Harmoni...

Jakarta, September 2010

Harmoni...

Jakarta, Desember 2010

Belahan jiwa

......

...Belahan jiwa...

......

ceria...

Jakarta, 8 Januari 2012

Nora Uzhma Naghata

Bogor, 24 Februari 2011

Nora Uzhma Naghata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Taman Safari Puncak

Bogor, 24 Februari 2011

Bandara Ahmad Yani

Semarang, 28 September 2011

Rileks

*********

Nur Rosihin Ana

Semarang, 19 Oktober 2010

Nur Rosihin Ana

mahkamah dusturiyyah, 18 Juli 2012

Nur Rosihin Ana

Hotel Yasmin, Puncak, Desember 2010

Nora Uzhma Naghata

Naghata

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Demak, 11 September 2011

Nur Rosihin Ana

Nagreg, Bandung 11 Juli 2011

Nora Uzhma Naghata, Sri Utami, Najuba Uzuma Akasyata, Nur Rosihin Ana

Sapa senja di Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Sapa Senja Jepara

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

...bebas, lepas...

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Sabtu, 28 Januari 2012

UU Intelijen Negara Ancam HAM

Undang-Undang Intelijen Negara (UU Nomor 17 Tahun 2011) yang disahkan oleh DPR pada Oktober 2011 lalu, menyisakan berbagai permasalahan substansial. UU yang seharusnya menjadi panduan bagi reformasi intelijen Indonesia di era demokrasi ini, justru tidak sejalan dengan dengan hak asasi manusia (HAM). Sebab, beberapa pasal dalam UU Intelijen Negara menjadi ancaman bagi jaminan kebebasan sipil, perlindungan hak asasi manusia, dan kebebasan pers.
Demikian pokok permohonan perkara Nomor 7/PUU-X/2012 yang disampaikan oleh Taufik Basari, kuasa para Pemohon, dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi, Jumat, (27/1/2012). Uji konstitusionalitas materi UU Intelijen Negara ini diajukan oleh Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL); Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM); Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI); Perkumpulan Masyarakat Setara; Aliansi Jurnaslis Independen; Mugiyanto., dkk.
Materi UU Intelijen Negara yang diujikan yaitu Pasal 1 ayat (4), ayat (8), Pasal 4, Pasal 6 ayat (3), Pasal 9 huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, Pasal 22 ayat (1), Pasal 25 ayat (2), ayat (4), Pasal 26, Pasal 29 huruf d, Penjelasan Pasal 29 huruf d, Pasal 31, Penjelasan Pasal 32 ayat (1), Pasal 34, Penjelasan Pasal 34 ayat (1), Pasal 36, Pasal 44 dan Pasal 45.
Menurut Taufik, Pasal 6 ayat (3) sepanjang frasa “dan/atau Pihak Lawan yang merugikan kepentingan dan keamanan nasional” bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Frasa tersebut melahirkan sejumlah definisi mengenai ancaman, keamanan, kepentingan nasional, dan pihak lawan, sehingga mudah potensial disalahgunakan oleh intelijen negara maupun kepentingan kekuasaan untuk melakukan tindakan represif terhadap warga negara.
Pengertian rahasia intelijen yang dikonstruksikan dalam Pasal 1 ayat (6), Pasal 25 ayat (2) dan ayat (4) menjadi hambatan bagi warga negara untuk mendapatkan informasi. Pasal-pasal ini bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945.
Pasal 22 ayat (1) UU Intelijen Negara, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sebab, ketentuan dalam pasal ini potensial melahirkan dualisme dualisme personil intelijen. Hal ini sangat menyulitkan proses hukum sebagai bentuk pertanggungjawaban bagi personil intelijen yang dianggap melakukan pelanggaran HAM.
Ancaman serius terhadap warga negara juga didalilkan para Pemohon akibat berlakunya Pasal 26, Pasal 44 dan Pasal 45. Menurut para Pemohon, orang yang dianggap melakukan pembocoran rahasia intelijen, baik sengaja maupun tidak sengaja, diancam hukuman pidana berat.
Ketentuan Pasal 29 huruf d, Penjelasan Pasal 29 huruf d, menurut para Pemohon bertentangan dengan Pasal 28D ayat (4) dan Pasal 28E ayat (1) serta Pasal 28C ayat (1) UUD 1945. Kemudian Pasal 31 jo, Pasal 34 jo, Penjelasan Pasal 34 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945. Kemudian ketentuan mengenai penyadapan yang tertuang dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (1) menurut para Pemohon, harus diakitkan dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang penyadapan.
Terakhir, ketentuan Pasal 36 mengenai pengangkatan dan pemberhentian Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) yang terlebih dahulu harus mendapat persetujuan DPR. Hal ini menurut para Pemohon, menjadikan jabatan Kepala BIN adalah jabatan politis. Pelibatan DPR dalam pemilihan Kepala BIN membuka ruang terjadinya politisasi yang dapat merugikan keamanan secara nasional dan berpotensi merugikan hak-hak konstitusional warga negara.
Sidang panel dengan agenda pemeriksaan pendahuluan ini dilaksanakan oleh tiga hakim konstitusi yaitu M. Akil Mochtar (ketua panel), Harjono dan Ahmad Fadlil Sumadi. Dalam nasehatanya, panel hakim menyarankan Pemohon agar merekonstruksi permohonan sehingga menjadi lebih sistematis. (Nur Rosihin Ana).
readmore »»  

Jumat, 27 Januari 2012

Sekolah Bertaraf Internasional, Mahal dan Diskriminatif

Catatan Perkara MK

Satuan pendidikan bertaraf internasional merupakan bentuk liberalisasi dalam bidang pendidikan, karena negara mengabaikan kewajibannya untuk membiayai sepenuhnya pendidikan dasar. Negara melakukan pembiaran terhadap menjamurnya sekolah yang menyelenggarakan program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Program RSBI dan SBI ini bertujuan untuk memungut biaya pendidikan kepada masyarakat dengan tarif mahal.
Satuan pendidikan bertaraf internasional juga menimbulkan diskriminasi dan kastanisasi dalam bidang pendidikan. Hal ini melanggar hak bagi warga negara terutama bagi siswa yang berasal dari keluarga yang sederhana atau tidak mampu.
Demikian antara lain dalil permohonan perkara Nomor 5/PUU-X/2012 mengenai judicial review Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang diajukan oleh Andi Akbar Fitriyadi, Nadya Masykuria, Milang Tauhida, Jumono, Lodewijk F. Paat, Bambang Wisudo, dan Febri Hendri Antoni Arif.
Pasal 50 ayat (3) UU 20/2003 UU Sisdiknas menyatakan: “Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.”
Para Pemohon yang terdiri dari orangtua murid, dosen, aktivis pendidikan serta aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) ini merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya atas berlakunya ketentuan Pasal 50 ayat (3) UU 20/2003 UU Sisdiknas, karena bertentangan dengan Pembukaan Alinea ke 4, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 31 ayat (1), Pasal 31 ayat (2), Pasal 31 ayat (3), Pasal 36.
Selain dalil di atas, para Pemohon juga mendalilkan dana untuk penyelenggaraan RSBI dan SBI berasal dari APBN berpotensi terjadi penyimpangan atau penyalahgunaan dan tidak sebanding dengan manfaat yang didapatkan, karena terdapat sekolah yang tidak menggunakan dana ini untuk meningkatkan mutu sekolah melainkan digunakan untuk membangun sarana dan prasarana sekolah. Selain itu seharusnya dengan dana untuk penyelenggaraan RSBI dan SBI orang tua murid tidak dibebani lagi dengan biaya sekolah. Sebab pada prakteknya pihak sekolah setiap bulan masih memungut biaya pendaftaran, biaya gedung dan biaya Pendidikan.
Selanjutnya, satuan pendidikan bertaraf internasional bertentangan dengan semangat mencerdaskan kehidupan bangsa, jika dilihat dari tujuannya agar Indonesia memiliki lulusan yang memiliki kompetensi sesuai standar kompetensi lulusan di negara maju sangat baik, namun hal ini belum tentu sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia.
Satuan pendidikan bertaraf internasional juga bertentangan dengan kewajiban negara untuk mencerdaskan bangsa dan menimbulkan dualisme sistem pendidikan di Indonesia karena dalam Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 terdapat frasa “satu sistem pendidikan nasional” yang dapat diartikan sebagai satu sistem yang digunakan dalam dunia pendidikan di Indonesia adalah sistem pendidikan nasional maka dengan adanya satuan pendidikan bertaraf internasional menurut Pasal 50 undang-undang a quo menimbulkan dualisme pendidikan.
Terakhir, satuan pendidikan bertaraf internasional berpotensi menghilangkan jati diri bangsa Indonesia yang berbahasa Indonesia. Sebab, proses pendidikan RSBI dan SBI menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Bahasa pengantar dan karakter yang hendak dibangun dari sekolah berstandar internasional dinilai tidak melahirkan manusia berkepribadian Indonesia.
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, dalam pokok permohonan (petitum) provisi, para Pemohon meminta Mahkamah memerintahkan Pemerintah untuk menunda operasional RSBI/SBI diseluruh Indonesia dan menghentikan anggaran/subsidi  RSBI kepada sekolah sampai adanya putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara ini. Kemudian, menangguhkan ketentuan Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas sampai adanya putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara ini.
Sedangkan dalam pokok perkara, para Pemohon meminta Mahkamah menerima dan mengabulkan seluruh permohonan dan menyatakan Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas bertentangan dengan Pembukaan, Pasal 28C ayat (1); Pasal 28E ayat (1); Pasal 28I ayat (2);Pasal 31 ayat (1); Pasal 31 ayat (2); Pasal 31 ayat (3) dan Pasal 36 UUD 1945, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. 

Nur Rosihin Ana 
readmore »»  

Rabu, 18 Januari 2012

MK Perintahkan KPU Jayapura Lakukan Verifikasi Ulang

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Jayapura harus melakukan verifikasi administrasi, dan verifikasi faktual berkas dukungan partai politik atau gabungan partai politik terhadap pencalonan pasangan Marthen Ohee-Franklin Orlof Damena dan pasangan Fredrik Sokoy-La Achmadi serta tujuh pasangan calon peserta Pemilukada Kabupaten Jayapura Tahun 2011.
Demikian perintah Putusan Sela MK dalam perkara sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Kabupaten Jayapura, yang dibacakan pada Rabu, (18/1/2012) sore bertempat di ruang sidang pleno gedung MK.
Mahkamah dalam amar putusan perkara nomor 127/PHPU.D-IX/2011) dan nomor 131/PHPU.D-IX/2011) juga memerintahkan KPU Provinsi Papua, Panwaslu Kab. Jayapura, dan Bawaslu untuk mengawasi verifikasi tersebut. Terakhir, melaporkan hasil verifikasi tersebut kepada MK dalam waktu 45 hari setelah putusan ini diucapkan.
“Memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum Provinsi Papua dan Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kabupaten Jayapura, serta Badan Pengawas Pemilihan Umum untuk mengawasi verifikasi administrasi dan verifikasi faktual tersebut sesuai kewenangan masing-masing,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Achmad Sodiki.

Tunda Putusan
Pemilukada Kab. Jayapura Tahun 2011 yang dilaksanakan pada 13 Desember 2011 lalu, bukan hanya disengketakan oleh kedua bakal pasangan calon tersebut di atas, tetapi juga disengketakan oleh pasangan Eliab Ongge-Najib Mury dan pasangan Yohannis Manangsang-Rehabeam Kalem (perkara nomor 128/PHPU.D-IX/2011), pasangan Mozes Kallem-H. Bustomi Eka Prayitno (perkara nomor 129/PHPU.D-IX/2011), pasangan Zadrak Wamebu-Chris Kores Tokoro (perkara nomor 130/PHPU.D-IX/2011), dan terakhir pasangan Franzalbert Joku-Djijoto (perkara nomor 132/PHPU.D-IX/2011).
Mahkamah dalam amar putusan menyatakan menunda penjatuhan putusan empat perkara tersebut yang dibacakan secara berurutan, yaitu perkara nomor 128/PHPU.D-IX/2011, 129/PHPU.D-IX/2011, 130/PHPU.D-IX/2011), dan 132/PHPU.D-IX/2011. Putusan ditunda hingga dilaksanakannya Putusan Sela Mahkamah Konstitusi untuk perkara yang diajukan oleh pasangan Marthen Ohee-Franklin Orlof Damena dan pasangan Fredrik Sokoy-La Achmadi.
Sebelum menjatuhkan putusan akhir, menunda penjatuhan putusan mengenai pokok permohonan sampai dengan dilaksanakannya Putusan Sela Mahkamah Konstitusi Nomor 127/PHPU.D-IX/2011 dan Putusan Sela Nomor 131/PHPU.D-IX/2011, bertanggal 18 Januari 2012,” tandas Achmad Sodiki. (Nur Rosihin Ana)
readmore »»  

Selasa, 17 Januari 2012

MK: Anak di Luar Perkawinan Tetap Memiliki Hubungan Perdata dengan Ayah Biologisnya

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan anak di luar perkawinan tetap memiliki hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya. Putusan MK dengan Nomor 46/PUU-VIII/2010 tersebut dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya pada Jumat (17/2) di Ruang Sidang Pleno MK.

“Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, ‘Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya’,” ucap Mahfud membacakan amar putusan.

Dalam pendapat mahkamah yang dibacakan oleh hakim konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi, pokok permasalahan hukum mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah mengenai makna hukum (legal meaning) frasa “yang dilahirkan di luar perkawinan”. Secara alamiah, lanjut Fadlil, tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh karena itu, papar Fadlil, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya.
“Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya. Lebih-lebih manakala berdasarkan perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat dibuktikan bahwa seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki tertentu. Akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan, yang didahului dengan hubungan seksual antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki, adalah hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban secara bertimbal balik, yang subjek hukumnya meliputi anak, ibu, dan bapak.,” papar Fadlil.
Berdasarkan uraian di atas, Fadlil menjelaskan hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/ administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum. “Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan,”terangnya.
Fadlil menjelaskan berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, maka dalil para Pemohon sepanjang menyangkut Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 tidak beralasan menurut hukum. “Adapun Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, ‘Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya’ adalah bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) yakni inkonstitusional sepanjang ayat tersebut dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya,” jelasnya.
Dalam putusan tersebut, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati mengemukakan alasan berbeda (concuring opinion). Dalam pendapatnya, Maria mengungkapkan potensi kerugian tersebut dipertegas dengan ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Keberadaan Pasal tersebut menutup kemungkinan bagi anak untuk memiliki hubungan keperdataan dengan bapak kandungnya. Hal tersebut adalah risiko dari perkawinan yang tidak dicatatkan atau perkawinan yang tidak dilaksanakan menurut UU 1/1974, tetapi tidaklah pada tempatnya jika anak harus ikut menanggung kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan (perkawinan) kedua orang tuanya.

”Jika dianggap sebagai sebuah sanksi, hukum negara maupun hukum agama (dalam hal ini agama Islam) tidak mengenal konsep anak harus ikut menanggung sanksi akibat tindakan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya, atau yang dikenal dengan istilah “dosa turunan”. Dengan kata lain, potensi kerugian akibat perkawinan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan UU 1/1974 merupakan risiko bagi laki-laki dan wanita yang melakukan perkawinan, tetapi bukan risiko yang harus ditanggung oleh anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut. Dengan demikian, menurut saya, pemenuhan hak-hak anak yang terlahir dari suatu perkawinan, terlepas dari sah atau tidaknya perkawinan tersebut menurut hukum negara, tetap menjadi kewajiban kedua orang tua kandung atau kedua orang tua biologisnya,” tandasnya. (Lulu Anjarsari/mh)

sumber: Mahkamah Konstitusi 



Download Putusan UU Perkawinan
readmore »»  

Karena Pernah Diputus MK, Uji Peringatan Bahaya Merokok Tidak Diterima

Permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 114 dan Pasal 199 ayat (1) UU 36/2009 tentang Kesehatan terhadap Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28F, Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, telah diputus oleh Mahkamah (ne bis in idem) dalam Putusan Nomor 34/PUU-VIII/2010, tanggal 1 November 2011. Demikian Pendapat Mahkamah dalam persidangan pengucapan putusan perkara Nomor 55/PUU-IX/2011, Selasa (17/1/2011) di ruang sidang pleno Gedung MK.
Mahkamah dalam amar putusan menyatakan tidak menerima permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan Forum Pengusaha Rokok Kretek, Zaenal Musthofa, dan Erna Setyo Ningrum. “Mengadili, menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD.
Pasal 114 UU Kesehatan menyatakan: “Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan rokok ke wilayah Indonesia wajib mencantumkan peringatan kesehatan”. Kemudian Pasal 199 ayat (1): “Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau memasukkan rokok ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tidak mencantumkan peringatan kesehatan berbentuk gambar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.
Putusan Mahkamah Nomor 34/PUU-VIII/2010 tanggal 1 November 2011 tersebut, antara lain mengenai pengujian Pasal 114, Penjelasan Pasal 114, dan Pasal 199 ayat (1) UU 36/2009. Dalam putusan tersebut Mahkamah menyatakan kata “dapat” dalam Penjelasan Pasal 114 dan frasa “berbentuk gambar” dalam Pasal 199 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945.
Selain itu, dalam putusan Nomor 34/PUU-VIII/2010 Mahkamah menyatakan menolak pengujian Pasal 114, Penjelasan Pasal 114 kecuali kata “dapat” dan Pasal 199 ayat (1) kecuali frasa “berbentuk gambar”. Menurut Mahkamah, Pasal 114 UU 36/2009 dan Penjelasannya harus dimaknai bahwa mencantumkan peringatan berupa tulisan yang jelas dan gambar adalah kewajiban bagi produsen dan importir rokok. Hal demikian berkaitan dengan jaminan dan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk memperoleh informasi sebagaimana dijamin oleh ketentuan Pasal 28F UUD 1945. Dengan demikian, dalam putusan tersebut Mahkamah berpendapat Pasal 114, Penjelasan Pasal 114 kecuali kata “dapat” dan Pasal 199 ayat (1) UU 36/2009 kecuali “berbentuk gambar” adalah konstitusional.
Meskipun para Pemohon perkara Nomor 55/PUU-IX/2011 ini mengusung batu uji yang sedikit berbeda, yaitu Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28F UUD 1945, namun menurut Mahkamah, substansi dari Pasal 114 dan Pasal 199 ayat (1) UU 36/2009 telah dinilai dan dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Nomor 34/PUUVIII/2010. Sehingga putusan 34/PUUVIII/2010 mutatis mutandis berlaku sebagai pertimbangan dalam putusan 55/PUU-IX/2011 ini. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah berpendapat, permohonan yang diajukan Perkumpulan Forum Pengusaha Rokok Kretek dkk, adalah ne bis in idem. (Nur Rosihin Ana)
readmore »»  

Jumat, 13 Januari 2012

Akomodir Calon Perseorangan, Dirjen Otda Minta Tahapan Pemilukada Aceh Ditunda


Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) di Aceh dilaksanakan berdasarkan Qanun. Hal ini merupakan amanat Pasal 73 UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Namun, hingga saat ini Qanun yang baru sebagai pengganti Qanun Aceh No. 7 Tahun 2006 tentang Penyelengaraan Pemilihan Umum di Aceh belum dapat diterbitkan, karena terjadinya perbedaan penafsiran antara Gubernur Aceh dan Komite Independen Pemilihan (KIP) dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
“Kami selalu mendorong Qanun yang baru bisa diwujudkan. Alhamdulillah, terakhir, pihak DPRA Aceh sudah ingin menyelesaikan Qanun yang baru.”
Demikian disampaikan Prof. Dr. Djohermasyah Johan, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Dirjen Otda Kemendagri), dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Jum’at (13/1/2012). Persidangan pemeriksaan pendahuluan untuk perkara Nomor 1/SKLN-X/2012 mengenai sengketa kewenangan antarlembaga negara (SKLN) ini diajukan oleh Dirjen Otda Kemendagri.
Dirjen Otda keberatan terhadap Keputusan KIP Aceh No. 26 Tahun 2011 Tentang Perubahan Keempat Atas Keputusan KIP Aceh No. 1 Tahun 2011 Tentang Tahapan, Program, Jadwal Penyelengaraan Pemilihan Umum Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota dalam Provinsi Aceh. Sebab, apabila seluruh tahapan Pemilukada di Aceh tetap dilaksanakan sebagaimana keputusan KIP Nomor: 26 Tahun 2011 dan tidak diikuti oleh Partai Aceh, dapat diprediksi berpotensi terjadi gangguan Kamtibmas dalam pelaksanaan tahapan Pemilukada dan kemungkinan rendahnya partisipasi msyarakat dalam pemungutan suara, serta dapat menimbulkan gejolak politik dan keamanan di Aceh.
Qanun yang baru tersebut, lanjut  Djohermasyah, mengakomodasi calon perseorangan dapat mengikuti Pemilukada di Aceh. “Semula, kawan-kawan di DPRA menolak dimasukkannya calon perseorangan, tetapi sekarang ada dinamika politik lokal di sana yang berubah, kawan-kawan di DPRA bersedia untuk memasukkan pengaturan calon perseorangan di dalam Qanun” jelas Djohermasyah.
Djohermasyah juga mengemukakan perkembangan terakhir mengenai keikutsertaan Partai Aceh dalam Pemilukada Aceh, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. “Semula mereka menolak ikut karena mereka tidak menerima adanya calon perseorangan,” imbuhnya.
Menanggapi permohonan, Ketua Panel Hakim Harjono menyatakan, Pemohon harus bisa memetakan secara jelas antara sengketa Pemilukada dan SKLN. Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva dalam nasehatnya menyatakan, sengketa kewenangan dalam hal melibatkan Kementerian Dalam Negeri dan KPU. “Oleh karena itu saya sarankan, Menteri yang harus mengajukan diri sebagai Pemohon,” saran Hamdan. Sedangkan sebagai Termohon, lanjut Hamdan, adalah KIP dan KPU. “KIP sebagai Termohon I dan KPU sebagai Termohon II,” tambahnya.
Sementara Hakim Konstitusi Muhammad Alim menasehati petitum (pokok permohonan) agar dibagi menjadi dua sub, yaitu dalam provisi dan pokok permohonan. Kemudian, mempertegas nasehat Hamdan Zoelva, Alim menyarankan permohonan diajukan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri), bukan Dirjen Otda. “Sebaiknya yang mengajukan permohonan adalah Mendagri,” saran Alim.
Sidang berikutnya akan digelar pada Senin pekan depan, 16 Januari pukul 16.00 WIB dengan agenda perbaikan permohonan. (Nur Rosihin Ana).       
readmore »»  

Rabu, 04 Januari 2012

Calon Anggota KPU dan Bawaslu Harus telah 5 Tahun Mundur dari Parpol


Persyaratan bagi calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun telah mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik (parpol) pada saat mendaftar. 

Demikian antara lain putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang pengucapan putusan perkara Nomor Nomor 81/PUU-IX/2011 mengenai uji materi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, yang digelar di gedung MK, Rabu (4/1/2012) sore. Mahkamah menyatakan mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh 136 Pemohon yang terdiri 23 badan hukum privat dan 113 perorangan warga negara Indonesia. “Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua Pleno Hakim MK, Moh. Mahfud MD.

Dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan Pasal 11 huruf i dan Pasal 85 huruf i UU Penyelenggara Pemilu sepanjang frasa, “mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik … pada saat mendaftar sebagai calon” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun telah mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik pada saat mendaftar sebagai calon”.

Mahkamah juga menyatakan Pasal 109 ayat (4) huruf c, huruf d, dan ayat (5) UU Penyelenggara Pemilu bertentangan dengan UU 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang bagian kalimat “4 (empat) orang tokoh masyarakat dalam hal jumlah utusan partai politik yang ada di DPR berjumlah ganjil atau ... dalam hal jumlah utusan partai politik yang ada di DPR berjumlah genap”. Sehingga Pasal 109 ayat (4) tersebut selengkapnya harus dibaca: “DKPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. 1 (satu) orang unsur KPU; b. 1 (satu) orang unsur Bawaslu; e. 5 (lima) orang tokoh masyarakat.”

Kemudian, menyatakan Pasal 109 ayat (11) sepanjang frasa “berdasarkan kebutuhan dan pertimbangan masing-masing unsur” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga Pasal 109 ayat (11) tersebut selengkapnya harus dibaca, ”Setiap anggota DKPP dari setiap unsur dapat diganti antarwaktu sesuai dengan ketentuan yang berlaku”.

“Conflict of Interest”
Mahkamah dalam pendapatnya menyatakan, Pemilu harus dilaksanakan secara bebas, jujur, dan adil. Asas jujur dan adil hanya dapat terwujud jika, antara lain, penyelenggara Pemilu tidak dapat diintervensi atau dipengaruhi oleh pihak lain manapun. Oleh karena itu, penyelenggara Pemilu tidak dapat diserahkan kepada pemerintah atau parpol sebab berpotensi dan rawan dipengaruhi atau dimanfaatkan oleh berbagai kepentingan, sehingga pemilu harus diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri sebagaimana Pasal 22E ayat (5) UUD 1945. Komisi Pemilihan Umum (dengan huruf besar), Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, menurut Mahkamah, adalah bagian dari komisi pemilihan umum (dengan huruf kecil) yang dimaksud oleh Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 memiliki sifat mandiri.

Keberpihakan penyelenggara Pemilu kepada peserta Pemilu akan mengakibatkan distrust serta menimbulkan proses dan hasil yang dipastikan tidak fair, sehingga menghilangkan makna demokrasi yang berusaha diwujudkan melalui Pemilu yang “langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”. Adalah hal yang tidak sejalan dengan logika dan keadilan, jika Pemilu diselenggarakan oleh lembaga yang terdiri atau beranggotakan para peserta Pemilu itu sendiri. Meskipun bukan sesuatu yang niscaya, adanya keterlibatan parpol sebagai penyelenggara Pemilu akan membuka peluang keberpihakan (conflict of interest) penyelenggara pemilihan umum kepada salah satu kontestan.

Menurut Mahkamah, keterlibatan secara langsung parpol sebagai penyelenggara pemilihan umum, setidaknya dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu i) diakomodasinya anggota parpol menjadi anggota komisi pemilihan umum; atau ii) diakomodasinya orang yang bukan anggota parpol, namun memiliki kepentingan politik yang sama dengan parpol tertentu.

Dari perspektif teleologis terkait dengan kemandirian yang ingin dicapai, diakomodasinya anggota parpol menjadi anggota komisi pemilihan umum dapat saja dilakukan dengan asumsi bahwa anggota parpol yang kemudian memegang jabatan publik tidak selalu berpihak kepada parpol asalnya. Akan tetapi tetap disyaratkan anggota parpol dan masyarakat politik harus memiliki kedewasaan berpolitik serta sifat kenegarawanan, dan tetap berada di atas kepentingan semua golongan dan semua kelompok. Pada kenyataannya, kemandirian atau netralitas tersebut tidak dengan sendirinya terjadi begitu saja. Dari perspektif deontologis tetap diperlukan proses yang tepat untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Untuk menjamin kemandirian komisi pemilihan umum, terutama dari sisi rekrutmen, setidaknya terdapat dua hal yang harus diperhatikan, yaitu penguatan proses seleksi dan penguatan sistem yang mendukung seleksi. Bertolak dari pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, Undang-Undang harus membangun sistem rekrutmen yang menuju pada upaya memandirikan komisi pemilihan umum. Sistem rekrutmen ini haruslah meminimalkan komposisi keanggotaan dalam komisi pemilihan umum yang memiliki potensi keberpihakan.

Karena peserta Pemilu adalah parpol, maka UU harus membatasi atau melepaskan hak parpol peserta pemilu untuk sekaligus bertindak sebagai penyelenggara Pemilu. Parpol dimaksud meliputi anggota parpol yang masih aktif atau mantan anggota parpol yang masih memiliki keberpihakan kepada parpol asalnya, atau masih memiliki pengaruh dalam penentuan kebijakan parpol dimaksud.

Pelepasan hak anggota parpol untuk menjadi anggota komisi pemilihan umum bukan sesuatu hal yang bertentangan dengan konstitusi dan hak asasi manusia, karena justru hal tersebut diperlukan untuk menjamin fairness dalam pemilihan umum, yang artinya memenuhi/melindungi hak-hak peserta lain dalam pemilihan umum;

Dari kedua perspektif di atas, baik yang berorientasi pada tujuan (teleologis) maupun yang berorientasi pada proses/cara (deontologis), kata “mandiri” yang tercantum dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 dalam kaitannya dengan rekrutmen atau pendaftaran calon anggota KPU dan Bawaslu, haruslah dihindari penerimaan calon anggota komisi pemilihan umum yang berasal dari unsur parpol. (Nur Rosihin Ana)

readmore »»  
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More