Kamis, 21 Agustus 2014

Gubernur Capres Harus Mundur?

Pejabat negara yang menjadi calon presiden/wakil presiden harus mundur dari jabatannya. Apakah gubernur/wakil gubernur, bupati/walikota, serta wakil bupati/wakil walikota, termasuk ke dalam definisi pejabat negara?

Perrtanyaan seputar siapa yang dimaksud “pejabat negara” mengemuka dalam persidangan perkara Nomor 52/PUU-XII/2014 ihwal permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres). Tiada rumusan yang jelas mengenai siapa yang dimaksud “pejabat negara” dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU Pilpres beserta penjelasannya.
Rumusan mengenai “pejabat negara” Pasal 6 ayat (1) UU Pilpres beserta penjelasannya menimbulkan diskriminasi dan ketidakpastian yang bertentangan dengan UUD 1945. Bahkan Pasal 6 ayat (1) UU Pilpres beserta penjelasannya pun bertentangan dengan UU lainnya, yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Pasal 122 huruf l dan m UU ASN menyebutkan gubernur dan wakil gubernur, bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota, adalah pejabat negara. Selengkapnya Pasal 122 huruf l dan m UU ASN menyatakan, “Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 yaitu:... l. Gubernur dan wakil gubernur; m. Bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota;...”
Pasal 6 ayat (1) UU Pilpres menyatakan, “Pejabat negara yang dicalonkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya.”Penjelasan Pasal 6 ayat (1) UU Pilpres menyatakan, “Yang dimaksud dengan “pejabat negara” dalam ketentuan ini adalah Menteri, Ketua Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah Konstitusi, Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan, Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.”Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilpres menyatakan, “(1) Gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota yang akan dicalonkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus meminta izin kepada Presiden. (2) Surat permintaan izin gubernur, wakil gubernur, bupati, wakilbupati, walikota, dan wakil walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada KPU oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagai dokumen persyaratan calon Presiden atau calon Wakil Presiden.
Permohonan uji materi UU Pilpres ini diajukan oleh dua orang warga yakni, Yonas Risakotta dan Baiq Oktavianty. Adapun materi yang diujikan para Pemohon yaitu Pasal 6 ayat (1), Penjelasan Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilpres. Menurut Pemohon, ketentuan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Idealnya, kepala daerah yang mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden haruslah mengundurkan diri seperti pejabat negara lainnya.
Yonas Risakotta adalah pendukung berat Joko Widodo (Jokowi) dalam Pemilukada DKI Jakarta tahun 2012. Belum genap dua tahun usia Jokowi menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, Jokowi kembali tampil sebagai Capres dalam Pilpres tahun 2014. Yonas tetap setia mendukung Jokowi. Namun, kali ini dia berharap Jokowi menjadi seorang negarawan. Sebagai negarawan, Jokowi yang maju sebagai Capres harus siap mundur dari jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Sementara Baiq Oktavianty adalah penduduk DKI Jakarta yang memiliki hak konstitusional untuk menduduki jabatan-jabatan publik seperti menjadi menteri, ketua MA, ketua MK, pimpinan BPK, pimpinan KPK.

Calon Presiden Negarawan
Presiden sebagai pejabat kekuasaan eksekutif merupakan cabang kekuasaan yang memegang kewenangan pemerintahan negara yang tertinggi (the most powerful authority). Sistem pemerintahan dalam UUD 1945 menganut sistem presidensil yang terpusat pada jabatan presiden sebagai kepala pemerintah sekaligus sebagai kepala negara. Hal ini berbeda dengan jabatan legislatif dan yudikatif.
Jabatan presiden merupakan jabatan tunggal yang hanya diisi oleh satu orang pemangku jabatan. Maka tidak mengherankan jika hal ini menjadikan presiden sebagai figur nasional yang amat berpengaruh. “Tidak mengherankan jika seorang presiden akan menikmati legitimasi pemilu yang sangat kokoh, menjadikannya nasional figur yang amat berpengaruh,” kata A.H. Wakil Kamal, selaku kuasa hukum para Pemohon dalam sidang pendahuluan yang digelar di MK, Senin (16/6/2014).
UUD 1945 telah memberikan kekuasaan yang luar biasa kepada presiden. Hal ini bisa dilihat dari Pasal 4 ayat (1) dan selanjutnya. Bahkan kewenangan presiden dalam UUD 1945 tidak hanya bersifat eksekutif, melainkan juga terdapat kewenangan noneksekutif yang meliputi kewenangan bersifat legislatif dan bersifat yudisial, dan kewenangan pemerintahan dalam keadaan darurat.
Berdasarkan segala bentuk privilege dan kekuasaan presiden (presidential powers) sebagaimana dalam UUD 1945, maka untuk dapat mencalonkan diri sebagai presiden/wakil presiden tidak dengan peruntungan atau coba-coba. Seseorang yang hendak maju sebagai Capres harus penuh kesungguhan dan memiliki sikap negarawan. “Harus dengan kesungguhan dan sikap negarawan,” lanjut Wakil Kamal.

Harus Mundur
Khidmah untuk menjadi seorang calon presiden merupakan puncak pengabdian tertinggi dari seorang warga negara kepada negara dan bangsanya. Oleh karenanya, pejabat publik harus mundur dari jabatannya ketika menjadi Capres/Cawapres. Hal ini untuk menghindari spekulasi dan “perjudian” dalam memperoleh jabatan. “Kalau seorang pemegang jabatan politik tidak mundur ketika mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden, itu sama saja dengan memperjudikan jabatannya yang penuh spekulatif, serta tidak mau ambil risiko. Kalau menang dalam pemilu presiden, baru kemudian mundur. Tapi kalau tidak menang, maka jabatan yang diembannya dilanjutkan kembali,” dalil Wakil Kamal.
Hal tersebut jelas telah menciderai kehormatan, wibawa, dan martabat jabatan presiden dan lembaga kepresidenan itu sendiri yang menghendaki sosok negarawan sejati. Seorang negarawan harus terbebas dari nafsu merebut dan mempertahankan kekuasaan semata. Jabatan presiden merupakan panggilan negara dan bangsa yang memerlukan totalitas pengabdian dan pengorbanan, serta mengenyampingkan kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan.
Apabila menteri, ketua, atau pimpinan lembaga negara yang menjadi Capres/Cawapres diharuskan mundur, sedangkan pejabat negara seperti gubernur, bupati, walikota, tidak diharuskan mundur, maka telah terjadi diskriminasi pejabat publik atau dalam bahasa lain adalah terjadi ketidaksamaan di hadapan hukum dan pemerintahan. Jika seorang gubernur atau bupati yang hendak mengikuti kontestan pemilu sebagai anggota DPR, DPD, atau DPRD saja wajib mundur, maka ia pun harus mundur ketika mencalonkan diri menjadi Capres/Cawapres.
Oleh karena itulah, Pemohon dalam petitum permohonan meminta Mahkamah menyatakan Pasal 6 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) UU Pilpres bertentangan secara bersyarat terhadap UUD 1945 dan tidak tidak berkuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai: Pejabat negara “termasuk gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati atau walikota atau wakil walikota.” Kemudian menyatakan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilpres bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Memperkuat dalil-dalil permohonan, Pemohon mengajukan bukti P-1 sampai P-5. Pemohon juga menghadirkan dua ahli yaitu, Irmanputra Sidin dan Ubedilah Badrun yang memberikan keterangan dalam persidangan di MK, Rabu (2/7/2014).

Gubernur adalah Pejabat Negara
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mualimin Abdi menyatakan, UU Pilpres mewajibkan kepada menteri, Ketua MA, Ketua MK, Pimpinan BPK, Panglima TNI, Kepala Polri, dan Pimpinan KPK yang akan dicalonkan menjadi presiden atau wakil presiden harus mengundurkan diri pada saat mendaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pengunduran diri para pejabat negara tersebut dimaksudkan untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan terwujudnya etika politik ketatanegaraan pemerintahan. Namun di sisi lain, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota hanya perlu meminta izin kepada presiden pada saat dicalonkan menjadi presiden atau wakil presiden.
Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia terpilih adalah pemimpin bangsa, bukan hanya pemimpin golongan atau kelompok tertentu. Untuk itu, dalam membangun etika pemerintahan, terdapat semangat bahwa presiden atau wakil presiden terpilih tidak merangkap jabatan.
Definisi suatu kata atau istilah dalam suatu peraturan perundang-undangan, harus sama dengan rumusan definisi dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di kemudian hari, sesuai dengan dinamika hukum yang ada dan sesuai dengan kebutuhan yang terkait dengan materi yang akan diatur. Hal ini sebagaimana diatur di dalam Lampiran 104 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Dalam Pasal 1 angka (1) Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, dinyatakan bahwa, “Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Kemudian, dalam Pasal 2 disebutkan, penyelenggara negara meliputi, pejabat negara pada lembaga tertinggi negara, pejabat negara pada lembaga tinggi negara, mentari, gubernur, hakim, pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketiga, dalam Pasal 122 huruf l sebagaimana disebutkan di muka.
Oleh karena itu, menurut Pemerintah, rumusan definisi pejabat negara adalah meliputi seluruh unsur penyelenggara negara, termasuk di dalamnya adalah kepala daerah. “Pemerintah menyimpulkan bahwa rumusan definisi pejabat negara adalah meliputi seluruh unsur penyelenggara negara, termasuk di dalamnya adalah kepala daerah, yaitu gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota,” kata Mualimin Abdi.
Mualimin yang juga menjabat Plt. Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan lebih lanjut menegaskan, pejabat negara dalam klausul sebagai calon presiden dan wakil presiden, hendaknya dimaknai sama bagi seluruh penyelenggara pemerintahan, sebagaimana diatur di dalam Ketentuan Pasal 122 huruf l UU ASN. “Karena Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara diberlakukan kemudian,” tegasnya.
Iklim dalam negara demokrasi menghendaki adanya hak untuk memilih dan dipilih. Salah satunya adalah hak untuk dapat memilih presiden dan dipilih sebagai presiden. Namun, dalam penyelenggaraan etika tata pemerintahan kehidupan berbangsa dan bernegara, hendaknya setiap pejabat negara yang masih aktif dalam jabatannya, mempunyai iktikad baik untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai dengan amanah yang telah dipercayakan kepadanya hingga masa jabatannya berakhir. “Pejabat negara, berhak untuk mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden sepanjang memenuhi persyaratan yang telah ditentukan, antara lain mundur dari jabatannya,” terang Mualimin.

Idealnya, pejabat negara yang masih aktif tidak tergoda untuk menjadi Capres/Cawapres hingga masa jabatannya berakhir. Hal ini terutama untuk menjaga wibawa pejabat negara di mata masyarakat dan menjaga stabilitas ketatanegaraan di segala aspek kehidupan. “Sebaiknya pejabat negara yang masih aktif tidak mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden hingga jabatannya berakhir,” saran Mualimin. 

Pemerintah
Kepala Daerah adalah Pejabat Negara
Rumusan definisi “pejabat negara” meliputi seluruh unsur penyelenggara negara, termasuk di dalamnya adalah kepala daerah. “Pemerintah menyimpulkan bahwa rumusan definisi pejabat negara adalah meliputi seluruh unsur penyelenggara negara, termasuk di dalamnya adalah kepala daerah, yaitu gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota,” kata Plt. Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan, Mualimin Abdi saat menyampaikan keterangan Pemerintah dalam persidangan di MK, Rabu (2/7/2014).Pejabat negara dalam klausul sebagai Capres/Cawapres, hendaknya dimaknai sama bagi seluruh penyelenggara pemerintahan, sebagaimana diatur di dalam Ketentuan Pasal 122 huruf l UU ASN. “Karena Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara diberlakukan kemudian,” tegasnya.Setiap pejabat negara yang masih aktif, hendaknya mempunyai iktikad baik untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sesuai dengan amanah yang telah dipercayakan hingga masa jabatannya berakhir. “Pejabat negara, berhak untuk mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden sepanjang memenuhi persyaratan yang telah ditentukan, antara lain mundur dari jabatannya,” terang Mualimin. 

DPR
Tidak Etis, Tidak Adil
Persamaan kedudukan bagi setiap warga negara mutlak dijelaskan di dalam UUD 1945. Seharusnya terhadap setiap pejabat negara, ketegasan itu harus betul-betul dijalankan. Sebab penyelengara negara, pejabat negara memiliki peranan yang besar di dalam jabatannya untuk juga bisa memberikan ketidakadilan pada saat dia menjadi seorang calon presiden,” kata Anggota Komisi III DPR RI, Martin Hutabarat, saat menyampaikan keterangan DPR dalam persidangan di MK, Rabu (2/7/2014).Cotohnya, saat seorang calon presiden mengadakan acara jalan kaki di Jakarta. Saat itu, ada podium bagi sang Capres untuk melakukan kampanye politik. “Tidak ada satu pun pejabat di bawahnya, di pemerintahan gubernur tersebut, yang berani menegurnya, karena masih melekat jabatan sebagai pejabat negara yang belum berhenti pada saat yang bersangkutan menjadi seorang calon presiden,” kata Martin menyontohkan.Hal tersebut jelas menimbulkan ketidakadilan bagi para Capres lainnya. Padahal seharusnya UUD 1945 menjamin kesetaraan, keadilan, kesamaan hak bagi setiap warga negara, termasuk juga pada setiap pejabat negara untuk memberikan satu kedudukan yang sama dalam menjalankan peran sebagai Capres. “Tidak etis dan tidak menunjukkan keadilan, itulah yang menjadikan bahwa kami menyatakan sikap menginginkan agar putusan Majelis dapat memberikan keadilan yang sesuai dengan norma yang sesuai dengan UUD 1945,” saran DPR. 

Irmanputra Sidin
Gubernur adalah Pejabat Negara
Munculnya norma baru dalam penjelasan UU menjadi masalah laten pembentukan peraturan perundang-undangan kita sejak dahulu. Biasanya norma baru dalam penjelasan adalah produk kompromistis para pembentuk UU yang sesunggguhnya adalah materi yang tidak disetujui menjadi batang tubuh, sehingga menyusup menjadi bagian dari penjelasan.Sejak MK hadir dalam sejarah konstitusi kita, norma baru dalam bentuk penjelasan sebuah UU adalah inkonstitusional karena akan bertentangan dengan konstitusi Pasal 1 dan Pasal 28D UUD 1945. Putusan Mahkamah Nomor 011/PUU-III/2005 yang kemudian ditegaskan lagi dalam Putusan 79/PUU-IX/2011 menegaskan bahwa penjelasan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma.
Penjelasan Pasal 6 ayat (1) UU Pilpres yang tidak menggolongkan jabatan kepala daerah sebagai pejabat negara, adalah norma baru yang bersifat limitatif. “Norma baru seperti ini cenderung akan menimbulkan kekacauan impelementasi atau akan menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga penjelasan ini sesungguhnya bertentangan dengan konstitusi,” kata Irmanputra Sidin saat bertindak sebagai ahli Pemohon dalam persidangan di MK, Rabu (2/7/2014).Putusan Mahkamah Nomor 75/PUU-X/2012 pun mengakui kepala daerah adalah pejabat negara. Kemudian dalam Putusan Nomor 15/PUU-XI/2013 Mahkamah menegaskan lagi bahwa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah merupakan jabatan eksekutif pemerintahan dengan kewenangan tunggal. “Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 disebutkan bahwa penyelenggara negara c.q. pejabat negara, salah satunya adalah gubernur,” tegasnya. 

Ubedillah Badrun
Identitas Pejabat Negara Melekat pada Gubernur
Dalam perspektif politik kelembagaan (institutionalist approach), gubernur adalah orang yang menduduki posisi sebagai pejabat negara dalam lembaga negara atau eksekutif di tingkat daerah yang menjalankan pemerintah di daerah berdasarkan UU dan sistem politik demokrasi di Indonesia saat ini. Perpesktif ini menunjukkan posisi gubernur sebagai pejabat negara di tingkat daerah. Bukti struktural lainnya adalah dalam perspektif politik anggaran yang tidak hanya terikat oleh APBD, tapi juga terikat oleh UU APBN. “Ini menunjukkan kelekatan padanya identitas pejabat negara,” kata Ubedillah Badrun saat bertindak sebagai ahli Pemohon dalam persidangan di MK, Rabu (2/7/2014).
Dalam perspektif normative analysis, gubernur memiliki kewajiban normatif ketaatan kepada UU yang berlaku. Hal ini juga nampak ada korelasinya dengan perspektif etika politik yang menghendaki agar elit politik tidak memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi. Oleh karena itu, secara etika politik, kepala daerah yang mencalonkan diri sebagai presiden, seharusnya mengundurkan diri dari jabatannya. “Ketika seorang gubernur mundur dari jabatannya dalam proses pencalonan pemilihan presiden, secara etik politik, sesungguhnya ia menunjukkan sebagai seorang negarawan untuk memenuhi panggilan kepentingan negara yang lebih besar. Dengan demikian, lepas dari persepsi sebagai seorang yang memiliki hasrat dan ambisi kekuasaan,” tegasnya.

Nur Rosihin Ana
Majalah Konstitusi Edisi No. 90 - Agustus 2014 hal. 14-19 klik di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More