Harmoni...

Jakarta, September 2010

Harmoni...

Jakarta, Desember 2010

Belahan jiwa

......

...Belahan jiwa...

......

ceria...

Jakarta, 8 Januari 2012

Nora Uzhma Naghata

Bogor, 24 Februari 2011

Nora Uzhma Naghata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Taman Safari Puncak

Bogor, 24 Februari 2011

Bandara Ahmad Yani

Semarang, 28 September 2011

Rileks

*********

Nur Rosihin Ana

Semarang, 19 Oktober 2010

Nur Rosihin Ana

mahkamah dusturiyyah, 18 Juli 2012

Nur Rosihin Ana

Hotel Yasmin, Puncak, Desember 2010

Nora Uzhma Naghata

Naghata

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Demak, 11 September 2011

Nur Rosihin Ana

Nagreg, Bandung 11 Juli 2011

Nora Uzhma Naghata, Sri Utami, Najuba Uzuma Akasyata, Nur Rosihin Ana

Sapa senja di Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Sapa Senja Jepara

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

...bebas, lepas...

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Jumat, 25 Februari 2011

12 Tahun, Batas Usia Pidana Anak

Panitera Mahkamah Konstitusi, Kasianur Sidauruk menyerahkan salinan Putusan kepada Pihak Pemerintah yang diwakili oleh Mualimin Abdi dari Kementerian Hukum dan HAM, Kamis (24/2/11)
Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya menyatakan batas usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana adalah 12 tahun. Mahkamah berpendapat, batas umur minimal 12 tahun lebih menjamin hak anak untuk tumbuh berkembang dan mendapatkan perlindungan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945.
Batas umur 8 tahun bagi anak untuk dapat diajukan ke persidangan dan belum mencapai umur 8 tahun untuk dapat dilakukan pemeriksaan oleh penyidik, secara faktual relatif rendah. Penjelasan UU Pengadilan Anak menentukan batas umur 8 tahun secara sosiologis, psikologis, pedagogis anak dapat dianggap sudah mempunyai rasa tanggung jawab. Mahkamah berpendapat fakta hukum menunjukkan adanya beberapa permasalahan dalam proses penyidikan, penahanan, dan persidangan, sehingga menciderai hak konstitusional anak yang dijamin dalam UUD 1945.
Demikian antara lain pendapat Mahkamah dalam sidang pengucapan putusan yang dibacakan pada Kamis (24/2/2011). Dalam amar putusannya, Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan. Perkara nomor 1/PUU-VIII/2010 mengenai uji UU Pengadilan Anak ini dimohonkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan (YPKPAM). KPAI dan YPKPAM menguji konstitusionalitas Pasal 1 angka 2 huruf b, Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 22, Pasal 23 ayat (2) huruf a, Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak terhadap Pasal 28B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
Usia Bertanggung jawab
Mahkamah berpendapat, keberadaan UU Pengadilan Anak ini seharusnya ditujukan untuk memberikan perlindungan terbaik pada anak untuk dapat menjamin hak hidup (rights to life), hak kelangsungan hidup (rights to survival), dan hak tumbuh kembang anak (rights to develop). Keberadaan UU Pengadilan Anak secara khusus ditujukan bagi kepentingan terbaik bagi anak adalah bentuk dari affirmative action bagi Anak.
Setelah mencermati seluruh ketentuan tentang Pengadilan Anak, Mahkamah memandang terdapat substansi atau materi UU Pengadilan Anak yang perlu diperbaiki, seperti Pasal 23 ayat (2) huruf a UU yang menyatakan, “Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah: a. Pidana penjara; b. Pidana kurungan; c. Pidana denda; atau d. Pidana pengawasan”. Sistematika rumusan tersebut seharusnya mendahulukan pidana pengawasan dan yang terakhir barulah pidana penjara.
Berdasarkan pandangan hukum dari ahli Pemerintah, Dr. Mudzakkir, S.H., M.H., ahli Pemohon, Dr. Surastini, S.H., M.H., Fentiny Nugroho, M.A., Ph.D, Prof. Bismar Siregar, Hj. Aisyah Amini, dan Adi Fahrudin, Mahkamah memandang batasan umur telah menimbulkan pelbagai penafsiran dan kontroversi pemikiran sehingga perlu ada batasan usia yang serasi dan selaras dalam pertanggungjawaban hukum bagi anak yang terdapat dalam UU Pengadilan Anak dengan mendasarkan pada pertimbangan hak-hak konstitusional anak. Mahkamah menemukan adanya perbedaan antara batas usia minimal bagi anak yang dapat diajukan dalam proses penyidikan, proses persidangan, dan pemidanaan.
Pasal 4 ayat (1) UU Pengadilan Anak menyatakan batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang-kurangnya 8 tahun. Selanjutnya, Pasal 5 ayat (1) menyatakan dalam hal anak belum mencapai umur 8 tahun dapat dilakukan penyidikan. Sedangkan Pasal 26 ayat (3) dan ayat (4) UU Pengadilan Anak menyatakan apabila anak nakal belum mencukupi umur 12 tahun melakukan tindak pidana yang diancam hukuman mati atau seumur hidup maka terhadap anak nakal hanya dapat dijatuhkan tindakan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) UU Pengadilan Anak tidak dapat dilakukan apabila belum mencapai umur 12 tahun.
Penetapan umur minimal 12 tahun sebagai ambang batas umur pertanggungjawaban hukum bagi anak telah diterima dalam praktik sebagian negara-negara sebagaimana juga direkomendasikan oleh Komite Hak Anak PBB dalam General Comment, 10 Februari 2007. Dengan batasan umur 12 tahun maka telah sesuai dengan ketentuan tentang pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak dalam Pasal 26 ayat (3) dan ayat (4). Penetapan batas umur tersebut juga dengan mempertimbangkan bahwa anak secara relatif sudah memiliki kecerdasan emosional, mental, dan intelektual yang stabil serta sesuai dengan psikologi anak dan budaya bangsa Indonesia, sehingga dapat bertanggung jawab secara hukum karena telah mengetahui hak dan kewajibannya. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat, batas umur minimal 12 tahun lebih menjamin hak anak untuk tumbuh berkembang dan mendapatkan perlindungan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945.
Meskipun yang dimohonkan pengujian hanya Pasal 4 ayat (1) sepanjang frasa, “...sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun...” dan Pasal 5 ayat (1) sepanjang frasa, “...belum mencapai umur 8 (delapan) tahun...”, namun Mahkamah sesuai dengan kewenangan konstitusionalnya, tidak akan membiarkan adanya norma dalam UU yang tidak konsisten dan tidak sesuai dengan amanat perlindungan konstitutional yang dikonstruksikan oleh Mahkamah. Oleh karena itu, norma-norma pasal yang lain dalam Undang-Undang ini, yaitu Pasal 1 angka 1 dan penjelasan UU Pengadilan Anak sepanjang mengandung frasa sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) UU Pengadilan Anak harus dinyatakan inkonstitusional bersyarat.
Dalam konklusinya, Mahkamah menilai dalil-dalil Pemohon terbukti menurut hukum untuk sebagian. Alhasil dalam amar putusan, Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Mahkamah menyatakan frasa,”... 8 (delapan) tahun...,” dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), dan Pasal 5 ayat (1) UU 3/1997 tentang Pengadilan Anak beserta penjelasannya khususnya terkait dengan frasa “...8 (delapan) tahun...” bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional), artinya inkonstitusional, kecuali dimaknai “...12 (dua belas) tahun...”.
Selanjutnya, menyatakan frasa dalam pasal-pasal beserta penjelasannya dalam UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat (conditionally unconstitutional), artinya inkonstitusional, kecuali dimaknai “...12 (dua belas) tahun...”. Terakhir, menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.
Beda Pendapat
Putusan ini tidak diambil secara bulat oleh sembilan hakim konstitusi dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar mengambil posisi berbeda dalam berpendapat (dissenting opinion) terhadap Pasal 1 angka 2 huruf b UU 3/1997 sepanjang frasa ” ...maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan”,.
Menurut Akil, seharusnya Mahkamah menyatakan Pasal 1 angka 2 huruf b UU 3/1997 tentang Pengadilan Anak sepanjang frasa tersebut, bertentangan dengan UUD 1945. (Nur Rosihin Ana/mh)

Sumber:
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=5049
readmore »»  

Pengaturan Penyadapan dengan Peraturan Pemerintah Inkonstitusional

Majelis Hakim Konstitusi saat sidang pengucapan putusan uji materi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang dibacakan pada Kamis (24/2/2011). Dalam amar putusannya, Mahkamah mengabulkan seluruh permohonan.
Jakarta, MKOnline - Penyadapan (interception) merupakan bentuk pelanggaran terhadap rights of privacy yang bertentangan dengan UUD 1945. Rights of privacy merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dapat dibatasi (derogable rights), namun pembatasan atas rights of privacy ini hanya dapat dilakukan dengan UU, sebagaimana ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Demikian pendapat Mahkamah dalam sidang pengucapan putusan uji materi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang dibacakan pada Kamis (24/2/2011). Dalam amar putusannya, Mahkamah mengabulkan seluruh permohonan.
Permohonan Nomor 5/PUU-VIII/2010 mengenai uji materi UU ITE ini diajukan oleh Anggara, Supriyadi Widodo Eddyono, dan Wahyudi. Pemohon meminta kepada Mahkamah agar mencabut Pasal 31 ayat (4) UU 11/2008 yang menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Ketentuan tata cara penyadapan menurut Pemohon tidak seharusnya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah melainkan harus diatur melalui UU. Sebab pengaturan penyadapan dalam Peraturan Pemerintah tidak akan cukup menampung artikulasi pengaturan mengenai penyadapan.
Selain itu, dalil Pemohon, menyatakan penyadapan oleh aparat hukum atau institusi resmi negara tetap menjadi kontroversial karena merupakan praktik invasi atas hak-hak privasi warga negaranya yang mencakup privasi atas kehidupan pribadi, kehidupan keluarga maupun korespondensi. Ketidakjelasan pengaturan mengenai penyadapan, akan berpotensi pada penyalahgunaan yang berdampak pada pelanggaran HAM para Pemohon maupun masyarakat pada umumnya.
Mahkamah dalam pendapatnya mengatakan, dalam perkembangannya penyadapan seringkali digunakan untuk membantu proses hukum tertentu, seperti penyelidikan kasus-kasus kriminal dalam mengungkap aksi teror, korupsi, dan tindak pidana narkoba. Penyadapan yang diperbolehkan ini dikenal juga sebagai lawful interception (penyadapan yang legal/sah di mata hukum)
Kewenangan penyadapan merupakan hal yang sangat sensitif karena di satu sisi merupakan pembatasan HAM namun di sisi lain memiliki aspek kepentingan hukum. Oleh karena itu, pengaturan (regulation) mengenai legalitas penyadapan harus dibentuk dan diformulasikan secara tepat sesuai dengan UUD 1945.
Mahkamah menilai hingga saat ini belum ada pengaturan secara komprehensif mengenai penyadapan. Di beberapa negara pengaturan mengenai penyadapan diatur dalam KUHP, antara lain di Amerika Serikat, Belanda, dan Canada. Sedangkan di Indonesia, pengaturan mengenai penyadapan tersebar di beberapa peraturan perundang-undangan. Tidak ada pengaturan yang baku mengenai penyadapan, sehingga memungkinkan terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya. Sinkronisasi ini hanya dapat dilakukan oleh peraturan setingkat UU dan bukan dengan Peraturan Pemerintah.
Oleh karena itu, perlu adanya sebuah UU khusus yang mengatur penyadapan pada umumnya hingga tata cara penyadapan untuk masing-masing lembaga yang berwenang. UU ini amat dibutuhkan karena hingga saat ini masih belum ada pengaturan yang sinkron mengenai penyadapan sehingga berpotensi merugikan hak konstitutional warga negara pada umumnya.
Sedangkan Peraturan Pemerintah tidak dapat mengatur pembatasan HAM. Bentuk Peraturan Pemerintah hanya merupakan pengaturan administratif dan tidak memiliki kewenangan untuk menampung pembatasan atas HAM.
Alhasil dalam amar putusan, Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Mahkamah menyatakan Pasal 31 ayat (4) UU 11/2008 tentang ITE bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (Nur Rosihin Ana/mh)

Sumber:
readmore »»  

Rabu, 23 Februari 2011

Uji Materi UU Serikat Pekerja: Pelaporan Dugaan Korupsi Berbuah PHK

Hakim Konstitusi Achmad Sodiki (ketua panel) sedang memeriksa permohonan uji materi UU 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat buruh, Selasa (22/2/11).
Jakarta, MKOnline – Berbagai upaya hukum telah ditempuh Idrus Nawawi dan Haimingsi Hapsari untuk mencari keadilan. Namun semuanya tidak berpihak sebagaimana harapan keduanya.
Idrus dan Haimingsi mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh Direksi PT Semen Baturaja, sebuah BUMN tempat di mana mereka bekerja. Idrus dan Hamingsi menilai tindakan Direksi PT Semen Baturaja yang mem-PHPK mereka bertentangan dengan UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Demikian paparan Pemohon dalam sidang pendahuluan uji materi UU 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (22/2/2011).
Pemohon Idrus Nawawi dan Hamingsi Hapari adalah mantan Ketua dan mantan Sektretaris PUK SP KEP SPSI PT Semen Baturaja Site Baturaja. Keduanya memohonkan uji materil Pasal 1 Ayat (8) UU 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Dalam paparannya di depan sidang panel MK, Idrus menyatakan, sewaktu menjabat Ketua dan Sekretaris SPSI PT Semen Baturaja, Idrus dan Haimingsi melaporkan dugaan korupsi di tubuh PT Semen Baturaja. Pelaporan ini mengakibatkan keduanya di-PHK. Merasa diperlakukan tidak adil, keduanya pun melakukan upaya hukum yaitu melaporkan Direksi PT Semen Baturaja ke Polda Sumatera Selatan (Sumsel) dengan tuduhan menghalang-halangi kegiatan Serikat Pekerja dengan cara mem-PHK. Namun, Polda Sumsel menghentikan penyidikan dengan alasan tindakan Direksi PT Semen Baturaja bukan ranah pidana. “Kami tidak menerima penghentian penyidikan atas laporan kami,” imbuh Idrus menyampaikan keberatan.
Selanjutnya, Idrus menempuh jalur hukum mempra-peradilan-kan SP3 Polda Sumsel ke PN Palembang. Namun putusan PN Palembang No.01/Pra-Per/Akte-Pid/2006 tanggal 10 Februari 2006 antara lain menyatakan, SP3 yang dikeluarkan oleh Polda Sumsel adalah sah menurut hukum. Tidak terima dengan putusan PN Palembang, Idrus pun mengajukan kasasi ke MA, namun permohonannya juga ditolak. “Permohonan kasasi kami ditolak oleh Mahkamah Agung dengan alasan perkara yang tidak dapat diajukan kasasi antara lain putusan tentang praperadilan,” terangnya.
Akhirnya, Idrus mengajukan PK ke MA. Lagi-lagi permohonannya ditolak. “Karena itu kami melakukan upaya hukum yang terakhir untuk menentukan apakah benar kapasitas kami di dalam menjalankan kegiatan ini dilindungi oleh UU, khususnya UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh,” lanjut Idrus.
Berdasarkan keterangan saksi ahli dari Dinas Tenaga Kerja Kab. OKU Prov. Sumsel, terang Idrus, bahwa PT Semen Baturaja yang merupakan perusahaan BUMN, tidak tunduk pada UU 21/2000. Pasal 1 ayat (8) UU 21/2000 menyatakan: “Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang memperkerjakan pekerja/buruh dengan memberi upah atau imbalan dalam bentuk lain”.
Dalam tuntutannya, Idrus dan Haimingsi memohonkan agar Pasal 1 ayat (8) UU 21/2000 dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu, Pemohon meminta tindakan Direksi PT. Semen Baturaja yang mem-PHPK Pemohon, tunduk pada UU Serikat Pekerja tersebut.
Selanjutnya, Pemohon juga meminta MK menyatakan Ketetapan tentang penghentian penyidikan yang dikeluarkan oleh Termohon dengan No. Pol: S.Tap/89.b/XI/2005/Um/Dit. Reskrim SS, tgl 18 November 2005 tidak sah menurut hukum dan memerintahkan Kepolisian Negara RI melanjutkan penyidikan terhadap laporan para Pemohon kepada Polda Sumsel No. Pol: LP/159-K/III/2002 Yanmas Polda Sumsel Tanggal 28 Maret 2002. “Kami mengharapkan kepada majelis hakim Mahkamah Konstitusi RI kiranya berkenan memberikan putusan yang seadil-adilnya,” pinta Idrus di akhir paparannya.

“Salah Kamar”
Sidang dengan agenda pemeriksaan pendahuluan untuk perkara Nomor 13/PUU-IX/2011 ini dilaksanakan oleh panel hakim Achmad Sodiki sebagai Ketua Panel, didampingi Anggota Panel Ahmad Fadlil Sumadi dan M. Akil Mochtar. Achmad Sodiki menyarankan Pemohon menghubungi Panitera MK untuk mendapatkan arahan mengenai format permohonan yang benar. Sodiki juga menjelaskan mengenai pengujian UU di MK. “Yang menjadi wewenang Mahkamah adalah pengujian UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945,” jelas Sodiki. Selain itu, Sodiki menyarankan Pemohon menguraikan tentang kerugian konstitusional yang dideritanya.    
    
Mengkritisi permohonan, M. Akil Mochtar menyatakan permohonan belum memenuhi syarat untuk diajukan ke MK. Sebab, kata Akil, yang diuji di MK adalah pasal atau ayat dalam UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. “Sementara petitum Saudara malah menyatakan bahwa Pasal Pasal 1 angka 8 itu tidak bertentangan dengan UUD 1945. Ini salah kamar” kata Akil. Sedangkan Ahmad Fadlil Sumadi menilai hak yang dimaksudkan Pemohon bukanlah termasuk hak konstitusional. Senada dengan Akil, Fadlil juga menilai permohonan “salah kamar”. (Nur Rosihin Ana). 
Sumber:
readmore »»  

Kamis, 10 Februari 2011

Diberhentikan Tidak Hormat, Persoalkan Hak Pensiun PNS

Pemohon Prinsipal, Widodo Edy Budianto seorang mantan Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Kantor Administrator Pelabuhan Tegal ini mempermasalahkan hak pensiunnya sebagai seorang PNS setelah diberhentikan dengan tidak hormat, Rabu (9/2/2011)
Jakarta, MKOnline - Widodo Edy Budianto kembali hadir di persidangan  Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (9/2/2011) untuk menjalani sidang lanjutan uji materi UU Hak Pensiun Pegawai. Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Kantor Administrator Pelabuhan Tegal ini mempermasalahkan hak pensiunnya sebagai seorang PNS setelah diberhentikan dengan tidak hormat. Pemohon mengaku saat dirinya diberhentikan dengan tidak hormat, usianya menginjak 50 tahun dengan masa kerja selama 24 tahun.
Widodo mengujikan materi Pasal 9 ayat (1) huruf a UU 11/1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai yang menyatakan, “pegawai yang diberhentikan dengan hormat sebagai pegawai negeri berhak menerima pensiun pegawai, jikalau ia pada saat pemberhentiannya sebagai pegawai negeri telah mencapai usia sekurang-kurangnya 50 tahun dan mempunyai masa kerja untuk pensiun sekurang-kurangnya 20 tahun.” Menurutnya, Pasal 9 ayat (1) huruf a UU 11/1969 bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28D Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 28G Ayat (1), Pasal 28H Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 28I Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 28I Ayat (4) dan Ayat (5) UUD 1945.
Sidang untuk perkara Nomor 7/PUU-IX/2011 ini dilaksanakan oleh Panel Hakim Achmad Sodiki sebagai (ketua panel), Muhammad Alim dan Hamdan Zoelva. Dalam persidangan dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan ini, Widodo menjelaskan beberapa dalil yang melatarbelakangi permohonannya.
Pertama, tidak ada ketentuan dalam UU maupun Peraturan Pemerintah (PP) mengenai pemberhentian PNS, baik dengan hormat maupun tidak dengan hormat karena alasan melanggar disiplin. “Tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa semua pegawai negeri sipil diberhentikan atau harus diberhentikan dengan hormat atau tidak dengan hormat sebagai pegawai negeri karena tidak masuk atau melanggar disiplin,” kata Widodo mendalilkan.
Kedua, Keputusan Menteri Perhubungan (Menhub) mengenai pemberhentian terhadap dirinya secara tidak hormat berdasarkan PP 30/1980. “Saya dijerat dengan PP 30 Tahun 1980,” kata Widodo. Berdasarkan PP 30/1980, jelas Widodo, tidak terdapat pasal tentang penjatuhan sanksi, baik dengan hormat maupun tidak dengan hormat. “Dengan demikian maka SK Menhub itu tidak ada landasan hukumnya,” lanjutnya.
Setelah mengemukakan dalil-dalil permohonan, Widodo menyampaikan perbaikan permohonan. Pertama, keputusan pemberhentian tidak dengan hormat melanggar UUD 1945 dan Pancasila. “Karena Pemohon tidak melakukan tindak pidana kejahatan yang berhubungan dengan jabatan dan tidak melakukan penyelewengan ideologi Negara Pancasila, UUD 1945 dan tidak melakukan kegiatan menentang Negara atau Pemerintah,” ujarnya.
Seharusnya, menurut Widodo, dirinya diberhentikan sementara dan mendapatkan uang tunggu. Kemudian, setelah mencapai usia 56 tahun dan mempunyai masa kerja 10 tahun, maka dia berhak mendapat uang pensiun. “Karena Pemohon sudah bekerja 13 tahun dan telah melebihi batas usia pensiun yang telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 8/1974 disempurnakan Peraturan Pemerintah Nomor 32/1979 pasal 18,” papar Widodo.
Dalam perbaikan permohonan, Widodo meminta Mahkamah menyatakan SK pemberhentian dengan tidak hormat, yaitu SK 18/KT 602/PHB/1998 yang disempurnakan dengan SK 399/2001 tidak mungkin dilaksanakan. “Seharusnya yang diberlakukan SK pemberhentian dengan hormat dengan berhak atas pensiun sebagaimana dalam UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian atau Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 55 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3041 disempurnakan Peraturan Pemerintah RI Nomor 32 Tahun 1979 pasal 18, sebagai penggantinya,” pungkas Widodo. (Nur Rosihin Ana/mh)

Sumber:
readmore »»  

Rabu, 09 Februari 2011

Uji Materi UU Kesehatan: Tembakau Bukan Zat Adiktif

Pemohon prinsipal Bambang Sukarno (perkara Nomor 19/PUU-VIII/2010) menghadirkan saksi fakta, Dr. Subagyo dalam persidangan uji materi Pasal 113 ayat (2) UU 36/2009 tentang Kesehatan, Selasa (8/2/11).
Jakarta, MKOnline - Masuknya frasa ”....tembakau, produk yang mengandung tembakau,....”, dalam Pasal 113 ayat (2) UU 36/ 2009 tentang Kesehatan, secara struktural tidak tepat. Sebab, pelembagaan Pasal 113 ayat (2) mengkategorisasi bentuk zat adiktif yang diatur dalam ayat (1). Sehingga pembacaan sesungguhnya adalah kategorisasi yang menunjukkan zat dalam bentuk padat, cair maupun gas. Demikian presentasi Zaenal Arifin Muchtar dalam kapasitasnya sebagai Ahli Pemohon dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK) Selasa (8/2/2011). Sidang pleno dengan agenda mendengar keterangan ahli ini dihadiri Pemohon prinsipal Bambang Sukarno (perkara Nomor 19/PUU-VIII/2010), Pemohon prinsipal Nurtanto Wisnu Brata (perkara Nomor 34/PUU-VIII/2010) dan kuasanya, A.H. Wakil kamal dan Iqbal Tawakkal Pasaribu.
Pemohon perkara Nomor 34/PUU-VIII/2010 menghadirkan 5 orang pakar, yaitu Prof. Dr. Muzdakkir, SH, MH, Ir. Purwono, MS, Dr. Revrisond Baswir, SE, Zaenal Arifin  Muchtar, SH. L.LM, Dan Prof. Dr. Saldi Isra, SH. Sedangkan Pemohon perkara Nomor 19/PUU-VIII/2010 menghadirkan 2 orang Saksi Fakta, Ala Sulistiono, dan dr. Subagyo. Hadir pula pihak terkait dan kuasanya yaitu Tulus Abadi dari YLKI, Muhammad Joni, Kuasa Pihak Terkait Komnas Perlindungan Anak, Sudaryatmo Kuasa Pihak Terkait dari Yayasan Kanker Indonesia, Tubagus  Haryo Karbianto, kuasa Pihak Terkait  dari Yayasan Jantung Indonesia, serta Ari Subagio Wibowo dari forum warga kota Jakarta. Sedangkan dari Kemenkum dan HAM (Pemerintah) tampak hadir antara lain, Heni Susila Wardoyo, Budi Sampurna.
Sebagaimana dalam permohonan, Pemohon perkara Nomor 19/PUU-VIII/2010 mengujikan Pasal 113 ayat (2) UU 36/2009 tentang Kesehatan. Sedangkan Pemohon perkara 34/PUU-VIII/2010 mengujikan norma Pasal 113 ayat (2) sepanjang frasa ”....tembakau, produk yang mengandung tembakau,....”, Pasal 114, dan Pasal 199 ayat (1) UU 36/ 2009 tentang Kesehatan.
Ahli Pemohon Mudzakkir dalam presentasinya mengatakan, perumusan norma hukum pada Pasal 113 ayat (2) mengandung unsur ketidakjelasan atau kesalahan dalam perumusan norma. Hal ini, lanjutnya, akan tampak jelas jika dihubungkan dengan norma hukum Pasal 113 ayat (1). Menurutnya, norma hukum pada Pasal 113 ayat (1) sudah tepat yaitu memuat norma hukum yang bersifat umum, yang dapat mendasari pengaturan lebih lanjut dalam UU pelaksanaannya. “Pengertian zat adiktif bermakna umum, genus, tidak merujuk pada benda atau objek tertentu, tidak hanya berlaku pada satu objek saja. Namun rumusan Pasal 113 ayat (2) ternyata secara eksplisit menyebutkan kata-kata ‘tembakau, produk yang mengandung tembakau’. Jelas ini susunan norma yang tidak tepat. Tembakau dan produk yang mengandung tembakau bukan zat adiktif. Karena zat adiktif adalah kandungan yang terdapat dalam tembakau,” paparnya.
Seharusnya, lanjut Mudzakkir, semua tanaman yang mengandung unsur zat adiktif disebutkan dalam Pasal 113 ayat (2). “Ini susunan yang kacau, karena satu sisi menyebutkan tembakau, sementara tanaman-tanaman lain yang mengandung unsur zat adiktif tidak dimasukkan di dalamnya,” lanjutnya.
Ahli selanjutnya, Purwono memaparkan mengenai konversi tanaman tembakau ke tanaman lainnya. Menurutnya, secara biofisik, konversi lahan tembakau ke tanaman lain bisa dilakukan jika ditemukan jenis tanaman yang mampu berkembang di areal tembakau. Akan tetapi, secara sosial-ekonomi, hal ini memerlukan upaya-upaya terkait bagaimana merubah perilaku dan budaya petani. “Petani harus dibina tentang tekhnik penguasaan tanaman yang baru. Kemudian harus ada jaminan pasar, kalau memang harus pindah ke komoditi yang lain,” papar pakar agronomi ini. 
Pertarungan Bisnis Rokok
Sementara itu, dari sisi ekonomi dan bisnis Revrisond Baswir menyoroti tiga aspek pertarungan bisnis dalam hal ini. Pertama, pertarungan antar sesama pengusaha rokok nasional. “Pertarungan terjadi antara produsen rokok putih dengan rokok kretek,” jelasnya. Kedua, antara pengusaha rokok domestik dan multinasional. “Perusahaan rokok multinasional ingin masuk ke Indonesia dan mendominasi pasar di tanah air. Pada tahap tertentu, pertarungan itu berakhir dengan diambilalihnya pabrik rokok nasional oleh sebuah pabrikan dari mancanegara,” lanjutnya. Ketiga, antara perusahaan rokok dengan perusahaan farmasi. “Perusahaan-perusahaan farmasi inilah yang besar kemungkinan secara terus menerus berkampanye bukan anti nikotin, tapi anti cara mengkonsumsi nikotin dari cara konvensional ke cara baru yang lebih menguntungkan secara bisnis,” tandas Revrisond. Selanjutnya Revrisond menyerahkan sebuah buku karya Wanda Hamilton, “Nicotine War” untuk dijadikan sebagai salah satu alat bukti pertarungan bisnis dalam industri rokok.
Pakar hukum tatanegara Saldi Isra yang juga didapuk sebagai ahli Pemohon, menjelaskan adanya rumusan pasal-pasal dalam UU Kesehatan yang menurutnya diskriminatif. “Perumusan Pasal Pasal 113 ayat (2) itu terkategori sebagai indirect discriminatioan,” kata Saldi. “Gagasan niliai mulia yang ada di dalam konsideran nilai “Menimbang”, tercederai oleh rumusan Pasal 113 ayat (2),” lanjutnya.
Pesan yang ingin disampaikan dalam UU Kesehatan menurut Saldi, bertujuan memelihara HAM, terutama untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Namun, pemeliharaan HAM yang diinginkan oleh pembentuk UU ternyata dalam perumusan norma, terutama dalam Pasal 113 ayat (2), mencederai HAM lain pula. “Setidak-tidaknya, hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan serta hak untuk tidak mendapat perlakuan diskriminatif,” papar Saldi. (Nur Rosihin Ana/mh)
Sumber:
readmore »»  
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More