Harmoni...

Jakarta, September 2010

Harmoni...

Jakarta, Desember 2010

Belahan jiwa

......

...Belahan jiwa...

......

ceria...

Jakarta, 8 Januari 2012

Nora Uzhma Naghata

Bogor, 24 Februari 2011

Nora Uzhma Naghata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Taman Safari Puncak

Bogor, 24 Februari 2011

Bandara Ahmad Yani

Semarang, 28 September 2011

Rileks

*********

Nur Rosihin Ana

Semarang, 19 Oktober 2010

Nur Rosihin Ana

mahkamah dusturiyyah, 18 Juli 2012

Nur Rosihin Ana

Hotel Yasmin, Puncak, Desember 2010

Nora Uzhma Naghata

Naghata

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Demak, 11 September 2011

Nur Rosihin Ana

Nagreg, Bandung 11 Juli 2011

Nora Uzhma Naghata, Sri Utami, Najuba Uzuma Akasyata, Nur Rosihin Ana

Sapa senja di Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Sapa Senja Jepara

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

...bebas, lepas...

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Kamis, 20 Agustus 2015

Membedah UU Tenaga Kesehatan

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (UU Nakes) disinyalir mengandung beberapa ketentuan yang bertentangan dengan UUD 1945. Ketentuan dimaksud yaitu mengenai penggabungan tenaga medis, pembubaran Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Penetapan Tenaga Kesehatan Lain dan soal uji kompetensi.


Tudingan mengenai inkonstitusionalitas beberapa ketentuan dalam UU Nakes tersebut, dilayangkan oleh Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB PDGI), Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Mohammad Adib Khumaidi, dan Salamuddin. Melalui kuasa hukum Muhammad Joni dkk, para Pemohon berkirim surat bertanggal 22 Juni 2015 ke Mahkamah Konstitusi yang berisi permohonan uji materil UU Nakes. Surat permohonan ini diregistrasi oleh Kepaniteraan MK dengan Nomor 82/PUU-XIII/2015.
Dalam surat permohonan itu, para Pemohon merasa terganggu hak-hak konstitusionalnya akibat berlakunya beberapa ketentuan dalam pasal UU Nakes, yakni Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 6 sepanjang frasa “Uji Kompetensi”, Pasal 11 ayat (1) huruf a, Pasal 11 ayat (1) huruf m, Pasal 11 ayat (2), Pasal 11 ayat (14) Pasal 12, Pasal 21 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6) sepanjang kata “Uji Kompetensi”, dan Pasal 21 ayat (6). Kemudian Pasal 34 ayat (1), ayat (2), ayat (5), Pasal 35, Pasal 36 ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 40 ayat (1), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, sepanjang frasa “Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia”, Pasal 34 ayat (3), Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40 ayat (2) sepanjang kata “konsil”, Pasal 90 ayat (1), ayat Ana
(2) dan ayat (3), Pasal 94. Menurut para Pemohon, ketentuan tersebut bertentangan dengan terhadap UUD 1945 Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28H ayat (1).
Ketentuan pasal yang diuji tersebut intinya mencakup empat klaster. Pertama, soal penggabungan tenaga medis. Kedua, soal pembubaran Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Ketiga, soal Penetapan Tenaga Kesehatan Lain. Keempat, soal uji kompetensi.

Penggabungan Tenaga Medis
Penggabungan antara tenaga medis dengan tenaga kesehatan yang lain, dalam ketentuan Pasal 11 ayat (1) PERKARA
huruf a dan ayat (2), dan Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1, menurut para Pemohon, adalah kekeliruan paradigmatik yang justru merusak sistem hukum praktik kedokteran. Penggabungan dan penyamarataan profesi tenaga medis dengan tenaga kesehatan lain dan bahkan tenaga vokasi (misalnya tenaga keteknisian medis, tenaga administrasi dan kebijakan kesehatan, teknisi gigi), mengakibatkan kekacauan dalam standar profesi, kewenangan kompetensi, tugas, fungsi, dan wewenang.
Ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf a frasa “a. tenaga medis” dan Pasal 11 ayat (2) UU Nakes menentukan bahwa tenaga medis adalah terdiri atas dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis. Menurut para Pemohon, ketentuan ini melebihi mandat (over mandatory) perintah UU Kesehatan Pasal 21 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 21 ayat (3), yang mengecualikan tenaga medis dalam materi muatan pengaturan UU mengenai Tenaga Kesehatan. UU Nakes sama sekali tidak memiliki mandat mengatur profesi dan kompetensi. Profesi dan kompetensi merupakan domein pengaturan profesi yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran).
Tenaga Medis memiliki kewenangan profesi (profesion authority) yang bukan berasal dari kewenangan/otoritas eksekutif (executive authority). Karakteristik istimewa dokter dan dokter gigi secara alamiah memunculkan kepercayaan. Wujud kepercayaan negara terhadap karakteristik profesi dokter dan dokter gigi misalnya dalam bentuk surat keterangan sehat sebagai syarat formil rekrutmen tenaga kerja. Bahkan untuk mendaftar calon anggota DPR/DPRD, calon Presiden dan Wakil Presiden hingga calon kepala daerah, mewajibkan pemeriksaan dokter (bukan perawat). Dokter-lah yang berwenang mengeluarkan surat keterangan sehat. Tenaga kesehatan lain seperti perawat, bidan, atau tenaga apoteker, tidak berwenang mengeluarkan surat keterangan sehat.

Pembubaran KKI
UU Nakes mengandung beberapa pasal yang pada pokoknya membubarkan KKI, yakni Pasal itu adalah Pasal 34 ayat (3), Pasal 90 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan Pasal 94. Tugas, fungsi dan kewenangan KKI, digantikan institusi lain yang justru tidak fungsional dan tidak independen melakukan tugas kekonsilan.
Padahal pembentukan KKI berdasarkan UU Praktik Kedokteran. KKI merupakan lembaga negara (state auxiliary body) yang memiliki constitutional competence dengan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Sebagai lembaga negara, KKI menjalankan fungsi pengaturan, pengesahan, penetapan serta pembinaan dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis yang menjalankan praktik kedokteran dalam rangka fungsi meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
KKI secara institusional maupun fungsional bersifat independen, yang diangkat oleh Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Keberadaan KKI melindungi warga masyarakat dan memandu profesi kedokteran (protecting the peoples and guiding the profesion) untuk menjamin hak konstitusional atas pelayanan kesehatan warga masyarakat oleh tenaga medis dengan menjamin kompetensi dan independensi profesional.
Independensi KKI dalam kurun 10 tahun mengawal kompetensi penyelenggaraan praktik kedokteran oleh tenaga medis, sudah berjalan ajeg dan mendapat kepercayaan masyarakat (public trust). Tidak ada ketegangan sosial (social tention) ataupun pengujian materil ke Mahkamah Konstitusi yang menyoal fungsi dan wewenang KKI.
Sedangkan institusi Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI) yang nantinya menggantikan KKI, tidak memiliki fungsi pengawasan, penegakan disiplin dan penindakan tenaga kesehatan. Sebab mekanisme penegakan disiplin dilakukan konsil masing-masing. Keputusan yang dikeluarkan majelis kehormatan disiplin konsil masing-masing pun bersifat tidak final, karena putusannya dapat diajukan keberatan kepada Menteri Kesehatan.

Penetapan Tenaga Kesehatan Lain
UU Kesehatan tegas memerintahkan pengaturan tenaga kesehatan dengan UU. Namun ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf m, Pasal 11 ayat (12), dan Pasal 12 UU Nakes memberikan wewenang kepada Menteri menetapkan jenis tenaga kesehatan lain, sehingga tidak sesuai dengan amanat UU Kesehatan.
Pasal 11 ayat (1) huruf m UU Nakes menyatakan, “m. Tenaga kesehatan lain”.
Pasal 11 ayat (14) UU Nakes menyatakan, “Tenaga Kesehatan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m ditetapkan oleh Menteri”.
Pasal 12 UU Nakes menyatakan, “Dalam memenuhi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan serta kebutuhan pelayanan kesehatan, menteri dapat menetapkan jenis Tenaga Kesehatan lain dalam setiap kelompok sebagaimana dimaksud dalam pasal 11”.
Dengan adanya penetapan tenaga kesehatan lain, berarti tidak pasti legalitas jenis tenaga kesehatan selain dalam Pasal 11 ayat (1) s.d ayat 13. Selain itu, ada perbedaan dasar hukum penentuan jenis tenaga kesehatan yang diakui dengan Undang-undang dan yang diakui dengan penetapan Menteri.
Dalam hierarki perundang-undangan, Undang-undang berada di bawah UUD yang dibuat bersama antara Pemerintah dengan DPR. Sedangkan penetapan Menteri tidak termasuk hierarki perundang-undangan, dan tidak disebutkan dengan nomenklatur Peraturan Menteri namun hanya kata “ditetapkan”.
Ada perbedaan dalam hal dasar pengaturan tenaga kesehatan lain, sehingga mengakibatkan ketidakpastian hukum. Di sisi lain, ketentuan UU Nakes yang mengakui tenaga kesehatan lain dengan beleidsregel membuktikan kekacauan gagasan hukum, ketidakpastian dalam pengaturan jenis tenaga kesehatan, tidak valid dalam menentukan mana jenis tenaga kesehatan yang patut dan memenuhi syarat atau ciri sebagai profesi tenaga kesehatan.
Perbedaan dalam pengakuan jenis tenaga kesehatan, membutikan bahwa pembuat Undang-undang tidak jelas landasan, syarat dan ciri menentukan jenis tenaga kesehatan yang diakui dalam Pasal 11 UU Nakes, sehingga menimbulkan perbedaan pengakuan jenis tenega kesehatan. Akibatnya ada perbedan dalam pengakuan dan perlindungan hukum terhadap jenis tenaga Kesehatn lain, sehingga menimbulkan kerugian konstitusional tenaga kesehatan lain.

Uji Kompetensi
Kompetensi merupakan konsep dan domein serta wewenang profesi. Kompetensi bukan domein akademi. Maka tidak berdasar dan tidak relevan apabila uji kompetensi oleh akademi cq. perguruan tinggi.
Dalam hal uji kompetensi Tenaga Kesehatan, uji kompetensi adalah domein dan wewenang profesi cq. Kolegium. Uji Kompetensi Tenaga Kesehatan dan Sertifikat Kompetensi memiliki hubungan sebab akibat yang tidak terpisahkan dengan Kolegium Organisasi Profesi.
Menurut para Pemohon, ketentuan Pasal 1 angka 6 sepanjang frasa “Uji Kompetensi” , Pasal 21 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6) sepanjang frasa “Uji Kompetensi”, dan Pasal 21 ayat (6) UU Nakes yang membuat ketentuan hukum bahwa uji kompetensi dilaksanakan oleh perguruan tinggi, adalah tidak sesuai dengan prinsip dan sistem hukum yang berkembang. Para Pemohon berdalil, uji kompetensi adalah pengujian untuk memasuki profesi tenaga kesehatan, sedangkan perguruan tinggi bukan domein profesi dan tidak berwenanag memasuki wilayah pengaturan mandiri profesi yang direpresentasikan dengan organisasi profesi. Kemudian, sertifikat kompetensi adalah tanda telah lulus dan memiliki kompetensi sebagai syarat untuk melakukan registrasi untuk memperoleh Surat Tanda Registrasi (STR). Syarat STR ini diwajibkan karena basis registrasi Tenaga Kesehatan adalah kompetensi, bukan pendidikan akademis (formal), dan bukan berbasis administrasi.
Apabila uji kompetensi dilaksanakan oleh perguruan tinggi dan sertifikat kompetensi diterbitkan oleh perguruan tinggi, maka ketentuan tersebut menjadi ancaman mutu dan kompetensi tenaga kesehatan. Sebab tidak ada pengawasan mutu dan penambahan pengetahuan dan keterampilan tenaga kesehatan selama menjalankan tugasnya, karena uji kompetensi hanya dilaksanakan pada saat akhir masa pendidikan vokasi dan profesi. Dengan demikian, maka sertifikat kompetensi yang diterbitkan perguruan tinggi berlaku selama-lamanya tanpa batas waktu.
Padahal jika dibandingkan dengan UU Praktik Kedokteran, STR berlaku hanya lima tahun, sehingga diwajibkan mengikuti pendidikan dan pelatihan atau (Countiniuing Profesional Development/CPD) sebagai syarat untuk pembaruan (resertifikasi) memperpanjang STR yang diterbitkan KKI. Pendidikan dan pelatihan berkelanjutan atau CPD dilaksanakan organisasi profesi yang diakui sebagai sub sistem dalam UU Praktik Kedokteran.
“Petitum”
Para Pemohon dalam petitum permohonan meminta Mahkamah agar ketentuan-ketentuan dalam UU Nakes yang diujikan ini dinyakatan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasal 11 ayat (1) huruf a sepanjang frasa “a. Tenaga medis”, Pasal 11 ayat (2), dan Pasal 1 angka 1 UU Nakes bertentangan dengan UUD 1945 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara konstitusional bersyarat apabila tidak dimaknai dengan menambah frasa “kecuali tenaga medis”. Sehingga ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 36 Tahun 2014 tentang Nakes selengkapnya berbunyi “Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahun dan/atau ketrampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan kecuali tenaga medis”.
Ketentuan Pasal 34 ayat (1), ayat (2), ayat (5), Pasal 35, Pasal 36 ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 40 ayat (1), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43 UU Nakes sepanjang frasa “Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara konstitusional bersyarat jika tidak dimaknai dan diubah menjadi “Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia”.
Ketentuan Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40 ayat (2) UU Nakes sepanjang kata “konsil” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara konstitusional bersyarat jika tidak dimaknai dan diubah menjadi “majelis”.
Ketentuan Pasal 1 angka 6 UU Nakes sepanjang frasa “Uji Kompetensi”, Pasal 21 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6) UU Nakes sepanjang frasa “Uji Kompetensi” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang jika tidak dimaknai sebagai “ujian kelulusan akhir”.

Nur Rosihin Ana

Dalam Rubrik “Catatan Perkara” Majalah Konstitusi No. 102Agustus 2015
readmore »»  

Mengurai Sengkarut Bursa Kepala Daerah

Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) direncanakan akan digelar serentak pada 9 Desember 2015. Pilkada serentak menjadi momentum bangsa Indonesia untuk memilih kepala daerah secara terstruktur, sistematis dan masif.
Peluang untuk ikut berlaga dalam kontestasi pilkada terbuka lebar. Setiap warga negara Indonesia berhak untuk maju sebagai calon kepala daerah. Namun demikian, tentu harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Persyaratan untuk maju sebagai calon kepala daerah tak jarang membuat sebagian orang berpikir panjang. Persyaratan yang ketat sering menjadi batu sandungan untuk maju sebagai bakal calon. Misalnya persyaratan tidak pernah dijatuhi pidana penjara dengan ancaman pidana penjara lima tahun atau lebih, sebagaimana ketentuan Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 (UU Pilkada). Kemudian persyaratan yang menghalangi calon dari keluarga petahana (politik dinasti). Rumusan Pasal 7 huruf r UU Pilkada dan Penjelasannya ini, menghalangi hak konstitusional warga yang terlahir dari atau mempunyai ikatan kekerabatan dengan keluarga kepala daerah petahana (incumbent) karena perkawinan. Awalnya Klausul ini untuk mencegah kian maraknya politik dinasti atau politik kekerabatan dalam pemerintahan daerah.
Bahkan persyaratan untuk bertakhta sebagai calon kontestan pilkada, harus dibarter dengan mengundurkan diri dari profesi. Misalnya, Pegawai Negeri Sipil (PNS) harus mengundurkan diri sejak mendaftar, sebagaimana ketentuan Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2015 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Ketentuan senada juga diatur dalam UU Pilkada. Pasal 7 huruf t dan huruf u UU Pilkada menyebutkan, anggota TNI, anggota Polri, dan PNS harus mundur sejak mendaftar sebagai calon kepala daerah.
Di sisi lain, UU Pilkada memberikan persyaratan berbeda kepada anggota DPR/DPD dan DPRD, dan pegawai BUMN/BUMD. Calon kepala daerah dari latar belakang anggota DPR/DPD dan DPRD hanya disyaratkan memberitahukan pencalonan kepada pimpinannya. Sedangkan pegawai BUMN/BUMD disyaratkan mundur sejak ditetapkan sebagai calon.
Anggota DPR/DPD dan DPRD dapat kembali menjabat ketika tidak terpilih dalam pilkada. Sedangkan anggota TNI, anggota Polri, dan PNS, harus mundur permanen, tidak dapat kembali ke profesi semula meskipun tidak terpilih dalam pilkada.
Putusan MK menjadi solusi sengkarut yang melilit UU Pilkada. Kepastian hukum yang adil, perlakuan yang sama di hadapan hukum, serta perlindungan HAM harus ditegakkan. MK memutuskan mantan narapidana dengan ancaman pidana penjara lima tahun atau lebih, dapat mencalonkan diri dalam pilkada. Syaratnya pun tidak muluk-muluk, cukup menyampaikan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
Kemudian, anggota TNI, anggota Polri, PNS, dan Pegawai BUMN/BUMD, yang akan mencalonkan diri menjadi kepala daerah tidak perlu mundur sebelum ditetapkan sebagai calon oleh KPU/KIP. Yang mengejutkan, MK memperlakukan sama bagi anggota DPR/DPD dan DPRD, dengan anggota TNI, anggota Polri, PNS, dan pegawai BUMN/BUMD. Jika sebelumnya anggota DPR/DPD dan DPRD hanya disyaratkan memberitahukan pencalonan kepada pimpinannya, pascaputusan MK, semuanya harus mundur. Lalu kapan harus mundur? Setelah KPU/KIP menetapkan Anggota DPR/DPD dan DPRD, anggota TNI, anggota Polri, PNS, dan pegawai BUMN/BUMD, sebagai calon kepala daerah, saat itulah harus mundur dari jabatan masing-masing.
Putusan MK juga mengakhiri polemik dinasti politik dalam pemerintahan daerah. Keluarga petahana yang hendak bertahta di bursa pilkada, dapat bernafas lega. MK menyatakan inkonstitusional terhadap ketentuan Pasal 7 huruf r UU Pilkada dan Penjelasannya. Larangan keluarga petahana berlaga di pilkada, merupakan ketentuan yang diskriminatif. Jika ingin membuat batasan, semestinya petahana yang dibatasi, bukan kerabatnya.

Nur Rosihin Ana

Dalam Rubrik Editorial Majalah Konstitusi No. 102 – Agustus 2015
readmore »»  
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More