Harmoni...

Jakarta, September 2010

Harmoni...

Jakarta, Desember 2010

Belahan jiwa

......

...Belahan jiwa...

......

ceria...

Jakarta, 8 Januari 2012

Nora Uzhma Naghata

Bogor, 24 Februari 2011

Nora Uzhma Naghata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Taman Safari Puncak

Bogor, 24 Februari 2011

Bandara Ahmad Yani

Semarang, 28 September 2011

Rileks

*********

Nur Rosihin Ana

Semarang, 19 Oktober 2010

Nur Rosihin Ana

mahkamah dusturiyyah, 18 Juli 2012

Nur Rosihin Ana

Hotel Yasmin, Puncak, Desember 2010

Nora Uzhma Naghata

Naghata

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Demak, 11 September 2011

Nur Rosihin Ana

Nagreg, Bandung 11 Juli 2011

Nora Uzhma Naghata, Sri Utami, Najuba Uzuma Akasyata, Nur Rosihin Ana

Sapa senja di Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Sapa Senja Jepara

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

...bebas, lepas...

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Rabu, 20 Mei 2015

Perlindungan HAM dalam Pranata Praperadilan

Masuknya konsepsi habeas corpus dalam sistem hukum acara pidana Indonesia merupakan upaya penjaminan hak dan kebebasan seseorang. Habeas corpus merupakan model pengawasan terhadap proses penegakan hukum. Namun sebagaimana diketahui, konsepsi habeas corpus yang kemudian diwujudkan dalam pranata praperadilan tidak memiliki kewenangan yang luas. Hal ini dikarenakan pranata praperadilan belum mampu menjangkau upaya paksa yang dilakukan penyidik sejak awal dimulainya penyidikan. Akibatnya, lembaga praperadilan menjadi tidak efektif untuk mengawasi aparat penegak hukum dalam melaksanakan kewenangan upaya paksa.
Konsepsi habeas corpus muncul pertama kali ketika Inggris mencetuskan Magna Charta pada 1215 sebagai kritik atas tindakan sewenang-wenang raja. Konsep ini mempunyai pengertian bahwa tidak seorang pun warga negara dapat ditahan atau dirampas harta kekayaannya, diasingkan atau dengan cara apapun direnggut hak-haknya kecuali dengan pertimbangan hukum.Konsep ini pada akhirnya diformalkan oleh parlemen Inggris pada abad ke 17, di mana penangkapan dan penahanan yang dilakukan harus dilengkapi dengan surat perintah dari pengadilan. Kemudian pada abad 18, amandemen pertama Konstitusi Amerika Serikat memasukkan konsep ini dengan menyatakan bahwa pengadilan harus tegas mengawasi semua kasus yang memiliki dampak nyata dan cukup besar atau gangguan yang signifikan dengan pelaksanaan hak-hak fundamental seseorang.
Seperti halnya di Indonesia, konsepsi habeas corpus yang kemudian dikenal dengan pranata praperadilan bertujuan untuk memberikan pengawasan terhadap proses penegakan hukum untuk menjamin hak asasi seseorang. Belakangan ini, wacana tentang praperadilan muncul ke permukaan. Melalui putusannya, MK memasukkan penetapan status tersangka menjadi salah satu objek untuk diuji di praperadilan. Bukan hanya itu, bahkan sah atau tidaknya penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat juga masuk dalam objek praperadilan. Perluasan objek praperadilan ini menandai pembaharuan arah hukum acara pidana Indonesia.
Sebelumnya, objek praperadilan hanya mencakup sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Seseorang bisa saja ditetapkan sebagai tersangka oleh aparat penegak hukum dengan dalil adanya bukti yang cukup. Penyidik dengan kewenangannnya bisa saja memeriksa, menggeledah dan menyita hak seseorang. Namun sekarang, penyidik memerlukan dua alat bukti yang sah ditambah dengan pemeriksaan calon tersangka untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka. Apabila dalam proses pengeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat maupun penetapan tersangka dianggap terdapat kejanggalan, maka dapat diujikan keabsahannya. Dengan demikian secara esensi pranata praperadilan merupakan bentuk pengawasan terhadap proses penegakan hukum.
Perluasan objek praperadilan merupakan bentuk penjagaan keseimbangan antara hak seseorang dengan kewenangan yang dimiliki aparat penegak hukum. Hal ini diharapkan dapat menghindari adanya tafsir subjektif dan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) aparat penegak hukum. Inilah wujud konkret perlindungan hak asasi yang dimiliki oleh seseorang terhadap kekuasaan negara.
Selain itu, jika sebelumnya kewenangan praperadilan timbul setelah upaya paksa dilakukan yakni ketika seseorang sudah ditangkap atau ditahan (post factum). Kini, pranata praperadilan sudah mampu menjangkau upaya paksa yang dilakukan penyidik sejak awal dimulainya penyidikan. Upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik dapat diuji keabsahannya sejak dilakukan penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat dan penetapan tersangka. Mekanisme ini akan efektif memberikan perlindungan bagi warga negara dari kemungkinan pelanggaran dan penyalahgunaan kewenangan oleh penyidik.
Namun, berdasar pada sudut pandang efektivitas hukum, sinergitas antara substansi, struktur dan kultur hukum merupakan keharusan. Substansi hukum yang baik belum tentu menjamin terwujudnya penerapan hukum yang baik pula. Untuk itu, aparat penegak hukum perlu dengan segera menyesuaikan pelaksanaan penegakan hukum sesuai dengan substansi hukum yang ada. Kepatuhan aparat penegak hukum terhadap substansi hukum menjadi penting agar substansi hukum dapat benar-benar diwujudkan. Demikian juga dengan budaya hukum, pemahaman masyarakat untuk menggunakan upaya praperadilan masih sangat rendah. Di sini, maka diperlukan peran lebih dari lembaga-lembaga yang aktif di bidang hukum untuk terus meningkatkan pemahaman masyarakat, sehingga masyarakat mampu memahami hak-hak yang dimilikinya.

Triya Indra Rahmawan

Dalam Rubrik Editorial Majalah Konstitusi No. 99 – Mei 2015
readmore »»  

Sisi Gelap Alasan Penolakan dan Pemberian Grasi

Sembilan orang warga negara Australia ditangkap di tempat berbeda di Bali, Indonesia pada 17 April 2005 karena menyelundupkan heroin seberat 8,2 kg dari Indonesia ke Australia. Kesembilan WN Australia dimaksud yaitu, Myuran Sukumaran, Andrew Chan, Si Yi Chen, Michael Czugaj, Renae Lawrence, Tach Duc Thanh Nguyen, Matthew Norman, Scott Rush, dan Martin Stephens.
Peristiwa penangkapan di Bali ini kemudian dikenal dengan istilah “Bali Nine”. Duo “Bali Nine” yaitu Myuran Sukumaran dan Andrew Chan telah menjalani eksekusi mati di lapangan tembak Tunggal Penaluan, Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, pada Rabu, 29 April 2015 dinihari,
Sebelum dieksekusi mati, pada 9 April 2015 Myuran dan Andrew melalui kuasanya, Todung Mulya Lubis dkk, melayangkan surat ke Mahkamah Konstitusi untuk memohon judicial review Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Myuran dan Andrew juga memohon judicial review Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi yang telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (UU Grasi).
Selain Myuran dan Andrew, beberapa nama juga masuk dalam jajaran Pemohon, yakni Rangga Sujud Widigda, Anbar Jayadi, Luthfi Sahputra, Haris Azhar, dan Inisiatif Masyarakat Partisipatif Untuk Transisi Berkeadilan (“Imparsial”). Adapun materi UU MK yang dimohonkan untuk diuji yaitu Pasal 51 ayat (1) huruf a. Kemudian UU materi Grasi yang diuji yakni Pasal 11 ayat (1) dan (2).
Kepaniteraan Mahkamah meregistrasi permohonan tersebut dengan Nomor 56/PUU-XIII/2015 pada 23 April 2015. Agenda sidang perdana untuk perkara ini akan digelar pada 20 Mei 2015 Pukul 10.00 WIB.


Materi UU MK dan UU Grasi yang Diuji
Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK
Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia;
Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UU Grasi
(1) Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
(2) Keputusan Presiden dapat berupa pemberian atau penolakan grasi.

“Legal Standing” WNA
Myuran Sukumaran dan Andrew Chan adalah Warga Negara Australia yang merasa dilanggar hak asasinya oleh undang-undang yang berlaku di Indonesia. Kendati bukan WNI, Myuran dan Andrew merasa hak asasinya dilindungi oleh UUD 1945. Hal ini ditunjukkan dengan penggunaaan frasa “setiap orang” dalam Pasal 28A, Pasal 28B ayat (1), Pasal 28C, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28D ayat (4), Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 28J UUD 1945. Kemudian frasa “setiap anak” dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, dan frasa “setiap warga negara dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Frasa “setiap orang” dalam beberapa ketentuan di atas menunjukkan bahwa subjek yang dilindungi adalah setiap manusia yang berada di dalam wilayah yurisdiksi Indonesia, termasuk WNA.
Myuran dan Andrew menganggap hak konstitusionalnya dirugikan karena MK sebagai lembaga negara yang berwenang menguji konstitusionalitas UU, ternyata tidak memberikan kedudukan hukum (legal standing) kepada WNA. Hal ini dikarenakan adanya pembatasan yang dilakukan oleh Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK. Padahal, dalam Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK, hak konstitusional merujuk pada hak-hak yang diatur dalam UUD 1945. Dengan kata lain, hak asasi manusia, sebagaimana diatur dalam Bab XA UUD 1945, ada di dalamnya.
Menurut Pemohon, ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK merupakan ketentuan yang rancu dan menjadi sumber dari ketidakadilan. Ketentuan pasal ini bersifat diskriminatif sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menghendaki terciptanya kepastian hukum yang adil bagi semua orang. Konsep diskriminasi yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah adanya pembedaan perlakuan yang disebabkan pada faktor tertentu yang sebenarnya tidak relevan, misalnya status sosial, ekonomi, suku, agama, ras, dan/atau jenis kelamin.
Kewarganegaraan tidak menyebabkan sebuah UU menjadi tidak berlaku terhadapnya dan tidak pula menyebabkan seseorang menjadi tidak memiliki hak yang diakui dan dilindungi berdasarkan UUD 1945. Kewarganegaraan bukan merupakan faktor yang relevan untuk membedakan perlakuan dalam konteks kedudukan hukum untuk melakukan pengujian UU terhadap UUD 1945.
Dalam konteks UU yang berlaku baik bagi WNI maupun WNA, seperti UU Grasi, tidaklah adil jika warga negara asing tidak diperkenankan untuk turut mempersoalkannya ke hadapan Mahkamah Konstitusi. Sebab mereka juga merupakan subjek dari UU tersebut.
Oleh sebab itu, para Pemohon memohon kepada MK untuk menyatakan ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK conditionally unconstitutional, yaitu tidak konstitusional selama kedua ketentuan ini tidak dimaknai, “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia atau warga negara asing sepanjang yang didalilkan menyangkut hak asasi manusia sebagai tolok ukur pengujian dan/atau undang-undang tersebut secara substansi berlaku baik terhadap warga negara Indonesia dan warga negara asing”
Sebelumnya, Myuran dan Andrew pernah mengajukan permohonan pengujian UU Narkotika ke MK pada 16 Januari 2007 silam. Lalu MK mengeluarkan Putusan Nomor: 2-3/PUU-V/2007 tanggal 30 Oktober 2007. MK menyatakan permohonan Myuran dan Andrew tidak dapat diterima. Alasannya, Myuran dan Andrew adalah WNA yang tidak memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan ke MK.
Myuran dan Andrew berharap adanya pemaknaan ulang terhadap Pasal 51 ayat (1) UU MK yang memberikan hak bagi WNA untuk melakukan pengujian terhadap undang-undang yang bertentangan dengan hak yang diakui dan dilindungi oleh UUD 1945. Dengan dikabulkannya permohonan ini, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak lagi terjadi.

“Abuse of Power”
Kewenangan pemberian grasi diatur secara umum dalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945. Kewenangan ini diderivasikan dalam UU Grasi. Oleh karenanya, UU Grasi menjadi parameter untuk menilai tindakan Presiden RI dalam menggunakan kewenangan grasi-nya.
UU Grasi mengandung permasalahan yang cukup fundamental. Permasalahan timbul dikarenakan tidak adanya ketentuan yang mewajibkan Presiden RI secara terang dan jelas untuk mempertimbangkan masak-masak setiap permohonan grasi. Selain itu, tidak ada kewajiban bagi Presiden RI untuk memberikan penjelasan yang layak dalam menerima maupun menolak permohonan grasi.
Ketiadaan kaidah kewajiban dimaksud menciptakan potensi besar penyalahgunaan kewenangan oleh Presiden RI. Ia bisa saja menerima atau menolak permohonan grasi tanpa melakukan penelitian yang disyaratkan oleh UU Grasi dan/atau tanpa memberikan pertimbangan yang layak yang memberikan alasan dalam mengabulkan atau menolak grasi. Presiden RI dapat menggunakan kewenangan grasi-nya secara tidak bijaksana, dan bahkan bertentangan dari tujuan dasarnya.

Pertimbangan Grasi
Duo “Bali Nine” Myuran dan Andrew dijatuhi hukuman mati berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika melalui putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde), masing-masing yaitu Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No. 626/Pid.B/2005/PN.DPS tertanggal 14 Februari 2006 jo. Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No. 22/Pid.B/2006/PT.DPS tertanggal 20 April 2006 jo. Putusan Mahkamah Agung R.I. No. 1693K/Pid/2006 tertanggal 16 Agustus 2006 jo. Putusan Mahkamah Agung R.I. No. 38PK/PID.SUS/2011 tertanggal 6 Juli 2011  (Pemohon I) dan Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No. 624/Pid.B/2005/PN.DPS tertanggal 14 Februari 2006 jo. Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No. 18/Pid.B/2006/PT.DPS tertanggal 20 April 2006  jo. Putusan Mahkamah Agung R.I. No. 1690 K/Pid/2006 tertanggal 16 Agustus 2006  jo. Putusan Mahkamah Agung R.I. No. 37 PK/PID.SUS/2011 tertanggal 10 Mei 2011 (Pemohon II).
Myuran dan Andrew mengajukan permohonan grasi kepada Presiden RI masing-masing pada 5 Juli 2012 dan 9 Mei 2012. Kemudian masing-masing permohonan grasi ditolak melalui Keputusan Presiden RI No. 32/G Tahun 2014 tanggal 30 Desember 2014 dan Keputusan Presiden RI No. 9/G Tahun 2015 tanggal 17 Januari 2015.
Para Pemohon, melalui kuasanya, Todung Mulya Lubis dkk, merasa hak dan kewenangan konstitusionalnya dirugikan karena ketentuan Pasal 11 ayat (1) dan (2) UU Grasi tidak membebankan kewajiban kepada Presiden RI secara eksplisit untuk memeriksa permohonan grasi secara saksama dan individual, dan juga tidak ada ketentuan yang secara eksplisit meletakkan kewajiban bagi Presiden RI untuk memberikan dan menyampaikan pertimbangan yang layak sehubungan dengan keputusan grasinya. Hal ini menyebabkan ketidakpastian hukum, tidak terpenuhinya hak atas informasi serta berpotensi untuk disalahgunakan sebagai alat untuk menyebabkan pembedaan perlakuan.
Secara normatif, keberadaan grasi adalah untuk memberikan warna humanisme dalam sistem pemerintahan. Dasar untuk menerima atau menolak permohonan grasi bukanlah aspek yang bersifat hukum lagi. Di sisi lain, karena aspek pemeriksaannya adalah mencakup semua pertimbangan yang non-hukum, maka tiap permohonan grasi yang masuk sudah seyogyanya diperiksa secara rinci oleh Presiden RI, termasuk pula di dalamnya memeriksa karakteristik unik/spesifik dari masing-masing pemohon grasi, sebelum akhirnya mengeluarkan keputusan menolak atau menerima permohonan grasi yang diajukan, disertai dengan alasan yang layak.
Faktanya, Presiden RI tidak memberikan gambaran pertimbangan yang layak saat menolak permohonan grasi Myuran dan Andrew. Satu-satunya kalimat yang dapat dikatakan sebagai alasan penolakan adalah, “...tidak terdapat cukup alasan untuk memberikan grasi...”
Di sisi lain, sebelum putusan penolakan grasi Myuran dan Andrew dikeluarkan, pada 9 Desember 2014 Presiden RI membuat pernyataan ke muka publik bahwa ia akan menolak seluruh permohonan grasi yang diajukan oleh 64 terpidana mati kasus narkotika, termasuk di dalamnya adalah Myuran dan Andrew.
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Presiden RI tidak melakukan penelitian yang saksama dan individual terhadap masing-masing pemohon grasi, melainkan hanya berdasarkan jenis tindak pidananya saja. Presiden RI telah lalai untuk memperhatikan aspek individualitas dari masing-masing diri pemohon grasi. Presiden RI memperlakukan ke-64 manusia tersebut sebagai angka, tidak sebagai manusia. Pertimbangan pukul rata (generalisasi) semacam ini tergolong sebagai tindakan yang diskriminatif, yang hanya akan memunculkan ketidakadilan.
Pasal 9, 10, 11, 12 dan 13 UU Grasi tidak tersurat kewajiban bagi Presiden RI untuk mempertimbangkan aspek individualitas dari masing-masing pemohon dan untuk memberikan pertimbangan yang layak atas setiap keputusan grasi. Akibatnya, muncul kesewenangan dari Presiden RI dalam menggunakan kewenangannya ini. Putusan penolakan atau penerimaan grasi tanpa didasari pada penelitian yang layak mengenai aspek individualitas dari masing-masing pemohon dan tidak memberikan/menyampaikan pertimbangannya secara layak pula. Cara lain yang sudah menjadi kenyataan adalah pernyataan publik Presiden RI pada tanggal 9 Desember 2014 tentang penolakan grasi ‘pukul rata’.
Tindakan Presiden RI tersebut bertentangan dengan konsep HAM yang hidup dalam UUD 1945. Presiden RI telah memperlakukan para pemohon grasi sebatas angka semata, tidak sebagai manusia. Pemohon grasi yang satu disamakan dengan pemohon grasi yang lain atas dasar kesamaan jenis tindak pidana yang dilakukan, tanpa mencoba membedakan aspek individualitas dari masing-masing manusia yang menjadi pemohon grasi maupun fakta-fakta yang melingkupinya.
Oleh sebab itu, untuk menghindari dan mencegah terulangnya pelanggaran UUD 1945 oleh Presiden RI, Para Pemohon memohon kepada MK untuk menyatakan ketentuan Pasal 11 ayat (1) dan (2) UU Grasi conditionally unconstitutional, yaitu tidak konstitusional selama kedua ketentuan ini tidak dimaknai, Pasal 11 ayat (1) dan (2) UU Grasi: “(1) Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung dan melakukan penelitian terhadap pemohon grasi dan permohonan grasinya. (2) Keputusan Presiden dapat berupa pemberian atau penolakan grasi dengan disertai alasan yang layak.”

Grasi Ala Amerika dan Filipina
Untuk memperkuat dalil permohonan, para Pemohon memberikan gambaran ketatanegaraan di negara Amerika Serikat (AS) dan Filipina sehubungan dengan kekuasaan presiden dalam menerbitkan grasi. Presiden AS mempunyai kekuasaan untuk memberi pengampunan (grasi) dan penundaan terhadap pelaksanaan hukuman bagi perlanggaran terhadap hukum di Amerika Serikat yang diatur dalam Article II, section 2 “...he shall have Power to Grant Reprieves and Pardons for Offenses against the United States, except in Cases of Impeachment..”
Permohonan grasi ditujukan kepada Presiden AS dan akan diserahkan kepada Pardon Attorney, Department of Justice. Attorney General akan mengadakan penyelidikan yang dianggap perlu. Apabila seorang dihukum atas tindak kejahatan yang memiliki korban, maka Attorney General akan menotifikasi korban atas adanya permohonan grasi tersebut, kemudian melaporkan secara tertulis rekomendasinya kepada Presiden yang pada intinya menyampaikan penilaiannya atas permohonan grasi. Penilaian yang dilakukan Attorney General berdasarkan standar-standar yang telah ditentukan, di antaranya perilaku baik selama menjalankan hukuman dan telah menjalani masa hukumannya selama 5 (lima) tahun, dan lain-lain.
Ketika permohonan grasi dikabulkan, pemohon atau kuasa hukumnya harus diberitahu tentang hal tersebut dan surat perintah pengampunan akan dikirim ke pemohon. Setiap kali Presiden menyampaikan penolakannya terhadap permohonan grasi, Attorney General wajib memberikan saran kepada pemohon grasi dan menutup permohonan tersebut.
Sementara di Filipina, Presiden Filipina memiliki kekuasaan untuk memberi grasi atau pengampunan untuk narapidana berdasarkan rekomendasi dari Dewan Pengampunan dan Pembebasan Bersyarat (Board of Pardons and Parole). Pemberian Grasi oleh Presiden diatur dalam Konstitusi Filipina dalam Article VII section 19 “..Except in cases of impeachment, or as otherwise provided in this Constitution, the President may grant reprieves, commutations, and pardons, and remit fines and forfeitures, after conviction by final judgment. He shall also have the power to grant amnesty with the concurrence of a majority of all the Members of the Congress..”
Dewan Pengampunan dan Pembebasan Bersyarat (Board of Pardons and Parole) berada di bawah Departemen Kehakiman. Dewan ini bertugas memberikan pembebasan bersyarat dan merekomendasikan kepada Presiden mengenai segala bentuk grasi untuk seseorang atau tahanan yang berhak mendapatkannya. Fungsi dewan termasuk melakukan studi dan review serta pembahasaan tahanan yang memenuhi syarat untuk pembebasaan bersyarat maupun grasi Presiden dan mereview laporan yang disampaikan oleh Parole and Probation Admnistration dan membuat keputusan yang diperlukan.
Board of Pardons and Parole harus mempublikasikan dalam surat kabar yang beredar secara nasional seluruh nama-nama narapidana yang sedang dipertimbangkan untuk memperoleh grasi presiden. Setiap pihak yang berkepentingan dapat mengirimkan keberatan/komentar/informasi yang relevan terkait narapidana dimaksud secara tertulis kepada Board of Pardons and Parole.
Proses pemberian grasi di negara AS dan Filipina tersebut di atas kontras dengan di Indonesia. Di AS dan Filipina terdapat lembaga khusus yang meninjau dan memberikan penilaian atas setiap permohonangrasi kepada Presiden untuk kemudian direkomendasikan kepada presiden dan adanya standar yang telah ditetapkan sebagai acuan dalam mempertimbangkan sebuah permohonan grasi.  Di kedua negara tersebut juga ada suatu proses penelitian yang cukup untuk menguji kelayakan diterima atau ditolaknya sebuah permohonan grasi oleh presiden. Selain itu, terdapat tranparansi kepada publik mengenai proses pertimbangan yang dilakukan terhadap setiap permohonan grasi dan melibatkan publik (terutama pihak yang dirugikan karena tindak kejahatan yang dilakukan oleh pemohon) dalam menyusun rekomendasi permohonan grasi.
Dengan demikian, menurut para Pemohon, sudah sepatutnya proses pemberian grasi oleh Presiden di Indonesia ditinjau kembali baik secara formalitas pemberian maupun substansi pertimbangannya dalam menerima atau menolak permohonan grasi agar hak-hak narapidana mengajukan grasi beserta hak-hak yang kemudian timbul dapat dilindungi oleh pemerintah sebagai pihak yang wajib memenuhi hak tersebut.

Pemaknaan yang Diminta Pemohon
Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK
“Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:a. perorangan warga negara Indonesia atau warga negara asing sepanjang yang didalilkan menyangkut hak asasi manusia sebagai tolok ukur pengujian dan/atau undang-undang tersebut secara substansi berlaku baik terhadap warga negara Indonesia dan warga negara asing;

Pasal 11 ayat (1) dan (2) UU Grasi
(1) Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung dan melakukan penelitian terhadap pemohon grasi dan permohonan grasinya.
(2) Keputusan Presiden dapat berupa pemberian atau penolakan grasi dengan disertai alasan yang layak.


Nur Rosihin Ana, dalam Rubrik "Catatan Perkara" Majalah "Konstitusi" Edisi Mei 2015. 
readmore »»  
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More