Harmoni...

Jakarta, September 2010

Harmoni...

Jakarta, Desember 2010

Belahan jiwa

......

...Belahan jiwa...

......

ceria...

Jakarta, 8 Januari 2012

Nora Uzhma Naghata

Bogor, 24 Februari 2011

Nora Uzhma Naghata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Taman Safari Puncak

Bogor, 24 Februari 2011

Bandara Ahmad Yani

Semarang, 28 September 2011

Rileks

*********

Nur Rosihin Ana

Semarang, 19 Oktober 2010

Nur Rosihin Ana

mahkamah dusturiyyah, 18 Juli 2012

Nur Rosihin Ana

Hotel Yasmin, Puncak, Desember 2010

Nora Uzhma Naghata

Naghata

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Demak, 11 September 2011

Nur Rosihin Ana

Nagreg, Bandung 11 Juli 2011

Nora Uzhma Naghata, Sri Utami, Najuba Uzuma Akasyata, Nur Rosihin Ana

Sapa senja di Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Sapa Senja Jepara

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

...bebas, lepas...

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Rabu, 30 Mei 2012

Sengketa Kuasa Pulau Berhala

Pasal 9 ayat (4) UU Nomor 54 Tahun 1999 tentang Pembentukan Daerah Kabupaten Sorolangun, Daerah Kabupaten Tebo, Daerah Kabupaten Muara Jambi, Dan Daerah Kabupaten Tanjung Jabung Timur, dengan tegas menyatakan bahwa Kabupaten Tanjung Jabung Timur mempunyai batas wilayah: a. sebelah utara dengan Laut Cina Selatan; b. sebelah Timur dengan Laut Cina Selatan. “Jadi, dengan kenyataan ini tidak bisa dipungkiri bahwa Pulau Berhala itu adalah bagian dari Tanjung Jabung Timur.”

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Prof. H. Rozali Abdullah, SH saat didaulat sebagai ahli Pemohon dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (30/5/2012) pagi. Sidang pleno perkara Perkara 32/PUU-X/2012 mengenai  Pengujian Pasal 5 ayat (1) huruf c UU Nomor 31 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Lingga Provinsi Kepulauan Riau, beragendakan mendengarkan keterangan Pihak Terkait I dan Pihak Terkait II serta Saksi/Ahli dari Pemohon, Pemerintah dan Pihak Terkait.

Lebih lanjut Rozali menyatakan, Penjelasan Pasal 3 UU Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) menyatakan bahwa Kabupaten Kepri dalam UU ini, tidak termasuk Pulau Berhala. “Karena Pulau Berhala termasuk dalam wilayah Provinsi Jambi berdasarkan Undang-Undang Nomor 54 Tahun 1999,” terang Rozali.

Sementara itu, Prof. Dr. Hasjim Djalal, ahli yang dihadirkan oleh Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) selaku Pihak Terkait I, dalam paparannya menyatakan, secara hukum yang sering menentukan hak dan kewenangan suatu pemerintahan terhadap suatu wilayah adalah bagaimana efektifnya pemerintahan atas wilayah tersebut dijalankan dalam waktu yang cukup lama. “Dalam kasus Pulau Berhala ini, sungguh menarik perhatian bahwa Provinsi Riau dan Kepulauan Riau, terlihat sudah melaksanakan kewenangan pemerintahan atas pulau tersebut untuk waktu yang cukup lama. Antara lain telah memberikan pelayanan masyarakat selama bertahun-tahun, termasuk mengeluarkan sertifikat hak atas tanah dan lain-lain,” kata Djalal.

Selain itu, kata Djalal, telah mengurus hal-hal yang berkaitan dengan keamanan masyarakat, baik di darat maupun di laut, serta pelayanan lalu lintas laut dengan memelihara mercusuar di Pulau Berhala. Kemudian, telah melaksanakan pemilu secara sah dan tidak dibantah serta telah membuat aturan-aturan di pulau tersebut yang sampai kini masih berlaku. “Jika Pulau Berhala dianggap tidak termasuk Kabupaten Lingga atau Kepulauan Riau dalam tahun 1971 paling tidak, maka tentunya dapat diartikan bahwa pemilu yang dilaksanakan di pulau tersebut oleh Kepulauan Riau sejak tahun itu dapat dianggap tidak sah menurut hukum,” jelas Djalal.

Pemerintah Provinsi Jambi, lanjut Djalal, juga memasukkan Pulau Berhala ke dalam wilayah administratifnya. Namun Pemprov Jambi tidak banyak melaksanakan administrasi pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Menurut Djalal, klaim Provinsi Jambi dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur atas Pulau Berhala muncul setelah kunjungan para pejabat ke daerah tersebut sekitar 1980-an dan mulai memasang tanda-tanda kewenangannya. “Sepanjang yang saya tahu diprotes oleh Kabupaten Lingga, dan dengan demikian menunjukan bahwa Kabupaten Tanjung Jabung tidak melaksanakan administrasi pemerintahan yang efektif dan terus menerus dalam waktu yang cukup lama atas Pulau Berhala tersebut,” tandas Djalal.
           
Untuk diketahui, Uji materil (judicial review) UU Nomor 31 Tahun 2003 ini diajukan oleh H. Hasan Basri Agus (Gubernur Jambi), Effendi Hatta (Ketua DPRD Provinsi Jambi), Zumi Zola Zulkifli (Bupati Tanjung Jabung Timur), Romi Hariyanto (Ketua DPRD Kab. Tanjung Jabung Timur), Meiherrriansyah (Camat Sadu Kab. Tanjung Jabung Timur), Abidin (Kades Sungai Itik), Junaidi (Kadus Pulau Berhala), Kalik ( Ketua RT 13/Nelayan Desa Sungai Itik), H. Hasip Kalimuddin Syam (Ketua Lembaga Adat Melayu Jambi), Sayuti (Pensiunan PNS/Tokoh Masyarakat), R. Muhammad (Masyarakt Desa Nipah Panjang)

Para Pemohon mendalilkan, pembentukan Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), telah mengurangi luas wilayah Provinsi Jambi. Sebab, Pulau Berhala yang semula adalah wilayah Provinsi Jambi, dengan diberlakukannya ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 31 tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Lingga, Pulau Berhala menjadi wilayah Kabupaten Lingga.

Pasal 5 ayat (1) huruf c UU Nomor 31 Tahun 2003 menyatakan “Kabupaten Lingga mempunyai batas wilayah: Sebelah selatan berbatasan dengan laut Bangka dan Selat Berhala.” Sedangkan dalam Penjelasan Pasal 3 UU Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau menyatakan bahwa “Kabupaten Kepulauan Riau dalam undang-undang ini, tidak termasuk Pulau Berhala, karena Pulau Berhala termasuk di dalam wilayah administratif Provinsi Jambi sesuai dengan Undang-undang Nomor 54 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo, Kabupaten Muaro Jambi, dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi.” (Nur Rosihin Ana)
readmore »»  

Selasa, 29 Mei 2012

Pemeriksaan Berakhir, Sengketa Pemilukada Kab. Dogiyai Tunggu Putusan

Pemeriksaan perkara sengketa pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) Kabupaten Dogiyai, Provinsi Papua pasca digelarnya Pemungutan suara ulang (PSU) delapan kampung di Distrik Piyaiye, berakhir hari ini di persidangan Mahkamah Konstitusi, Selasa (29/5/2012) siang. Sidang berikutnya merupakan episode sangat menentukan, yaitu pengucapan putusan.

Sidang perkara 3/PHPU.D-X/2012 dan 4/PHPU.D-X/2012 yang masing-masing diajukan oleh pasangan calon bupati/wakil bupati Dogiyai yaitu pasangan Thomas Tigi-Herman Auwe dan pasangan Anthon Iyowau-Apapa Clara Gobay, dilaksanakan oleh Panel Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar (Ketua Panel), Muhammad Alim dan Hamdan Zoelva. Senada dengan persidangan Senin kemarin, persidangan kali ini juga diwarnai tanya jawab dari para pihak untuk mendalami atau mengonfirmasi keterangan para saksi.

Refly Harun selaku Kuasa hukum pasangan Thomas Tigi-Herman Auwe, memperdalam keterangan Kepala Distrik (Kadistrik) Piyaiye, Petrus Makai, mengenai tata-cara pengambilan kesepakatan adat seandainya kepala kampung tidak menghadiri kesepakatan. “Bisakah Anda jelaskan tata-cara pengambilan kesepakatan bila kepala kampung tidak hadir, karena (hal ini) kemarin dipermasalahkan. Apakah sekretaris kampung dapat menandatangani kesepakatan tersebut?” tanya Refly. “Apabila kepala kampung tidak sempat hadir, kalau memang sekretarisnya ada pada saat itu, yang berhak menandatangani adalah sekretaris,” jawab Petrus.

Hakim Konstitusi Muhammad Alim mempertajam keterangan Petrus pada persidangan sebelumnya ikhwal Distrik Piyaiye yang merupakan salah satu daerah pemekaran dari Distrik Mapia. Alim juga mempertajam keterangan Petrus ikhwal pasangan Thomas Tigi-Herman Auwe (no. urut 1) yang konon merupakan putera terbaik di Distrik Mapia. “Menurut Saudara (waktu itu), pasangan calon nomor urut 1 itu adalah putra terbaik dari Distrik Mapia, betul itu?” tanya Alim. “Betul, Yang Mulia,” jawab Petrus singkat.

Selanjutnya Petrus menjelaskan perbedaan perolehan suara dalam dua kali kesepakatan yang dicapai di Distrik Piyaiye, yaitu kesepakatan pada 9 Januari 2012 dan 26 Maret 2012. Pada kesepakatan pertama, peroleh pasangan Nomor urut 1 sebanya 7.350 suara, nomor urut 2 dengan 18 suara, dan nomor urut 3 sejumlah 21. “Versi (kesepakatan) tanggal 26 Maret, nomor urut 1 = 7.360, nomor urut 2 = 8, nomor urut 3 = 21,” papar Petrus.

Arnoldus Magai, anggota Panitia Pemilihan Distrik (PPD) Piyaiye, menjelaskan hasil rekapitulasi suara dari PPS delapan kampung yang diterima oleh PPD Piyaiye dengan jumlah DPT 7.389. Hasil rekap tingkat PPS (kampong), nomor urut 1 memperoleh 7.360 suara, nomor urut 2 sebanyak 8 suara, dan nomor urut 3 mendapat 21 suara. “Namun di dalamnya ada kekeliruan perhitungan baik tingkat PPS maupun KPPS,” papar Arnold. (Nur Rosihin Ana)
readmore »»  

Senin, 28 Mei 2012

Tolak Mekanisme Pasar Harga Jual BBM, UU APBN-P 2012 Diuji

Berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 (UU APBN-P 2012) khususnya Pasal 7 ayat (6) huruf a, memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan penyesuaian harga jual subsidi BBM kepada rakyat sesuai dengan mekanisme pasar. “Ini bertentangan dengan Putusan MK,” kata Andi Muhammad Asrun saat bertindak sebagai kuasa hukum Pemohon perkara 45/PUU-X/2012 dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (28/5/2012) siang.

Permohonan uji formil dan materiil UU APBN-P 2012 diajukan oleh M. Komarudin, Ketua Umum Federasi Ikatan Buruh Indonesia (FISBI) dan Muhammad Hafidz (perkara 45/PUU-X/2012) serta Ahmad Daryoko Presiden Konfederasi Serikat Nasional (KSN), Kgs. Muhammad Irzan Zulpakar, Mukhtar Guntur Kilat dkk (perkara 46/PUU-X/2012). Persidangan dengan agenda pemeriksaan pendahuluan ini dilaksanakan oleh Panel Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar (Ketua Panel), Hamdan Zoelva dan Maria Farida Indrati.

Pada 31 Maret 2012 lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyetujui Rancangan Perubahan UU APBN Tahun 2012 yang diajukan oleh Pemerintah, menjadi UU APBN Tahun 2012. Dengan diberlakukannya UU tersebut, terdapat tambahan pasal dan ayat, khususnya Pasal 7 ayat (6) huruf a yang menyatakan: “Dalam hal harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude oil Price/ICP) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15% (limabelas perseratus) dari ICP yang diasumsikan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012, Pemerintah dapat melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya”.

Sejak awal pengajuan Rancangan Perubahan UU APBN 2012 pada akhir Februari 2012 hingga pembahasan RUU di DPR, telah muncul penolakan keras dari masyarakat buruh, mahasiswa, tani, nelayan, sopir, politisi, pengusaha, LSM, hingga ibu-ibu rumah tangga. Mereka beranggapan, kenaikan harga jual BBM kepada rakyat, berakibat naiknya harga berbagai kebutuhan, baik sebelum maupun sesudah kenaikan harga jual BBM kepada rakyat. “Menurut kami, banyak kesalahannya dari segi istilah maupun substansinya. Sudah banyak yang mengajukan keberatan, baik dari publik, masyarakat umum, maupun dari fraksi-fraksi di DPR,” kata Andi M. Asrun.


Perspektif Filosofis Sosiologis, dan Yuridis

Pengujian konstitusionalitas Pasal 7 ayat (6) huruf a UU APBN-P Tahun 2012, lanjut Asrun, secara formal dilatarbelakangi alasan bahwa penyusunan pasal tersebut bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Asrun mengutip pendapat Yusril Ihza Mahendra yang mengatakan, asas-asas hukum dan asas-asa pembuatan peraturan perundang-undangan yang baik, merupakan conditio sine quanon bagi berhasilnya suatu peraturan perundang-undangan yang dapat diterima dan berlaku di seluruh masyarakat Indonesia, karena telah mendapat dukungan landasan filosofis, yuridis, dan sosilogis.

Dari Sudut filosofis, pembentukan peraturan perundang-undangan seharusnya ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat. Reaksi penolakan yang datang dari berbagai elemen masyarakat terhadap Pasal 7 ayat (6) huruf a UU APBN-P Tahun 2012 merupakan indikasi hal tersebut tidak memenuhi syarat filosofis pembentukan peraturan perundang-undangan.

Dari sudut sosiologis, peraturan perundang-undangan yang dibentuk haruslah diterima oleh masyarakat. Tetapi bercermin dari protes yang dilancarkan secara masif oleh berbagai elemen masyarakat, menjadi inkasi kuat pasal dalam UU tersebut tidak diterima masyarakat.

“Bercermin dari sudut sosiologis dan filosofis Pasal 7 ayat (6) huruf a Undang-Undang APBN-P Tahun 2012, dari perspektif sosilogis tidak dapat diterapkan oleh pemerintah,” dalil Asrun.

Kemudian, dari pengujian formil, ketentuan Pasal 7 ayat (6) huruf a UU APBN-P 2012 telah melanggar putusan Mahkamah Konstitusi. MK dalam putusan Nomor 2/PUU-I/2003 membatalkan ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945, akibat menyerahkan harga minyak untuk ditentukan oleh mekanisme pasar bebas.

“Pasal 7 ayat (6) huruf a UU APBN-P Tahun 2012, secara materiil bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945,” tandas Asrun. (Nur Rosihin Ana)
readmore »»  

Sengketa Pilukada Kab. Dogiyai: Kesepakatan Adat Distrik Piyaiye Dibuat Tertulis

Perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) Kabupaten Dogiyai, Provinsi Papua belum juga reda, kendati Pemungutan suara ulang (PSU) di delapan kampung di Distrik Piyaiye telah digelar pada 2 April 2012 lalu. Mahkamah Konstitusi (MK) hari ini, Senin (28/5/2012) kembali menggelar persidangan perselisihan hasil Pemilukada Dogiyai yang diajukan dua pasangan calon bupati/wakil bupati Dogiyai, yaitu Thomas Tigi-Herman Auwe (perkara 3/PHPU.D-X/2012) dan Anthon Iyowau-Apapa Clara Gobay (4/PHPU.D-X/2012). Persidangan dengan agenda Pembuktian, dilaksanakan oleh Panel Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar (Ketua Panel), Muhammad Alim dan Hamdan Zoelva.

Refly Harun selaku kuasa hukum pasangan Thomas Tigi-Herman Auwe, mengajukan pertanyaan kepada Pelipus Makai, saksi dari Pihak Terkait yang telah memberikan keterangan pada persidangan sebelumnya. Pertanyaan Refly mengenai adanya kesepakatan di Distrik Piyaiye pada 26 Maret 2012. “Yang ingin kami tanyakan adalah bagaimana kesepakatan itu dibuat atau diambil,” tanya Refli, sembari menimpali pertanyaan mengenai apakah kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk tertulis.

Pelipus Makai dalam jawabannya dengan bahasa daerah menyatakan kesepakatan masyarakat delapan kampung di Distrik Piyaiye diadakan dua kali yaitu pada 9 Januari 2012 dan 26 Maret 2012. Pada kesepakatan 26 Maret 2012, 8 orang memilih Anthon Iyowau-Apapa Clara Gobay (No. Urut 2), 21 orang memilih Natalis Degel-Esau Magay (No. Urut 3), kemudian Thomas Tigi-Herman Auwe (No. Urut 1) dipilih 7.360 orang. “Kesepakatan itu mereka buat dalam pernyataan kesepakatan bersama secara tertulis,” kata Didimus Mote, saat menerjemahkan keterangan Pelipus Makai.

Pertanyaan terakhir Refly kepada Pelipus Makai tata-cara pengambilan kesepakatan berdasarkan adat-istiadat Piyaiye. Menurut penuturan Pelipus, masyarakat Distrik Piyaiye secara turun-temurun mengenal pemilu, baik pemilihan presiden, gubernur, DPR, maupun bupati. “Tradisi dan kebiasan yang dilakukan yaitu melalui kesepakatan. Dalam pemilukada kali ini juga, hal yang sama mereka lakukan, yaitu kesepakatan bersama,” kata Didimus menerjemahkan keterangan Pelipus Makai. (Nur Rosihin Ana)
readmore »»  

Jumat, 25 Mei 2012

Mendambakan Keadilan Substantif dalam Uji Materi UU Tipikor

Pengujian Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang diajukan oleh Herlina Koibur, kembali disidangkan di Mahkamah Konstitusi (MK), Jum’at (25/5/2012) pagi. Persidangan perkara 39/PUU-X/2012 mengenai pengujian UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) Pasal 2 ayat (1), beragendakan Perbaikan Permohonan.

Habel Rumbiak, selaku kuasa hukum Pemohon menyampaikan perbaikan permohonan di hadapan Panel Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati (Ketua Panel), Ahmad Fadlil Sumadi dan Anwar Usman. Habel menegaskan bahwa permohonan yang diajukan kliennya berbeda dengan uji materi UU Tipikor yang pernah diajukan ke MK oleh Dawud Djatmiko, yaitu perkara Nomor 003/PUU-IV/2006 yang diputus oleh MK pada 25 Juli 2006 dengan amar putusan “Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian”. “Permohonan uji materiil yang kami ajukan kali ini terhadap frasa ‘pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun’, berbeda dengan permohonan uji materiil yang pernah diajukan sebelumnya,” kata Habel.

Perbedaannya, lanjut Habel, adalah bahwa pada permohonan sebelumnya, Pemohon Dawud Djatmiko mempersoalkan tentang kata "dapat" sebelum frasa "merugikan keuangan atau perekonomian negara" pada rumusan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor. “Sedangkan permohonan uji materiil kami kali ini adalah berkenan dengan rumusan limitatif atau ketentuan minimal pidana penjara, sebagaimana dimaksud pada frasa ‘pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun’ pada Pasal 2 ayat (1), tanpa mempersoalkan apakah telah atau apakah tidak merugikan keuangan negara,” lanjutnya.

Perubahan permohonan lainnya yaitu uraian mengenai frasa ‘pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun’ yang diberlakukan secara merata. Hal ini mengandung makna seolah-olah rumusan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menganut prinsip keadilan distributif tanpa mempertimbangkan kualitas dan proporsi perbuatan seseorang dalam suatu tindak pidana. Itulah sebabnya yang kami tonjolkan di sini adalah bahwa keadilan yang kami mohonkan adalah keadilan yang sifatnya substantif, bukan distributif,” papar Habel.

Kemudian, perubahan pada tuntutan permohonan (petitum). Menurut Habel, frasa “pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun” dalam rumusan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. “Oleh karena itu, kami mohon kepada Mahkamah agar menerima permohonan ini dan menyatakan bahwa frasa ‘pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun’ pada rumusan Pasal 2 undang-undang tindak pidana korupsi ini tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat,” pinta Habel.

Untuk diketahui, Herlina Koibur adalah terpidana tindak pidana korupsi dengan ancaman penjara 4 tahun dan denda sebesar 200 juta rupiah. Apabila denda tersebut tidak dibayar, akan diganti dengan pidana kurungan selama 2 bulan. Herlina divonis Pengadilan Negeri Biak dengan hukuman tersebut, berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor yang menyatakan: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Selanjutnya, Herlina mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi Jayapura. Herlina dijatuhi hukuman lebih ringan yaitu pidana penjara 2 tahun dan denda sebesar 200 juta. Alasan ancaman pidana 2 tahun lebih ringan dikarenakan Herlina telah ditunjuk oleh Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Supiori sebagai pelaksana kegiatan pengembangan produksi perikanan, pengembangan budidaya teripang, pelatihan pengolahan teripang dan peningkatan sumber daya nelayan. Namun dalam perjalanan pelaksanaan pekerjaan ini, Herlina tidak dilibatkan secara langsung. Sedangkan uang 3 juta yang diterima Herlina dari terdakwa lain, merupakan fee setelah pekerjaan pengadaan speedboad selesai dilaksanakan. (Nur Rosihin Ana)
readmore »»  

Kamis, 24 Mei 2012

Sengketa Pilukada Dogiyai: Kesaksian Kepala Kampung Pasca PSU Distrik Piyaiye

Pemungutan suara ulang (PSU) pemilihan umum kepala daerah (pilukada) Kabupaten Dogiyai, Provinsi Papua di delapan kampung di Distrik Piyaiye yang digelar pada 2 April 2012, masih menyisakan sengketa. Pasca PSU, dua pasangan calon bupati/wakil bupati Dogiyai, yaitu Thomas Tigi-Herman Auwe (No. Urut 1) dan Anthon Iyowau-Apapa Clara Gobay (No. Urut 2) kembali mengadu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Panel Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar (Ketua Panel), Muhammad Alim dan Hamdan Zoelva, pada Kamis (24/5/2012) pagi, kembali menggelar sidang perselisihan hasil pilukada Dogiyai untuk perkara 3/PHPU.D-X/2012 dan 4/PHPU.D-X/2012. Persidangan kali ke delapan atau kali kedua pasca PSU ini beragendakan pembuktian. Sebelumnya, pada Rabu kemarin, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Dogiyai dan Panwas melaporkan pelaksanaan PSU di Distrik Piyaiye dalam persidangan MK.

Martinus Makai, salah seorang saksi untuk pasangan Natalis Degel-Esau Magay (Pihak Terkait) menjelaskan pelaksanaan PSU di Distrik Piyaiye. Pada 26 Maret 2012, Martinus bersama petugas KPPS, PPS dan warga masyarakat Kampung Kegata mengecek distribusi logistik pilukada. Hingga pada 27 Maret 2012, ternyata logistik belum didistribusikan. Padahal berdasarkan penetapan KPU Dogiyai, PSU dilaksanakan 27 Maret 2012. “Pagi itu, helikopter muncul untuk mengecek apakah memang PSU itu dilakukan atau tidak. Di dalamnya (helikopter) itu KPU Provinsi Pak Cipto (Cipto Wibowo) yang datang untuk melakukan supervisi. Kemudian, saat dia mau mendarat di Apogomakida, ibukota distrik, ternyata di bawah ada pemalangan, kemudian ada pelemparan ke helikopter. Apa sebab, kami belum ketahui,” terang Martinus.

Akibat kejadian tersebut, helikopter yang membawa anggota KPU Provinsi Papua bergerak kembali dan mendarat di kampung Kegata. Setelah menunggu kepastian pelaksanaan PSU di Distrik Piyaiye, pada pukul 15.00 WIT Martinus mendengar informasi bahwa PSU Distrik Piyaiye ditunda pada 2 April 2012. “Setelah kami dengar informasi itu, kami kirim berita ke Kampung Ukagu, Ideduwa, Yegeiyepa, untuk segera merapat ke Kampung Kegata,” lanjut Martinus.

Kesaksian Kepala Kampung

Donatus Magai, kepala Kampung Ukagu saat bertindak sebagai saksi Pihak Terkait menerangkan mengenai kesepakatan Kampung Ukagu pada 1 April 2012. Hasil kesepakatan, kata Donatus dengan bahasa daerah yang telah dialihbahasakan oleh penerjemah, dari dua TPS yang ada di Kampung Ukagu, perolehan masing-masing pasangan yaitu, Thomas Tigi-Herman Auwe (No. Urut 1) mendapatkan 115 suara, Anthon Iyowau-Apapa Clara Gobay (No. Urut 2) mendapatkan 110 suara, dan Natalis Degel-Esau Magay (No. Urut 3) mendapatkan 616 suara.  

Yohanes Kegou, kepala Kampung Kegata, dalam kesaksiannya menerangkan kesepakatan Kampung Kegata pada 1 April 2012. Menurut penuturannya, terdapat dua TPS di Kampung Kegata dengan jumlah 814. “Nomor urut 1 Thomas Tigi mendapat 400 suara, nomor urut 2 Anthon Iyowau mendapat 14 suara, nomor urut 3 Natalis Degel mendapat 400 suara,” terang Yohanes.

Kepala Kampung Yegeiyepa yang bernama sama dengan Kepala Kampung Kegata, Yohanes Kegou, dalam keterangannya dengan bahasa daerah dibantu seorang penerjemah menerangkan kesepakatan kampung Yegeiyepa. Hasil kesepakatan, pasangan nomor urut 1 mendapat 25 suara, nomor urut 2 mendapat 22 suara, dan nomor urut 3 mendapat 1.068 suara.

Untuk diketahui, MK pada pada Jum’at (17/2/20012) lalu mengeluarkan putusan mengenai perselisihan pilukada Kabupaten Dogiyai, Provinsi Papua. Dalam amar putusan perkara 3/PHPU.D-X/2012, Mahkamah memerintahkan KPU Dogiyai melakukan pemungutan suara ulang (PSU) di delapan kampung di Distrik Piyaiye, yaitu Kampung Apogomakida, Deneiode, Yegeiyepa, Ideduwa, Kegata, Egipa, Ukagu, dan Kampung Tibaugi, dengan mengikutsertakan tiga pasangan calon yaitu: Thomas Tigi-Herman Auwe, Anthon lyowau-Apapa Clara Gobay, dan pasangan Natalis Degel-Esau Magay. Sedangkan metode pemilihan dalam PSU tersebut harus dilakukan sesuai dengan tata cara yang dikehendaki oleh masyarakat masing-masing kampung di Distrik Piyaiye untuk menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisional yang masih berlaku di masyarakat setempat. (Nur Rosihin Ana)
readmore »»  

Rabu, 23 Mei 2012

KIP Kabupaten Gayo Lues Anggap Permohonan Irmawan-Yudi Kabur

Permohonan yang diajukan oleh Irmawan-Yudi Chandra Irawan, tidak dapat dikualifikasi sebagai perkara perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) Kabupaten Gayo Lues Provinsi Aceh. Sebab, ketentuan Pasal 75 huruf a UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 menegaskan bahwa permohonan yang diajukan Pemohon wajib menguraikan dengan jelas tentang kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil penghitungan yang benar menurut Pemohon.

“Pemohon tidak menguraikan dengan jelas dan rinci kesalahan penghitungan suara yang telah ditetapkan oleh Termohon begitu juga hasil penghitungan suara yang benar menurut Pemohon,” kata Imran Mahfudi, kuasa hukum Komisi Pemilihan Independen (KIP) Gayo Lues, dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (23/5/2012) siang. Persidangan perkara 36/PHPU.D-X/2012 dengan agenda mendengarkan jawaban KIP Gayo Lues, keterangan Pihak Terkait, dan Pembuktian, dilaksanakan oleh Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD (Ketua Panel) didampingi Anwar Usman dan Maria Farida Indrati.

Selain itu, KIP Gayo Lues menganggap permohonan Irmawan-Yudi sangat kabur karena semata berdasarkan asumsi. Sebab di samping tidak merinci secara jelas kesalahan penghitungan suara yang dilakukan oleh Termohon, dan tidak menjelaskan hasil penghitungan suara yang benar, Irmawan-Yudi juga tidak merinci secara jelas bentuk konkrit pelanggaran yang telah dilakukan oleh KIP Gayo Lues, baik mengenai waktu maupun tempat terjadinya pelanggaran.

Berkaitan dengan dugaan pelanggaran sebagaimana didalilkan oleh Irmawan-Yudi, hal tersebut menurut KIP Gayo Lues bukan termasuk kategori pelanggaran yang bersifat sistematis, terstruktur, dan massif. “Menurut hemat Termohon dari beberapa uraian pelanggaran yang didalilkan oleh Pemohon yang juga belum tentu dapat dibuktikan kebenarannya, tidak masuk dalam kategori pelanggaran yang bersifat sistematis, terstruktur, dan massif,” tegas Imran.

KIP Gayo Lues dengan tegas menyatakan melakukan serangkaian tahapan dan program Pemilukada Gayo Lues dengan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan telah sesuai dengan prinsip dan asas penyelenggaraan pemilihan umum. KIP Gayo Lues juga membantah dalil mengenai keberpihakannya kepada salah satu pasangan calon. Memperkuat hal ini, KIP Gayo Lues menunjukkan bukti mengenai yang tidak adanya keberatan saksi pasangan calon terhadap rekapitulasi perhitungan suara pada tingkat kecamatan pada seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Gayo Lues (bukti T-4 sampai dengan T-14).

Selanjutnya, KIP Gayo Lues membantah dalil Pemohon yang menyatakan penetapan pasangan Ibnu Hasyim-Adam (nomor urut 3) tidak sesuai dengan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Pasal 67 ayat (2) huruf i juncto Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2012. Pasal 22 huruf k Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2012 pada intinya mengatur tentang syarat calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, serta walikota/wakil walikota yang salah satunya adalah tidak pernah melakukan perbuatan tercela. “Terkait dengan syarat tidak pernah melakukan perbuatan tercela tersebut, tidak diatur secara lebih rinci mengenai perbuatan apa saja yang masuk dalam kategori perbuatan tercela serta mekanisme pembuktian pemenuhan syarat tersebut,” bantah Imran.

Oleh karena itu, KIP Gayo Lues dalam petitum-nya meminta Mahkamah agar menerima eksepsinya. Kemudian menyatakan permohonan Irmawan-Yudi Chandra Irawan tidak dapat diterima. Sedangkan dalam pokok perkara, memohon Mahkamah menerima dan mengabulkan seluruh jawaban KIP Gayo Lues. Menolak untuk seluruhnya permohonan Irmawan-Yudi Chandra Irawan. “Menyatakan sah demi hukum serta menguatkan surat keputusan KIP Kabupaten Gayo Lues Nomor 270/0505/KIP/2012 tanggal 03 Mei 2012 tentang Penetapan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Terpilih, Pemilihan Umum Bupati dan Wakil Bupati Gayo Lues Tahun 2012,” pinta KIP Gayo Lues melalui kuasa hukumnya, Imran Mahfudi. (Nur Rosihin Ana)
readmore »»  

Undang-Undang Mahkamah Konstitusi


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2003
TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2011
TENTANG PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
DALAM SATU NASKAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,



Menimbang: a. bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka mempunyai peranan penting guna menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan kewenangan dan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
             b.     bahwa Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagian sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan;
                               c.      bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;

Mengingat:     1.     Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22E ayat (2), Pasal 24, Pasal 24C, dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
                               2.     Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316);
                               3.     Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);


Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI.




BAB I
KETENTUAN UMUM


Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.    Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2.    Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disingkat DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3.    Permohonan adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi mengenai:
         a.    pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
         b.    sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
         c.    pembubaran partai politik;
         d.    perselisihan tentang hasil pemilihan umum; atau
         e.    pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4.  Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi adalah perangkat yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi untuk memantau, memeriksa dan merekomendasikan tindakan terhadap Hakim Konstitusi, yang diduga melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi.

BAB II
KEDUDUKAN DAN SUSUNAN

Bagian Pertama
Kedudukan

Pasal 2
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Pasal 3
Mahkamah Konstitusi berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia.
Bagian Kedua
Susunan
Pasal 4
(1)   Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 (sembilan) orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(2)   Susunan Mahkamah Konstitusi terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh) orang anggota hakim konstitusi.
(3)   Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh anggota hakim konstitusi untuk masa jabatan selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi.
(3a)  Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi yang terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
(4)   Sebelum Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terpilih, rapat pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipimpin oleh hakim konstitusi yang paling tua usianya.
(4a)  Rapat pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihadiri paling sedikit 7 (tujuh) orang anggota hakim konstitusi.
(4b) Dalam hal kuorum rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (4a) tidak terpenuhi, rapat ditunda paling lama 2 (dua) jam.
(4c)  Apabila penundaan rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (4b) telah dilakukan dan kuorum rapat belum terpenuhi, rapat dapat mengambil keputusan tanpa kuorum.
(4d) Pengambilan keputusan dalam rapat pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4c) dilakukan secara musyawarah mufakat untuk mencapai aklamasi.
(4e)  Apabila keputusan tidak dapat dicapai secara aklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4d), keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak melalui pemungutan suara yang dilakukan secara bebas dan rahasia.
(4f)  Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dilakukan dalam 1 (satu) kali rapat pemilihan.[1]
(4g)  Calon yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (4f) ditetapkan sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi.[2]
(4h) Calon yang memperoleh suara terbanyak kedua dalam pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (4f) ditetapkan sebagai Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi.[3]
(5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Ketua dan Wakil Ketua diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi.
Pasal 5
Hakim konstitusi adalah pejabat negara.
Pasal 6
(1)   Kedudukan keprotokolan dan hak keuangan Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan bagi pejabat negara.
(2)   Negara memberikan jaminan keamanan hakim konstitusi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman.
(3)   Hakim konstitusi hanya dapat dikenai tindakan kepolisian atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan tertulis dari Presiden, kecuali dalam hal:
        a.  tertangkap tangan melakukan tindak pidana; atau
        b.  berdasarkan bukti permulaan yang cukup disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara, atau tindak pidana khusus.
Bagian Ketiga
Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal
Pasal 7
Di Mahkamah Konstitusi dibentuk sebuah kepaniteraan dan sekretariat jenderal untuk membantu pelaksanaan tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi.
Pasal 7A
(1)   Kepaniteraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 merupakan jabatan fungsional yang menjalankan tugas teknis administratif peradilan Mahkamah Konstitusi.
(2)   Tugas teknis administratif peradilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
        a.  koordinasi pelaksanaan teknis peradilan di Mahkamah Konstitusi;
        b.  pembinaan dan pelaksanaan administrasi perkara;
        c.  pembinaan pelayanan teknis kegiatan peradilan di Mahkamah Konstitusi; dan
        d.  pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi sesuai dengan bidang tugasnya.
Pasal 7B
(1)   Sekretariat jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 menjalankan tugas teknis administratif Mahkamah Konstitusi.
(2)   Tugas teknis administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
        a.  koordinasi pelaksanaan administratif di lingkungan sekretariat jenderal dan kepaniteraan;
        b.  penyusunan rencana dan program dukungan teknis administratif;
        c.  pelaksanaan kerja sama dengan masyarakat dan hubungan antarlembaga;
        d.  pelaksanaan dukungan fasilitas kegiatan persidangan; dan
        e.  pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi sesuai dengan bidang tugasnya.
Pasal 8
Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi, fungsi, tugas, dan wewenang sebuah Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi diatur dengan Peraturan Presiden atas usul Mahkamah Konstitusi.
Pasal 9
Anggaran Mahkamah Konstitusi dibebankan pada mata anggaran tersendiri dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
BAB III
KEKUASAAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Bagian Pertama
Wewenang

Pasal 10
(1)   Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
        a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
        b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
        c. memutus pembubaran partai politik; dan
        d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
     a.   pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam undang-undang.
     b. korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang.
     c.   tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
     d. perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden.
     e.   tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Penjelasan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:[4]
Pasal 10
Ayat (1)
           Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).
Ayat (2)
           Yang dimaksud dengan “pendapat DPR” adalah pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden yang diambil dalam Keputusan Paripurna sesuai dengan Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat tentang Tata Tertib.
Ayat (3)
           Cukup jelas.

Pasal 11
Untuk kepentingan pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Mahkamah Konstitusi berwenang memanggil pejabat negara, pejabat pemerintah, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan.


Bagian Kedua
Tanggung Jawab dan Akuntabilitas

Pasal 12
Mahkamah Konstitusi bertanggung jawab mengatur organisasi, personalia, administrasi, dan keuangan sesuai dengan prinsip pemerintahan yang baik dan bersih.
Pasal 13
(1)            Mahkamah Konstitusi wajib mengumumkan laporan berkala kepada masyarakat secara terbuka mengenai:
     a.   permohonan yang terdaftar, diperiksa, dan diputus;
     b. pengelolaan keuangan dan tugas administrasi lainnya.
(2)            Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimuat dalam berita berkala yang diterbitkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Pasal 14
Masyarakat mempunyai akses untuk mendapatkan putusan Mahkamah Konstitusi.


BAB IV
PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN
HAKIM KONSTITUSI

Bagian Pertama
Pengangkatan

Pasal 15
(1) Hakim konstitusi harus memenuhi syarat sebagai berikut:
     a.   memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela;
     b.  adil; dan
     c.   negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi, selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang calon hakim konstitusi harus memenuhi syarat:
     a.   warga negara Indonesia;
     b.  berijazah doktor dan magister dengan dasar sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum;
     c.   bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia;
     d.  berusia paling rendah 47 (empat puluh tujuh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat pengangkatan;
     e.   mampu secara jasmani dan rohani dalam menjalankan tugas dan kewajiban;
     f.   tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
     g.   tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; dan
     h.  mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum paling sedikit 15 (lima belas) tahun dan/atau pernah menjadi pejabat negara.[5]
(3) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) calon hakim konstitusi juga harus memenuhi kelengkapan administrasi dengan menyerahkan:
     a.   surat pernyataan kesediaan untuk menjadi hakim konstitusi;
     b.  daftar riwayat hidup;
     c.   menyerahkan fotokopi ijazah yang telah dilegalisasi dengan menunjukkan ijazah asli;
     d.  laporan daftar harta kekayaan serta sumber penghasilan calon yang disertai dengan dokumen pendukung yang sah dan telah mendapat pengesahan dari lembaga yang berwenang; dan
     e.   nomor pokok wajib pajak (NPWP).

Pasal 16
Dihapus.
Pasal 17
Hakim konstitusi dilarang merangkap menjadi:
     a.   pejabat negara lainnya;
     b. anggota partai politik;
     c.   pengusaha;
     d. advokat; atau
     e.   pegawai negeri.
Pasal 18
(1)            Hakim konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh DPR, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden, untuk ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(2)            Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak pengajuan calon diterima Presiden.
Pasal 19
Pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif.

Pasal 20
(1)            Ketentuan mengenai tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1).
(2) Pemilihan hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara obyektif dan akuntabel.
Pasal 21
(1) Sebelum memangku jabatannya, hakim konstitusi mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya, yang berbunyi sebagai berikut:
     Sumpah hakim konstitusi:
     “Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban hakim konstitusi dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa”
     Janji hakim konstitusi:
     “Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban hakim konstitusi dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa”
(2)            Pengucapan sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di hadapan Presiden.
(3) Sebelum memangku jabatannya, Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya di hadapan Mahkamah Konstitusi yang berbunyi sebagai berikut:
     Sumpah Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi:
     “Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”
     Janji Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi:
     “Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”
Bagian Kedua
Masa Jabatan

Pasal 22
Masa jabatan hakim konstitusi selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1(satu) kali masa jabatan berikutnya.
Bagian Ketiga
Pemberhentian
Pasal 23
(1) Hakim konstitusi diberhentikan dengan hormat dengan alasan:
     a.   meninggal dunia;
     b.  mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada Ketua Mahkamah Konstitusi;
     c.   telah berusia 70 (tujuh puluh) tahun;
     d.  telah berakhir masa jabatannya; atau
     e.   sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
(2) Hakim konstitusi diberhentikan tidak dengan hormat apabila:
     a.   dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara;
     b.  melakukan perbuatan tercela;
     c.   tidak menghadiri persidangan yang menjadi tugas dan kewajibannya selama 5 (lima) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
     d.  melanggar sumpah atau janji jabatan;
     e.   dengan sengaja menghambat Mahkamah Konstitusi memberi putusan dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7B ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
     f.   melanggar larangan rangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17;
     g.   tidak lagi memenuhi syarat sebagai hakim konstitusi; dan/atau
     h.  melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi.
(3) Permintaan pemberhentian tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan/atau huruf h dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
(4) Pemberhentian hakim konstitusi ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas permintaan Ketua Mahkamah Konstitusi.
(5) Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal Presiden menerima permintaan pemberhentian.
Pasal 24
(1)            Hakim konstitusi sebelum diberhentikan dengan tidak hormat, diberhentikan sementara dari jabatannya dengan Keputusan Presiden atas permintaan Ketua Mahkamah Konstitusi, kecuali alasan pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a.
(2)            Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 60 (enam puluh) hari kerja dan dapat diperpanjang untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.
(3)            Dalam hal perpanjangan waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah berakhir tanpa dilanjutkan dengan pemberhentian, yang bersangkutan direhabilitasi dengan Keputusan Presiden.
(4)            Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dikeluarkan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya permintaan Ketua Mahkamah Konstitusi.
(5) Sejak dimintakan pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim konstitusi yang bersangkutan dilarang menangani perkara.
Pasal 25
(1)            Apabila terhadap seorang hakim konstitusi ada perintah penahanan, hakim konstitusi yang bersangkutan diberhentikan sementara dari jabatannya.
(2) Hakim konstitusi diberhentikan sementara dari jabatannya apabila dituntut di muka pengadilan dalam perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana meskipun tidak ditahan.
(3)            Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lama 60 (enam puluh) hari kerja dan dapat diperpanjang untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.
(4)            Dalam hal perpanjangan waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah berakhir dan belum ada putusan pengadilan, terhadap yang bersangkutan diberhentikan sebagai hakim konstitusi.
(5) Apabila di kemudian hari putusan pengadilan menyatakan yang bersangkutan tidak bersalah, yang bersangkutan direhabilitasi.
Pasal 26
(1) Mahkamah Konstitusi memberitahukan kepada lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) mengenai hakim konstitusi yang akan diberhentikan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sebelum:
     a.   memasuki usia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c; atau
     b.  berakhir masa jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf d.
(2) Dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak Mahkamah Konstitusi menerima Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4), Mahkamah Konstitusi memberitahukan kepada lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) mengenai hakim konstitusi yang diberhentikan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, atau ayat (2).
(3) Lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengajukan pengganti hakim konstitusi kepada Presiden dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak menerima pemberitahuan Mahkamah Konstitusi.
(4) Keputusan Presiden tentang pengangkatan pengganti hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak pengajuan diterima Presiden.
(5) Hakim konstitusi yang menggantikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melanjutkan sisa jabatan hakim konstitusi yang digantikannya.[6]

Pasal 27
Ketentuan mengenai tata cara pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Konstitusi.


BAB IVA
KODE ETIK DAN PEDOMAN PERILAKU
HAKIM KONSTITUSI
SERTA MAJELIS KEHORMATAN
MAHKAMAH KONSTITUSI
Pasal 27A
(1) Mahkamah Konstitusi wajib menyusun Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi yang berisi norma yang harus dipatuhi oleh setiap hakim konstitusi dalam menjalankan tugasnya untuk menjaga integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan.
(2) Untuk menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang keanggotaannya terdiri atas:
     a.   1 (satu) orang hakim konstitusi;
     b.  1 (satu) orang anggota Komisi Yudisial;
     c.   1 (satu) orang dari unsur DPR;[7]
     d.  1 (satu) orang dari unsur pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum; dan[8]
     e.   1 (satu) orang hakim agung.[9]
(3) Dalam melaksanakan tugasnya, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi berpedoman pada:[10]
     a.   Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi;
     b.  tata beracara persidangan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi; dan
     c.   norma dan peraturan perundang-undangan.
(4) Tata beracara persidangan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b memuat mekanisme penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi dan jenis sanksi.[11]
(5) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa:[12]
     a.   teguran tertulis;
     b.  pemberhentian sementara; atau
     c.   pemberhentian.
(6) Keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang berasal dari hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi.[13]
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan, organisasi, dan tata beracara persidangan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi.
Pasal 27B
Untuk menjaga dan menegakkan integritas dan kepribadian yang tidak tercela, keadilan, dan kenegarawanan:

a.   hakim konstitusi wajib:
     1.  menaati peraturan perundang-undangan;
     2.  menghadiri persidangan;
     3.  menjalankan hukum acara sebagaimana mestinya;
     4.  menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi;
     5.  memperlakukan para pihak yang berperkara dengan adil, tidak diskriminatif, dan tidak memihak; dan
     6.  menjatuhkan putusan secara objektif didasarkan pada fakta dan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
b.  hakim konstitusi dilarang:
     1.  melanggar sumpah jabatan/janji;
     2.  menerima suatu pemberian atau janji dari pihak yang berperkara, baik langsung maupun tidak langsung; dan/atau
     3.  mengeluarkan pendapat atau pernyataan di luar persidangan atas suatu perkara yang sedang ditanganinya mendahului putusan.

BAB V
HUKUM ACARA
Bagian Pertama
Umum

Pasal 28
(1)            Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili, dan memutus dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi dengan 9 (sembilan) orang hakim konstitusi, kecuali dalam keadaan luar biasa dengan 7 (tujuh) orang hakim konstitusi yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi.
(2)            Dalam hal Ketua Mahkamah Konstitusi berhalangan memimpin sidang pleno sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sidang dipimpin oleh Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi.
(3) Dalam hal Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi berhalangan pada waktu yang bersamaan, sidang pleno dipimpin oleh ketua sementara yang dipilih dari dan oleh Anggota Mahkamah Konstitusi.
(4) Sebelum sidang pleno sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Konstitusi dapat membentuk panel hakim yang anggotanya terdiri atas sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim konstitusi untuk memeriksa yang hasilnya dibahas dalam sidang pleno untuk diambil putusan.
(5)            Putusan Mahkamah Konstitusi diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
(6) Tidak dipenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berakibat putusan Mahkamah Konstitusi tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

Bagian Kedua
Pengajuan Permohonan

Pasal 29
(1)            Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Konstitusi.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya dalam 12 (dua belas) rangkap.
Pasal 30
Permohonan wajib dibuat dengan uraian yang jelas mengenai:
a.   pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.  sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c.   pembubaran partai politik;
d. perselisihan tentang hasil pemilihan umum; atau
e.   pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 31
(1) Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat:
     a.   nama dan alamat pemohon;
     b.  uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30; dan
     c.   hal-hal yang diminta untuk diputus.
(2) Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai dengan alat bukti yang mendukung permohonan tersebut.
Bagian Ketiga
Pendaftaran Permohonan dan Penjadwalan Sidang
Pasal 32
(1) Terhadap setiap Permohonan yang diajukan, Panitera Mahkamah Konstitusi melakukan pemeriksaan kelengkapan Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 31.
(2) Dalam hal Permohonan belum memenuhi kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon diberi kesempatan untuk melengkapi Permohonan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak pemberitahuan kekuranglengkapan tersebut diterima pemohon.
(3) Permohonan yang telah memenuhi kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dan kepada pemohon diberikan tanda terima.
(4) Dalam hal kelengkapan Permohonan tidak dipenuhi dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Panitera Mahkamah Konstitusi menerbitkan akta yang menyatakan bahwa Permohonan tidak diregistrasi dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dan diberitahukan kepada pemohon disertai dengan pengembalian berkas Permohonan.
Pasal 33
Buku Registrasi Perkara Konstitusi memuat antara lain catatan tentang kelengkapan administrasi dengan disertai pencantuman nomor perkara, tanggal penerimaan berkas permohonan, nama pemohon, dan pokok perkara.
Pasal 33A
(1) Mahkamah Konstitusi menyampaikan salinan Permohonan kepada DPR dan Presiden dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal Permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
(2) Penyampaian salinan Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan tanda terima.
Pasal 34
(1) Mahkamah Konstitusi menetapkan hari sidang pertama dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak Permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
(2) Penetapan hari sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan kepada pemohon, termohon, dan pihak terkait serta diumumkan kepada masyarakat.
(3) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan menempelkannya di papan pengumuman yang khusus dibuat untuk itu dan/atau melalui media cetak atau media elektronik.
(4)  Pemberitahuan penetapan hari sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus sudah diterima oleh para pihak yang berperkara dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sebelum hari persidangan.
Pasal 35
(1)  Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan.
(1a)            Dalam hal pemohon menarik kembali Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Panitera Mahkamah Konstitusi menerbitkan Akta Pembatalan Registrasi Permohonan dan memberitahukan kepada pemohon disertai dengan pengembalian berkas Permohonan.
(2)  Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Permohonan tidak dapat diajukan kembali.
Pasal 35A
Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 tidak dibebani biaya perkara.
Bagian Keempat
Alat Bukti

Pasal 36
(1)            Alat bukti ialah:
     a.   surat atau tulisan;
     b. keterangan saksi;
     c.   keterangan ahli;
     d. keterangan para pihak;
     e.   petunjuk; dan
     f.   alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
(2)            Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, harus dapat dipertanggungjawabkan perolehannya secara hukum.
(3) Dalam hal alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang tidak dapat dipertanggungjawabkan perolehannya secara hukum, tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah.
(4) Mahkamah Konstitusi menentukan sah atau tidak sahnya alat bukti dalam persidangan Mahkamah Konstitusi.
Pasal 37
Mahkamah Konstitusi menilai alat-alat bukti yang diajukan ke persidangan dengan memperhatikan persesuaian antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain.
Pasal 38
(1) Para pihak, saksi, dan ahli wajib hadir memenuhi panggilan Mahkamah Konstitusi.
(2)            Surat panggilan harus sudah diterima oleh yang dipanggil dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari persidangan.
(3) Para pihak yang merupakan lembaga negara dapat diwakili oleh pejabat yang ditunjuk atau kuasanya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(4) Jika saksi tidak hadir tanpa alasan yang sah meskipun sudah dipanggil secara patut menurut hukum, Mahkamah Konstitusi dapat meminta bantuan kepolisian untuk menghadirkan saksi tersebut secara paksa.
Bagian Kelima
Pemeriksaan Pendahuluan
Pasal 39
(1) Sebelum mulai memeriksa pokok perkara, Mahkamah Konstitusi mengadakan pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi permohonan.
(2) Dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Mahkamah Konstitusi wajib memberi nasihat kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari.
Bagian Keenam
Pemeriksaan Persidangan
Pasal 40
(1)            Sidang Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim.
(2) Setiap orang yang hadir dalam persidangan wajib menaati tata tertib persidangan.
(3) Ketentuan mengenai tata tertib persidangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Mahkamah Konstitusi.
(4) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), merupakan penghinaan terhadap Mahkamah Konstitusi.

Pasal 41
(1) Dalam pemeriksaan persidangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, hakim konstitusi memeriksa Permohonan beserta alat bukti yang diajukan.
(2) Untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim konstitusi wajib memanggil para pihak yang berperkara untuk memberi keterangan yang dibutuhkan dan/atau meminta keterangan secara tertulis kepada lembaga negara yang terkait dengan Permohonan.
(3) Lembaga negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyampaikan penjelasannya dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak permintaan hakim konstitusi diterima.
(4) Pemeriksaan persidangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     a.   pemeriksaan pokok Permohonan;
     b.  pemeriksaan alat bukti tertulis;
     c.   mendengarkan keterangan para pihak yang berperkara;
     d.  mendengarkan keterangan saksi;
     e.   mendengarkan keterangan ahli;
     f.   mendengarkan keterangan pihak terkait;
     g.   pemeriksaan rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan, dan/atau peristiwa yang sesuai dengan alat bukti lain yang dapat dijadikan petunjuk; dan
     h.  pemeriksaan alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan alat bukti itu.
Pasal 42
Saksi dan ahli yang dipanggil wajib hadir untuk memberikan keterangan.
Pasal 42A
(1) Saksi dan ahli dapat diajukan oleh para pihak yang berperkara, pihak terkait, atau dihadirkan oleh Mahkamah Konstitusi.
(2) Saksi dan ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan keterangan di bawah sumpah atau janji.
(3) Saksi dan ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masing-masing berjumlah paling sedikit 2 (dua) orang.
Pasal 43
Dalam pemeriksaan persidangan, pemohon dan/atau termohon dapat didampingi atau diwakili oleh kuasanya berdasarkan surat kuasa khusus untuk itu.
Pasal 44
(1) Dalam hal pemohon dan/atau termohon didampingi oleh selain kuasanya di dalam persidangan, pemohon dan/atau termohon harus membuat surat keterangan yang khusus untuk itu.
(2) Surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjukkan dan diserahkan kepada hakim konstitusi di dalam persidangan.

Bagian Ketujuh
Putusan

Pasal 45
(1)            Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim.
(2) Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan harus didasarkan pada sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti.
(3) Putusan Mahkamah Konstitusi wajib memuat fakta yang terungkap dalam persidangan dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan.
(4)            Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diambil secara musyawarah untuk mufakat dalam sidang pleno hakim konstitusi yang dipimpin oleh ketua sidang.
(5) Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim konstitusi wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap permohonan.
(6)            Dalam hal musyawarah sidang pleno hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat menghasilkan putusan, musyawarah ditunda sampai musyawarah sidang pleno hakim konstitusi berikutnya.
(7)            Dalam hal musyawarah sidang pleno setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai mufakat bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak.
(8)            Dalam hal musyawarah sidang pleno hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak dapat diambil dengan suara terbanyak, suara terakhir ketua sidang pleno hakim konstitusi menentukan.
(9)            Putusan Mahkamah Konstitusi dapat dijatuhkan pada hari itu juga atau ditunda pada hari lain yang harus diberitahukan kepada para pihak.
(10)           Dalam hal putusan tidak tercapai mufakat bulat sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8), pendapat anggota Majelis Hakim yang berbeda dimuat dalam putusan.

Pasal 45A[14]
Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh memuat amar putusan yang tidak diminta oleh pemohon atau melebihi permohonan pemohon, kecuali terhadap hal tertentu yang terkait dengan pokok permohonan.
Pasal 46
Putusan Mahkamah Konstitusi ditandatangani oleh hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus, dan panitera.
Pasal 47
Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.
Pasal 48
(1) Mahkamah Konstitusi memberi putusan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Setiap putusan Mahkamah Konstitusi harus memuat:
     a.   kepala putusan berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
     b. identitas pihak;
     c.   ringkasan permohonan;
     d. pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan;
     e.   pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;
     f.   amar putusan; dan
     g.   hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera.
Pasal 48A
(1) Mahkamah Konstitusi mengeluarkan ketetapan dalam hal:
     a.   permohonan tidak merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadili perkara yang dimohonkan; atau
     b.  pemohon menarik kembali Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1a).
(2) Amar ketetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berbunyi, “Menyatakan Mahkamah Konstitusi tidak berwenang mengadili permohonan pemohon”.
(3) Amar ketetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berbunyi, “Menyatakan permohonan pemohon ditarik kembali”.
Pasal 49
Mahkamah Konstitusi wajib mengirimkan salinan putusan kepada para pihak dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan diucapkan.
Bagian Kedelapan
Pengujian Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar
Pasal 50
Dihapus.
Pasal 50A[15]
Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak menggunakan undang-undang lain sebagai dasar pertimbangan hukum.
Pasal 51
(1) Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
     a.   perorangan warga negara Indonesia;
     b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
     c.   badan hukum publik atau privat; atau
     d.  lembaga negara.
(2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa:
     a.   pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan/atau
     b.  materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 51A
(1) Permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus memuat hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31.
(2) Uraian mengenai hal yang menjadi dasar Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b untuk perkara Permohonan pengujian undang-undang meliputi:
     a.   kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian;
     b.  kedudukan hukum pemohon yang berisi uraian tentang hak dan/atau kewenangan konstitusi pemohon yang dianggap dirugikan dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk dilakukan pengujian; dan
     c.   alasan Permohonan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b diuraikan dengan jelas dan terperinci.
(3) Dalam hal permohonan pengujian berupa permohonan pengujian formil, pemeriksaan dan putusan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam hal permohonan pengujian berupa permohonan pengujian formil, hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf c meliputi:
     a.   mengabulkan Permohonan pemohon;
     b.  menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan
     c.   menyatakan undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
(5) Dalam hal permohonan pengujian berupa permohonan pengujian materiil, hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf c meliputi:
     a.   mengabulkan Permohonan pemohon;
     b.  menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang dimaksud bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan
     c.   menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pasal 52
Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi kepada DPR dan Presiden untuk diketahui, dalam jangka waktu paling lam bat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
Pasal 53
Mahkamah Konstitusi memberitahukan kepada Mahkamah Agung adanya permohonan pengujian undang-undang dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
Pasal 54
Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden.
Pasal 55
Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.
Pasal 56
(1) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dan Pasal 51, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima.
(2) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
(3) Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(4) Dalam hal pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
(5)            Dalam hal undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.
Pasal 57
(1)  Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
(2)  Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
(2a)         Putusan Mahkamah Konstitusi tidak memuat: [16]
      a.   amar selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2);
      b.   perintah kepada pembuat undang-undang; dan
      c.   rumusan norma sebagai pengganti norma dari undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(3) Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan wajib dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan.
Pasal 58
Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 59
(1) Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disampaikan kepada DPR, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, dan Mahkamah Agung.
(2) Jika diperlukan perubahan terhadap undang-undang yang telah diuji, DPR atau Presiden segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.[17]
Pasal 60
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Bagian Kesembilan
Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang
Kewenangannya Diberikan oleh
Undang-Undang Dasar

Pasal 61
(1)            Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan.
(2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang kepentingan langsung pemohon dan menguraikan kewenangan yang dipersengketakan serta menyebutkan dengan jelas lembaga negara yang menjadi termohon.
Pasal 62
Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi kepada termohon dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
Pasal 63
Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.
Pasal 64
(1)            Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima.
(2)            Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
(3) Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas bahwa termohon tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kewenangan yang dipersengketakan.
(4)            Dalam hal permohonan tidak beralasan, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.

Pasal 65
Dihapus.
Pasal 66
(1) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa termohon tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kewenangan yang dipersengketakan, termohon wajib melaksanakan putusan tersebut dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan diterima.
(2) Jika putusan tersebut tidak dilaksanakan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaan kewenangan termohon batal demi hukum.
Pasal 67
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai sengketa kewenangan disampaikan kepada DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan Presiden.





Bagian Kesepuluh
Pembubaran Partai Politik

Pasal 68
(1)            Pemohon adalah Pemerintah.
(2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan partai politik yang bersangkutan, yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 69
Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi kepada partai politik yang bersangkutan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
Pasal 70
(1)            Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima.
(2)            Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
(3) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan tidak beralasan, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.

Pasal 71
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan atas pembubaran partai politik wajib diputus dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
Pasal 72
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pembubaran partai politik disampaikan kepada partai politik yang bersangkutan.
Pasal 73
(1) Pelaksanaan putusan pembubaran partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dilakukan dengan membatalkan pendaftaran pada Pemerintah.
(2)  Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan oleh Pemerintah dalam Berita Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari sejak putusan diterima.
Bagian Kesebelas
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum

Pasal 74
(1)            Pemohon adalah:
     a.   perorangan warga negara Indonesia calon anggota Dewan Perwakilan Daerah peserta pemilihan umum;
     b. pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden; dan
     c.   partai politik peserta pemilihan umum.
(2)            Permohonan hanya dapat diajukan terhadap penetapan hasil pemilihan umum yang dilakukan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum yang mempengaruhi:
     a.   terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah;
     b. penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden;
     c.   perolehan kursi partai politik peserta pemilihan umum di suatu daerah pemilihan.
(3)            Permohonan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional.

Pasal 75
Dalam permohonan yang diajukan, pemohon wajib menguraikan dengan jelas tentang:
a.   kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon; dan
b. permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon.

Pasal 76
Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi kepada Komisi Pemilihan Umum dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
Pasal 77
(1)            Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima.
(2) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
(3) Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar.
(4)            Dalam hal permohonan tidak beralasan amar putusan menyatakan permohonan ditolak.
Pasal 78
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan atas perselisihan hasil pemilihan umum wajib diputus dalam jangka waktu:
a.   paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi, dalam hal pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden;
b. paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi, dalam hal pemilihan umum anggota DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pasal 79
(1) Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden disampaikan kepada:
     a.   Majelis Permusyawaratan Rakyat;
     b.  DPR;
     c.   Dewan Perwakilan Daerah;
     d.  Presiden/Pemerintah;
     e.   Komisi Pemilihan Umum;
     f.   partai politik atau gabungan partai politik yang mengajukan calon; dan
     g.   pasangan calon peserta pemilihan umum.
(2) Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah disampaikan kepada Presiden, pemohon, dan Komisi Pemilihan Umum.
(3) Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum bersifat final dan mengikat.
Bagian Keduabelas
Pendapat DPR Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden

Pasal 80
(1) Pemohon adalah DPR.
(2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya mengenai dugaan:
     a.   Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau
     b.  Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(3) Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib menyertakan keputusan DPR dan proses pengambilan keputusan mengenai pendapat DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7B ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, risalah dan/atau berita acara rapat DPR, disertai bukti mengenai dugaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 81
Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi kepada Presiden dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
Pasal 82
Dalam hal Presiden dan/atau Wakil Presiden mengundurkan diri pada saat proses pemeriksaan di Mahkamah Konstitusi, proses pemeriksaan tersebut dihentikan dan permohonan dinyatakan gugur oleh Mahkamah Konstitusi.
Pasal 83
(1) Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima.
(2) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, amar putusan menyatakan membenarkan pendapat DPR.
(3) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau tidak terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.



Pasal 84
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80, wajib diputus dalam jangka waktu paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
Pasal 85
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pendapat DPR wajib disampaikan kepada DPR dan Presiden dan/atau Wakil Presiden.


BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 86
Mahkamah Konstitusi dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya menurut Undang-Undang ini.







BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 87[18]
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a.   hakim konstitusi yang saat ini menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi tetap menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sampai dengan masa jabatannya berakhir berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; dan
b.  hakim konstitusi yang saat ini menjabat tetap menjabat sampai dengan diberhentikan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.








BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 88
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

           


PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2003
TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2011
TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
DALAM SATU NASKAH

I.   UMUM
     Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 24 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
     Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan hasil pemilihan umum; dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
     Undang-Undang ini merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Perubahan Undang-Undang tersebut dilatarbelakangi karena terdapat beberapa ketentuan yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan.
     Beberapa pokok materi penting dalam perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, antara lain susunan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi; pengawasan hakim konstitusi; masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, syarat pendidikan untuk dapat diangkat sebagai hakim konstitusi, serta Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim Mahkamah Konstitusi.
II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
                                  Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “jaminan keamanan dalam melaksanakan tugasnya” adalah penjagaan keamanan yang diberikan kepada hakim konstitusi dalam menghadiri dan memimpin persidangan. Hakim konstitusi harus diberikan perlindungan keamanan oleh aparat terkait, yakni aparat kepolisian, agar hakim konstitusi mampu memeriksa, mengadili, dan memutus perkara secara baik dan benar tanpa adanya tekanan atau intervensi dari pihak mana pun.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “tindakan kepolisian” adalah:
a.     pemanggilan sehubungan dengan tindak pidana;
b.    permintaan keterangan mengenai tindak pidana;
c.     penangkapan;
d.    penahanan;
e.     penggeledahan; dan/atau
f.      penyitaan.
Yang dimaksud dengan “tindak pidana khusus”, antara lain tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana narkotika, dan tindak pidana teroris.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 7A
Cukup jelas.
Pasal 7B
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 11
Yang dimaksud dengan “keterangan” adalah segala keterangan lisan dan tertulis, termasuk dokumen yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa.
Pasal 12
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin kemandirian dan kredibilitas Mahkamah Konstitusi dalam mengatur organisasi, personalia, administrasi, dan keuangan sesuai dengan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Kewajiban memberikan laporan berkala berdasarkan ketentuan ini tidak mengurangi kewajiban membuat laporan keuangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (2)
                                    Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
                                    Cukup jelas.
Ayat (2)
                                    Huruf a
Cukup jelas.
                                    Huruf b
Cukup jelas.
                                    Huruf c
Yang dimaksud dengan “bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa” adalah menjalankan ajaran agama.
                                    Huruf d
Cukup jelas.
                                    Huruf e
Cukup jelas.
                                    Huruf f
Cukup jelas.
                                    Huruf g
Cukup jelas.
                                    Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
                                    Cukup jelas.
Ayat (2)
Surat pernyataan yang dimaksud dalam ketentuan ini juga memuat tentang telah terpenuhinya seluruh persyaratan sebagaimana dimaksud pada ketentuan ayat (1) dan surat pernyataan tersebut disimpan pada Mahkamah Konstitusi.
Pasal 17
Huruf a
Pejabat negara lainnya, misalnya anggota DPR, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, hakim atau hakim agung, menteri, dan pejabat lain sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pengusaha” adalah direksi atau komisaris perusahaan.
Huruf d
Selama menjadi hakim konstitusi, advokat tidak boleh menjalankan  profesinya.
Huruf e
Selama menjadi hakim konstitusi, status pegawai negeri yang bersangkutan iberhentikan sementara sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 18
Ayat (1)
Penerbitan Keputusan Presiden dalam ketentuan ini bersifat administratif.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 19
Berdasarkan ketentuan ini, calon hakim konstitusi dipublikasikan di media massa baik cetak maupun elektronik, sehingga masyarakat mempunyai kesempatan untuk ikut memberi masukan atas calon hakim yang bersangkutan.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “dituntut di muka pengadilan” Adalah pelimpahan berkas perkara yang bersangkutan ke pengadilan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “rehabilitasi” adalah pengembalian hak-hak pribadi dan nama baik yang bersangkutan tanpa mengembalikan kedudukannya sebagai hakim konstitusi.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 27A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Peraturan Mahkamah Konstitusi dalam ketentuan ini dibuat dengan persetujuan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
Pasal 27B
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keadaan luar biasa” adalah meninggal dunia atau terganggu fisik/jiwanya sehingga tidak mampu melaksanakan kewajiban sebagai hakim konstitusi.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “berhalangan” adalah keadaan luar biasa sebagaimana dimaksud pada penjelasan ayat (1).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 33A
Cukup jelas.

Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan media elektronik adalah situs (web site) Mahkamah Konstitusi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 35A
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Petunjuk yang dimaksud dalam ketentuan ini hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan barang bukti.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 37
Alat bukti yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah alat bukti petunjuk.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “penghinaan terhadap Mahkamah Konstitusi” dalam ketentuan ini dikenal dengan istilah Contempt of Court.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 42A
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keyakinan Hakim” adalah keyakinan Hakim  berdasarkan alat bukti.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Berdasarkan ketentuan ini dalam sidang permusyawaratan pengambilan putusan tidak ada suara abstain.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal 45A
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Dalam pertimbangan hukum memuat dasar hukum yang menjadi dasar putusan.

Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 48A
Ayat (1)
Huruf a
Ketetapan Mahkamah Konstitusi mengenai “permohonan tidak merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi” dilakukan berdasarkan tugas dan kewenangan serta sebelum masuk pemeriksaan di persidangan.
Huruf b
Yang dimaksud “pemohon menarik kembali Permohonan” adalah pada saat Permohonan sudah masuk pemeriksaan di persidangan atau setelah sidang panel.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Yang dimaksud dengan “setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” adalah perubahan pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tanggal 19 Oktober 1999.
Pasal 50A
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Y ang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “perorangan” termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 51A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan”, antara lain Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait, seperti Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat tentang Tata Tertib.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Yang dimaksud dengan “pelaksanaan kewenangan” adalah tindakan baik tindakan nyata maupun tindakan hukum yang merupakan pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan.
Dalam mengeluarkan penetapan Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan oleh pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Pemerintah” adalah Pemerintah Pusat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penetapan hasil pemilihan umum” Adalah jumlah suara yang diperoleh peserta pemilihan umum.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 75
Huruf a
Berdasarkan ketentuan ini pemohon menunjukkan dengan jelas tempat penghitungan suara dan kesalahan dalam penjumlahan penghitungan suara.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “risalah dan/atau berita acara rapat DPR” adalah risalah dan/atau berita acara rapat alat kelengkapan DPR maupun rapat paripurna DPR.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengisi kemungkinan adanya kekurangan atau kekosongan dalam hukum acara berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.


[1]       Sejak hari Selasa, tanggal 18 Oktober 2011, ayat ini tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011.

[2]       Sejak hari Selasa, tanggal 18 Oktober 2011, ayat ini tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011.

[3]       Sejak hari Selasa, tanggal 18 Oktober 2011, ayat ini tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011.

[4]       Sejak hari Selasa, tanggal 18 Oktober 2011, pasal ini tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011.

[5]       Sejak hari Selasa, tanggal 18 Oktober 2011, ketentuan (huruf h.) ini sepanjang frasa “dan/atau pernah menjadi pejabat negara”, tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011.

[6]       Sejak hari Selasa, tanggal 18 Oktober 2011, ayat ini tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011.

[7]       Sejak hari Selasa, tanggal 18 Oktober 2011, ketentuan (huruf c.) ini tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011.

[8]       Sejak hari Selasa, tanggal 18 Oktober 2011, ketentuan (huruf d.) ini tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011.

[9]       Sejak hari Selasa, tanggal 18 Oktober 2011, ketentuan (huruf e.) ini tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011.

[10]     Sejak hari Selasa, tanggal 18 Oktober 2011, ayat ini tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011.

[11]     Sejak hari Selasa, tanggal 18 Oktober 2011, ayat ini tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011.

[12]     Sejak hari Selasa, tanggal 18 Oktober 2011, ayat ini tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011.

[13]     Sejak hari Selasa, tanggal 18 Oktober 2011, ayat ini tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011.

[14]     Sejak hari Selasa, tanggal 18 Oktober 2011, pasal ini tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor  48/PUU-IX/2011.

[15]     Sejak hari Selasa, tanggal 18 Oktober 2011, pasal ini tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor  49/PUU-IX/2011.

[16]     Sejak hari Selasa, tanggal 18 Oktober 2011, ayat ini tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor  48/PUU-IX/2011.

[17]     Sejak hari Selasa, tanggal 18 Oktober 2011, ayat ini tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor  49/PUU-IX/2011.

[18]     Sejak hari Selasa, tanggal 18 Oktober 2011, pasal ini tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor  49/PUU-IX/2011.

readmore »»  
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More