masyarakat. Padahal tanpa STR maka dokter tidak berwenang melakukan tindakan medis sebagai dokter.
Berdasarkan dalil tersebut, PDUI meminta kepada Mahkamah agar menyatakan frasa “uji kompetensi” dalam Pasal 36 ayat (1), dan (2) UU Dikdok bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “ujian kelulusan akhir”. Kemudian menyatakan frasa “uji kompetensi dokter atau dokter gigi” dalam Pasal 36 ayat (3) UU Dikdok bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “ujian kelulusan akhir mahasiswa”.

Dokter Layanan Primer
Sistem hukum kedokteran di Indonesia hanya mengenal dokter dan dokter spesialis-subspesialis sebagai tenaga kesehatan, dan tidak mengenal kualifikasi dokter layanan primer, baik secara kompetensi, legalitas STR, prosedur dan syarat STR, perizinan praktek, dan pengakuan gelar profesi. Tidak ada pengakuan substansial (kompetensi profesi) dan pengakuan prosedural-formal (penerbitan STR) terhadap dokter layanan primer. Karenanya, frasa “dokter layanan primer” dalam Pasal 1 angka 9 UU Dikdok merusak sistem hukum praktik kedokteran dan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Pasal 1 angka 9 UU Dikdok, “Dokter adalah dokter, dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis lulusan pendidikan dokter, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diakui oleh Pemerintah.”

Jika mengacu pada Pasal 1 angka 9 UU Dikdok tersebut, kualifikasi dokter terdiri atas 3 (tiga) jenis, yakni (1) Dokter; (2) Dokter layanan primer; (3) Dokter spesialis-subspesialis. Ketentuan tersebut jelas menyimpangi norma hukum dalam UU Pradok yang menyebutkan kualifikasi dokter adalah dokter dan dokter spesialis.
Tidak ada pengakuan substansial (kompetensi profesi) dan pengakuan prosedural-formal (penerbitan STR) terhadap dokter layanan primer. Oleh karena itu, frasa “dokter layanan primer” merusak sistem hukum praktik kedokteran dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Pada asasnya, kualifikasi dokter layanan primer tidak berbeda dengan dokter (General Practitioner/GP), dan tidak pula masuk kualifikasi dokter spesialis, dan tidak memiliki kompetensi spesialistik. Kualifikasi dokter yang menambahkan frasa “dokter layanan primer” ini tidak memiliki pengakuan dalam hal kompetensi profesi, legalitas registrasi (STR), prosedur-formal syarat registrasi, perizinan, dan gelar profesi.
Oleh karena itu, PDUI meminta Mahkamah menyatakan ketentuan Pasal 1 Angka 9 UU Dikdok sepanjang frasa “dokter layanan primer” bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28H ayat (3) UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat kecuali dimaknai “Dokter adalah dokter, dokter spesialis-subspesialis lulusan pendidikan dokter, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diakui oleh Pemerintah.”

Begitu pula dengan frasa “dokter layanan primer” dalam Pasal 7 ayat (5) huruf b dan ayat (9), Pasal 8, Pasal 19, Pasal 24 ayat (5) huruf b dan ayat (7) huruf b, Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 31 ayat (1), Pasal 39 ayat (1), Pasal 40 ayat (2), dan Pasal 54 UU Dikdok. Frasa “dokter layanan primer” dalam pasal-pasal tersebut menurut Pemohon menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab dokter layanan primer secara kompetensi masuk ke dalam kualifikasi dokter umum karena melakukan pelayanan pada fasilitas pelayanan tingkat pertama.

Nur Rosihin Ana, dalam "Catatan Perkara" Majalah "Konstitusi" Edisi November 2014, hal 44-45. klik di sini
readmore »»  

Kontroversi Eksistensi OJK


Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berfungsi melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap seluruh kegiatan di sektor jasa keuangan. Padahal fungsi ini merupakan tugas konstitusional Bank Indonesia. Status independensi OJK menjadikannya tidak terkontrol. Kewenangan OJK sangat powerfull, sehingga berpotensi terjadi penyelewengan kewenangan.

Kontroversi mengenai eksistensi OJK mengemuka. Kali ini melalui permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) ke Mahkamah Konstitusi. Permohonan ini diajukan oleh Salamuddin (Peneliti Institute for Global Justice, IGJ), Ahmad Suryono, dan Ahmad Irwandi Lubis. Adapun materi UU OJK yang diuji di MK, yaitu Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 37, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 UU OJK. Sebagai pembayar pajak, para Pemohon merasa memiliki hak konstitusinal untuk mendapatkan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) secara terbuka dan transparan dari Pemerintah.
Isu utama yang menjadi objek pengujian UU OJK antara lain kata “independensi” (Pasal 1 angka 1); tugas, fungsi dan wewenang pengaturan dan pengawasan OJK (Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7); serta pungutan yang dilakukan OJK (Pasal 37 UU OJK). Menurut para Pemohon, ketentuan dalam pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
Apakah kewenangan OJK dalam mengatur dan mengawasi di sektor perbankan, bertentangan dengan UUD 1945? Bagaimana pula kedudukan OJK dalam sistem ketatanegaraan menurut UUD 1945? Kemudian, di mana peran negara dalam mengontrol independensi OJK dalam melaksanakan tugas dan kewenangan yang begitu besar? Pertanyaan tersebut terkuak dalam pokok dan dalil permohonan uji materi UU OJK yang diregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 25/PUU-XII/2014.

Fungsi dan Kewenangan OJK
Pembentukan OJK merupakan mandat yuridis Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Bank Indonesia (UU Bank Indonesia). Pasal 34 ayat (1) UU Bank Indonesia menyatakan, “Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-undang.”
OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap seluruh kegiatan di sektor jasa keuangan. Hal ini sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 5 UU OJK. Fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan termasuk dalam sektor jasa keuangan yang pengaturan dan pengawasan tersebut sebelumnya menjadi domain kewenangan BI.
Dalam hal pengaturan, OJK dapat melansir berbagai kebijakan dan ketentuan baru dalam sektor keuangan. Sementara dalam hal pengawasan, OJK memiliki wewenang yang luas termasuk di antaranya pemeriksaan, penyidikan, perizinan dan penegakan hukum. Dari segi isi dan cakupan, UU OJK bukan saja untuk mengawasi industri perbankan, tetapi juga mengawasi industri pasar modal dan industri keuangan non bank.
Latar belakang pembentukan OJK dilandasi oleh perkembangan sistem keuangan yang sangat kompleks yang mencakup produk, transaksi, dan interaksi antara lembaga jasa keuangan. Hal ini sebagai akibat konglomerasi pemilikan pada lembaga jasa keuangan. Pembentukan OJK salah satunya juga didasarkan pada fakta tentang kasus Bank Century. Nasabah Bank Century tertipu dengan penjualan Discretional Fund Antaboga yang bukan merupakan produk perbankan. Selain itu, pembentukan OJK didasarkan pada perkembangan berbagai produk keuangan yang merupakan perkawinan antara perbankan dengan asuransi, dan sebaliknya, antara asuransi dengan perbankan. Contohnya adalah produk asuransi sekaligus untuk investasi yang disebut Unit-Link yang sesungguhnya belum atau tidak ada dalam UU Asuransi Indonesia.
Secara konstitusional, OJK tidak memiliki cantolan yang jelas dalam UUD 1945. Kewenangan yang diperoleh OJK (perbankan, pasar modal, dan asuransi serta lembaga keuangan lainnya) berasal dari turunan yang asimetris. Berbeda dengan perbankan, karena perbankan merupakan turunan langsung dari Pasal 23 UUD 1945 yang mengatur tentang bank Sentral. Sedangkan pasar modal dan asuransi serta lembaga keuangan lainnya berasal dari UU.
OJK merupakan mandat yuridis Pasal 34 ayat (1) UU Bank Indonesia. Mandat yuridis ini merupakan rencana besar International Monetary Fund (IMF) sebagai bagian dari paket kerjasama dengan Indonesia. IMF menginginkan dibentuknya sebuah lembaga yang terpisah dari Departemen Keuangan dan bank sentral yang diharapkan dapat menyiapkan industri perbankan nasional agar mampu menjadi pelaku global dengan inspirasi Financial Supervisory Agency (FSA) di Inggris. Ternyata di kemudian hari, FSA gagal total dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
UU Bank Indonesia yang menjadi dasar pembentukan OJK adalah UU yang dimaksudkan untuk menetapkan peraturan terkait dengan tugas pengawasan bank dan bukan merupakan UU yang mengatur pengawasan sektor jasa keuangan nonbank dan jasa keuangan lain. Pasal 34 ayat (1) UU Bank Indonesia tidak dapat dijadikan dasar sebagai pembuatan UU yang mengatur sektor jasa keuangan nonbank dan jasa keuangan lain. Sebab sektor jasa keuangan nonbank dan jasa keuangan lainnya telah diatur dalam sejumlah UU yang secara khusus mengatur sektor dimaksud berikut pengawasannya. Dengan kata lain, UU yang mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan dan jasa lain, memiliki dasar konstitusional yang lebih kuat. Namun hal ini dinegasikan oleh UU OJK yang sama sekali tidak memiliki landasan konstitusional.
Fungsi pengawasan dan pengaturan bank, sejatinya merupakan tugas konstitusional Bank Indonesia yang diturunkan langsung dari ketentuan Pasal 23D UUD 1945, yang diatur melalui UU Bank Indonesia. Dengan demikian maka Bank Indonesia lebih memiliki landasan konstitusional dalam melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan bank.
“Keberadaan OJK bukan merupakan amanat dari konstitusi. Justru fungsi pengawasan seharusnya tetap melekat pada Bank Indonesia. Sedangkan OJK tidak memiliki dasar konstitusional,” kata Syamsudin Slawat Pesilette, selaku kuasa hukum para Pemohon, dalam persidangan perdana di MK, Selasa (25/3/2014).
OJK kemudian merangkum fungsi, tugas, kewenangan dan institusi pengaturan dan pengawasan bank (bersama dengan kegiatan jasa keuangan di pasar modal, dan kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya) ke dalam salah satu bagian dari keseluruhan fungsi, tugas dan wewenang OJK sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 6 UU OJK. Padahal kegiatan jasa keuangan di sektor ini bersumber dari pengaturan peraturan perundang-undangan di bawah UUD 1945, yaitu UU Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal, UU Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian, dan peraturan perundang-undangan lainnya dalam lingkup BAPEPAM-LK, sehingga nilai konstitusionalnya tidak setara dengan kegiatan perbankan.
Sifat OJK yang meleburkan tugas dan kewenangan pengaturan dan pengawasan bank tersebut menimbulkan konsekuensi terhadap aplikasi Basel dan siapa yang akan mewakili Indonesia dalam forum bank sentral seluruh dunia. Secara fungsi dan kewenangan, Bank Indonesia sudah tidak memiliki kelayakan untuk memerankan diri menjadi wakil Indonesia.

Independensi OJK
Kata ”independen” dalam Pasal 34 ayat (1) UU Bank Indonesia dicangkok secara bulat melalui ketentuan Pasal 1 angka 1 UU OJK. Padahal kata “independen” tersebut tidak menemukan cantolannya dalam konsideran UU OJK. Konsideran UU OJK yang menggunakan Pasal 33 UUD 1945 sebagai cantolan, mengharuskan OJK terintegrasi dengan sistem perekenomian yang diamanatkan konstitusi, sehingga tidak mungkin independen dan bebas dari campur tangan pihak lain. Oleh karena itu independensi OJK menjadi pertanyaan besar, untuk kepentingan siapa independensi itu dibuat?
“Ada kecenderungan OJK akan menjadi lembaga yang berdiri bebas, lepas dari kekuasaan negara. OJK nanti akan sangat terpengaruh pada perkembangan pasar keuangan. Akibatnya, kepentingan publik yang menyangkut stabilitas keuangan, kemudian penurunan tingkat kejahatan keuangan, dan perlindungan konsumen akan terabaikan dan sulit dicapai,” dalil Syamsudin Slawat.
Sejatinya independen hanya dikenal melalui turunan regulasi yang merujuk dan mengacu pada ketentuan Pasal 23D UUD 1945, di mana dapat dimungkinkan adanya Bank Sentral yang independen. Namun entitas OJK bukan turunan dan/atau lembaga operasional dari fungsi dan tugas Bank Sentral, di mana juga OJK mencakup tugas Bapepam LK. Dengan demikian kata “independen” bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.

Pungutan OJK
Pendanaan OJK sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 37 UU OJK yaitu mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Perusahaan di sektor jasa keuangan wajib membayar pungutan yang dikenakan OJK. Pungutan tersebut merupakan penerimaan OJK. OJK akan mengelola dan mengadministrasikan pungutan secara akuntabel dan mandiri.
Muncul pertanyaan, dalam nomenklatur APBN, penerimaan OJK ini akan ditempatkan sebagai apa? Jika memang akan ditempatkan sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), maka patut dipertanyakan sejauh mana Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) akan melakukan audit? Apalagi OJK adalah lembaga independen sehingga terdapat celah yang sangat besar terjadinya penyimpangan sebagaimana dahulu pernah terjadi pada dana nonbudgeter Bulog.
Ketentuan Pasal 37 tersebut dengan kata lain akan menimbulkan dampak: (a) Mengurangi kemandirian OJK, karena OJK merupakan badan publik dengan amanat yang diberikan oleh rakyat melalui DPR; (b) Sumber pendanaan dari jasa keuangan di pihak lain juga akan membalik akuntabilitas substantif OJK dari kepentingan publik dan konsumen kepada kepentingan industri jasa dan keuangan.
Pemohon juga mempersoalkan dasar pemikiran dari penentuan jumlah kutipan sebesar 0,045% dari total aset industri keuangan serta profesi dan lembaga lain dengan jumlah yang bervariasi. Secara eksplisit menurut Pemohon pelaku industri keuangan (perbankan) juga mempertanyakan manfaat kutipan OJK tersebut. Seharusnya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang lebih layak dikenai pungutan mengingat fungsi dan perannya sebagai jangkar dalam hal terjadi krisis.
Keberatan juga disampaikan industri perbankan yang tergabung dalam Perhimpunan Bank-Bank Nasional (PERBANAS) dan Himpunan Bank-Bank Milik Negara (HIMBARA) yang mengkhawatirkan adanya pembebanan biaya kutipan OJK kepada nasabah, termasuk di dalamnya para Pemohon uji materi ini.
Di sisi lain, pendanaan OJK sampai 2016 masih akan menggunakan APBN. Artinya status hukum dana APBN yang digunakan sebagai biaya operasional secara konstitusional tidak memiliki landasan hukum dikarenakan OJK tidak berada dalam struktur ketatanegaraan yang rigid (setidaknya dari cabang kekuasaan eksekutif), dan juga sifat OJK yang independen. Dapat dipastikan terdapat potensi penyalahgunaan kewenangan keuangan negara yang dilakukan oleh OJK, setidaknya saat mereka menggunakan dana APBN sampai dengan saat OJK mendapat pemasukan sendiri dari pungutan industri keuangan. Selain itu, Pemohon meragukan sumbangsih OJK terhadap penyelamatan krisis keuangan, jikalau krisis benar-benar terjadi, Pemohon menilai OJK tidak dapat menjamin institusi keuangan dapat terhindar dari krisis.

Pembekuan OJK
Menurut para Pemohon, beroperasinya OJK telah mengakibatkan kerugian keuangan negara secara masif. Oleh karena itu, dalam provisi para Pemohon meminta Mahkamah menghentikan untuk sementara operasional OJK. Selanjutnya, Bank Indonesia mengambil alih sementara fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan sebagaimana amanah Pasal 23D UUD 1945, sampai ada putusan Pengadilan yang bersifat final dan mengikat. “Menghentikan untuk sementara operasional OJK sampai ada putusan pengadilan yang bersifat final dan mengikat,” pinta Salamudin.
Tak hanya itu, para Pemohon juga meminta Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) melakukan audit, analisis dan penelitian mendalam terkait dengan adanya kerugian keuangan negara, potensi kerugian keuangan negara, serta memberikan rekomendasi siapa saja para pemangku kebijakan yang yang turut serta dalam pengambilan kebijakan tersebut.
Sedangkan dalam pokok permohonan, para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, dan Pasal 37 UU OJK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat. Kemudian menyatakan frasa “….tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan…” sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66, UU OJK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.



Ikhtilaf
Pro-kontra menghiasi persidangan uji materi UU OJK. Kubu Pemohon menginginkan pembekuan OJK. Sementara kubu Pemerintah dan DPR bersikukuh bahwa pengintegrasian pengawasan dan pengaturan sektor jasa keuangan oleh OJK merupakan keniscayaan.

Pemerintah
Independensi OJK untuk Hindari Benturan Kepentingan
Pembentukan UU OJK bertujuan agar pengawasan sektor jasa keuangan menjadi terintegrasi dan koordinasi di antara sub sektor jasa keuangan menjadi lebih baik, sehingga pengawasan dan regulasinya menjadi lebih efektif. Pengintegrasian pengawasan dan pengaturan sektor jasa keuangan tersebut merupakan keniscayaan mengingat semakin kompleksnya transaksi dan interaksi antarlembaga keuangan di dalam sistem keuangan, dan diharapkan menjadi salah satu solusi untuk menciptakan sistem penyelesaian dan pencegahan krisis keuangan di masa yang akan datang.
Filosofi independesi OJK di dalam melaksanakan tugasnya yaitu dikarenakan OJK mengawasi kegiatan jasa keuangan dan transaksi keuangan oleh entitas bisnis yang dapat berpotensi terjadinya benturan dan pengaruh kepentingan pihak-pihak tertentu, termasuk pihak Pemerintah. “Untuk itu, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, OJK harus independen atau bebas dari intervensi pihak-pihak berkepentingan. Tentunya dalam koridor hukum juga menjamin bahwa independensi tersebut dapat dimintakan pertanggungjawabannya,” kata Isa Rachmatarwata (Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kebijakan dan Regulasi Jasa Keuangan dan Pasar Modal) dalam persidangan di MK, Senin (5/5/2014).

DPR
Fungsi Makroprudensial dan Mikroprudensial Harus Dipisahkan
Pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan secara terintegrasi oleh OJK dimaksudkan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan terselenggara secara transparan dan akuntabel serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara secara berkelanjutan dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. OJK sebagai lembaga yang berwenang untuk melakukan pengaturan dan pengawasan seluruh lembaga yang bergerak di sektor jasa keuangan diharapakan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan nasional hingga mampu meningkatkan daya saing internasional.
Pengaturan dan pengawasan yang dilakukan oleh OJK merupakan pelaksanaan mikroprudensial perbankan. Sedangkan pengawasan fungsi moneter yang dilakukan Bank Indonesia merupakan pelaksanaan fungsi makroprudensial perbankan. “Pelaksanaan fungsi makroprudensial dan mikroprudensial harus dipisahkan dalam lembaga yang berbeda. Hal ini untuk menghindari terjadinya penumpukkan kewenangan dalam satu tangan pada sektor keuangan khususnya di bidang perbankkan,” kata Wakil Ketua Komisi III DPR RI Harry Azhar Azis dalam persidangan di MK, Senin (5/5/2014).

Muliaman D. Hadad
Independensi Tugas, Fungsi, dan Kewenangan
Independensi OJK dalam menjalankan fungsi dan tugasnya secara tegas memiliki landasan hukum dan latar belakang yang formal maupun material. “Independensi OJK harus dimaknai sebagai independensi di dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangannya. Namun demikian, hal ini tidak menghilangkan fungsi koordinasi dengan lembaga lain yang terkait, yaitu Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, maupun Lembaga Penjamin Simpanan, di dalam rangka menjaga stabilitas sektor keuangan dan independensi dimaksud harus pula disertai dengan mekanisme control dan tidak dimaknai independensi yang sebebas-bebasnya,” kata Ketua Dewan Komisioner Muliaman D. Hadad dalam persidangan di MK, Kamis (18/9/2014).
Pengalihan tugas pengaturan dan pengawasan dari Bank Indonesia ke OJK adalah merupakan amanat UU Bank Indonesia. Hal ini sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945. “Justru sebagai bagian dari pelaksanaan ketentuan Pasal 23D UUD 1945,” tegasnya.
Anggaran OJK bersumber dari APBN dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sector jasa keuangan. Pembiayaan kegiatan OJK sewajarnya didanai secara mandiri yang pendanaannya bersumber dari pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Penggunaan mekanisme pungutan kepada industri merupakan konsekuensi logis mengingat fungsi yang diemban OJK pada gilirannya akan memberikan manfaat kepada industri jasa keuangan itu sendiri. “Dalil yang menyebutkan bahwa pungutan kepada industri akan mengurangi kemandirian atau menimbulkan potensi penyimpangan atas pungutan yang dilakukan oleh OJK tidaklah beralasan karena pungutan ini diatur dengan undang-undang dengan mekanisme yang wajar dan akuntabel,” bantahnya.

Syamsul Hadi
Kepentingan IMF
Dengan adanya UU OJK, maka peran Bank Indonesia sebagai otoritas tunggal pengawas dan pengatur bank yang diemban sejak tahun 1953, beralih ke lembaga baru yang bernama OJK. Pengaruh asing dalam pembuatan OJK menyalahi prinsip-prinsip pengaturan ekonomi dalam UUD 1945. Hal ini dapat ditelusuri dari ide pembentukan lembaga pengawasan di sektor keuangan yang sebenarnya sudah mulai ada sejak krisis moneter melanda Indonesia, di saat IMF berperan sangat sentral dalam ekonomi nasional dengan cara-cara yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip pengaturan ekonomi yang diamanatkan UUD 1945.
IMF menginginkan dibentuknya sebuah lembaga pengawas keuangan yang terpisah dari Kementerian Keuangan dan Bank Sentral dengan mengambil model Financial Service Otority (FSA) di Inggris. “Padahal kenyataanya, FSA sendiri justru dipandang gagal melaksanakan tugas dan wewenangnya, khususnya ketika Inggris dihadapkan kepada krisis financial global 2008. Belakangan, Inggris justru mengembalikan sistem pengawasan bank dari model Otoritas Jasa Keuangan atau FSA ke bank sentral,” kata Syamsul Hadi, ahli yang dihadirkan oleh Pemohon dalam persidangan di MK, Kamis (18/9/2014)

Sri Edi Swasono
Bubarkan OJK
Tekanan kekuatan asing dalam upaya pelumpuhan perekonomian nasional telah menabrak ketentuan konstitusi. Oleh karena itu, pilihannya adalah pembubaran OJK. “OJK dibubarkan. Kalau OJK dibubarkan berarti Undang-Undang Bank Indonesia harus diamandemen karena adanya OJK adalah atas perintah undang-undang itu (UU Bank Indonesia),” kata Sri Edi Swasono, ahli yang dihadirkan oleh Pemohon dalam persidangan di MK, Rabu (8/10/2014)
Kemudian, OJK menjadi bagian daripada Bank Indonesia. Atau dikembalikan kepada bank sentral. Dengan demikian, posisi OJK menjadi jelas yaitu governmental, bukan non governmental, dan mendapat gaji dari pemerintah, serta keuangan OJK bersumber dari APBN. “Bagaimana kedaulatan suatu negara bisa tergantung kepada sebuah lembaga yang bukan pemerintah, non governmental yang namanya OJK? Ini adalah suatu yang berbahaya dan ini adalah bagian kelanjutan daripada skenario asing untuk melumpuhkan kekuatan ekonomi Indonesia,” tegasnya.
Margarito Kamis
Negara dalam Negara
UU OJK seperti negara dalam negara. “Bila Undang-Undang OJK dikenali secara utuh, agak sulit untuk tidak berkesimpulan bahwa ini tampak seperti negara dalam negara,” kata Margarito Kamis, ahli yang dihadirkan oleh Pemohon dalam persidangan di MK, Rabu (8/10/2014).
Pasal 23D UUD 1945 menyebutkan independensi bank sentral diatur dengan undang-undang. Namun hal ini tidak dapat bermakna bahwa independensi bank sentral itu sebagian kewenangannya diserahkan kepada organ lain yang tidak diperintahkan oleh konstitusi. Makna independensi ini harus dimaknai sebagai patokan penentu relasi antara Bank Indonesia dengan pemerintah. “Jadi, derajat relasi fungsi antara pemerintah dengan Bank Indonesia itu yang dimaksud dengan Pasal 23 bukan mengurangi sebagian kewenangan Bank Indonesia dan kewenangan itu diserahkan kepada lembaga lain di luarnya,” jelasnya.
Tidak ada lembaga negara yang mempunyai dua sumber keuangan pendanaan. Sedangkan OJK dibiayai dengan APBN dan pungutan. “Argumentasi konstitusional apa yang dipakai untuk membenarkan tindakan ini?” Margarito mempertanyakan.

Saldi Isra
OJK adalah Lembaga Negara
Dari sisi definisi memang terdapat sedikit perbedaan antara OJK dengan Bank Indonesia terkait dengan penggunaan kata “negara”. Definisi Bank Indonesia menggunakan frasa “lembaga negara yang independen”. Sedangkan OJK hanya disebut sebagai “lembaga” tanpa “negara”, lalu ditambah dengan kata “independen”. Pendefinisian tanpa menggunakan frasa “lembaga negara” tidak saja untuk OJK, tetapi juga dipakai untuk mendefinisikan lembaga-lembaga negara lain, di antaranya, KPU, Bawaslu, Komnas HAM.
Pada dasarnya frasa “lembaga negara” atau hanya kata “lembaga” tidak mempengaruhi status dan kedudukan sebuah lembaga sebagai lembaga negara, sepanjang suatu lembaga dibentuk untuk melaksanakan fungsi-fungsi negara. “Oleh sebab itu, sekalipun OJK hanya didefinisikan sebagai ‘lembaga’ saja, bukan berarti OJK tidak berkedudukan sebagai lembaga negara,” kata Saldi Isra, saat menjadi ahli Pemerintah dalam persidangan di MK, Rabu (8/10/2014).
Sebab kedudukan OJK sangat tegas dinyatakan dalam UU OJK. Salah satu tujuan OJK adalah terselenggaranya sektor jasa keuangan secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel yang merupakan salah satu fungsi dari negara. OJK dibentuk untuk mengawasi perjalanan sektor jasa keuangan. “Sehingga tidak perlu diragukan lagi bahwa OJK berkedudukan sebagai lembaga negara, sama halnya dengan BI yang juga berkedudukan sebagai lembaga negara,” tegas Saldi.

Riawan Tjandra
Pola Serupa Pembentukan OJK dan KPK
Pembentukan OJK merupakan amanat Pasal 34 UU Bank Indonesia. UU OJK mulai diberlakukan pada 1 Januari 2013. Lembaga independen ini ditugaskan untuk mengatur dan mengawasi lembaga keuangan bank maupun nonbank. OJK mengambil alih tugas pengawasan lembaga keuangan bank dan nonbank yang selama ini dilakukan oleh Bank Indonesia sebagai pengawas bank, dan Bapepam-LK untuk lembaga keuangan nonbank.
Pembentukan OJK mirip pembentukan KPK. “Pola pembentukan OJK menyerupai pembentukan KPK dan cukup banyak state auxiliary agencies lainnya yang sifatnya constitutional important,” kata Riawan Tjandra saat menjadi ahli Pemerintah dalam persidangan di MK, Rabu (8/10/2014).
Krisis ekonomi yang dialami Indonesia pada 1997 dan 1998 mengharuskan pemerintah melakukan pembenahan di sektor perbankan dalam rangka melakukan stabilisasi sistem keuangan dan mencegah terulangnya krisis. Pengalaman mengahadapi krisis multidimensi pada 1997 dan 1998 memberikan gambaran pentingnya peranan jasa keuangan dalam mendukung perekonomian nasional. Oleh karena itu, pengelolaan sektor jasa keuangan yang baik menjadi penting untuk mencegah terjadinya krisis, sehingga krisis yang pernah dialami diharapkan tidak akan terjadi lagi. “Untuk itu, diperlukan keberadaan Otoritas Jasa Keuangan dalam mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil,” jelas Riawan.

Maruarar Siahaan
OJK, Suatu Keharusan
Dalam perkembangan negara modern, bahkan di negara-negara yang menganut paham liberal, peran negara diupayakan menjadi sangat minimal. “Kadang-kadang dia (negara) hanya penjaga malam,” kata Maruarar Siahaan, saat menjadi ahli Pemerintah dalam persidangan di MK, Selasa (28/10/2014).
Perkembangan lembaga-lembaga baru yang dibentuk di Indonesia sangat banyak. Keberadaan beberapa lembaga baru ini bersifat independen. Kadang-kadang lembaga independen itu mengambil semua kewenangan. OJK sebagai lembaga negara yang independen tentu memiliki kewenangan. Namun check and balance tetap berjalan. Produk OJK dalam regulasi tetap bisa diuji sesuai dengan hierarki yang ada.
Dalam globalisasi, pergerakan modal, uang, jasa, sedemikian tinggi. Misalnya dengan one click dari komputer yang berada di Amerika, bisa menggerakkan aksi jual atau beli modal yang ada di pasar jasa keuangan di Indonesia. Hal ini membuat kita akan berhati-hati untuk melihat misalnya ada pemikiran bahwa OJK itu sudah inkonstitusional. “Saya pikir mandat seperti ini di mana dibentuk satu OJK untuk melakukan pengawasan terhadap aktivitas jasa-jasa keuangan yang demikian dahsyat tumbuhnya di Indonesia sekarang ini, itu merupakan suatu keharusan,” papar Maruarar.

Zainal Arifin Mochtar
Pembentukan OJK Hasil Ijtihad Negara
Sering terjadi kesalahan dalam cara pandang soal lembaga negara independen. Seakan-akan lembaga negara independen itu adalah lembaga ekstranegara, padahal bukan. “Dia bukan lembaga ekstranegara, dia tetap merupakan perpanjangan tangan dari negara. Tapi benar kalau dia disebutkan sebagai ekstra dari tiga cabang kekuasaan lama,” kata Zainal Arifin Mochtar saat menjadi ahli Pemerintah dalam persidangan di MK, Selasa (28/10/2014).
Setidaknya ada tujuh ciri lembaga negara independen. Pertama kepemimpinannya bersifat kolektif kolegial. Kedua. Bebas dari pengaruh manapun. Ketiga, sistem pergantian anggotanya bersifat berjenjang (staggered terms) demi kesinambungan kerja. Keempat, masa jabatannya fixed dan yang paling penting tidak boleh diberhentikan oleh alasan apa pun kecuali alasan yang diatur oleh UU. Kelima, self regulatory bodies karena dia di luar dari tiga cabang kekuasaan. Keenam, dia harus disematkan, disesuaikan dengan independensi fungsinya. Ketujuh, sering kali bersifat campur sari.
Dalam bahasa Jimly Asshiddiqie, campur sari itu menggabungkan sifat-sifat kelembagaan yang ada di eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Misalnya KPK yang menggabungkan fungsi tersebut secara independen, tanpa campur tangan politik.
Dari berbagai pengertian tersebut, OJK menemukan fungsi ke-independen-annya secara sangat lugas karena adanya kepentingan dan tugas tertentu yang diinginkan oleh negara untuk dijalankan secara lebih independen dan bebas dari campur tangan manapun. Khususnya mengenai kepentingan untuk melakukan pengawasan terhadap perbankan secara independen, “Pembentukan OJK menurut saya adalah bagian dari ijtihad negara untuk melakukan perbaikan sektor pengawasan terhadap jasa keuangan dengan melalui open legal policy, lalu kemudian memisahkan dari Bank Indonesia,” papar Zainal.

Erman Rajagukguk
Implikasi Negatif Pengembalian Fungsi Pengawasan ke BI
Mengembalikan semua kegiatan pengawasan perbankan kembali ke Bank Indonesia, tidak semudah membalikkan telapak tangan dan membawa implikasi yang besar dalam sektor jasa keuangan. Pengembalian pengawasan perbankan tersebut membutuhkan pengaturan baru yang memakan waktu yang panjang, sehingga terjadi kekosongan hukum yang mengakibatkan ketidakpastian hukum.
Ketidakpastian hukum akan menyebabkan para investor melepas surat-surat berharga yang dimilikinya karena harganya yang akan terus merosot. Keadaan tersebut akan mempengaruhi kondisi fiskal perekonomian negara dikarenakan APBN-nya yang masih dalam keadaan defisit, membutuhkan alternatif pembiayaan untuk menutup defisit yang dimaksud dengan menerbitkan surat berharga negara. Namun nilai surat berharga dimaksud menjadi berkurang, tidak laku, dan pemerintah dapat mengalami keadaan default. Dalam arti pinjaman menjadi tidak terbayarkan dan defisit tidak dapat ditutup. “Hal tersebut akan mengakibatkan krisis keuangan dan perekonomian yang pada akhirnya dapat menyebabkan krisis pemerintahan. Dengan perkataan lain, tindakan hukum yang demikian yaitu mengembalikan fungsi pengawasan perbankan akan membawa akibat negatif bagi ekonomi bangsa,” kata Erman Rajagukguk saat menjadi ahli Pemerintah dalam persidangan di MK, Selasa (28/10/2014).

Sihabudin
Bukan Desakan IMF
Secara historis, munculnya Pasal 34 UU Bank Indonesia sebenarnya bukan karena desakan IMF. Peran IMF hanya memberikan saran yang sifatnya umum, tetapi letter of intent atau keinginan untuk membuat konsep itu sebenarnya adalah kehendak Indonesia. “Kehendak Indonesia sendiri, bukan atas desakan,” kata Sihabuddin saat menjadi ahli Pemerintah dalam persidangan di MK, Selasa (28/10/2014).
Apalagi saat itu tidak ada lagi hubungan yang mengikat antara IMF dengan Indonesia. Bahkan pada perkembangan selanjutnya, pengawasan bank sudah tidak lagi dilakukan oleh IMF
Apabila pengawasan yang sudah berjalan yang dilakukan oleh OJK sebagai pengawas independen ini dihentikan beberapa saat saja, maka ini akan berpengaruh yang luar biasa karena bisa terjadi ketidakpercayaan masyarakat terhadap uang yang diinvestasikan ataupun ditabung di dalam bank ataupun lembaga keuangan karena tidak ada pengawasan. “Sebentar saja, maka akan terjadi suatu persoalan yang besar. Apalagi kalau Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan ini sampai dibatalkan, ini kira-kira negara lain tidak percaya terhadap Indonesia, akan mempunyai dampak yang luar biasa,” pungkas Sihabuddin.

Nur Rosihin Ana, 
Majalah Konstitusi Edisi November 2014, hal 14-23, klik di sini

readmore »»  
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More