KETUA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
Di Jalan Medan Merdeka Barat No. 6
Jakarta Pusat 10110
Perihal: Permohonan Pengujian Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Dengan hormat,
Perkenankanlah kami:
Supriyadi Widodo
Eddyono, S.H., Wahyudi Djafar, S.H., Anggara,
S.H., Wahyu Wagiman, SH., Ade Novita, S.H., Erasmus A. T. Napitupulu, S.H., Rully Novian, S.H., Robert Sidauruk,
S.H., Adi Condro Bawono, SH., Alfeus Jebabun, SH.,
Kesemuanya adalah Advokat/Pengacara Publik/Asisten
Advokat/Asisten Pengacara
Publik,yang memilih domisili hukum pada kantor Indonesian Institute for Constitutional Democracy (IICD), yang beralamat di Jl. Cempaka No. 4 Pasar Minggu, Jakarta Selatan
12530, Telp/Fax. 021-7810265, bertindak untuk dan atas nama Para Pemberi Kuasa di bawah ini, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 18 Juli
2014 dalam hal ini bertindak bersama-sama ataupun
sendiri-sendiri untuk dan atas nama:
1. Indry Oktaviani, warga negara
Indonesia, lahir di Jakarta, , 27 Oktober 1975, pekerjaan Direktur Organisasi Semerlak
Cerlang Nusa (SCN), agama Islam, bertempat tinggal di Jl. Teratai BL.
Q No. 6, RT. 003 RW. 002, Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Selanjutnya disebut sebagai ______________________________Pemohon I
2. Fr Yohana
Tantria W, warga negara Indonesia, lahir di Playen, 5 April 1980, pekerjaan
Koordinator Eksekutif Masyarakat Untuk Keadilan Gender dan Antar Generasi
(MAGENTA), agama Katolik, bertempat tinggal di Jalan Jl. T.B. Simatupang, RT.
02 RW. 03, Gedong, Pasar Rebo Jakarta Timur.
Selanjutnya disebut sebagai _____________________________Pemohon II
3. Dini Anitasari
Sa’Baniah, warga negara Indonesia, lahir di Bogor, 10 Agustus 1975,
pekerjaan Associate pada Organisasi Semerlak Cerlang Nusa (SCN), agama Islam,
bertempat tinggal di Bukit Pamulang Indah G 9/5, RT. 001 RW. 005, Pamulang
Timur, Tangerang Selatan.
Selanjutnya disebut sebagai ____________________________Pemohon III
4.Hadiyatut
Thoyyibah, warga negara Indonesia, lahir di Rembang, 9 Desember 1972, pekerjaan Staf Sistem Managemen Informasi
pada Sekretariat Nasional Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), agama Islam,
bertempat tinggal di Jl. Sendang, RT. 033 RW. 015 Karangsari, Kulonprogo,
Yogyakarta.
Selanjutnya disebut sebagai _____________________________Pemohon IV
5. Ramadhaniati, warga negara
Indonesia, lahir di Lirik, 12 Desember 1966,
pekerjaan Staf pada Organisasi
Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), agama Islam, bertempat tinggal di Jl.
50 Koto No. 652, RT. 01 RW. 07, Surau Gadang, Nanggalo, 50 Koto, Sumatera
Barat.
Selanjutnya disebut sebagai ______________________________Pemohon V
6. Yayasan
Pemantau Hak Anak (YPHA), sebuah Yayasan yang dibentuk berdasarkan
hukum Negara Republik Indonesia yang berkedudukan di Jl. Rawa Bambu, kompleks
Batan Blok D2 lt. 3 Rawa Bambu, Pasar Minggu, Jakarta Selatan yang dalam hal
ini diwakili oleh Agus Hartono,
warga negara Indonesia, lahir di Sukabumi, Tanggal 13 Desember 1971, bertempat
tinggal di Jalan Taman Siswa 48 YK, RT. 044 RW 014 Wirogunan, Mergangsan,
Yogyakarta, yang bertindak dalam kedudukannya sebagai Ketua berdasarkan
ketentuan Pasal 13 ayat (1) Anggaran Dasar Yayasan berhak dan sah bertindak
untuk dan atas nama Yayasan.
Selanjutnya disebut sebagai _____________________________Pemohon VI
Untuk selanjutnya
secara keseluruhan Pemohon tersebut di atas disebut juga sebagai PARA PEMOHON.
Para Pemohon
dengan ini mengajukan Permohonan Pengujian Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2)UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan (Bukti P-1), terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (Bukti P-2).
A. Kewenangan
Mahkamah Konstitusi
1. Bahwa transisi
politik dari otoritarian ke demokrasi yang berujung pada amandemen UUD 1945,
salah satunya telah menghasilkan perubahan terhadap Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945,
yang menyatakan, “Kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi”;
2. Bahwa selanjutnya
Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum”;
3. Bahwa berdasarkan
ketentuan di atas, MK berwenang melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD
1945, yang juga didasarkan pada Pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan: “Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk: (a) menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”;
4. Bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai lembaga pengawal
konstitusi (the guardian of constitution).
Artinya, apabila terdapat Undang-Undang yang berisi atau terbentuk bertentangan
dengan konstitusi (inconstitutional),
maka Mahkamah Konstitusi dapat menganulirnya dengan membatalkan keberadaan
Undang-Undang tersebut secara menyeluruh atau pun perpasalnya;
5. Bahwa sebagai
pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi juga berwenang memberikan penafsiran
terhadap sebuah ketentuan pasal-pasal Undang-Undang agar berkesesuaian dengan
nilai-nilai konstitusi. Tafsir Mahkamah Konstitusi terhadap konstitusionalitas
pasal-pasal Undang-Undang tersebut merupakan tafsir satu-satunya (the sole interpreter of constitution)
yang memiliki kekuatan hukum. Oleh karena itu, terhadap pasal-pasal yang
memiliki makna ambigu, tidak jelas, dan/atau multi tafsir dapat pula dimintakan
penafsirannya kepada Mahkamah Konstitusi;
6. Bahwa ketentuan Pasal
7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menurut Para
Pemohon telah menciptakan suatu ketidakpastian hukum, melahirkan penafsiran
yang ambigu, tidak jelas, dan multi tafsir, serta mengekang pemenuhan hak-hak
konstitusional warga negara, khususnya Para Pemohon, sehingga merugikan hak-hak
konstitusional Para Pemohon;
7. Bahwa oleh karena
itu melalui permohonan ini Para Pemohon mengajukan pengujian Pasal Pasal 7 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap UUD 1945;
8. Bahwa berdasarkan
hal-hal tersebut di atas, karena permohonan pengujian ini merupakan permohonan
pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang ada, maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa
dan mengadili permohonan pengujian materiil undang-undang ini;
B. Kedudukan Hukum
Para Pemohon
9. Bahwa pengakuan
hak setiap warga negara Indonesia untuk mengajukan permohonan pengujian
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 merupakan satu indikator
perkembangan ketatanegaraan yang positif, yang merefleksikan adanya kemajuan
bagi penguatan prinsip-prinsip negara hukum;
10. Bahwa Mahkamah
Konstitusi, berfungsi antara lain sebagai “guardian”
dari “constitutional rights” setiap
warga negara Republik Indonesia. Mahkamah Konstitusi merupakan badan yudisial
yang bertugas menjaga hak asasi manusia sebagai hak konstitusional dan hak
hukum setiap warga negara. Dengan kesadaran inilah Para Pemohon kemudian
memutuskan untuk mengajukan permohonan uji materiil Pasal 7 ayat (1) UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap UUD 1945;
11. Bahwa berdasarkan
Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi jo. Pasal 3 Peraturan Mahkamah
Konstitusi No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian
Undang-Undang menyatakan bahwa: Pemohon adalah pihak yang menganggap hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang
yaitu:
a. perorangan warga
negara Indonesia;
b. kesatuan
masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
undang-undang;
c. badan hukum publik
atau privat;
d.
lembaga negara.
12. Bahwa di dalam
penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dinyatakan bahwa ”Yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur
dalam UUD 1945”;
13. Bahwa berdasarkan
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 006/PUU-III/2005 dan putusan-putusan Mahkamah
Konstitusi yang hadir berikutnya, Mahkamah Konstitusi telah menentukan 5 syarat
mengenai kerugian konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1)
UU MK, yakni sebagai berikut:
a. harus ada hak
dan/atau kewenangan konstitutional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
b. hak dan/atau
kewenangan konstitusional tersebut dianggap telah dirugikan oleh berlakunya
undang-undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian hak
dan/atau kewenangan konstitusional tersebut bersifat spesifik dan aktual,
setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi;
d. ada hubungan sebab
akibat (causal verband) antara
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang
dimohonkan pengujian; dan
e. ada kemungkinan
bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
14. Bahwa
selain lima syarat untuk menjadi Pemohon dalam perkara pengujian undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, yang ditentukan di dalamPutusan Mahkamah
Konstitusi No. 022/PUU-XII/2014, disebutkan bahwa “warga masyarakat pembayar pajak (tax payers) dipandang memiliki
kepentingan sesuai dengan Pasal 51 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi. Hal ini sesuai dengan adagium “no taxation without participation”
dan sebaliknya “no participation without tax”. Ditegaskan MK “setiap warga negara pembayar pajak mempunyai
hak konstitusional untuk mempersoalkan setiap Undang-Undang”;
Pemohon Perorangan
Warga Negara Indonesia
15. Bahwa Pemohon I
merupakan individu warga negara Indonesia (Bukti
P-3), yang bekerja sebagai Direktur Semarak Cerlang Nusa (SCN), sebuah
organisasi nirlaba yang bergerak pada upaya pemajuan dan perlindungan hak-hak
perempuan. Pemohon I selama ini juga telah aktif memperjuangkan dan
mengadvokasi hak-hak perempuan, khususnya dalam setiap pengambilan kebijakan
negara yang terkait dengan isu perempuan;
16. Bahwa keberadaan
pasal-pasal a quo telah berakibat
pada terhambatnya atau bahkan berpotensi menggagalkan setiap aktifitas yang
sudah dilakukan oleh Pemohon I dalam rangka pemajuan dan perlindungan hak-hak
perempuan. Oleh karena itu eksistensi pasal-pasal a quo nyata-nyata atau setidak-tidaknya potensial telah merugikan
hak-hak konstitusional Pemohon I;
17. Bahwa Pemohon II merupakan individu warga negara
Indonesia (vide Bukti P-3), yang bekerja sebagai Direktur Magenta, sebuah
organisasi nirlaba yang bergerak pada upaya pemajuan dan perlindungan hak-hak
perempuan dan anak. Pemohon II selama ini juga telah aktif memperjuangkan dan
mengadvokasi hak-hak perempuan dan, khususnya dalam setiap pengambilan
kebijakan negara yang terkait dengan perempuan dan anak, baik dalam bentuk-bentuk
penelitian, pemantauan maupun berpartisipasi secara aktif dalam setiap
pengambilan kebijakan tersebut;
18. Bahwa keberadaan
pasal-pasal a quo telah berakibat
pada terhambatnya atau bahkan potensial menggagalkan keseluruhan aktifitas yang
sudah dilakukan oleh Pemohon II dalam rangka pemajuan dan perlindungan hak-hak
perempuan dan anak. Oleh karena itu keberadaan pasal-pasal a quo secara faktual atau setidak-tidaknya potensial telah
merugikan hak-hak konstitusional Pemohon II;
19. Bahwa Pemohon III,
Pemohon IV, dan Pemohon V merupakan perorangan warga negara Indonesia (vide Bukti P-3), yang memiliki anak, sehingga bertanggungjawab penuh sebagai ibu atas
anak-anaknya tersebut. Bahwa keberadaan pasal-pasal a quo, baik secara langsung maupun tidak langsung potensial akan
merugikan hak-hak konstitusional Pemohon III, Pemohon IV, dan Pemohon V,
khususnya yang terkait dengan hak-hak konstitusional anak-anak dari Para
Pemohon tersebut;
20. Bahwa eksistensi
pasal-pasal a quo secara aktual jika
dibiarkan tetap ada akan menghambat atau bahkan mengancam pemenuhan hak-hak
konstitusional anak-anak dari Pemohon III, Pemohon IV, dan Pemohon V, seperti
halnya hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, serta hak untuk tumbuh dan
berkembang yang telah dijamin pemenuhan dan perlindungannya oleh UUD 1945. Oleh
karena itu, nampak begitu terang-benderang potensi terjadinya hak-hak
konstitusional yang dialami oleh Para Pemohon akibat berlakunya ketentuan
pasal-pasal a quo;
21. Bahwa
selain itu, Pemohon I, II, III, IV, dan V juga merupakan pembayar pajak (tax
payer) yang dibuktikan dengan fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) (vide Bukti P-3). Para Pemohon
sebagai tax payer menyatakan kepentingan konstitusionalnya telah
terlanggar dengan adanya ketentuan pasal-pasal a quo, karena menciptakan ketidakpastian hukum dan potensial
merugikan pemenuhan hak-hak konstitusional Para Pemohon. Dengan demikian,
syarat legal standing seperti disebutkan dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 022/PUU-XII/2014 terpenuhi;
Pemohon Badan Hukum Privat
22. Bahwa
Pemohon VI adalah Organisasi Non Pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) yang tumbuh dan berkembang secara swadaya, atas kehendak dan keinginan
sendiri di tengah masyarakat yang didirikan atas dasar kepedulian dan dalam
rangka turut serta melakukan pemajuan dan perlindungan hak-hak anak di
Indonesia;
23. Bahwa
tugas dan peranan Pemohon VI dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan yang
mendorong pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak di Indonesia, dalam hal ini
telah mendayagunakan lembaganya sebagai sarana untuk mengikutsertakan sebanyak
mungkin anggota masyarakat dalam memastikan penjaminan serta adanya
perlindungan yang layak bagi setiap anak di Indonesia. Hal ini sebagaimana
tercermin di dalam ketentuan Anggaran Dasar dan/atau akta pendirian organisasi
dari Pemohon VI (vide Bukti P-3);
24.
Bahwa
dasar dan kepentingan hukum Pemohon VI dalam mengajukan Permohonan Pengujian
undang-undang a quo dapat dibuktikan
dengan Anggaran Dasar dan/atau Anggaran Rumah Tangga Pemohon VI. Dalam Pasal 5
Akta Pendirian Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA), tertanggal 20 Agustus 2003,
yang merupakan Anggaran Dasar dari Pemohon VI, YPHA menjalankan kegiatan usaha
yang meliputi: (i) pengorganisasian dan advokasi hak anak; (ii) melakukan
publikasi kegiatan anak; dan (iii) melakukan promosi atas hak anak;
25. Bahwa
dalam mencapai maksud dan tujuannya Pemohon VI telah melakukan berbagai macam
usaha/kegiatan yang dilakukan secara terus menerus, hal mana telah menjadi
pengetahuan umum (notoire feiten). Adapun, bentuk kegiatan yang telah
dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Melakukan kajian-kajian (penelitian) yang terkait dengan
perlindungan hak anak;
b. Melakukan
pemantauan terhadap penjaminan perlindungan hak anak;
c. Menerbitkan
buku-buku atau pun bentuk-bentuk publikasi lainnya, yang terkait dengan
pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak; dan
d. Secara
terus-menerus melakukan advokasi dalam pengambilan kebijakan negara yang
terkait dengan perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak.
26. Bahwa
persoalan yang menjadi objek pengujian yang diujikan oleh Pemohon VI merupakan
persoalan setiap warga negara Indonesia, yang bukan hanya urusan Pemohon VI.
Lebih jauh, pengajuan permohonan pengujian undang-undang a quo merupakan wujud kepedulian dan upaya Pemohon VI dalam rangka
memastikan pemenuhan dan perlindungan hak-hak konstitusional setiap anak di
Indonesia, seperti hak pendidikan, kesehatan, serta tumbuh dan berkembang;
27. Bahwa
keberadaan pasal-pasal a quo telah
menciptakan situasi ketidakpastian hukum dalam perlindungan hak-hak anak di
Indonesia, sehingga berakibat pada terlanggarnya hak-hak konstitusional setiap
anak di Indonesia. Bahwa situasi tersebut secara faktual atau setidak-tidaknya
potensial akan menggagalkan setiap usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh
Pemohon VI dalam rangka memastikan pemenuhan dan penjaminan perlindungan
hak-hak anak di Indonesia;
28. Bahwa keberadaan
pasal dan frasa dalam undang-undang a quo,
telah sangat mengganggu dan menghambat aktivitas Pemohon VI yang selama ini concern dalam isu penjaminan
perlindungan hak-hak anak di Indonesia, sehingga telah merugikan hak-hak
konstitusional Pemohon VI, untuk berperan secara kelembagaan dalam memastikan pemenuhan
dan perlindungan hak-hak anak, sebagai wujud pelaksanaan hak untuk
berpatisipasi dalam pembangunan masyarakat, bangsa dan negara yang merupakan
mandat dari Pasal 28C ayat (2) UUD 1945;
29. Bahwa berdasarkan
uraian di atas, jelas keseluruhan Para Pemohon telah memenuhi kualitas maupun
kapasitas sebagai Pemohon pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 sebagaimana
ditentukan Pasal 51 huruf c UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maupun Peraturan Mahkamah Konstitusi
dan sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan penjelasan mengenai
syarat-syarat untuk menjadi pemohon pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945. Oleh
karenanya, jelas pula keseluruhan Para Pemohon memiliki hak dan kepentingan
hukum mewakili kepentingan publik untuk mengajukan permohonan pengujian
materiil Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2)UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap
UUD 1945;
C. Pokok Perkara
Ruang Lingkup Pasal yang Diuji
Ketentuan
|
Rumusan
|
Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
|
Sepanjang frasa“umur
16 (enam belas) tahun.”
|
Pasal 7 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
|
“Dalam hal
penyimpangan Pasal terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi
kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak
pria maupun pihak wanita”
|
Dasar Konstitusional yang Digunakan
Ketentuan
UUD 1945
|
Materi
|
Pasal 1 ayat (3)
|
Negara Indonesia
adalah negara hukum.
|
Pasal 24 ayat (1)
|
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
|
Pasal 28B ayat
(2)
|
Setiap anak
berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
|
Pasal 28C ayat
(1)
|
Setiap orang
berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak
mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan
teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi
kesejahteraan umat manusia.
|
Pasal 28D ayat (1)
|
Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
|
Pasal 28I ayat
(2)
|
Setiap orang
berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun
dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu.
|
Alasan – Alasan Permohonan
30. Bahwa Para Pemohonmengajukan
permohonan pengujian Pasal 7 ayat (1)
sepanjang frasa “16 (enam belas) tahun” danPasal 7 ayat (2) UU Perkawinan, adalah demi pengakuan,
perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi anak, khususnya anak perempuan
Indonesia,serta memberikan kepastian hukum yang adil bagi warga negara
sebagaimana dimandatkan oleh UUD 1945. Permohonan tersebut dilandasi dengan alasan-alasan
sebagai berikut:
C.1. KetentuanPasal 7 ayat (1)sepanjang
frasa “16 (enam belas) tahun”dan
Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan telah menciptakan situasi ketidakpastian hukum,
sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
31. Bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dengan tegas menyatakan, “Negara Indonesia adalah negara hukum”,
yang di dalamnya salah satunya dikandut prinsip kepastian hukum sebagai bagian
dari moralitas konstitusi, sebagaimana juga ditegaskan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang menyebutkan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”;
32. Bahwa salah satu unsur terpenting dari negara hukum, seperti juga diakui
oleh UUD 1945, adalah adanya jaminan serta tegaknya prinsip kepastian hukum, hal
ini sebagaimana dikemukakan oleh Gustav Radbruch yang menjelaskan bahwa cita
hukum (Idee des Rechts), yang
kemudian dilembagakan dalam suatu bentuk negara hukum, dapat diklasifikasikan
ke dalam tiga prinsip umum, yaitu: purposiveness—kemanfaatan (zweckmassigkeit), justice—keadilan (gerechtigkeit), dan legal certainty—kepastian hukum (rechtssicherheit);
33. Bahwa kepastian hukum juga salah satu unsur utama moralitas hukum. Hal
ini seperti dikemukakan oleh salah seorang pemikir hukum alam generasi
terakhir, Lon L. Fuller. Ditegaskannya Fuller sebuah peraturan hukum perlu
tunduk pada internal moraliti, oleh karena itu dalam pembentukannya harus
memerhatikan empat syarat berikut ini:
a. Hukum-hukum harus dibuat
sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti oleh rakyat biasa. Fuller juga menamakan hal ini juga sebagai hasrat
untuk kejelasan;
b. Aturan-aturan tidak boleh
bertentangan satu sama lain;
c. Dalam hukum harus ada
ketegasan. Hukum tidak boleh diubah-ubah setiap waktu, sehingga setiap orang
tidak lagi mengorientasikan kegiatannya kepadanya;
d. Harus ada konsistensi antara
aturan-aturan sebagaimana yang diumumkan dengan pelaksanaan senyatanya;
34. Bahwa dalam
tradisi negara hukum khususnya yang berparadigma rechtsstaat, kepastian hukum adalah bagian penting yang harus
diperhatikan oleh negara yang menganutnya, dijelaskan oleh Friedrich Julius
Stahl, bahwa theRechtsstaat “must
determine with precision and with certainty the boundaries and the limits of
its activity, as well as the free sphere of its citizens, according to the modalities
of law”;
35. Bahwa pendapat
Julius Stahl di atas diperkuat oleh argumentasi yang dikemuakan Charles
Eisenmann, ahli hukum Perancis, yang mengatakan, “Let no one claim that the legislator is precluded from creating law.
No, he is still free to create whatever he likes, but everything that he
validly creates will be regular law. What is more, in this way the certainty of
law is guaranteed by means of the uniformity and homogeneity of legislative law”;
36. Bahwa pentingnya
kepastian hukum tidak hanya dianut dalam tradisi rechtsstaat, tradisi the rule
of law juga memberikan penegasan tentang pentingnya kepastian hukum. The rule of law sendiri dimaknai sebagai
“a legal system in which rules are clear,
well-understood, and fairly enforced”—sebuah sistem hukum yang jelas (kecil
kemungkinan untuk disalahgunakan), mudah dipahami, dan menjaga tegaknya
keadilan. Kepastian hukum menjadi salah ciri the rule of law, yang di dalamnya mengandung asas legalitas,
prediktibilitas, dan transparansi;
37. Bahwa kepastian
hukum menurut pendapat Friedrrich von Hayek berarti hukum dapat diprediksi,
atau memenuhi unsur prediktibilitas, sehingga seorang subjek hukum dapat
memperkirakan peraturan apa yang mendasari perilaku mereka, dan bagaimana
aturan tersebut ditafsirkan dan dilaksanakan. Kepastian hukum merupakan aspek
penting yang sangat terkait dengan kebebasan bertindak dari seseorang;
38. Bahwa perkembangan
hukum Indonesia yang mengatur usia anak telah mengalami kemajuan yang pesat,
khususnya semenjak pengesahan Konvensi Hak-Hak Anak. Dinyatakan dalam ketentuan
Pasal 1 Konvensi Hak-Hak Anak : “…Untuk
digunakan dalam konvensi yang sekarang
ini, anak berarti setiap manusia yang berusia di bawah delapan belas tahun kecuali berdasarkan undang-undang yang
berlaku untuk anak-anak kedewasaan telah dicapai lebih cepat”;
39. Bahwa penegasan serupa juga dapat kita temukan di dalam sejumlah
peraturan perundang-undangan nasional, yang antara lain adalah sebagai berikut:
No.
|
Peraturan Perundang-Undangan
|
Pasal dan Materi
|
1
|
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
|
Pasal 330: “Yang belum
dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun
dan tidak kawin sebelumnya.”
|
2
|
UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan
|
Pasal 1 angka 26:
Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun
|
3
|
UU No. 4 Tahun
1979 tentang Kesejahteraan Anak
|
Pasal 1 angka 2:
Anak adalah seseorang yang belummencapai
umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.
|
4
|
UU No. 12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan
|
Pasal 1 angka 8,
Anak didik pemasyarakatan adalah:
a.
Anak pidana,
yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS anak
paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;
b.
Anak negara,
yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk
dididik dan ditempatkan di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18
(delapan belas) tahun;
c.
Anak sipil,
yaitu anak yang atas 5permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan
pengadilan untuk dididik di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18
(delapan belas) tahun.
|
5
|
UU No.3 Tahun 19957 tentang Pengadilan Anak
|
Pasal 1: Anak
adalah orang yang
dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun akan tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas)
tahun dan belum pernah kawin.
|
6
|
UU No. 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia
|
Pasal 1 angka 5:
Anak adalah setiap manusia yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun
dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal
tersebut adalah demi kepentingannya.
|
7
|
UU No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak
|
Pasal 1 ayat (1):
Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.
|
8
|
UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
|
Pasal 1 angka 26: Anak adalah
seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak
yang masih dalam kandungan.
|
9
|
UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
|
Pasal 2ayat (1) huruf a: Yang di
maksud drngan Anak dalam ketentuan ini termasuk anak angkat atau anak tiri
|
10
|
UU No. 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris
|
Pasal 39 ayat
(1): Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. Paling sedikit berusia 18 (delapan belas) tahun atau telah
menikah
|
11
|
UU No.40 Tahun 2004
tentang Sistem
Jaminan Sosial
|
Pasal 41 ayat (6): Hak ahli waris atas manfaat pensiun anak
berakhir apabila anak tersebut menikah, bekerja tetap, atau mencapai umur 23
(dua puluh tiga) tahun.
|
12
|
UU No. 12 Tahun
2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
|
Pasal 4: Warga
Negara Indonesia adalah: a–g ...
anak yang lahir
di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui
oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu
dilakukan sebelum anak tersebut berumur 18 (delapan belas) tahun atau
belum kawin.
|
13
|
UU No. 21 Tahun
2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
|
Pasal 1 angka 5:
Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.
|
14
|
UU No. 44 Tahun
2008 tentang Pornografi
|
Pasal 1 ayat (4):
Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun.
|
15
|
UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
|
Pasal 131 ayat (2): Upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak
anak masih dalam kandungan, dilahirkan, setelah dilahirkan, dan sampai
berusia 18 (delapan belas) tahun.
|
16
|
UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
|
Pasal 1 angka 2 – 5
(2) Anak yang
Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang
menjadi
korban tindak
pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.
(3) Anak yang
Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah
berumur 12
(dua belas)
tahun, tetapi belum berumur 18
(delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
(4) Anak yang
Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak
yang
belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian
ekonomi yang
disebabkan oleh tindak pidana.
(5) Anak yang
Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak
yang belum
berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat
memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,
penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar,
dilihat,
dan/atau
dialaminya sendiri.
|
17
|
Keputusan menteri
kehakiman Republik Indonesia No M 02-IZ.01.10 tahun 1995 tentang visa, visa
kunjungan, Visa Tinggal terbatas, Izin masuk dan izin keimigrasian
|
Pasal 1 ke (3): Anak adalah anak yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun, dan belum kawin.
|
18
|
Peraturan Pemerintah
(PP) 1949 No 35 (35/1949) tentang
pemberian pensiun kepada janda (anak anaknya) pegawai negeri yang meninggal
dunia
|
Pasal 5: Anak yang dapat ditunjuk sebagai yang berhak
menerima tunjangan ialah anak yang dilahirkan sebelum dan sesudahnya
peraturan ini dijalankan dan belum mencapai umur 21 tahun penuh
|
19
|
Keputusan Presiden
Republik Indonesia No. 56 Tahun 1996
tentang Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia
|
Pasal 1: Istri dan anak yang belum di bawah
delapan belas tahun dari seseorang yang memperoleh kewarganegaraan RI melalui
proses pewarganegaraan, langsung ikut serta menjadi warganegara RI
mengikuti Kewarganegaraan suami/ayahnya tersebut.
|
40. Bahwa ketentuan
Pasal 7 ayat (1) UU a quomenyebutkan,
“(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.”kemudian di dalam penjelasannya
dikatakan: “…untuk menjaga kesehatan
suami istri dan keturunan perlu ditetapkan batas batas umur untuk perkawinan”;
41. Bahwa ketentuan a quo di atas selanjutnya dijadikan sebagai landasan dan dasar hukum dibenarkannya perkawinan bagi wanita yang sudah
mencapai umur 16 tahun dan dalam
praktiknya menjadi peluang untuk dapat dilakukannya pernikahan bagi usia wanita
sebelum umur 16 tahun;
42. Bahwa pemahaman
tersebut sebagaimana ditegaskan oleh Saidus Sahar yang mengatakan, “… syarat umur seseorang untuk melangsungkan
perkawinan berdasarkan Pasal 7 UU perkawinan adalah “perkawinan hanya diijinkan
jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai
umur 16 (enam belas) tahun”, sedangkan bagi seseorang yang umurnya belum
mencapai persyaratan yang dimaksud maka bagi yang beragama Islam diperlukan
dispensasi dari Pengadilan Agama untuk memperoleh izin nikah (Bukti P-4);
43. Bahwa pemahaman
tersebut juga dibenarkan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Plan
Internasional, sebuah organisasi yang fokus pada perlindungan hak-hak anak.
Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa, “pengalaman anak dalam
perkawinan di Jawa (Indramayu, Grobogan, dan Rembang), dan NTB (Dompu) yang
mayoritas penduduknya beragama Islam banyak terbentuk oleh berlakunya kedua
hukum positif (UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Inpres No. 1 Tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam). Para pemangku kepentingan dalam hal ini
pegawai KUA dan pengadilan agama, modin, serta camat dan kepala desa, berperan
besar di dalam membentuk pandangan umum tentang usia minimal kawin sesuai UU
Perkawinan. Ini diperkuat oleh hasil survei yang menunjukkan bahwa usia minimal
kawin 16 tahun bagi anak perempuan menjadi acuan bagi sebagian besar masyarakat
setempat dalam menentukan batas usia kawin (Bukti P-5);
44. Bahwa Dalam Naskah Akademis Hukum Terapan
Peradilan Agama Bidang Perkawinan (RUU HMPA), yang disusun oleh Direktorat
jenderal Bimas Islam, Departemen Agama Republik Indonesia Tahun 2008 juga telah
mendorong hal ini dengan menyatakan “……perlu menetapkan syarat usia minimum
bagi calon suami yaitu 21 Tahun dan 18 tahun bagi calon istri guna kemaslahatan
keluarga dan rumah tangga” (Bukti P-6 )
45. Bahwa pada sisi lain
ketentuan Pasal 47 UU Perkawinan justru menyatakan bahwa: “(1) anak yang belum mencapai umur 18 (delapan
belas) tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak
dicabut dari kekuasaannya”;
46.
Bahwa berdasarkan
studi yang dilakukan oleh Ade Maman Suherman dan J. Satrio, dikatakan bahwa “… seharusnya
dari Pasal 47 sampai dengan Pasal 50 Undang-Undang Perkawinan berpatokan pada umur dewasa 18
tahun. Kalau undang-undang menetapkan kewenangan orang tua dan wali untuk
mewakili anak belum dewasa berakhir pada saat anak mencapai usia 18
tahun (atau telah menikah sebelumnya; Pasal 47 dan Pasal 50 UU Perkawinan) maka
tidak logis kalau UU perkawinan mempunyai patokan usia dewasa lain dari pada 18
Tahun”(vide Bukti P-4);
47. Bahwa berdasarkan pada uraian argumentasi di atas terlihat dengan jelas
bahwa batas “usia anak” khususnya anak perempuan dalam UU perkawinan secara a contrario tidak seragam, serta secara
faktual dan aktual telah menimbulkan situasi ketidakpastian hukum mengenai
batas usia anak di Indonesia. Oleh karena itu, terang bahwa ketentuan a quo bertentangan dengan prinsip
kepastian hukum, sebagaimana diamanatkan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945;
48. Bahwa melihat
perkembangan kekininian peraturan perundang-undangan di Indonesia, khususnya
yang mengatur batas usia anak, sebagaimana telah diuraikan di atas, juga
terlihat jelas bahwa batas usia wanita untuk menikah yang terdapat dalam UU
Perkawinan sudah tidak sesuai lagi dengan dengan segala pengaturan yang ada di
Indonesia dalam rangka melindungi hak-hak anak, khususnya hak-hak anak
perempuan, sehingga semakin jelas adanya ketidakpastian hukum dalam upaya
melindungi hak-hak anak;
49. Bahwa ketidakpastian
hukum dari ketentuan a quo juga
nampak sepanjang frasa “Penyimpangan” dalam Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan,
yang mengandung ketidakjelasan tentang apa saja kategori yang dimaksud dengan
Penyimpangan tersebut. Padahal prinsip kepastian hukum salah satunya
menghendaki adanya hasrat untuk kejelasan;
50. Bahwa dalam UU a quo, anak yang kawin di bawah 19 tahun
untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan harus mendapatkan dispensasi
perkawinan dari pengadilan agama. Dispensasi perkawinan di bawah umur selanjutnya
diatur dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang pada Pasal 15 menyebutkan bahwa
batas usia kawin sama seperti Pasal 7 UU Perkawinan. Namun di dalam KHI
disebutkan sebuah alasan dispensasi dapat diberikan, yaitu untuk kemaslahatan
keluarga dan rumah tangga. Interpretasi kemaslahatan keluarga dan rumah tangga kemudian
menjadi ranah kewenangan hakim di pengadilan agama;
51. Bahwa pencatatan
perkawinan di KUA bagi anak di bawah usia 16 tahun seharusnya tidak
dimungkinkan oleh UU Perkawianan, namun dengan adanya dispensasi perkawinan di
bawah usia 16 tahun yang diatur Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam, hal tersebut sangat mungkin terjadi;
52. Bahwa dalam praktiknya,
“dalam hal penyimpangan ini” dimaknai berbeda-beda oleh Hakim, walaupun dalam
beberapa kasus yang khusus hakim mengabulkan dispensasi perkawinan untuk kasus
anak yang terlanjur sudah hamil karena jika anak lahir tanpa seorang bapak, hal
ini ditakutkan akan merugikan kepentingan anak perempuan itu sendiri. Akan
tetapi, pada umumnya hakim tidak mengabulkan dispensasi untuk kasus selain
karena alasan kehamilan (vide Bukti P-5);
53. Bahwa penafsiran
Interpretasi kemaslahatan keluarga dan rumah tangga tersebut mengakibatkan
tidak pastinya batasan dalam hal penyimpangan” yang dimaksud, sehingga dalam
penggunaanya mengkibatkan pemberian ijin menikah bagi anak dapat dimaknai
secara sangat luas. Oleh karenanya jelas keberadaan ketentuan a quo telah menciptakan situasi
ketidakpastian hukum, sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal
28D ayat (1) UUD 1945;
C.2. Ketentuan Pasal 7 ayat (1)
sepanjang frasa “16 (enam belas) tahun”
dan Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan telah melahirkan banyaknya praktik
‘perkawinan anak’, yang mengakibatkan dirampasnya hak-hak anak untuk tumbuh dan
berkembang, serta mendapatkan pendidikan, oleh karenanya bertentangan dengan
Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945
54. Bahwa Perkawinan
anak, atau sering juga disebut perkawinan dini, merupakan praktik tradisional
yang telah lama dikenal dan tersebar luas di seluruh belahan dunia. Beberapa
studi pustaka mencatat dua pola perkawinan anak, yaitu menikahkan anak
perempuan dengan laki-laki dewasa dan menjodohkan anak laki-laki dengan anak perempuan
yang dilakukan oleh orang tua kedua anak yang bersangkutan;
55.
Bahwa seiring
dengan advokasi hak asasi manusia, baik hak perempuan maupun hak anak, anggapan
bahwa perkawinan merupakan praktik tradisional yang tidak adil dan berbahaya
untuk anak telah mengilhami pendefinisian yang berbasis hukum mengenai
perkawinan anak. Dalam hal ini, perkawinan anak didefinisikan sebagai
perkawinan yang dilakukan di bawah usia 18 tahun, sebelum anak perempuan secara
fisik, fisiologis, dan psikologis siap memikul tanggungjawab perkawinan dan
pengasuhan anak;
56.
Bahwa banyak hukum
dan konvensi internasional terkait hak asasi manusia hukum telah dijadikan pedoman
terkait dengan perkawinan anak, seperti UDHR, CRC dan CEDAW. Sejumlah instrumen
hak asasi manusia menjadi sandaran norma-norma yang akan diterapkan terkait dengan
hukum pernikahan, yang meliputi isu mengenai usia, persetujuan, kesetaraan
dalam pernikahan, serta hak-hak pribadi dan hak milik perempuan. Instrumen dan
artikel penting terkait hal itu adalah sebagai berikut:
57. Bahwa Definisi
yang paling berpengaruh tentang ‘perkawinan anak’ adalah dari Convention on
the Rights of the Child (CRC), yang mendefinisikan perkawinan anak sebagai
perkawinan yang terjadi di bawah usia 18 tahun. Namun pendefinisian secara
legal formal ini masih meninggalkan pertanyaan tentang rentang usia berapa
seseorang dapat disebut anak dan bentuk relasi seperti apa yang dapat disebut
perkawinan. Ketentuan-ketentuan di dalam CRC (Konvensi Hak Anak) yang berkaitan
dengan isu perkawianan anak dapat ditemukan dalam beberapa pasal berikut:
Ketentuan
|
Materi
|
Pasal 1
|
Seorang anak
adalah setiap manusia di bawah usia 18 tahun, kecuali di bawah hukum yang
berlaku terhadap si anak, mayoritas usia yang ditentukan adalah yang lebih
muda daripada itu.
|
Pasal 2
|
Kebebasan dari
diskriminasi atas dasar apa pun, termasuk jenis kelamin, agama, asal etnis
atau sosial, kelahiran atau status lainnya.
|
Pasal 3
|
Dalam semua
tindakan mengenai anak-anak ... kepentingan terbaik dari anak harus menjadi
pertimbangan utama.
|
Pasal 6
|
Memberikan
dukungan maksimum terhadap kelangsungan hidup dan pembangunan.
|
Pasal 12
|
Hak untuk
mengekspresikan pandangannya secara bebas dalam segala hal yang memengaruhi
anak, sesuai dengan usia dan kematangannya.
|
Pasal 19
|
Hak atas
perlindungan dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, cidera atau
penyalahgunaan, penganiayaan atau eksploitasi, termasuk penyalahgunaan
seksual, ketika sedang dalam pengasuhan orang tua, wali, atau orang lain.
|
Pasal 24
|
Hak untuk
kesehatan dan mengakses layanan kesehatan, serta untuk dilindungi dari
praktik-praktik tradisional yang berbahaya.
|
Pasal 28 dan 29
|
Hak untuk
berkesempatan mendapatkan pendidikan dasar yang sama.
|
Pasal 34
|
Hak atas
perlindungan dari semua bentuk eksploitasi seksual dan pelecehan seksual.
|
Pasal 35
|
Hak untuk
perlindungan dari penculikan, penjualan, atau perdagangan.
|
Pasal 36
|
Hak perlindungan
dari segala bentuk eksploitasi yang merugikan aspek apa pun dalam
kesejahteraan anak.
|
58. Bahwa ketentuan
yang menjamin hak-hak anak untuk tidak dipaksa melakukan perkawinan anak juga
ditegaskan di dalam Pasal 16 dari Universal
Declaration of Human Rights(UDHR) 1948, yang menyatakan: (1)
Laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa ... berhak untuk menikah dan
membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal pernikahan,
selama menjalani pernikahan, dan pada saat perceraian; (2) Pernikahan harus
dilaksanakan hanya dengan persetujuan penuh dan secara bebas dari para pihak
yang terlibat. Ketentuan serupa juga kembali
ditegaskan di dalam International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights 1966 dan International Covenant on Civil and Political
Rights1966. Selain itu perlindungan serupa juga secara tegas
dikemukanan di dalam beberapan instrumen internasional HAM berikut ini:
Ketentuan
|
Materi
|
Pasal 1 Supplementary
Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade, and Institutions and
Practices Similar to Slavery tahun 1956
|
Setiap praktik
ketika (i) seorang wanita, tanpa hak untuk menolak, dijanjikan atau
dinikahkan dengan pembayaran berdasarkan pertimbangan uang atau barang kepada
orang tuanya, wali, keluarga ...
|
Pasal 1, 2, dan
3 dari Convention
on Consent to Marriage, Minimum Age for Marriage and Registration of
Marriages tahun 1964
|
(1) Sebuah
pernikahan dianggap tidak sah apabila tidak ada persetujuan penuh dan secara
bebas dari kedua belah pihak yang terlibat dan persetujuan tersebut akan
diungkapkan oleh mereka secara pribadi ... sebagaimana ditentukan oleh hukum.
(2) Pihak negara harus ... menetapkan usia minimum untuk menikah ("tidak
kurang dari 15 tahun" sesuai dengan rekomendasi tidak terikat dari
konvensi ini). Tidak ada pernikahan yang sah secara hukum dilaksanakan oleh
setiap orang di bawah batas umur ini, kecuali otoritas yang berwenang telah
memberikan dispensasi terkait usia karena alasan yang serius dan demi
kepentingan kedua mempelai ... (3) Semua perkawinan harus didaftarkan ...
oleh pejabat yang berwenang.
|
Pasal 16.1 dan
16.2 Convention
on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women tahun
1979
|
-
dalam hal: (a)
memasuki pernikahan, (b) bebas memilih pasangan dan untuk memasuki pernikahan
hanya dengan persetujuan yang penuh dan bebas; ...
-
pertunangan dan
pernikahan seorang anak tidak akan memiliki kekuatan hukum dan semua tindakan
yang diperlukan, termasuk legislasi, harus diambil untuk menetapkan usia
minimum seseorang untuk menikah.
|
Pasal XXI African Charter
on the Rights and Welfare of the Child tahun 1990
|
pernikahan anak
serta pertunangan antara anak perempuan dan laki-laki harus dilarang dan
tindakan efektif, termasuk legislasi, harus diambil untuk menetapkan usia
minimum pernikahan menjadi delapan belas tahun.
|
59. Bahwa berdasarkan
uraian di atas terlihat jika instrumen internasional hak asasi manusia juga
menghendaki adanya batas usia minimum bagi perkawinan, meski tidak secara tegas
menetapkan usia yang dipandang tepat. Kendati ada kecenderungan untuk
menafsirkan standar pelarangan perkawinan dari seseorang yang berusia di bawah
18 tahun sesuai dengan Konvensi Hak Anak, yang dimaksudkan untuk melindungi dan
menjamin terpenuhinya hak-hak anak;
60. Bahwa pembenaran
adanya perkawinan anak sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU
Perkawinan menunjukkan adanya ancaman terhadap pemenuhan dan perlindungan
hak-hak asasi anak khususnya anak perempuan Indonesia. Sebab ketentuan a quokemudian menjadi landasan dan dasar hukum dibenarkannya
perkawinan bagi wanita yang sudah mencapai umur 16 tahun dan dalam praktiknya menjadi peluang
dilakukannya pernikahan bagi usia wanita sebelum umur 16 tahun yang menurut
para pemohon merupakan ‘perkawinan anak’;
61. Bahwa di Indonesia,
34,5% dari 2.049.000 perkawinan yang terjadiselama tahun 2008 adalah perkawinan
anak. Dilaporkan juga bahwa selama kurun waktu tahun 2000-2008, kecenderungan
perkawinan anak di tingkat nasional dan di Jawa Tengah cenderung menurun,
tetapi cenderung meningkat di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (BPS,
2009). Seperti halnya di banyak negara lain, perkawinan anak lebih sering
terjadi di daerah perdesaan dan menimpa perempuan berpendidikan rendah (vide Bukti P-5);
62. Bahwa berdasarkan Survei Data Kependudukan Indonesia (SDKI) 2007
menunjukan 22% perempuan menikah sebelum usia 18 tahun, bahkan di beberapa
daerah didapatkan bahwa sepertiga dari jumlah pernikahan yang terdata, ternyata
dilakukan oleh pasangan yang usianya di bawah 16 tahun.Selain itu berdasarkan Hasil Survei Demografi dan Kesehatan (SDKI) 2012
menunjukkan masih ada 10% (6927) remaja usia 15-19 yang sudah pernah melahirkan
atau sedang hamil anak pertama (Bukti P-7);
63. Bahwa di sejumlah pedesaan, bahkan pernikahan seringkali dilakukan segera
setelah anak perempuan mendapat haid pertama. Hasil penelitian UNICEF di
Indonesia (2002), menemukan angka kejadian pernikahan anak berusia 15 tahun
berkisar 11% (vide Bukti P-5);
Ketentuan a quo mengakibatkan banyaknya kasus pemaksaan perkawinan anak
64. Bahwa
menurut UU Perkawinan, persetujuan merupakan salah satu syarat yang menentukan
legalitas sebuah perkawinan. Pasal 6 sampai dengan Pasal UU Perkawinan menetapkan
persyaratan yang harus dipenuhi agar sebuah perkawinan dapat dianggap sah. Ini
terdiri dari persyaratan internal yang berhubungan dengan kondisi orang yang
akan kawin dan persyaratan eksternal yang berhubungan dengan pengaturan
perkawinan yang melibatkan pejabat publik;
65. Bahwa dalam Pasal
6 ayat (1) UU Perkawinan disebutkan bahwa perkawinan didasarkan pada
persetujuan dari pengantin laki-laki dan perempuan. Meskipun persyaratan adanya
persetujuan ini bertujuan untuk melindungi anak-anak dari perkawinan paksa,
yang tetap menjadi kepedulian adalah apakah anak-anak yang belum dewasa dan
memiliki kapasitas untuk bertindak dapat memberikan persetujuan yang
"bebas dan penuh". Deklarasi Universal HAM mengakui bahwa persetujuan
untuk kawin tidak dapat dikatakan "bebas dan penuh” ketika salah satu pihak
yang terlibat tidak cukup matang untuk membuat keputusan tentang pasangan
hidup;
66. Bahwa dalam hal
ini, perkawinan anak (di bawah 18 tahun) yang diperbolehkan berdasarkan UU a quo merupakan suatu bentuk pelanggaran
hak, karena anak terlalu muda untuk membuat keputusan tentang pasangan
perkawinan mereka atau tentang implikasi dari perkawinan itu sendiri. Dalam
Kompilasi Hukum Islam, persetujuan dari pengantin laki-laki dan perempuan
bahkan didefinisikan sebagai, “Persetujuan
dari pengantin perempuan dapat berupa pernyataan tegas dalam bentuk pernyataan
tertulis atau lisan, atau gerakan, tetapi juga dapat diam saja, yang dapat
ditafsirkan sebagai tidak ada penolakan yang tegas”. Definisi persetujuan
seperti ini justru akan berkontribusi pada terjadinya perkawinan paksa,
khususnya dalam masyarakat patriarki, dengan ketidakberdayaan perempuan dan
kurang diartikulasikannya aspirasi mereka;
67. Bahwa sebagai
contoh yang umum untuk melihat situasi ada dalam sebuah kasus pernikahan antara
Pujiono Cahyo Widiono, atau lebih dikenal sebagai Syekh Puji (43 tahun),
menikahi Lutfiana Ulfa (12 tahun) pada November 2008. Syekh Puji adalah seorang
pengusaha kaya di Semarang yang telah beristri. Sementara itu, Ulfa baru lulus
dari sekolah dasar dan dikenal oleh teman-temannya sebagai murid yang cerdas,
rajin, dan ramah dalam pergaulan. Orang tua Ulfa adalah karyawan pada suatu
perusahaan swasta dan memiliki latar belakang kesejahteraan ekonomi yang
terbatas. Oleh karena perbedaan ekonomi yang mencolok antara Puji dan mertuanya
ini, banyak yang menilai bahwa perkawinan tersebut bermotif ekonomi;
68. Bahwa Pujiono Cahyo Widiono mengakui dirinya telah
menikah secara agama pada 8 Agustus 2008, pukul 03.03 dini hari di kediamannya,
kompleks ponpes Miftahul Jannah, Desa Bedono dengan disaksikan oleh ribuan
orang yang terdiri atas para santri, karyawan perusahaannya, dan tokoh-tokoh
masyarakat setempat. Dia juga sekaligus mengumumkan bahwa perkawinan sirinya
dengan anak perempuan berusia 12 tahun sebagai hal yang wajar dan halal menurut
ajaran agama Islam. Dikatakannya juga bahwa dia akan menikahi dua perempuan
belia lainnya yang masih berusia 9 dan 7 tahun dalam waktu dekat;
69. Bahwa pernyataannya
di media tersebut semakin memicu kontroversi yang luar biasa dari masyarakat
luas dan menuai kecaman dari berbagai pihak. Sebagai akibatnya, permohonan
surat nikah (proses legal formal) untuk perkawinannya dengan Lutfiana Ulfa
ditolak olah KUA Kabupaten Semarang. Alasannya adalah tidak melihat indikasi
adanya pemberian izin dari istri pertama terhadap pelaksanaan poligami yang
dijalani Syekh Puji;
70. Bahwa
dalam perkembangannya, pada 14 Oktober 2010, Pujiono akhirnya dituntut dengan
hukuman enam tahun penjara dan denda enam puluh juta rupiah. Dia dihukum dengan
pertimbangan tidak mengindahkan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
dengan dalih mengawini anak di bawah umur, melecehkan perempuan, serta memasung
hak anak karena tidak dapat bersekolah;
Ketentuan a quo mengancam kesehatan reproduksi anak perempuan
71. Bahwa kehamilan
pada usia kurang dari 17 tahun akan meningkatkan risiko komplikasi medis, baik
pada ibu maupun pada anak. Kehamilan di usia yang sangat muda ternyata
berkorelasi dengan angka kematian dan kesakitan ibu. Disebutkan bahwa anak
perempuan berusia 10-14 tahun berisiko lima kali lipat meninggal saat hamil
maupun bersalin dibandingkan kelompok usia 20-24 tahun, sementara risiko ini
meningkat dua kali lipat pada kelompok usia 15-19 tahun. Sebagai contoh Angka
kematian ibu usia di bawah 16 tahun di Kamerun, Etiopia, dan Nigeria, bahkan
lebih tinggi hingga enam kali lipat. Hal ini terjadi karena anatomi tubuh anak
belum siap untuk proses mengandung maupun melahirkan, sehingga dapat terjadi
komplikasi berupa obstructed labour serta obstetric fistula (vide Bukti P-7); (Bukti P-8); (Bukti P-9); (Bukti P-10);
72. Bahwa data dari UNPFA tahun 2003, memperlihatkan
15%-30% di antara persalinan di usia dini disertai dengan komplikasi kronik,
yaitu obstetric fistula. Fistula merupakan kerusakan pada organ
kewanitaan yang menyebabkan kebocoran urin atau feses ke dalam vagina. Wanita
berusia kurang dari 20 tahun sangat rentan mengalami obstetric fistula.
Obstetric fistula ini dapat terjadi pula akibat hubungan seksual di usia
diniPernikahan anak berhubunganerat dengan fertilitas yang tinggi, kehamilan dengan
jarak yang singkat, juga terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan (vide Bukti-P7); (vide Bukti P-8); (vide
Bukti P-9); dan ; (vide Bukti P-10)
73. Bahwa mudanya usia
saat melakukan hubungan seksual pertamakali juga meningkatkan risiko penyakit
menular seksual dan penularan infeksi HIV. Banyak remaja yang menikah dini
berhenti sekolah saat mereka terikat dalam lembaga pernikahan, mereka
seringkali tidak memahami dasar kesehatan reproduksi, termasuk di dalamnya
risiko terkena infeksi HIV. Infeksi HIV terbesar didapatkan sebagai penularan
langsung dari partner seks yang telah terinfeksi sebelumnya. Lebih jauh lagi,
perbedaan usia yang terlampau jauh menyebabkan anak hampir tidak mungkin
meminta hubungan seks yang aman akibat dominasi pasangan;
74. Bahwa perkawinan anak dengan kehamilan dini (di bawah umur 18 tahun)
sangat berisiko tinggi bagi si Ibu, karena si Ibu sedang dalam masa pertumbuhan
yang masih memerlukan gizi, sementara janin yang dikandungnya juga memerlukan
gizi sehingga ada persaingan perebutan nutrisi dan gizi antara ibu dan janin;
dengan resiko lainnya, adalah:
-
Potensi kelahiran premature;
-
Bayi lahir cacat;
-
Bayi lahir dengan berat badan rendah/kurang;
-
Ibu beresiko anemia (kurang darah),
-
Ibu mudah terjadi perdarahan pada proses persalinan,
-
Ibu mudah eklampsi (kejang pada perempuan hamil),
-
Meningkatnya angka kejadian depresi pada Ibu karena perkembangan
psikologis belum stabil
- Meningkatkan Angka Kematian Ibu (AKI),
- Study epidemiologi kanker serviks menunjukan resiko meningkat lebih dari
10x bila jumlah mitra sex 6/lebih atau bila berhubungan seks pertama dibawah
usia 15 tahun
- Semakin muda perempuan memiliki anak pertama, semakin rentan terkena
kanker serviks
- Resiko terkena penyakit menular seksual
- Organ reproduksi belum berkembang sempurna
75. Bahwa perkawinan usia muda juga berisiko pada
terjadinya karsinoma serviks, akibat keterbatasan gerak sebagai istri dan
kurangnya dukungan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, karena terbentur
kondisi ijin suami dan ekonomi, sehingga berkontribusi terhadap meningkatnya
angka morbiditas dan mortalitas pada remaja yang hamil (vide Bukti-P7); (vide Bukti
P-8); (vide Bukti P-9); dan
; (vide Bukti P-10)
76. Bahwa berdasarkan Indikator dari Age Specific Fertility Rate atau angka
kelahiran menurut umur (ASFR) menunjukkan kesempatan yang tersedia untuk remaja
perempuan dan kerentanan yang mereka alami selama dan sepanjang masa remaja
mereka terutama dalam periode kehamilan akibat dari belum siapnya anak remaja
perempuan tersebut dalam hal fisik, mental, sosial dan ekonomi. Komplikasi
kehamilan dan melahirkan pada usia dini merupakan salah satu penyumbang dari
tingginya angka kematian ibu (AKI); (vide Bukti-P7); (vide Bukti P-8); (vide
Bukti P-9); dan ; (vide Bukti P-10)
77. Bahwa menurut data UNICEF
perempuan yang melahirkan pada usia 15-19 tahun beresiko mengalami kematian dua
kali lebih besar dibandingkan dengan perempuan yang melahirkan pada usia di
atas 20 tahun (vide Bukti P-8);
78. Bahwa hasil penelitian di Indonesia juga menunjukkan
apabila kelahiran terjadi pada perempuan usia anak sebelum mencapai usia 18
tahun mempunyai resiko kematian (mengancam hidupnya), kecacatan dan kesakitan
(kelangsungan hidupnya). Dengan demikian pembiaran pengaturan usia 16 tahun
anak perempuan menikah bertentangan
dengan tujuan konstitusi untuk melindungi hak hidup dan kelangsungan hidup
anak;
79. Bahwa kasus
komplikasi kehamilan anak perempuan yang kawin pada usia anak cukup tinggi.
Hasil kajian PSKK (2011) menunjukkan bahwa tigkat komplikasi kehamilan dari
anak perempuan yang kawin cukup tinggi terutama di Nusa Tenggara Timur dan Nusa
Tenggara Barat, yang angkanya bisa mencapai rata-rata sekitar 70%. Penyebab
utamanya adalah tingginya faktor resiko dan minimnya sarana kesehatan yang bisa
melayani mereka (vide Bukti P-5);
80. Bahwa hasil
penelitian yang dilakukan Hanum (1997) juga telah memperkuat data di atas,
dikatakannya bahwa perkawinan dini hanya melahirkan resiko besar terhadap
prognosa kehamilan yang berimplikasi terhadap kesehatan ibu dan anak, serta
mempunyai beban psikologis pasangan yang bertubi-tubi (vide Bukti P-5 dan vide Bukti P-7);
Ketentuan a quomengancam hak anak atas pendidikan
81. Bahwa semakin muda
usia anak perempuan menikah maka semakin rendah tingkat pendidikan yang dapat
dicapai oleh anak yang bersangkutan. Pernikahan anak seringkali menyebabkan anak tidak lagi bersekolah karena
ia memiliki tangungjawab baru baik sebagai istri atau calon ibu, atau orangtua
yang akan diharapkan berperan lebih besar mengurus rumah tangga atau menjadi
tulang punggung keluarga dan keharusan
mencari nafkah;
82. Bahwa berdasarkan
beberapa penelitian UNICEF didapatkan
korelasi antara tingkat pendidikan dan usia saat menikah, dimana jika semakin
tinggi usia anak saat menikah maka pendidikan anak relative lebih tinggi dan
demikian pula sebaliknya. Pernikahan di usia dini menurut penelitian UNICEF
tahun 2006 tampaknya berhubungan dengan derajat pendidikan yang rendah. Oleh
karena itu menunda usia pernikahan merupakan salah satu cara agar anak dapat
mengenyam pendidikan yang lebih tinggi (vide
Bukti P-8); (vide Bukti P-9) dan (Vide Bukti P-10)
83. Bahwa situasi yang
digambarkan dalam fakta-fakta hasil penelitian di atas telah berakibat pada
terampasnya hak atas pendidikan yang semestinya bisa dinikmati oleh setiap anak
di Indonesia, sebagai bagian dari pemenuhan hak-hak konstitusional warga
negara. Sistem pendidikan nasional di Indonesia menerapkan wajib belajar 12
tahun, apabila perkawinan anak perempuan dilakukan pada usia 16 tahun, anak
tersebut tidak dapat menikmati hak-hak konstitusionalnya untuk mendapatkan
pendidikan; (vide Bukti P-7)
84. Bahwa berdasarakan
pada uraian argumentasi di atas, khususnya implikasi yang ditimbulkan oleh
ketentuan a quo, jelas ketentuan a quo baik langsung maupun tidak
langsung telah secara faktual dan juga potensial mengakibatkan terjadinya
pelanggaran terhadap hak anak untuk tumbuh dan berkembang, serta memperoleh hak
atas pendidikan, sehingga ketentuan a quo
harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28C ayat (1)
UUD 1945;
C.3. Ketentuan Pasal 7 ayat (1)
sepanjang frasa “16 (enam belas) tahun”
dan Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan telah mengakibatkan terjadinya diskriminasi
dalam pemenuhan hak antara anak laki-laki dan anak perempuan, sehingga
bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945
85. Bahwa
ketidaksetaraan jender merupakan konsekuensi dalam pernikahan anak. Oleh karena
mempelai anak perempuan memiliki kapasitas yang terbatas baik untuk menyuarakan
pendapat, menegosiasikan keinginan berhubungan seksual, memakai alat kontrasepsi,
dan mengandung anak, juga terbatas dalam aspek domestik lainnya (vide Bukti P-7); (vide Bukti P-8)
dan (vide Bukti P-9);
86. Bahwa dominasi
pasangan seringkali menyebabkan anak perempuan rentan terhadap kekerasan dalam
rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga tertinggi terjadi di India, terutama
pada perempuan berusia 18 tahun. Anak yang menghadapi kekerasan dalam rumah tangga cenderung tidak
melakukan perlawanan, sebagai akibatnya mereka pun tidak mendapat pemenuhan
rasa aman baik di bidang sosial maupun finansial.Selain itu, pernikahan dengan
pasangan terpaut jauh usianya meningkatkan risiko keluarga menjadi tidak
lengkap akibat perceraian, atau menjanda karena pasangan meninggal dunia (vide Bukti P-5,(vide Bukti P-7), (vide
Bukti P-8) dan (vide Bukti P-9);
87. Bahwa merujuk pada
hasil penelitan PSKK UGM, menunjukkan bahwa anak perempuan yang kawin pada usia muda rentan
terhadap tindak KDRT. Kasus KDRT paling banyak dialami anak perempuan di Sikka,
Lembata, Dompu, Indramayu, dan Rembang. Terjadinya KDRT tak jarang dipicu oleh
tekanan adat yang menempatkan anak perempuan pada posisi yang rentan. Terkait
adat belis di Sikka misalnya, pihak suami merasa telah membeli istri melalui
pemberian belis, sehingga ia merasa berhak melakukan kekerasan terhadap istri.
Mereka yang mengalami KDRT tingkat rendah (frekuensi jarang) mencapai di atas
60%, sedangkan yang mengalami KDRT tingkat tinggi (frekuensi sering) mencapai
di atas 40% (vide Bukti P-5 );
88. Bahwa temuan
serupa juga dikemukakan oleh penelitian Sativa (2009), yang menunjukkan bahwa perkawinan
dini hanya akan menjadi industri yang memproduksi perilaku sulit dalam
menjalankan peran akan status baru, hingga kemudian terbukti tidak harmonisnya
rumah tangga. Efek lanjutannya, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dalam
beberapa kasus menjadi pemicu utama terjadinya perceraian (vide Bukti P-7);
89. Bahwa penegasan
yang sama juga dikemukakan oleh Imariar (2010), yang membuktikan bahwa
perkawinan pada usia dini memiliki relasi fungsi terhadap terjadinya
perceraian. Masalah dalam keluarga baru, datang silih berganti seiring masa
transisi yang begitu cepat. Perubahan status yang cukup cepat berdampak pada
pasangan kawin tidak siap dalam menjalankan peran baru. Akibatnya adalah proses
perceraian yang tidak terelakkan. Selanjutnya masalah yang mendera pasangan
cerai ini semakin runcing dan serba sulit seiring dengan kesedihan yang harus
dijalani dalam lingkungan sosial tanpa pasangan (vide Bukti P-7);
90. Bahwa informasi
yang sama juga disampaikan oleh Muh.
Azwar Thamrin (2009), yang mengatakan, dampak dari perkawinan dini
adalah terjadinya pertengkaran selama perkawinan yang merupakan ancaman bagi kelangsungan rumah tangga sehingga membuat
kehidupan rumah tangga mareka tidak harmonis. Sebagian yang lain juga
menganggap bahwa pertengkaran merupakan hal yang biasa atau wajar terjadi dalam
setiap hubungan tidak terkecuali di dalam hubungan perkawinan.
Pertengkaran-pertengkaran yang terjadi tersebut disebabkan oleh beragam faktor
mulai dari faktor ekonomi yang paling sering menjadi pemicu pertengkaran,
faktor emosi sampai faktor anak/keturunan dalam hal mengurus anak, yang pada
akhirnya bisa mengarah pada terjadinya perceraian (vide Bukti P-5);
91. Bahwa
Komite tentang penghapusan diskriminasi terhadap perempuan telah menyatakan
dalam Rekomendasi Umum No. 21, dengan mengatakan: “Mempertimbangkan bahwa usia minimum perkawinan hendaknya 18 tahun bagi
mempelai laki-laki maupun mempelai perempuannya. Ketika seorang laki-laki dan
seorang perempuan menikah, mereka memiliki tanggungjawab penting. Oleh karena
itu, perkawinan sebaiknya tidak diperbolehkan sebelum mereka mencapai
kematangan penuh dan kematangan untuk bertindak”. Oleh karena itu, berdasar
pada rekomendasi tersebut, penetapan usia minimum untuk menikah yang lebih
rendah bagi anak perempuan dibanding anak laki-laki adalah suatu bentuk
diskriminasi;
92. Bahwa
diskriminasi menurut berbagai instrumen hukum internasional hak asasi manusia yang
diakui, dapat diartikan sebagai setiap bentuk pembedaan, tidak memasukkan atau exclusion,
pembatasan atau preferensi, yang didasarkan pada alasan apapun seperti ras,
warna kulit, kelamin, bahasa, agama, pandangan politik dan pandangan lain, asal
rumpun bangsa atau asal sosial, kepemilikan status kelahiran atau status lain
yang bertujuan atau yang mengakibatkan dihapuskan atau dihalanginya pengakuan,
penikmatan atau pelaksanaan oleh semua orang dengan kesetaraan semua hak dan
kebebasan;
93. Bahwa
segala bentuk diskriminasi adalah dilarang menurut berbagai instrumen hukum
internasional hak asai manusia, juga dilarang oleh UUD 1945 khususnya Pasal 28I
ayat (2), termasuk juga larangan diskriminasi dalam pemenuhan hak-hak anak,
yang ditegaskan di dalam ketentuan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945;
94. Bahwamenyikapi
berbagai bentuk tindakan diskriminasi, khususnya yang terkait dengan batas usia
perkawinan anak laki-laki dan perempuan, Komite tentang penghapusan
diskriminasi terhadap perempuan telah memberikan rekomendasi sebagai berikut: “…perundang-undangan mengenai usia minimum
untuk menikah harus di tinjau kembali untuk memastikan bahwa undang-undang atau
peraturan tersebut tidak bersifat membeda-bedakan berdasarkan jenis kelamin dan
agama dan Negara-negara anggota sebaiknya mempertimbangkan untuk menaikkan
batas usia minimum menjadi 18 tahun dan Bahwa Pertimbangan harus diberikan untuk
menghapuskan atau mengamendemen perundang-undangan yang memperbolehkan mereka
untuk menikah dalam keadaan luar biasa, khususnya ketika perundang-undangan ini
membolehkan mereka untuk menikah tanpa suatu ketetapan pengadilan bahwa
perkawinan merupakan kepentingan terbaik bagi mereka”;
95. Bahwa
berdasarkan alasan-alasan di atas, keberadaan ketentuan a quo yang mengatur mengenai batas usia perkawinan anak perempuan
telah secara jelas dan meyakinkan melahirkan adanya tindakan yang diskriminatif
dalam perlakuan antara anak laki-laki dan perempuan, sehingga berakibat pada
tidak terpenuhinya sejumlah hak-hak konstitusional khususnya bagi anak
perempuan. Oleh karena itu ketentuan a
quo harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28I
ayat (2) UUD 1945;
D. Petitum
Berdasarkan alasan-alasan
hukum dan konstitusional di atas, maka Para Pemohon dalam hal ini memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia untuk dapat memutus hal-hal sebagai berikut:
1. Menerima dan
mengabulkan seluruh permohonan pengujian undang-undang yang diajukan oleh Para
Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan
ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sepanjang frasa “umur 16 (enam belas) tahun”, bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang
tidak dibaca “umur 18 (delapan
belas) tahun”;
3. Menyatakan
ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sepanjang frasa “umur 16 (enam belas) tahun”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,
sepanjang tidak dibaca “umur
18 (delapan belas) tahun”;
4. Menyatakan
ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertentangan dengan UUD
1945;
5. Menyatakan
ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
6. Memerintahkan
amar putusan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang
mengabulkan permohonan pengujian undang-undang a quo, untuk dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan;
Atau apabila Majelis Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon putusan
yang seadil-adilnya (ex aeque et bono).
Jakarta, 16 Juli 2014
Supriyadi Widodo
Eddyono, S.H.
|
Wahyudi Djafar, S.H.
|
Anggara, S.H.
|
Wahyu Wagiman, SH.
|
Ade Novita, S.H.
|
Erasmus A. T. Napitupulu, S.H.
|
Rully Novian, S.H.
|
Robert Sidauruk, S.H.
|
Adi Condro Bawono, SH.
|
Alfeus Jebabun, SH.
|
-------------------------------------------------------------------------------------------
Keterangan:
Permohonan uji materi UU Perkawinan ini diregistrasi oleh Kepaniteraan MK pada Senin 11 Agustus 2014 dengan Nomor Perkara 74/PUU-XII/2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar