Harmoni...

Jakarta, September 2010

Harmoni...

Jakarta, Desember 2010

Belahan jiwa

......

...Belahan jiwa...

......

ceria...

Jakarta, 8 Januari 2012

Nora Uzhma Naghata

Bogor, 24 Februari 2011

Nora Uzhma Naghata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Taman Safari Puncak

Bogor, 24 Februari 2011

Bandara Ahmad Yani

Semarang, 28 September 2011

Rileks

*********

Nur Rosihin Ana

Semarang, 19 Oktober 2010

Nur Rosihin Ana

mahkamah dusturiyyah, 18 Juli 2012

Nur Rosihin Ana

Hotel Yasmin, Puncak, Desember 2010

Nora Uzhma Naghata

Naghata

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Demak, 11 September 2011

Nur Rosihin Ana

Nagreg, Bandung 11 Juli 2011

Nora Uzhma Naghata, Sri Utami, Najuba Uzuma Akasyata, Nur Rosihin Ana

Sapa senja di Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Sapa Senja Jepara

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

...bebas, lepas...

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Minggu, 20 Desember 2015

Petani Hutan Tuntut Keadilan

Amandemen UUD 1945 telah membawa perubahan yang mendasar dalam sistem ketatanegaraan RI. Salah satu hasil perubahan pokok UUD 1945 yaitu diakuinya hak-hak asasi manusia (HAM), termasuk adanya kesamaan di dalam hukum dan pemerintahan, hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil. Norma dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 telah mencerminkan prinsip-prinsip HAM yang berlaku bagi seluruh manusia secara universal.
Namun prinsip-prinsip tersebut disimpangi oleh sejumlah ketentuan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). Yakni Pasal 82 ayat (2), Pasal 92 ayat (1) dan Pasal 93 ayat (1) dan ayat (2) UU P3H.
Demikian permohonan uji materi UU P3H terhadap UUD 1945. Permohonan diajukan oleh 16 petani warga Desa Lubuk Besar, Desa Kemuning Muda, dan Desa Tuk Jimun. Ketiga desa ini masuk dalam wilayah Kecamatan Kemuning, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau. Mereka yakni, Edi Gunawan Sirait, Bejo, Bharum Purba, Miswan, Zahdi, Ahmad Samadi, Ahmadi, Saidah, Ponidi, Nuraini, Sukardi, Amiruddin Sitorus Pane, Wagimin Auda, Misrun, Sari, dan Muliono. Permohonan ini diregistrasi oleh Kepaniteraan Mahkamah dengan Nomor 139/PUU-XIII/2015.

Pasal 82 ayat ( 2)
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 92 ayat (1)
Orang perseorangan yang dengan sengaja:
a.    melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin Menteri di dalam kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b; dan/atau
b.    membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan perkebunan dan/atau mengangkut hasil kebun di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 93 ayat (1)
Orang perseorangan yang dengan sengaja:
a.    mengangkut dan/atau menerima titipan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c;
b.    menjual, menguasai, memiliki, dan/atau menyimpan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf d; dan/atau
c.    membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf e dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 93 ayat 2
Orang perseorangan yang karena kelalaiannya:
a.    mengangkut dan/atau menerima titipan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c;
b.    menjual, menguasai, memiliki dan/atau menyimpan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf d; dan/atau
c.    membeli, memasarkan dan/atau mengolah hasil kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf e dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Hak yang Tercerabut
Para Pemohon melalui kuasa hukum Adi Mansar, Guntur Rambe, dkk, beranggapan ketentuan pasal-pasal dalam UU P3H tersebut berpotensi menimbulkan kerugian konstitusional bagi para Pemohon. Kerugian dimaksud yakni tercabutnya kepastian hukum atas kepemilikan harta benda, penghidupan yang layak serta hilangnya hak para Pemohon akan pemukiman karena ditetapkan atau akan ditetapkan sebagai kawasan hutan. Menurut para Pemohon, pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
Sejak berlakunya UU P3H, kehidupan masyarakat di desa-desa tersebut mulai terusik. Terlebih lagi, keberadaan UU P3H menimbulkan jatuhnya korban di pihak masyarakat. Padahal wilayah desa dan areal yang dikuasai para Pemohon merupakan lahan yang mempunyai status Areal Penggunaan Lain (APL) sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 173/KPTS-II/1986 tanggal 6 Juni 1986 tentang Tata Guna Hutan Kesepakatan.
Pada zaman Pemerintahan Orde Baru, ada perusahaan HPH yaitu PT Horizon Forest (PT HF) yang beroperasi di Kecamatan Keritang. Izin PT HF berakhir pada 1998. Kemudian hadir PT Sari Hijau Mutiara (PT SHM). Areal yang dimohonkan PT SHM seluas 10.000 ha adalah areal PT. Agroraya Gematrans yang telah dicabut izinnya oleh Menteri Kehutanan. PT SHM mengklaim tanah perladangan warga merupakan lahan miliknya sesuai dengan izin yang dikantonginya.
Pada 2008, terbit Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.378/MENHUT-II/2008 kepada PT SHM atas areal hutan produksi seluas 20.000 hektar di Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau. Menurut keterangan pihak PT SHM, izin yang diterbitkan tersebut berada di Provinsi Riau, Kabupaten Indragiri Hilir, Kecamatan Kemuning dan Kecamatan Keritang, Desa Kota Baru Reteh, Desa Kayu Raja, Desa Tuk Jimun, Desa Kemuning Muda, desa Lubuk Besar.
Sejak PT SHM bercokol di Provinsi Riau selalu membuat onar. Masyarakat pemilik lahan sawit di Desa Lubuk Besar, mengalami intimidasi dan provokasi, baik melalui surat maupun melalui tindakan di lapangan. Misalnya menunjuk centeng untuk menakut-nakuti masyarakat dan mengirim surat dengan berbagai substansi yang ujungnya meminta pembagian hasil atas kebun sawit milik warga.
Kriminalisasi Petani
Desa Lubuk Besar, Desa Kemuning Muda, Desa Tuk Jimun berpenduduk sekitar 1500 KK. Mayoritas masyarakat di ketiga desa tersebut sejak dahulu kala berprofesi sebagai petani tradisional. Pola masyarakat termasuk para Pemohon dalam mengelola lahan adalah dengan cara berpindah-pindah. Hal ini telah menjadi budaya masyarakat tradisional. Setiap keluarga mempunyai luas areal yang bervariasi sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Lahirnya UU P3H tentu diharapkan menjadi payung hukum pengelolaan sumber daya hutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun menurut para Pemohon, lahirnya UU P3H justru mengebiri hak konstitusional para Pemohon. Bukannya memberi perlindungan, UU P3H justru mengkriminalisasi keberadaan masyarakat desa. Mereka ditetapkan sebagai tersangka atau dipanggil sebagai saksi atas tuduhan melakukan aktivitas di atas tanah yang diklaim oleh pihak tertentu sebagai kawasan konsesi yang diberikan hak oleh negara sesuai dengan SK. 378/MENHUT-II/2008 tentang Pemberian izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman industri dalam hutan tanaman kepada PT SHM seluas 20.000 hektar. Padahal aktivitas dilakukan atas tanah/areal hak milik para Pemohon yang dikuasai sejak lama dan telah dikelola sejak dahulu kala hingga saat sekarang ini.
Lahirnya UU P3H tidak memberikan kepastian hukum yang adil bagi para Pemohon. Skenario untuk menguasai lahan milik para Pemohon dengan cara kriminalisasi warga masyarakat sangat bertentangan dengan Pasal 28I Ayat (4) UUD 1945.
Kriminalisasi terjadi setelah Bupati Indragiri Hilir mengeluarkan surat Nomor 100/Adm-Pum/98.41 tanggal 17 September 2014. Isi surat meminta agar PT SHM menghentikan segala aktivitasnya sampai izin lengkap. Sebelumnya, pihak Badan Pertanahan Kabupaten Indragiri Hilir telah meminta pihak PT SHM untuk tidak menerbitkan sertifikat dalam Areal HTI PT SHM sesuai dengan surat Nomor 487/14.04-100/IV/2014 tanggal 06 Mei 2014. Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Indragiri Hilir melalui surat Nomor 660.1/BLH-PKL/VIII/2014/563 tanggal 19 Agustus 2014, juga telah mengingatkan agar PT SHM tidak melakukan aktivitas apapun sebelum Dokumen Lingkungan Hidup atau izin Lingkungan Hidup diperoleh PT SHM, karena melanggar Pasal 109 UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.
Begitu pula Dinas Kehutanan Kabupaten Indragiri Hilir melalui surat Nomor 522.2/DISHUT-PLAN/259 tanggal 10 September 2014 perihal Penghentian Kegiatan HTI PT SHM di Kecamatan Kemuning. Hal ini menguatkan surat Pemerintah Provinsi Riau melalui Dinas Kehutanan, Nomor 522.2/Pemhut/2388, bertanggal 22 Agustus 2014, hal pembangunan HTI PT SHM 2014/2015.
Pemberlakuan Asas Retroaktif
Pemberlakuan hukum tanpa melihat fakta sejarah yang telah ada, merupakan penyalahgunaan wewenang oleh penegak hukum. Pemberlakuan UU P3H secara berlaku surut, jelas melanggar Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Pasal 82 ayat (2) UU P3H tidak sesuai dengan konsep negara hukum karena menjangkau perbuatan secara mundur (retroaktif). Saat ini para Pemohon sedang dihadapkan dengan berbagai masalah hukum yang bersumber dari UU P3H.
Para Pemohon yang berprofesi sebagai petani/peladang tentu tidak dapat menghindari untuk tidak melakukan penebangan pohon yang berada di areal milik mereka sendiri. Penebangan pohon adalah untuk mempertahankan hidup sehari-hari. Masyarakat setiap saat mempergunakan kayu sebagai alat untuk memasak, bahan membuat pagar pekarangan rumah, bahan untuk membuat tempat tinggal demi mempertahankan hidup.
Korporasi telah memanfaatkan Pasal 82 ayat (2) UU P3H untuk menguasai lahan/areal milik masyarakat. Masyarakat dikriminalisasi dengan menggunakan alat kekuasaan setempat. Kriminalisasi terhadap masyarakat bahkan diberlakukan secara surut. Hal ini tergambar jelas dalam tuduhan yang terjadi sejak 2008, lima tahun sebelum lahirnya UU P3H. Ironinya, sikap aparat Kepolisian dan Pemerintah sengaja menyudutkan posisi masyarakat para Pemohon. Sebuah sikap yang cenderung diskriminatif.
Kekhawatiran dan ketakutan meliputi peri kehidupan masyarakat Desa Lubuk Besar, Desa Kemuning Muda, Desa Tuk Jimun yang mempunyai kebiasaan gotong royong berupa sumbang tenaga bila ada warga desa yang akan melakukan kegiatan mengolah lahan, menanam dan memanen hasil, seperti duku, karet, sawit, coklat. Adanya upaya kriminalisasi telah membuat kekhawatiran dan ketakutan bagi warga desa para Pemohon untuk membantu warga atau keluarganya yang akan melakukan tahapan pekerjaan di areal masing-masing. Padahal di sisi lain, saat ini negara sedang menggalakkan kemandirian ekonomi warga dengan penyediaan lahan untuk masyarat. Bukan lahan untuk korporasi yang tidak memberikan perlindungan dan pemajuan ekonomi masyarakat.
Demikian pula dengan ketentuan Pasal 92 ayat (1) UU P3H yang dengan jelas mengangkangi hak warga negara yang telah hidup sejak dulu di areal itu. Sangat tidak manusiawi apabila ketentuan ini diberlakukan terhadap para Pemohon. Sebab di areal tersebut diberikan bukti hak milik berupa Sertifikat Hak Milik oleh Badan Pertanahan Nasional. Penguasaan atas tanah yang dikelola oleh masyarakat ada yang lebih dari 30 Tahun secara berturut-turut, jauh sebelum wilayah hutan tersebut ditetapkan oleh Pemerintah. Pasal 92 ayat (1) UU P3H sangat tidak responsif, sebaliknya sangat represif terhadap para Pemohon dan masyarakat desa yang telah berdomisili sejak lama.
Upaya Pemiskinan
Pasal 93 ayat (1) huruf a,b,c UU P3H tidak memberikan perlindungan, kemanfaatan serta tidak berguna bagi para Pemohon. Ketentuan pasal ini justru telah membatasi dan melarang untuk mengangkut, menjual, mengolah hasil kebun milik para Pemohon seperti karet, coklat, duku, pinang dan sawit. Hasil kebun tersebut merupakan sumber penghidupan para Pemohon sejak dulu kala hingga saat ini. Pelarangan tersebut berarti upaya pemiskinan terhadap para Pemohon yang memang sudah miskin dan melarat.
Diundangkannya UU P3H sangat tidak memberikan manfaat bagi para Pemohon khususnya umumnya masyarakat Desa Lubuk Besar, Desa Kemuning Muda, Desa Tuk Jimun. Ketentuan Pasal 93 ayat (2) huruf a,b,c UU P3H tidak memiliki filosofi yang jelas sebagaimana tujuan pemidanaan.
Fungsi Pasal dalam suatu UU harus terukur target dan tujuannya. Sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum, dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Menurut para Pemohon, pembentukan UU P3H telah melanggar kaidah-kaidah yang diatur dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Para Pemohon berkesimpulan UU P3H tidak mempunyai landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis dalam pembentukannya. Kehadiran UU P3H bukannya membuat keamanan dan kenyamanan bagi masyarakat, justru sebaliknya, menghilangkan hak-hak konstitusional masyarakat khususnya Para Pemohon. Oleh karena itu, para Pemohon meminta kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 82 ayat (2), Pasal 92 ayat (1) dan Pasal 93 ayat (1) dan ayat (2) UU P3H bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Nur Rosihin Ana

dalam Rubrik "Catatan Perkara" Majalah "Konstiitusi" No. 106 Desember 2015.
readmore »»  

Rabu, 25 November 2015

Proses Seleksi Hakim

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kemerdekaan institusional lembaga peradilan tercermin dalam kebebasan para hakim sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman harus bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan.
Alkisah suatu saat Khalifah Umar ibn Khattab dalam perjalanan ke Madinah. Di suatu dusun di Madinah, Umar melihat seekor kuda yang dijajakan oleh warga. Umar tertarik lalu membeli kuda itu. Setelah transaksi jual-beli selesai, Umar menaiki kuda tersebut. Namun, sekira perjalanan beberapa ratus meter, langkah kuda melambat. Ternyata kaki kuda cedera, sehingga jalannya pincang.
Umar segera berbalik arah menuju kampung tempat di mana dia membeli kuda. Setelah bertemu dengan si penjual kuda, Umar komplain mengenai kondisi kuda yang baru dibelinya. Umar bermaksud mengembalikannya. Namun penjual kuda bersikukuh kuda yang dijualnya dalam kondisi sehat, tidak cacat.
Jual-beli kuda berujung sengketa antara khalifah dengan rakyatnya. Keduanya sepakat menyelesaikan sengketa ke hadapan qadhi (hakim). Tersebutlah seorang qadhi bernama Syuraih bin Al-Haritz Al-Kindi yang menangani perkara ini.
Setelah mendengar keterangan dari kedua belah pihak yang bersengketa, tibalah giliran Qadhi Syuraih menjatuhkan vonis. Qadi Syuraih memutuskan, Khalifah Umar dapat mengambil kuda yang telah dibelinya, atau mengembalikan kuda kepada si penjual seperti kondisi semula.
Vonis yang menempatkan khalifah dalam posisi yang kalah. Khalifah kalah melawan rakyatnya di peradilan. Kendati demikian, Khalifah Umar berlapang dada menerima putusan itu. Bahkan pasca putusan tersebut, Syuraih langsung mendapat promosi. Khalifah Umar mengangkat Syuraih menjadi qadhi di Kufah.
Masih banyak kisah Qadhi Syuraih dalam penyelesaian perkara. Kisah terebut merupakan gambaran penyelesaian perkara yang bersih, jujur, adil, dan berwibawa. Syuraih memutus perkara tanpa pandang bulu. Sepanjang kiprahnya di pengadilan selama kurang lebih 60 tahun, putusan-putusan Syuraih mendapat pujian. Tak heran segenap kalangan baik muslim maupun non muslim mematuhi putusan Syuraih.
Hakim sebagai pelaku kekuasaan kehakiman merupakan ujung tombak penegakkan hukum. Kekuasaan kehakiman menjadi institusi yang merdeka, berwibawa, manakala memiliki hakimhakim yang bersih, jujur dan adil.
Hakim merupakan bagian integral dari sistem kekuasaan kehakiman. Keberadaan institusi peradilan yang merdeka dan berwibawa sangat ditentukan oleh hakimhakim yang berkualitas, berintegritas, serta bernurani keadilan. Maka perlu dilakukan proses seleksi pengangkatan hakim.
Proses seleksi pengangkatan hakim menjadi faktor penting yang sangat menentukan penyelenggaraan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Lalu, lembaga mana yang berwenang melakukan seleksi hakim?
Ketentuan mengenai proses seleksi pengangkatan hakim dalam UndangUndang (UU) Peradilan Umum, UU Peradilan Agama dan UU Peradilan Tata Usaha Negara, dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY). Padahal Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka. Terlebih lagi jika dihubungkan dengan sistem peradilan “satu atap”, maka seleksi dan pengangkatan calon hakim pengadilan tingkat pertama menjadi kewenangan MA. Sistem satu atap lebih menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan kebebasan hakim. Keikutsertaan pemerintah ataupun institusi lain dalam proses seleksi, berpotensi mempengaruhi kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan kebebasan hakim.
Selain itu, Pasal 24B UUD 1945 jelas menyebutkan kewenanngan KY hanyalah dalam proses seleksi hakim agung saja. Dengan demikian, KY tidak berwenang untuk terlibat dalam proses seleksi hakim tingkat pertama. Keberadaan KY adalah sebagai supporting element atau state auxiliary organ. KY merupakan pendukung pelaku kekuasaan kehakiman. Dengan demikian KY sendiri sejatinya bukanlah merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman.
Kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan independensi peradilan memberikan kemerdekaan dan independensi kepada hakim. Tanpa adanya kemerdekaan dan independensi hakim, kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan independensi peradilan tidak akan dapat ditegakkan.

Nur Rosihin Ana

Dalam Rubrik Editorial Majalah “Konstitusi” edisi November 2015
readmore »»  

Senin, 23 November 2015

Menggugat Semangat Importasi dalam UU Peternakan

Sistem zona dalam UU Peternakan telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi. Namun dihidupkan kembali dalam perubahan UU Peternakan. Sistem zona mengusung semangat importasi ternak kian marak. Kesehatan ternak pun ikut terancam.

Putusan Mahkamah Konstitusi yang dibacakan pada 27 Agustus 2010 silam, menyatakan mengabulkan sebagian permohonan pengujian materi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Permohonan ini diajukan oleh Perkumpulan Institute For Global Justice (IGJ), Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI), Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI), dkk. Sidang pleno yang diketuai Moh. Mahfud MD kala itu, dalam amar Putusan Nomor 137/PUU-VII/2009 Mahkamah menyatakan frasa, ”Unit usaha produk hewan pada suatu negara atau zona”, dalam Pasal 59 ayat (2); frasa, ”Atau kaidah internasional” dalam Pasal 59 ayat (4); kata ”dapat” dalam Pasal 68 ayat (4) UndangUndang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Selang empat tahun kemudian, tepatnya pada 17 Oktober 2014, diberlakukan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (UU Peternakan). Putusan MK di atas menjadi salah satu dasar perubahan UU Peternakan. Namun, perubahan UU Peternakan ini dituding tidak menaati putusan MK.
Hal tersebut melatarbelakangi permohonan uji materi UndangUndang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (UU Peternakan) ke MK. Permohonan diajukan oleh Teguh Boediyana, Mangku Sitepu, Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI), Gun Gun Muhamad Lutfi Nugraha, H. Asnawi, dan H. Rachmat Pambudy. Permohonan ini diregistrasi oleh Kepaniteraan Mahkamah dengan Nomor 129/PUU-XIII/2015.
Para Pemohon berasal dari berbagai latar belakang profesi berbeda. Misalnya Teguh Boediyana adalah peternak sapi. Teguh, GKSI dan Asnawi juga tercatat sebagai salah seorang Pemohon pengujian UU No. 18 Tahun 2009 sebagaimana Putusan MK Nomor 137/PUU-VII/2009 di atas. Mangku Sitepu berprofesi sebagai dokter hewan dan dokter manusia. Mangku menjadi korban dari penyakit hewan yang menular ketika menjalankan profesinya sebagai dokter hewan. Gun Gun Muhamad Lutfi Nugraha adalah Petani dan konsumen daging dan susu segar. Sedangkan Rachmat Pambudy adalah seorang dosen sekaligus konsumen daging dan susu segar.
Para Pemohon yang menamakan diri sebagai kelompok “Save Indonesia” ini merasa dirugikan akibat berlakunya sistem zona dalam UU Peternakan. Adapun materi UU Peternakan yang diujikan yakni, frasa “atau zona dalam suatu negara” dalam Pasal 36C ayat (1), kata “zona” dalam Pasal 36C ayat (3), kata “zona” dalam Pasal 36D ayat (1), dan frasa “ atau zona dalam suatu negara” dalam Pasal 36E ayat (1). Menurut para Pemohon, kata dan frasa dalam pasal-pasal UU Peternakan tersebut bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pembukaan UUD 1945, Pasal 1 ayat (3), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 33 ayat (4).

Pasal 36C ayat (1) UU Peternakan
Pemasukan ternak ruminansia indukan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat berasal dari suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukannya.

Pasal 36C ayat (3) UU Peternakan
Pemasukan ternak ruminansia indukan yang berasal dari zona sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selain harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga harus terlebih dahulu:
a.        Dinyatakan bebas penyakit hewan menular di negara asal oleh otoritas veteriner negara asal sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan badan kesehatan hewan dunia dan diakui oleh otoritas veteriner Indonesia.
b.        Dilakukan penguatan sistem dan pelaksanaan surveilan di dalam negeri; dan
c.         Ditetapkan tempat pemasukan tertentu. Pasal 36D ayat (1) UU Peternakan Pemasukan ternak ruminansia indukan yang berasal dari zona sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36C harus ditempatkan di pulau karantina sebagai instalasi karantina hewan pengamanan maksimal untuk jangka waktu tertentu.

Pasal 36E ayat (1) UU Peternakan
Dalam hal tertentu, dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional, dapat dilakukan pemasukan ternak dan/atau produk hewan dari suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukan ternah dan/ atau produk hewan.

Pembangkangan Putusan MK
Pemohon sangat menyayangkan pembentuk UU No. 41/2014 karena mengabaikan Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat. Rumusan norma tentang penerapan “sistem zona” melalui frasa “atau zona dalam suatu negara” yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh MK, justru dihidupkan kembali dalam UU UU No. 41 Tahun 2014.
Hal tersebut menunjukkan pembuat UU melakukan pembangkangan terhadap konstitusi. Padahal seharusnya pembentuk UU (DPR dan Presiden) memegang teguh asas self respect atau self obidence. Menurut para Pemohon, pembentukan UU No. 41 Tahun 2014 adalah pembentukan UU yang sangat buruk yang mengabaikan keamanan, keselamatan, bahkan melecehkan putusan Mahkamah Konstitusi sebagai jiwa dari Konstitusi itu sendiri.
Makna Zona
Menurut para Pemohon, frasa ”atau Zona dalam suatau negara” menimbulkan pengertian “Negara dapat memasukkan hewan dan produk hewan segar dari zona suatu negara yang pada zona tersebut di anggap memenuhi syarat.” Pemberlakuan sistem zona (zona based) akan berpotensi menimbulkan kerugian bagi pemohoan juga masyarakat Indonesia karena ”tidak ada kepastian apakah hewan dan produk hewan segar yang kemudian masuk ke Indonesia adalah hewan dan produk hewan dari zona yang tadinya sudah dinyatakan aman.”
Suatu zona bebas pada suatu negara berlaku internal di setiap negara masing-masing dan untuk kepentingan negara bersangkutan. Pernyataan adanya zona yang bebas penyakit tertentu tidak berlaku selama-lamanya dan menuntut adanya prosedurprosedur ilmiah dan teknis kesehatan hewan yang berterusan dan tak dapat diintervensi oleh negara lain namun dapat dinilai dan dinyatakan bebas setelah dievaluasi sesuai dengan kode dari Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (World Organization for Animal health/OIE).
Status bebas penyakit ini pun dapat saja hanya berlaku bagi jumlah populasi ternak yang kecil di zona tersebut yang bila diekspor ke negara yang populasinya besar, dapat habis dalam waktu singkat sebelum berhasil meningkatkan populasi di zona tersebut. Dalam keadaan demikian, bukan mustahil bagi negara tersebut untuk memenuhi kuota ekspornya dengan mengambil dari zona lain yang tidak bebas dan hal ini tak dapat dikontrol oleh negara pengimpor.
Dengan memberlakukan sistem zona mengindikasikan penyebaran penyakit menjadi lebih sempit hanya wilayah tertentu dari suatu negara. Padahal faktanya tidak seperti itu, lihatlah penyebaran penyakit yang sekarang hampir mewabah di seluruh dunia. Flu babi, flu burung, dll. Hal ini menunjukkan penyakit hewan menular sangat variatif dan cara penularannya bervariasi berkaitan erat dengan mobilitas manusia, hewan, dan media pembawa lainnya.
Salah satu penyakit yang dikhawatirkan penyebarannya di dunia adalah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dan Penyakit Sapi Gila (Bovine Spongioform Encephalopathy/ BSE). Indonesia berstatus bebas dari penyakit ini. Untuk PMK yang terkategori salah satu penyakit yang ditakuti di dunia umumnya dihadapi dengan importasi hanya dalam bentuk makanan olahan yang lebih mudah penjaminannya (bukan produk segar maupun hewan hidup). Sedangkan pemerintah Indonesia saat ini akan memberlakukan sistim zona untuk memasukkan produk hewan yang segar dan juga produk hewan atau daging olahan sekaligus. Negaranegara lain di dunia yang berstatus bebas PMK yang sekalipun memiliki sistem perlindungan keamanan produk hewan dan kesehatan hewan yang canggih, masih memberlakukan persyaratan maximum security dalam memasukkan hewan atau produk hewan segar dari negara lain dengan membolehkan hanya dari status negara bebas (country base) dan bukan status zona bebas (zone base).
Pemberlakuan sistim zona oleh suatu negara dapat diartikan tidak adanya perlindungan yang pasti atas kesehatan dan keselamatan masyarakat serta jaminan kelangsungan ekonomi para peternak. Kemudian, tidak adanya pengamanan maksimum masuknya hewan dan produk hewan dari negara lain. Sistem zona menjadikan suatu negara tunduk kepada ketentuan yang berlaku pada negara lain tentang status zona aman dan tidak aman, yang berpotensi merugikan negara itu sendiri.
Semangat Importasi
Pemberlakuan sistem zona semata-mata didorong oleh semangat untuk melakukan impor hewan dan produk hewan ke Indonesia dengan mudah, tanpa memperhatikan kesehatan dan keselamatan masyarakat Indonesia dari wabah penyakit menular, serta kemampuan dan kondisi ekonomi peternak dalam negeri. Masuknya PMK ke Indonesia dapat berakibat kerugian pada peternak dan juga jutaan peternak kecil.
Rumusan Pasal 36E UU No. 41 Tahun 2014 ditegaskan dalam penjelasannya, dirumuskan “dalam hal tertentu” termasuk ketika “Masyarakat/ rakyat membutuhkan”. Hal ini jelas merupakan penyelundupan hukum agar pemerintah maupun pihak swasta bisa kapan saja melakukan impor atas hewan maupun produk hewan dari zona manapun, tanpa memperhatikan keamanan dan keselamatan manusia, hewan dan lingkungan di Indonesia. Padahal, alsaan impor adalah karena rakyat membutuhkan dan tidak terpenuhinya bahan di dalam negeri.

Berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, para Pemohon meminta Mahkamah agar menyatakan frasa “atau zona dalam suatu negara” dalam Pasal 26C ayat (1); kata “zona” dalam Pasal 36C ayat (3); kata “zona”, dalam Pasal 36D ayat (1); dan frase“ atau zona dalam suatu negara” dalam Pasal 36E ayat (1) UU Nomor 41 Tahun 2014 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Nur Rosihin Ana
dalam Rubrik "Catatan Perkara" Majalah "Konstiitusi" edisi November 2015.


Update Selasa 7 Februari 2017

Akhirnya Mahkamah pada Selasa, 7 Feberuari mengeluarkan Putusan uji materi UU Peternakan dan Kesehatan Hewan. Putusan ini cukup menyedot perhatian publik karena adanya kasus operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap hakim konstitusi Patrialis Akbar (PA). PA diduga menerima sejumlah uang dari pengusaha berinisial BH berkaitan dengan uji materi UU ini. PA ditangkap KPK di Mal Grand Indonesia, Jakarta, Rabu, 25 Januari 2017.


Putusan Nomor 129/PUU-XIII/2015 ihwal uji materi UU Peternakan dan Kesehatan Hewan dapat diunduh di sini: download

readmore »»  

Selasa, 20 Oktober 2015

Kampanye Pilkada Didanai APBD, Konstitusionalkah?

Dulu dana kampanye ditanggung oleh masing-masing pasangan calon peserta pilkada. Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, dana kampanye diambil dari uang rakyat (APBD). Besaran anggaran APBD untuk kampanye potensial mengalami pembengkakan.

Kampanye adalah kegiatan untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota. Begitulah ketentuan yang termaktub dalam Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).
Masing-masing pasangan calon tentu berharap dapat tampil sebagai pemenang pilkada. Salah satu cara untuk mewujudkan hal ini yakni melalui kampanye. Maka sewajarnya kampanye dilakukan oleh pasangan calon dan tim kampanye. Wajar pula pendanaan kampanye menjadi tanggung jawab pasangan calon dan timnya.
Lantas mengapa kegiatan kampanye harus difasilitasi KPU/KIP dengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)? Seharusnya penggunaan dana APBD hanya sebatas publikasi tentang pelaksanan pilkada yang bersifat umum. Misalnya sosialisasi pelaksanaan pilkada serta ajakan pada masyarakat untuk turut aktif menggunakan hak politik dalam pilkada.
Dana kampanye seharusnya tidak dibebankan pada APBD. Sebab kegiatan kampanye sangat terkait dengan kepentingan masing-masing pasangan calon dan tim pendukungnya.
Hal tersebut menjadi dalil permohonan pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang (LN RI Tahun 2015 Nomor 57, TLN RI Nomor 5678), selanjutnya disebut UU Pilkada, terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, selanjutnya disebut UUD 1945.
Permohonan ini diajukan oleh Nu’man Fauzi dan Achiyanur Firmansyah (Pemohon). Nu’man Fauzi adalah warga Kampung Pangbogoan RT. 10 RW. 05 Desa Banyu Biru, Labuan, Pandeglang. Sedangkan Achiyanur Firmansyah adalah warga Jl. Akses UI Gg H. Yamin No.9 Kelapa Dua, Cimanggis Depok. Nu’man dan Achiyanur memiliki hak untuk menyalurkan suara dalam pilkada serentak 2015 di daerah masing-masing. Keduanya merasa memiliki kepentingan untuk hadirnya sebuah proses pemilu yang jujur, adil, transparan, dan akuntabel bagi semua pasangan calon.
Pemohon melalui kuasa hukum A. Muhammad Asrun, Ai Latifah Fardhiyah, dan Vivi Ayunita Kusumandari, berkirim surat yang ditujukan kepada Ketua Mahkamah Konstitusi. Ihwal surat bertanggal 2 September 2015 itu mengenai permohonan pengujian Pasal 65 ayat (2) UU Pilkada terhadap UUD 1945. Setelah berkas-berkas permohonan lengkap, Kepaniteraan Mahkamah meregistrasi permohonan ini dengan Nomor 120/PUU-XIII/2015 pada 21 September 2015. Mahkamah juga telah membentuk panel hakim yang bertugas memeriksa perkara ini. Kemudian mengagendakan sidang pemeriksaan pendahuluan pada Kamis, 8 Oktober 2015.
Hak untuk mendapatkan proses pilkada yang jujur dan adil merupakan hak konstitusional warga negara sebagaimana dijamin dalam UUD 1945, khususnya Pasal 27 ayat (1) serta Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. Sementara ketentuan Pasal 65 ayat (2) UU Pilkada potensial menghambat proses pilkada yang jujur dan adil. Dengan demikian ketentuan Pasal 65 ayat (2) UU Pilkada merupakan pelanggaran fundamental terhadap hak-hak warga negara sebagaimana dijamin dalam UUD 1945. Terlebih lagi ketentuan Pasal 65 ayat (2) diperjelas dengan adanya ketentuan Pasal 1 angka 20, 21, 22 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 7 Tahun 2015 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/Walikota dan Wakil Walikota. Ketentuan dalam PKPU ini menjelaskan mengenai alat peraga, bahan kampanye, dan iklan kampanye, yang semuanya difasilitasi oleh KPU Provinsi/KIP Aceh dan KPU/KIP Kabupaten/Kota dengan dana dari APBD.

Pasal 65 ayat (2) UU Pilkada
(1) Kampanye dapat dilaksanakan melalui:
a. pertemuan terbatas;
b. pertemuan tatap muka dan dialog;
c. debat publik/debat terbuka antarpasangan calon;
d. penyebaran bahan Kampanye kepada umum;
e. pemasangan alat peraga;
f. iklan media massa cetak dan media massa elektronik; dan/atau
g. kegiatan lain yang tidak melanggar larangan Kampanye dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e dan huruf f difasilitasi oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang didanai APBD.

Pembengkakan Anggaran
Kesiapan anggaran menjadi masalah serius bagi penyelanggaraan Pilkada 2015. Terdapat banyak daerah yang belum menganggarkan biaya pilkada dalam APBD 2015. Karena adanya kekurangan anggaran, maka dana penyelenggaraan pilkada harus diambil dari pos lain. Anggaran yang diambilkan dari pos lain tersebut apabila mengurangi anggaran dari pos strategis dan skala prioritas tentunya dapat mengakibatkan terganggunya pembangunan di daerah dan merugikan masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan adanya 10 jenis temuan BPK tentang ketidaksesuaian penggunaan anggaran Pilkada.
Besaran anggaran penyelenggaraan Pilkada makin membengkak dengan adanya ketentuan Pasal 65 ayat (2) UU Pilkada yang menentukan bahwa penyebaran bahan kampanye, alat peraga kampanye, iklan kampanye didanai oleh APBD. Masing-masing jenis kampanye tersebut memerlukan anggaran yang tidak sedikit apabila dibebankan pada APBD.
Padahal sebelum berlakunya UU Pilkada ini, pelaksanaan kampanye menjadi tanggung jawab dan didanai oleh masing-masing pasangan calon. Sebab masing-masing pasangan calon tentunya lebih berkepentingan melaksanakan kampanye untuk menyampaikan visi, misi, program pasangan calon, simbol, atau tanda gambar yang bertujuan untuk mengajak orang memilih pasangan calon tertentu.
Pengaturan pembiayaan dana Kampanye bagi pasangan calon sebagaimana diatur dalam Pasal 65 ayat (2) UU Pilkada mengakibatkan belanja kampanye kian membengkak. Seharusnya KPU hanya menentukan batasan maksimal dana kampanye yang boleh digunakan pasangan calon terkait dengan alat peraga, dan iklan, bukan membiayai kampanye pasangan calon.
Berlakunya ketentuan Pasal 65 ayat (2) UU Pilkada sangat tidak efektif dan justru mengakibatkan pemborosan penggunaan anggaran. Sebab setiap pasangan calon tentu akan mengeluarkan dana untuk membuat, memasang dan menampilkan iklan kampanye di media massa, meskipun beberapa item kampanye didanai oleh negara.
Oleh karena itulah, Pemohon meminta kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 65 ayat (2) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Sekiranya Mahkamah berpendapat lain, Pemohon minta putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Nur Rosihin Ana

Dalam Rubrik “Catatan Perkara” Majalah Konstitusi No. 104 – Oktober 2015
readmore »»  

Jangan Tunda Pilkada

Pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak gelombang pertama akan digelar pada 9 Desember 2015 mendatang. Pilkada ini untuk memilih kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2015 hingga rentang Januari-Juli 2016.
Pilkada secara serentak merupakan hal baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Secara praksis pilkada serentak belum memiliki rujukan. Di sisi lain, pilkada serentak 2015 diharapkan menjadi barometer bagi penyelenggaraan pilkada serentak berikutnya, yakni pilkada serentak pada 2017, 2018, 2020, 2022, 2023. Barulah pada 2027, pilkada direncanakan dapat digelar serentak secara nasional.
Berkaca pada proses demokrasi di lapis bawah, betapa suksesi kepemimpinan di tingkat desa dari masa ke masa patut menjadi pembelajaran yang berharga. Pada saat Presiden/Wakil Presiden masih dipilih oleh MPR, anggota legislatif tidak dipilih langsung, dan kepala daerah masih dipilih oleh DPRD, masyarakat di desa sudah terbiasa menyalurkan suaranya secara langsung dalam pemilihan kepala desa (pilkades).
Pada saat pilkada belum digelar serentak, pilkades digelar serentak di tingkat kabupaten/kota. Kemudian saat pilkada menemui masalah karena hanya diikuti pasangan calon tunggal, pilkades justru sudah terbiasa dengan hal ini. Kontestasi pilkades melawan “bumbung” kosong atau kotak kosong, merupakan praktik demokrasi yang sudah berlangsung lama di tingkat desa.
Kisah Tahanta dalam kontestasi pilkades cukup unik dan menarik. Tahanta merupakan calon tunggal dalam Pilkades Dlingo, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali. Empat kali berturut-turut ia kalah dalam pilkades. Padahal lawan Tahanta adalah kotak kosong. Barulah pada putaran kelima, ia berhasil mengungguli lawannya yang tak lain adalah kotak kosong.
Tragedi demokrasi terjadi di saat calon tunggal memunculkan calon boneka. Misalnya yang terjadi di Blitar, Jawa Timur. Sebanyak 153 desa di Blitar ikut pilkades serentak yang digelar pada 27 Oktober 2013. Uniknya, sebanyak 23 desa pesertanya adalah pasangan suami istri (pasutri). Para suami itu merupakan calon tunggal. Mereka khawatir kalah melawan kotak kosong. Lalu mereka mendaftarkan istri mereka untuk ikut dalam kontestasi pilkades. Mereka menjadikan istri mereka sebagai calon boneka.
Tentu pilkada tidak sesederhana pilkades. Persyaratan menjadi calon kepada daerah, tidak semudah dan semurah pilkades. Pasangan calon kepala daerah diusulkan oleh partai politik (parpol), gabungan parpol, atau dari jalur perseorangan (independen). Parpol atau gabungan parpol dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.
Sedangkan syarat dukungan bagi calon perseorangan, MK pada Selasa (29/9/2015) lalu mengeluarkan Putusan Nomor 60/PUU-XIII/2015. MK memutuskan, dasar perhitungan persentase dukungan bagi calon kepala daerah dari jalur perseorangan adalah mengacu pada Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada Pemilu sebelumnya. Namun, karena tahapan pilkada serentak 2015 telah berjalan, maka putusan ini berlaku setelah pilkada serentak 2015.
Lalu bagaimana jika hanya ada pasangan calon tunggal dalam pilkada? Penundaan pilkada karena hanya diikuti satu pasangan calon, tentu merugikan hak konstitusional warga negara, yaitu hak untuk memilih dan dipilih. Adanya pasangan calon tunggal tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk menunda pelaksanaan pilkada. KPU harus menetapkan pasangan calon tunggal setelah jangka waktu tiga hari penundaan terlampaui, namun tetap hanya ada satu pasangan calon.
Putusan MK Nomor 100/PUU-XIII/2015 membuka sumbatan keran demokrasi pelaksanaan pilkada di sejumlah daerah yang semula ditunda karena hanya diikuti oleh satu pasangan calon. Solusi jitu ala MK dalam putusannya yaitu, pemilih cukup menyatakan “setuju” atau “tidak setuju”. Jadi, jika pilkada di daerah Anda hanya diikuti satu pasangan calon, Anda tinggal pilih “setuju” atau “tidak setuju”. Gitu aja kok repot.

Nur Rosihin Ana

Dalam Rubrik “Editorial” Majalah Konstitusi No. 104 – Oktober 2015
readmore »»  

Selasa, 22 September 2015

Pasang Surut Pilkada

Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) secara langsung oleh rakyat, pertama kali digelar di Indonesia pada Juni 2005. Sebelumnya, kepala daerah dan wakilnya, dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Adapun asas hukum pilkada langsung yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka mulai Juni 2005 kepala daerah dan wakil kepala daerah (gubernur, bupati, walikota) dipilih secara langsung oleh rakyat.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pilkada belum masuk dalam rezim pemilihan umum (pemilu). Baru setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada masuk dalam rezim pemilu, sehingga dinamakan pemilukada.
Penyelenggaraan Pilkada secara langsung menjelma menjadi isu krusial pada 2014. Hal ini mendorong Pemerintah untuk mengusulkan RUU Pilkada. DPR dalam sidang Paripurna 25 September 2014, memutuskan RUU Pilkada usulan Pemerintah ini menjadi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. UU Pilkada ini pada intinya mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah menjadi tidak langsung. Dengan kata lain, penentuan kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Beberapa alasan yang mendasari pemilihan tidak langsung antara lain, pilkada langsung menyebabkan maraknya politik uang, biaya politik yang tinggi menjadi penghalang munculnya calon berkualitas, memunculkan politik balas budi, dan penghematan anggaran cukup signifikan. Pilkada langsung dituding menjadi pemicu konflik horizontal di masyarakat. Selain itu, maraknya kasus kepala daerah yang terpilih dalam pilkada banyak yang menjadi tersangka. Bahkan penangkapan mantan Ketua MK M. Akil Mochtar oleh KPK, juga terkait sengketa pilkada di MK.
Layu sebelum berkembang. Begitulah nasib Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014. Di tengah polemik pro-kontra pilkada oleh DPRD, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan dua peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) terkait pilkada, pada Kamis 2 Oktober 2014. Yakni Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Perppu Pilkada). Perppu ini mencabut berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui DPRD. Salah satu pertimbangan lahirnya perppu ini adalah karena Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 mendapatkan penolakan yang luas oleh rakyat dan proses pengambilan keputusannya telah menimbulkan persoalan serta kegentingan yang memaksa sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009.
Kemudian Perppu Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Perppu ini intinya menghapus tugas dan wewenang DPRD untuk memilih kepala daerah.
Perppu Nomor 1 Tahun 2014 disahkan menjadi Undang-Undang dalam Rapat paripurna DPR RI yang digelar pada Selasa 20 Januari 2015. Pemerintah selanjutnya menetapkannya sebagai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang.
Namun, lagi-lagi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 ini pun tak luput dari revisi. Lalu lahirlah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).

Nur Rosihin Ana

Dalam Rubrik Laporan Utama Majalah “Konstitusi” No. 103 September 2015, hal. 21.
readmore »»  

Senin, 21 September 2015

Menyongsong PILKADA Serentak 2015

Pilkada serentak akan digelar pada 9 Desember 2015. Badan peradilan khusus yang menangani sengketa Pilkada belum terbentuk. Dituntut kesiapan dan kesigapan MK menangani perkara sengketa pilkada serentak.

Eksistensi demokrasi melalui pilkada langsung merupakan ikhtiar untuk meneguhkan daulat rakyat. Pilkada secara langsung membuka ruang partisipasi yang luas bagi warga negara untuk menentukan kepemimpinan di tingkat lokal. Hal ini tentu berbeda dengan sistem demokrasi perwakilan, di mana rekrutmen kepala daerah hanya ditentukan oleh segelintir elit di DPRD.
Pilkada harus dilaksanakan secara demokratis sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Kedaulatan rakyat, demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat wajib dihormati. Kedaulatan rakyat dan demokrasi dimaksud perlu ditegaskan dengan pelaksanaan pilkada secara langsung oleh rakyat.

MK di Pusaran Pilkada

Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pada awalnya merupakan ranah kewenangan Mahkamah Agung (MA). Dalam perkembangan selanjutnya, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu menyebutkan bahwa pilkada merupakan bagian dari pemilihan umum (Pemilu). Ketentuan tersebut diikuti dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 memasukkan pemilihan kepala daerah (pilkada) sebagai bagian dari rezim pemilihan umum (pemilu). Sehingga pasal 236C mengamanatkan penanganan sengketa hasil penghitungan suara pilkada dialihkan dari MA ke MK dalam waktu 18 bulan sejak Undang-Undang tersebut diundangkan. Sejak itu, permohonan perkara sengketa pilkada mengalir ke MK.
Namun pada 19 Mei 2014, MK melalui putusannya menegaskan penanganan penyelesaian sengketa pilkada bukan merupakan ranah kewenangan MK. Putusan bernomor 97/ PUU-XI/2013 itu menyatakan pemilihan umum menurut Pasal 22E UUD 1945 harus dimaknai secara limitatif, yaitu pemilihan umum yang diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD propinsi dan kabupaten, serta Presiden dan wakilnya yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Berdasarkan putusan tersebut, yang dimaksud pemilihan umum setiap lima tahun sekali pada Pasal 22E UUD 1945 adalah pemilihan calon anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi dan kabupaten, serta Presiden dan wakilnya secara bersamaan setiap lima tahun sekali atau pemilihan lima kotak suara. Dengan kata lain, pilkada bukan rezim pemilu.

Kewenangan MKKewenangan Mahkamah Konstitusi termaktub jelas dalam UUD 1945. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Lalu, bagaimana jika terjadi sengketa pilkada, lembaga mana yang berwenang memeriksa dan mengadilinya? Dalam putusan tersebut, MK sepenuhnya menyerahkan hal ini kepada pembentuk UU yaitu pemerintah dan DPR. Lalu lahirlah Perppu Nomor 1 Tahun 2014 yang mencabut berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui DPRD. Pada saat yang sama Pemerintah juga menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang intinya menghapus tugas dan wewenang DPRD untuk memilih kepala daerah.
Perppu Nomor 1 Tahun 2014 disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 ini pun kemudian direvisi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, MK secara resmi tidak lagi berwenang mengadili sengketa pilkada. Namun, seluruh putusan MK mengenai Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah sejak tahun 2008 tetap sah dan memiliki kekuatan hukum mengikat karena putusan MK tidak berlaku surut.
Sejatinya, sejak keluarnya Putusan MK Nomor 97/ PUU-XI/2013, perkara perselisihan hasil pilkada bukan lagi menjadi ranah kewenangan MK. Terlebih lagi sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 (UU Pilkada). Pasal 157 ayat (1) UU Pilkada menyebutkan perkara perselisihan hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus. Namun karena badan peradilan khusus tersebut belum terbentuk, maka perselisihan hasil pilkada diperiksa dan diadili MK, sebagaimana ketentuan Pasal 157 ayat (3) UU Pilkada.
Dengan demikian, pasca KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota mengumumkan penetapan hasil suara pilkada di daerah masing-masing, saat itu hingga batas waktu 3x24 jam, MK diperkirakan akan kebanjiran permohonan perkara sengketa pilkada. Adapun yang dimaksud dengan sengketa pilkada, yaitu meliputi sengketa antarpeserta, dan sengketa antara peserta pilkada dan penyelenggara pilkada.

Siaga Hadapi Sengketa Pilkada

Pilkada akan diselenggarakan secara serentak nasional pada 9 Desember 2015 mendatang. Semula sebanyak 269 daerah dijadwalkan akan menggelar pilkada serentak pada Desember 2015. Jika dirinci, 269 daerah tersebut terdiri dari 9 provinsi, 36 kota dan 224 kabupaten. Data terakhir KPU menyebutkan, pelaksanaan pilkada di tiga kabupaten ditunda karena hanya ada satu pasangan calon peserta pilkada. Tiga kabupaten dimaksud yaitu Blitar (Jawa Timur), Tasikmalaya (Jawa Barat). dan Kabupaten Timor Tengah Utara (NTT).
Dibutuhkan persiapan ekstra mengantisipasi membanjirnya permohonan perkara sengketa pilkada ke MK. Terlebih lagi, ketentuan UU Pilkada hanya memberikan batas waktu 45 hari bagi MK untuk memutuskan perkara sengketa hasil pilkada, sejak diterimanya permohonan.
Penyelesaian perkara sengketa pilkada serentak nasional mendatang, menjadi ajang pembuktian eksistensi MK sebagai lembaga peradilan yang transparan dan akuntabel. Setidaknya MK telah berhasil membuktikan diri sebagai lembaga peradilan yang modern dan terpercaya selama satu dasawarsa. Namun, tak berapa lama, prahara menimpa ketika MK baru saja memasuki usia satu dasawarsa. M. Akil Mochtar yang saat itu menjabat ketua MK, ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di rumah jabatannya, Rabu, 2 Oktober 2013 malam. Penangkapan tersebut atas dugaan suap perkara sengketa pilkada. Kasus Akil Mochtar benar-benar pukulan berat bagi institusi peradilan konstitusi yang selama ini dibangun dengan susah payah oleh para hakim konstitusi dan pegawai MK sejak berdiri pada 13 Agustus 2003.
Pascapenangkapan Akil, MK mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat. Kepercayaan masyarakat langsung turun pada titik terendah dalam sejarah MK. Di tengah arus krisis kepercayaan masyarakat, MK dihadapkan pada tugas menyelesaikan hasil Pemilu 2014, yakni Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (Pemilu Legislatif) pada 9 April 2014 serta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) pada 9 Juli 2014. Keberhasilan MK dalam menangani perselisihan hasil Pemilu Legislatif dan Pilpres di tahun 2014 menjadi ajang pembuktian kebangkitan muruah MK dari keterpurukan, sekaligus menempatkan MK sebagai lembaga peradilan yang layak untuk kembali mendapatkan kepercayaan dari masyarakat.
Penanganan sengketa pilkada serentak nasional 2015 juga menjadi tantangan bagi eksistensi MK. Proses peradilan yang cepat, bersih, transparan, imparsial dan memberikan putusan yang menjunjung tinggi prinsip keadilan, menjadi modal MK untuk membangun kepercayaan masyarakat.
Berbagai langkah telah dilakukan oleh MK menghadapi sengketa pilkada serentak 2015. Di antaranya, MK mengeluarkan beberapa Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) terkait penanganan perkara penyelesaian hasil pemilukada serentak. Yakni PMK Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota; PMK Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tahapan, Kegiatan, dan Jadwal Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota; serta PMK Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pedoman Penyusunan Permohonan Pemohon, Jawaban Termohon dan Keterangan Pihak Terkait.
Keseriusan MK menghadapi pilkada serentak juga ditunjukkan MK dengan membentuk gugus tugas yang terdiri dari gabungan pegawai Kepaniteraan dan Setjen MK. Para pegawai yang terlibat dalam hal ini akan mendapatkan pemahaman teknis melalui workshop yang digelar bulan ini.
MK juga akan memberikan bimbingan teknis (bimtek) kepada kuasa hukum para peserta pilkada serentak, KPU, Bawaslu dan lainnya. Hal ini bertujuan agar para pihak tersebut memahami hukum beracara di MK.
Langkah siaga menghadapi pilkada serentak juga dilakukan oleh KPU. KPU telah menyiapkan penyelenggaraan pilkada yang lebih profesional. Rekrutmen penyelenggara seperti PPK, PPS dan KPPS dilakukan dengan ketat.
KPU juga melakukan Pemutakhiran data pemilih (mutarlih). Publikasi daftar pemilih sementara (DPS) secara online dilakukan oleh KPU untuk memberikan kemudahan kepada publik mengecek statusnya apakah sudah terdaftar sebagai pemilih atau belum. Selain data pemilih distribusi logistik di sejumlah wilayah dengan akses transportasi, kondisi geografis dan topografi serta cuaca yang ekstrim merupakan hambatan yang harus dicarikan solusinya sehingga pemungutan suara dapat dilakukan secara serentak di semua daerah. 

Penyempurnaan Prosedur

Sesuai dengan ketentuan Pasal 157 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 (UU Pilkada), Mahkamah Konstitusi (MK) masih diberikan kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pilkada, sebelum dibentuk badan peradilan khusus. Meskipun sebelumnya MK sudah mempunyai pengalaman dalam penyelesaian perkara Pilkada, namun berbeda dengan Pilkada 2015, di mana dilaksanakan secara serentak. Bahkan, UU Pilkada memberikan batasan penyelesaian perkara Pilkada dengan tenggang waktu 45 hari. Hal ini yang kemudian memberikan tuntutan agar MK mempersiapkan berbagai kebutuhan terkait dengan kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara Pilkada.
Salah satu perubahan yang dilakukan yakni penggantian Peraturan MK (PMK) yang mengatur proses beracara dalam penyelesaian perkara pilkada. Sebelumnya, memang sudah terdapat aturan yang mengatur mengenai pedoman beracara dalam perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah, yakni dalam PMK Nomor 15 Tahun 2008. Namun, adanya perbedaan dasar hukum pembentukan PMK, tenggang waktu penyelesaian perkara perselisihan hasil pilkada dan model pelaksanaan pilkada secara serentak sebagaimana diatur dalam UU Pilkada, MK mengeluarkan peraturan baru untuk menggantikan PMK sebelumnya.
“Karena jika MK masih menggunakan PMK yang lama, maka akan banyak perbedaan dengan situasi dan kondisi terkini. Dalam UU No. 8/2015, disebutkan bahwa MK diberi waktu selama 45 hari untuk menyelesaikan perkara PHP serentak. Sementara dalam undang-undang yang lama, diberi waktu 14 hari kerja, namun pelaksanaan pemilihan tidak serentak seperti yang akan berlangsung Desember nanti,” kata Panitera MK Kasianur Sidauruk dalam perbincangan dengan KONSTITUSI pada, Senin (7/9).
Hingga kini, terdapat dua PMK yang telah ditetapkan MK. Pertama, PMK Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pilkada. Kedua, PMK Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tahap, Kegiatan, dan Jadwal Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pilkada.
Berdasarkan PMK No. 2/2015, maka terdapat delapan tahapan dalam penanganan perkara perselisihan hasil pilkada, yakni Pengajuan Permohonan Pemohon, Pemeriksaan Kelengkapan Permohonan, Perbaikan Kelengkapan Permohonan, Pencatatan Permohonan dalam BRPK, Penyampaian Salinan Permohonan kepada Termohon dan Pihak Terkait, Pemberitahuan Sidang kepada para Pihak, Pemeriksaan Perkara dan Pengucapan Putusan. Tahapan tersebut terdiri dari beberapa kegiatan dan waktunya telah dijadwalkan oleh Mahkamah. Detail mengenai Tahap, Kegiatan, dan Jadwal Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pilkada dapat dilihat dalam PMK No. 2/2015 melalui laman web MK, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/.
Kemudian, berdasarkan PMK No.1/2015, para pihak dalam perkara perselisihan hasil Pilkada yakni Pemohon, Termohon, dan Pihak Terkait. Pemohon dalam perkara perselisihan hasil pilkada adalah pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Sedangkan Termohon adalah KPU/KIP provinsi atau kabupaten/kota, dan Pihak Terkait adalah pasangan calon kepala daerah yang memperoleh suara terbanyak berdasarkan hasil rekapitulasi KPU/KIP provinsi atau kabupaten/kota. Kemudian, objek dari perkara perselisihan hasil pilkada adalah keputusan KPU/KIP provinsi atau kabupaten/kota tentang penetapan perolehan suara hasil pemilihan yang mempengaruhi terpilihnya calon dalam pilkada.
PMK No. 1/2015 juga menetapkan bahwa permohonan Pemohon diajukan paling lambat dalam tenggang waktu 3x24 jam sejak KPU/KIP Provinsi atau Kabupaten/Kota mengumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilihan. Permohonan diajukan secara tertulis sebanyak 12 rangkap. Sesuai dengan ketentuan UU Pilkada, PMK No. 1/2015 juga mengakomodasi batasan jumlah selisih suara untuk bisa diajukan permohonan ke MK.

Perbedaan perolehan suara untuk bisa diajukan permohonan ke MK
pada Pilkada Provinsi

Jumlah Penduduk Provinsi (Jiwa)
Perbedaan Suara Pemohon dengan Pasangan Calon Peraih Suara Terbanyak
≤2.000.000
paling banyak sebesar 2%
2000.000-6000.000
paling banyak sebesar 1,5%
6.000.000-12.000.000
paling banyak sebesar 1%
>12.000.000
paling banyak sebesar 0,5%


LAPORAN UTAMA
Perbedaan perolehan suara untuk bisa diajukan permohonan ke MK
pada Pilkada Kabupaten/Kota

Jumlah Penduduk Kab/Kota (Jiwa)
Perbedaan Suara Pemohon dengan Pasangan Calon Peraih Suara Terbanyak
≤250.000
paling banyak sebesar 2%
250.000-500.000
paling banyak sebesar 1,5%
500.000-1.000.000
paling banyak sebesar 1%
>1.000.000
paling banyak sebesar 0,5%


Jika telah memenuhi kualifikasi batas maksimal perbedaan perolehan suara maka Pemohon dapat mengajukan permohonan yang paling kurang memuat identitas lengkap, uraian mengenai kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum, tenggang waktu pengajuan permohonan, pokok permohonan, dan petitum permohonan. Selain itu, Pemohon juga melengkapi permohonan dengan paling kurang dua alat bukti. Kemudian, Kepaniteraan MK akan memproses permohonan tersebut sesuai dengan ketentuan dalam PMK No. 1/2015.
Terhadap permohonan yang diajukan, Termohon kemudian menyampaikan jawaban yang diajukan paling lambat satu hari setelah sidang pemeriksaan pendahuluan permohonan dilaksanakan. Jawaban Termohon tersebut disampaikan secara tertulis sebanyak 12 rangkap, yang di dalamnya memuat nama dan alamat Termohon, uraian bahwa Keputusan Termohon yang diumumkan telah benar serta permintaan kepada Mahkamah untuk menguatkan Keputusan Termohon. Jawaban Termohon yang disampaikan juga dilengkapi dengan alat bukti.
Terhadap Keterangan Pihak Terkait, Mahkamah menerima pengajuan keterangan tersebut dalam jangka waktu paling lambat 2 hari setelah Sidang Pemeriksaan Pendahuluan dilaksanakan. Keterangan Pihak Terkait ini juga disampaikan secara tertulis sebanyak 12 rangkap, yang memuat nama dan alamat Pihak Terkait, uraian bahwa Pihak Terkait adalah peserta Pemilihan yang memperoleh suara terbanyak berdasarkan Keputusan Termohon dan permintaan kepada Mahkamah untuk menguatkan Keputusan Termohon. Keterangan Pihak Terkait yang disampaikan juga dilengkapi dengan alat bukti.
Pemeriksaan perkara perselisihan hasil Pemilihan dilaksanakan melalui Pemeriksaan Pendahuluan dan Pemeriksaan Persidangan. Pemeriksaan Pendahuluan dilaksanakan untuk mendengarkan penjelasan Pemohon mengenai pokok permohonan. Sedangkan Pemeriksaan Persidangan dilaksanakan untuk memeriksa permohonan Pemohon beserta alat bukti.
“Perbaikan permohonan, kalau dulu PHPU Legislatif itu diberikan waktu 1x24 jam, sekarang itu pada saat itu juga, jadi setelah sidang pemeriksaan pendahuluan, langsung di situ juga,” jelas Kasianur.
Setelah melalui Pemeriksaan Pendahuluan dan Pemeriksaan Persidangan, Mahkamah melakukan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk mengambil putusan. Pengambilan putusan tersebut dilakukan secara musyawarah mufakat setelah mendengarkan pendapat hukum para Hakim. Namun, ketika tidak tercapai kata mufakat bulat, maka pengambilan putusan Mahkamah dilakukan berdasarkan suara terbanyak. Dalam hal putusan diambil berdasarkan suara terbanyak, pendapat hakim yang berbeda (dissenting opinion) dimuat dalam putusan. Apabila pengambilan putusan berdasarkan suara terbanyak tidak dapat dilakukan, maka suara Ketua RPH menentukan.
Pada akhirnya, Mahkamah memberikan putusan yang amarnya adalah, permohonan tidak dapat diterima, permohonan ditolak, dan permohonan dikabulkan. Sidang Pleno dengan agenda pengucapan putusan ini dilaksanakan dalam tenggang waktu paling lama 45 hari sejak permohonan dicatat dalam Buku dan putusan tersebut bersifat final dan mengikat sejak selesai diucapkan.

Model Dukungan

Di samping mempersiapkan substansi aturan, Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK juga melakukan berbagai kegiatan guna mendukung terlaksananya penanganan perkara perselisihan hasil pilkada secara cepat (speedy trial). Penyelesaian keberatan secara efektif dengan putusan yang adil merupakan satu kesatuan utuh menjamin integritas proses dan hasil pemilihan. Hal ini menjadi penting karena undang-undang sudah memberikan limitasi waktu 45 hari kepada MK untuk menyelesaikan perkara perselisihan hasil Pilkada.
Dalam rangka penyelesaian perkara perselisihan hasil pilkada yang sinitasi waktunya relatif terbatas, yakni 45 hari, Sekretaris Jenderal MK Guntur Hamzah menjelaskan pihaknya telah merancang sumber daya manusia yang bekerja secara maksimal mendukung para hakim konstitusi. Supaya tugas konstitusional mahkamah konstitusi nantinya dapat diselesaikan dengan batas waktu yang ditentukan undang-undang,” papar Guntur Hamzah saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat (4/9).
Kepaniteraan dan Kesekretariatan MK mempunyai dua metode dalam memberikan dukungan kewenangan penanganan perkara perselisihan hasil Pilkada. Pertama, secara internal yakni meningkatkan kualitas sumber daya pegawai MK. Kedua, secara eksternal, yakni memberikan pemahaman bersama kepada pihak-pihak terkait.
Salah satu bentuk kegiatan yang dilakukan guna meningkatkan kualitas pegawai MK yakni dengan menyelenggarakan workshop. Kegiatan ini dilakukan agar para pegawai MK mempunyai pemahaman yang sama terhadap instrumen yang sudah menjadi pedoman dalam penyelesaian perkara perselisihan hasil Pilkada. “Kita menyelenggarakan workshop supaya memberi pemahaman yang sama terhadap instrumen yang sudah menjadi acuan atau pedoman dalam penyelesaian perkara perselisihan hasil Pilkada di internal Mahkamah Konstitusi,” tutur Guntur.
Sementara bagi pihak eksternal MK akan menyelenggarakan Bimbingan Teknis (Bimtek) guna memberikan pemahaman bersama kepada pasangan calon kepala daerah atau kuasa hukumnya. Kegiatan ini dilandasi akan adanya perubahan aturan terkait pedoman beracara penyelesaian perkara perselisihan hasil Pilkada. Melalui kegiatan Bimtek, para pihak diharapkan mengetahui bagaimana proses beracara perkara perselisihan hasil Pilkada di MK. “Sehingga ini perlu disosialisasikan kepada para pihak sehingga mereka tahu. Kalau mereka ikut Bimtek ini, dia sudah dapat bayangan,” kata Guntur.
Kemudian, MK juga akan membentuk gugus tugas manajemen perkara dan gugus tugas manajemen persidangan. Gugus tugas merupakan tim gabungan dari Kepaniteraan dengan Sekretaris Jenderal MK. Gugus tugas ini akan dibentuk setelah diadakan proses seleksi keanggotaan gugus tugas. “Karena Pengumuman secara langsung itu dilakukan oleh semua (KPU daerah-red), kita tidak bisa di Kepaniteraan melakukan itu (Penanganan perkara-red), jadi kita harus dibantu dengan kesekretariatan, makanya kita membentuk gugus tugas yang baru,” jelas Kasianur.
Menanggapi potensi persoalan yang disebabkan adanya perbedaan zona waktu di Indonesia, yakni Waktu Indonesia Timur, Waktu Indonesia Tengah dan Waktu Indonesia Barat, Kasianur menyatakan bahwa penerimaan permohonan akan direncanakan akan dipisah menjadi tiga. Sehingga, lanjut Kasianur, akan ada perbedaan meja penerimaan permohonan dari tiap zona waktu. “Jadi supaya nanti jangan seperti yang dulu, seperti PHPU Legislatif,” tegas Kasianur.
Terkait dengan adanya potensi terjadinya kontak antara pegawai dengan pihak yang berperkara, Kasianur mengungkap akan memperketat pengawasan untuk menghindari hal-hal yang melanggar akibat adanya kontak antara pegawai MK dengan pihak-pihak yang berperkara. Kontak antara pegawai dan para pihak yang berperkara tidak dapat dihindari, karena Pegawai MK yang bertugas pasti berkomunikasi dengan para pihak. “Itulah yang menjadi kendala waktu kita di PHPU Legislatif dulu, dibilang tidak bisa, tidak bisa, akhirnya banyak yang terlewatkan. Hanya saya sependapat, ada unsur pengawasan yang perlu diperketat,” tandas Kasianur.
Terkait masalah jarak, di mana Pilkada dilaksanakan di daerah-daerah, maka sudah disiapkan fasilitas persidangan jarak jauh melalui video conference, juga terdapat pada 42 perguruan tinggi yang tersebar di 34 provinsi seluruh Indonesia. “Pilkada ini kan basisnya di daerah-daerah, karena di daerah-daerah maka tentu pihak-pihak yang terkait di daerah ini pada umumnya kan ada di daerah, sehingga dengan adanya fasilitas video conference ini, kami di satu sisi ingin memberi kesempatan kepada para pihak untuk mengoptimalkan fasilitas video conference kata Guntur. Menurut Guntur video conference dapat menjadi salah satu solusi bagi para pihak untuk mengakses jalannya persidangan, sekaligus juga bisa memberi akses kepada para pihak untuk menyelesaikan perkaranya di Mahkamah Konstitusi tanpa perlu hadir di Mahkamah Konstitusi.
Guntur berharap penanganan perselisihan hasil Pilkada 2015 ini bisa berjalan lancar, tepat waktu dan mempunyai kualitas yang dapat dipertanggung jawabkan. Selain itu, Guntur juga berharap agar para pihak mampu memahami prosedur beracara di MK. Kita sudah publish rambu-rambu atau mekanisme atau instrumen yang terkait dengan penyelesaian perkara perselisihan hasil Pilkada ini, bahkan nanti pada saat permohonan Pemohon sudah masuk, kami upload permohonan Pemohon itu, supaya semua pihak dapat membaca bahwa ada permohonan yang masuk di Mahkamah Konstitusi, ini semua dalam rangka kami memberi kemudahan,” tandas Guntur.

Kesiapan KPU

Sementara itu dari sisi penyelenggara Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mempersiapkan sejumlah aspek menyongsong pesta demokrasi serentak tersebut, di antaranya regulasi, anggaran, badan penyelenggara, dan infrastruktur pendukung.
Saat ditemui KONSTITUSI di gedung KPU, Kamis (10/9) Komisioner KPU Bidang Data dan Informasi, Humas, dan Hubungan antar Lembaga Ferry Kurnia Rizkiyansyah menjelaskan KPU telah membuat sejumlah peraturan dan surat edaran sebagai instrumen administratif untuk melaksanakan tahapan, jadwal dan program pilkada. Selain itu, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota juga mengomunikasikan kebutuhan anggaran dengan pemerintah daerah sesuai dengan mandat Undang Undang Nomor 8 Tahun 2015 bahwa pembiayaan pilkada bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Dalam hal penyiapan penyelenggara pilkada yang lebih profesional, Ferry menuturkan bahwa KPU telah menetapkan syarat yang lebih ketat dalam rekrutmen penyelenggara ad hoc seperti Panita Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
Selain itu, urai Ferry, KPU juga berusaha menutup celah kecurangan dengan memperbaiki manajemen pilkada. Aspek keterbukaan dan akuntabilitas yang telah dipraktikkan sejak pemilu legislatif dan pilpres 2014 tetap dipertahankan. "KPU berusaha terbuka dalam mengelola setiap tahapan, sejak proses pencalonan, pemutakhiran data pemilih, pemungutan dan penghitungan suara, hingga rekapitulasi suara akan dapat diakses dengan mudah oleh publik", jelas Ferry. Untuk itu, imbuh Ferry KPU telah menggunakan sistem informasi untuk memfasilitasi keterbukaan dan akuntabilitas sejumlah tahapan pilkada yang strategis tersebut.
Oleh karena itu, kendati harus menyelenggarakan 266 Pilkada, KPU optimistis penyelenggaraan pilkada serentak akan berjalan lancar. Terlebih, KPU sudah punya pengalaman mengelola pilkada serentak di tingkat lokal. “Memang pilkada serentak di tingkat nasional baru pertama, tapi sejak tahun 2010 kita sudah punya pengalaman mengelola pilkada serentak di tingkat lokal. Pemilihan gubernur dan wakil gubernur serta pemilihan bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota di suatu provinsi digelar secara serentak,” pungkas Ferry.

Nur Rosihin Ana, Lulu Anjarsari P, Lulu Hanifah, Triya Indra R.
Dalam Rubrik Laporan Utama Majalah “Konstitusi” No. 103 September 2015, hal. 8-16.
readmore »»  
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More