Harmoni...

Jakarta, September 2010

Harmoni...

Jakarta, Desember 2010

Belahan jiwa

......

...Belahan jiwa...

......

ceria...

Jakarta, 8 Januari 2012

Nora Uzhma Naghata

Bogor, 24 Februari 2011

Nora Uzhma Naghata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Taman Safari Puncak

Bogor, 24 Februari 2011

Bandara Ahmad Yani

Semarang, 28 September 2011

Rileks

*********

Nur Rosihin Ana

Semarang, 19 Oktober 2010

Nur Rosihin Ana

mahkamah dusturiyyah, 18 Juli 2012

Nur Rosihin Ana

Hotel Yasmin, Puncak, Desember 2010

Nora Uzhma Naghata

Naghata

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Demak, 11 September 2011

Nur Rosihin Ana

Nagreg, Bandung 11 Juli 2011

Nora Uzhma Naghata, Sri Utami, Najuba Uzuma Akasyata, Nur Rosihin Ana

Sapa senja di Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Sapa Senja Jepara

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

...bebas, lepas...

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Selasa, 23 Juni 2015

Menguji Eksistensi BNP2TKI

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) sejak Tahun 2009 menghentikan penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke negara-negara Timur Tengah. Namun disisi lain, Kemnaker membuka lebar-lebar Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) dan Calon Tenaga Kerja Indonesia (CTKI) untuk ditempatkan di negara-negara asia pasifik, seperti Taiwan dan Hongkong.
Penghentian atau pelarangan ini dianggap merugikan pengusaha PPTKIS maupun CTKI. Salah satu PPTKIS, yakni PT Gayung Mulya Ikif (GMI) dan dua CTKI tujuan negara Timur Tengah, yakni Nurbayanti BT. Abdul Hamid Acen, dan Abbdusalam, merasa dirugikan dengan pelarangan ini.
PT GMI merupakan salah satu PPTKIS yang bergerak dalam bisnis penempatan TKI ke negara-negara Timur Tengah. Akibat penghentian/pelarangan ini, bisnis PT GMI menjadi terhenti. Sedangkan bagi Nurbayanti BT. Abdul Hamid Acen, pelarangan ini memupuskan harapan Nurbayanti untuk kembali mengais rezeki di Saudi Arabia. Sebelumnya, pada 2009 Nurbayanti pernah menjadi TKI di Riyad Saudi Arabia dan pulang ke Indonesia pada 2011. Harapan serupa juga datang dari Abbdusalam, CTKI yang sampai saat ini tidak dapat bekerja ke Saudi Arabia akibat larangan ini.
Melalui surat bertanggal 16 April 2015 mereka mengadu ke Mahkamah Konstitusi untuk mengajukan permohonan judicial review Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKI). Beberapa pasal UU PPTKI yang diujikan dalam permohonan ini, yakni Pasal 11 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 81 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 94 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2). Setelah berkas permohonan lengkap, pada 18 Mei 2015 Kepaniteraan Mahkamah meregistrasi permohonan ini dengan Nomor 61/PUU-XIII/2015.

Pasal 11 ayat (1) UU PPTKI
Penempatan TKI di luar negeri oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a, hanya dapat dilakukan atas dasar perjanjian secara tertulis antara Pemerintah dengan Pemerintah negara Pengguna TKI atau Pengguna berbadan hukum di negara tujuan.
Pasal 27 ayat (1) UU PPTKI
Penempatan TKI di luar negeri hanyadapat dilakukan ke negara tujuan yang pemerintahnya telah membuat perjanjian tertulis dengan Pemerintah Republik Indonesia atau ke negara tujuan yang mempunyai peraturan perundang-undangan yang melindungi tenaga kerja asing.
Pasal 81 ayat (1) dan ayat (2) UU PPTKI
(1)Dengan pertimbangan untuk melindungi calon TKI / TKI, pemerataan kesempatan kerja dan/atau untuk kepentingan ketersediaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan nasional, Pemerintah dapat menghentikan dan/atau melarang penempatan TKI di luar negeri untuk negara tertentu atau penempatan TKI pada jabatan-jabatan tertentu di luar negeri.
(2)Dalam menghentikan dan/atau melarang penempatan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah memperhatikan saran dan pertimbangan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI.
Pasal 94 ayat (2) UU PPTKI
Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibentuk Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI.
Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) UU PPTKI
(1)Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 mempunyai fungsi pelaksanaan kebijakan di bidang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri secara terkoordinasi dan terintegrasi.
(2)Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI bertugas:
a. melakukan penempatan atas dasar perjanjian secara tertulis antara Pemerintah dengan Pemerintah negara Pengguna TKI atau Pengguna berbadan hukum di negara tujuan penempatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1);
b. memberikan pelayanan, mengkoordinasikan, dan melakukan pengawasan mengenai: 1) dokumen; 2) pembekalan akhir pemberangkatan (PAP); 3) penyelesaian masalah; 4) sumber-sumber pembiayaan; 5) pemberangkatan sampai pemulangan; 6) peningkatan kualitas calon TKI; 7) informasi; 8) kualitas pelaksana penempatan TKI; dan 9) peningkatan kesejahteraan TKI dan keluarganya.

Menurut para Pemohon, ketentuan pasal-pasal yang diuji tersebut, menimbulkan diskriminasi, ketidakpastian hukum serta menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan yang mengakibatkan tercederainya rasa keadilan dan persamaaan di depan hukum, sebagaimana dijamin oleh Pasal 27, Pasal 28D, Pasal 28H dan Pasal 28I UUD 1945. Selain itu, menimbulkan multitafsir dan dapat dinilai secara subyektif oleh Kemnaker/BNP2TKI sehingga mengakibatkan timbulnya penyalahgunaan kekuasaan/wewenang (abuse of power).

Larangan Penempatan TKI
Penghentian TKI informal/domestik/PLRT ke negara-negara Timur Tengah terjadi sejak 2009. Berdasarkan ketentuan ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 81 ayat (1) UU PPTKI, Kemnaker melarang para Pemohon untuk menempatkan atau bekerja sebagai TKI Informal/TKI Domestik/PLRT di wilayah Timur Tengah, yakni negara Saudi Arabia, Kuwait, Yodania, Uni Emirates Arab, Oman dan Qatar.
Beberapa surat edaran Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI (sekarang Kemnaker) berisi instruksi mengenai penghentian pekerja sektor domestik/Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT). Surat edaran bertanggal 29 Juli 2009 menghentikan penempatan ke Negara Kuwait. Setahun kemudian, pada 29 Juli 2010 menghentikan penempatan tenaga kerja sektor domestik ke Yordania. Kemudian pada 23 Juni 2011 menghentikan penempatan ke Arab Saudi. Jadi,
Namun, di sisi lain, Kemnaker/BNP2TKI membolehkan penempatkan CTKI/TKI formal maupun informal/PLRT di Korea, Japan, Malaysia, Singgapore, Hongkong dan Taiwan. Padahal Pemerintah RI tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Taiwan dan tidak mengakui Taiwan sebagai negara yang berdaulat.
Alasan tersebut mungkin dibenarkan seandainya negara Arab Saudi, Kuwait dan Yordania, dalam kedaan Perang, bencana alam atau ada wabah penyakit yang menular, seperti di aman, Iraq dan Suriah yang saat ini dilanda perang. Para Pemohon menilai alasan larangan/penghentian penempatan TKI yang dilakukan oleh Kemnaker ke nagara-negara tersebut adalah alasan yang subyektif, dan cenderung terkait dengan kepentingan bisnis tertentu.
Penempatan TKI di luar negeri dengan syarat adanya perjanjian tertulis “G to G” antara negara pengguna dengan negara asal sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat (1) UU PPTKI kontras dengan semangat penegakan dan perlindungan hak asasi tenaga kerja migran (International Convention On The Protection Of The Rights Off All Migrant Workers And Members Of Their Families). Menurut para Pemohon, cukup beralasan secara konstitusional persyaratan adanya “perjanjian antara negara tempat bekerja dengan negara asal” dinyatakan bertentangan dengan hak asasi pekerja.

Wasit Sekaligus Pemain
Badan Penempatan dan Perlindungan TKI (BPN2TKI) merupakan lembaga Pemerintah Non Departemen. Pembentukan BNP2TKI berdasarkan Pasal 94 ayat (2) UU PPTKI. BNP2TKI berwenang wewenang untuk memberikan pelayanan, perlindungan, pembinaan dan juga melakukan penempatan TKI.
Di satu sisi, BNP2TKI melakukan pengawasan dan di sisi lain terlibat dalam penempatan TKI. BNP2TKI melakukan usaha penempatan ke luar negeri layaknya PPTKIS. Dengan kata lain, PPTKIS adalah kompetitor BNP2TKI dalam usaha penempatan TKI ke luar negeri. Mustahil bagi PPTKIS untuk mampu bersaing dengan BNP2TKI, sebab BNP2TKI menggunakan anggaran yang bersumber dari APBN. Kondisi ini berpotensi merugikan hak konstitusional para Pemohon. Sebab penghentian TKI ke luar negeri sebagaimana ketentuan Pasal 81 ayat (2) UU PPTKI, harus memperhatikan saran BP2TKI.
Satu badan mempunyai wewenang menempatkan dan wewenang mengawasi penempatan dapat dipastikan dengan penalaran yang wajar akan berpotensi tindakan penempatan yang dilakukan BNP2TKI tidak terawasi. Bagaimana mungkin BNP2TKI akan mengawasi dirinya sendiri? Bagaimana mungkin Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Luar Negeri mengawasi Kepala BNP2TKI yang sama-sama bertanggung jawab kepada Presiden?
Fungsi dan kewenangan BNP2TKI yang diberikan oleh Pasal 81 ayat (2), Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) UU PPTKI, menurut para Pemohon, menimbulkan ketidakpastian hukum bahkan berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Sebab, fungsi dan kewenangan tersebut menempatkan BNP2TKI sebagai wasit (pengawas) juga sebagai pemain (badan penempatan).
Sepatutnya fungsi pengawasan cukup dilakukan oleh satu lembaga/departemen yang berkompeten, sehingga PPTIKIS dapat menjalankan tugas dan kewajibanya secara professional demi kepentingan dan perlindungan TKI. Seandainya negara berkehendak terlibat dalam usaha penempatan TKI ke luar negeri, negara dapat membentuk Badan Usaha Milik Negara khusus untuk itu, tidak dengan membentuk BNP2TKI, yang menjadi wasit (pengawas) sekaligus pemain (badan penempatan), sehingga fungsi perlindungan dan pengawasan dapat optimal dan fair. Menurut para Pemohon, selayaknya Pasal 11 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 81 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 94 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) UU PPTKI dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.

Nur Rosihin Ana
dalam Rubrik "Catatan Perkara" Majalah "Konstitusi" edisi Juni 2015.
readmore »»  

Sabtu, 20 Juni 2015

Syarat Ketat Kepemilikan Pesawat

Pelaku usaha penerbangan terjadwal di Indonesia harus menyiapkan 10 pesawat. Lima pesawat harus milik sendiri, lima lainnya dikuasai atau dari leasing. Syarat yang dianggap ketat dan terlalu berat. UU Penerbangan pun digugat.


Laman Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Republik Indonesia secara gamblang menyebutkan persyaratan izin usaha perusahaan angkutan udara niaga berjadwal dan tidak berjadwal. Dalam poin g angka 1 laman ini dipaparkan mengenai jenis dan jumlah pesawat udara yang akan dioperasikan. Yakni, untuk angkutan angkutan udara niaga berjadwal memiliki paling sedikit 5 (lima) unit pesawat udara dan menguasai 5 (lima) unit pesawat udara dengan jenis yang mendukung kelangsungan usaha sesuai dengan rute yang dilayani. Kemudian, angkutan udara niaga tidak berjadwal memiliki 1 (satu) unit pesawat udara dan menguasai 2 (dua) unit pesawat udara dengan jenis yang mendukung kelangsungan usaha sesuai dengan rute yang dilayani. Sedangkan untuk angkutan udara niaga khusus mengangkut kargo memiliki paling sedikit 1 (satu) unit pesawat udara dan menguasai 2 (dua) unit pesawat udara dengan jenis yang mendukung kelangsungan usaha sesuai dengan rute atau daerah operasi yang dilayani.
Dasar hukum tata perizinan usaha perusahaan angkutan udara niaga berjadwal dan tidak berjadwal yang diunggah di laman Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan tersebut, antara lain bersumber dari ketentuan Pasal 118 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan (UU Penerbangan). Syarat yang cukup ketat dan berat. Maka tak heran jika modal yang harus dikucurkan untuk merambah usaha burung besi ini menyentuh angka triliunan.
Keberatan datang dari Sigit Sudarmadji. Pegawai Negeri Sipil Kementerian Perhubungan ini berminat mendirikan perusahaan penerbangan niaga berjadwal. Sigit yang lahir di Putussibau, sebuah kecamatan di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, ini pernah tebesit niat untuk membuat usaha penerbangan rute Pontianak-Putussibau. Namun, persyaratan mengenai jumlah minimum kepemilikan dan penguasaan pesawat udara, menghambat minatnya. Merasa dirugikan, Sigit mengadu ke Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah pada 17 Februari 2015 menerima surat dari Sigit yang berisi permohonan pengujian UU Penerbangan. Selang lima hari kemudian, tepatnya pada 23 Februari 2015, Kepaniteraan Mahkamah meregistrasi Permohonan Sigit dengan Nomor 29/PUU-XIII/2015. Sigit dalam permohonannya meminta kepada Mahkamah agar menguji Pasal 118 ayat (1) huruf b dan ayat (2) UU Penerbangan yang menurut Sigit bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2), Pasal 28I ayat (2), Pasal 33 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945.

 Pasal 118 ayat (1) huruf b UU Penerbangan(1) Pemegang izin usaha angkutan udara niaga wajib: ... b. Memiliki dan menguasai pesawat udara dengan jumlah tertentu.Pasal 118 ayat (2) UU Penerbangan(2) Pesawat udara dengan jumlah tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, untuk:a.    angkutan udara niaga berjadwal memiliki paling sedikit 5 (lima) unit pesawat udara dan menguasai paling sedikit 5 (lima) unit pesawat udara dengan jenis yang mendukung kelangsungan usaha sesuai dengan rute yang dilayani;
b.    angkutan udara niaga tidak berjadwal memiliki paling sedikit 1 (satu) unit pesawat udara dan menguasai paling sedikit 2 (dua) unit pesawat udara dengan jenis yang mendukung kelangsungan usaha sesuai dengan daerah operasi yang dilayani; dan
c.    angkutan udara niaga khusus mengangkut kargo memiliki paling sedikit 1 (satu) unit pesawat udara dan menguasai paling sedikit 2 (dua) unit pesawat udara dengan jenis yang mendukung kelangsungan usaha sesuai dengan rute atau daerah operasi yang dilayani.


Diskriminasi Moda Transportasi
Menurut Sigit, ketentuan yang berisi mengenai jumlah minimum kepemilikan dan penguasaan pesawat udara tersebut sangat diskriminatif. Sgit membandingkan perlakuan berbeda antara perusahaan penerbangan niaga berjadwal dengan perusahaan moda transportasi lain yaitu perusahaan pelayaran.
Dalam usaha pelayaran, tidak ada ketentuan mengenai jumlah minimum kepemilikan dan penguasaan kapal harus lebih dari satu unit. Padahal, pelayaran dan penerbangan adalah dua jenis moda transportasi yang padat modal, padat teknologi dan memiliki karakteristik yang sama dalam pola pengembangan armadanya. “Secara karakteristik, pelayaran dan penerbangan cukup memiliki kedekatan, baik dari sisi padat modal, padat teknologi, dan padat risikonya, serta dengan distribusi penyebaran pelayaran dan penerbangan di Indonesia, yaitu serupa,” kata Sigit Sudarmadji dalam sidang perdana di MK, Kamis (12/3/2015).

Dominasi Asing
Selain itu, Sigit juga membandingkan perbedaan perlakuan terhadap pelaku penerbangan nasional dengan pelaku usaha penerbangan asing yang beroperasi di Indonesia. Menurutnya, pelaku penerbangan nasional dikenakan ketentuan jumlah minimum kepemilikan dan penguasaan pesawat udara. Sedangkan terhadap pelaku penerbangan asing tidak dikenakan ketentuan tersebut. “Kita tidak pernah bertanya, tidak pernah mempersyaratkan, berapa jumlah pesawat yang Anda miliki, Anda bebas masuk ke Indonesia. Sementara, kita sendiri yang di dalam, diharuskan untuk memenuhi syarat tersebut,” terang Sigit.
Penerbangan internasional dari dan menuju ke suatu negara diatur dalam suatu perjanjian bilateral atau multilateral antar negara, dimana Indonesia juga menerapkan hal tersebut sebagaimana disebutkan dalam Pasal 86 UU Penerbangan. Perjanjian bilateral tentang pembukaan rute penerbangan internasional yang biasa disebut dengan BATA (Bilateral Air Transport Agreement) diatur dan disusun berdasarkan standard internasional yang terdiri dari hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh kedua negara berdasarkan prinsip keadilan dan timbal balik.
International Civil Aviation Authorization (ICAO) sebagai organisasi penerbangan sipil internasional serta otoritas-otoritas penerbangan sipil Amerika Serikat, negara-negara Eropa dan Australia yang selama ini dijadikan acuan oleh Indonesia dalam hal penerapan aturan-aturan penerbangan, tidak mempersyaratkan jumlah minimum kepemilikan pesawat yang harus dimiliki oleh perusahaan penerbangan nasional di bawah otoritasnya. Perusahaan-perusahaan penerbangan nasional di negara-negara tersebut bisa ditunjuk oleh negaranya untuk terbang ke Indonesia melalui kerjasama bilateral (BATA) tanpa dibebani kewajiban mengenai kepemilikan pesawat udara.
Hal yang lebih mengkhawatirkan adalah pada saat diterapkannya kebijakan Open Sky atau pembukaan pasar angkutan udara menuju ruang udara tanpa batasan hak angkut sebagaimana disebutkan dalam Pasal 90 UU Penerbangan. Indonesia yang mempunyai pasar penumpang sangat besar akan dimasuki penerbangan asing. Munculnya penerbangan nasional baru akan sulit diharapkan akibat ketentuan ini. Sementara perusahaan nasional yang sudah ada juga sulit bertahan. Maka sewajarnya jika memberikan kemudahan-kemudahan kepada penerbangan nasional agar dapat bersaing dengan penerbangan asing. Paling tidak memberikan perlakuan yang sama, dengan tidak membebani perusahaan baru dengan kewajiban pemenuhan jumlah kepemilikan dan penguasaan pesawat udara.

Cukup Dua Pesawat
Berlakunya ketentuan tentang jumlah minimum kepemilikan dan penguasaan pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1) huruf b dan ayat (2) UU Penerbangan, menutup peluang Sigit untuk mendirikan usaha penerbangan niaga berjadwal dengan rencana rute terbatas. Menurutnya cukup dua pesawat untuk melayani rute penerbangan Pontianak-Putusibau. “Saya dulu dari Pontianak. Saya membayangkan suatu saat akan membuat usaha penerbangan dari Pontianak ke Putusibau. Mungkin sekitar tiga rute yang dalam hitungan kami, dua pesawat itu sudah cukup,” jelas Sigit di hadapan Panel Hakim Konstitusi yang diketuai Arief Hidayat, didampingi Maria Farida Indrati dan Muhammad Alim.
Jumlah kepemilikan dan penguasaan oleh suatu perusahaan penerbangan niaga berjadwal sebanyak 10 unit pesawat udara, bagi Sigit terlalu banyak. Sebab, Ia hanya memerlukan dua unit pesawat udara untuk melayani rute di sekitar daerah asalnya.
Sigit berdalil, Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat luas. Di satu sisi pemerintah tidak memiliki kewenangan untuk memaksa perusahaan penerbangan besar untuk melayani rute penerbangan dari dan ke seluruh daerah walaupun fasilitas bandara telah disiapkan di daerah-daerah tersebut. Di sisi yang lain pemerintah juga tidak memberikan peluang bagi para peminat usaha penerbangan niaga berjadwal dengan rute terbatas seperti Sigit.

readmore »»  

Reformulasi Tarif Retribusi Menara Telekomunikasi

Kehadiran telekomunikasi telah mengubah pola hubungan komunikasi menjadi lebih efektif dan efisien. Pesatnya perkembangan telekomunikasi telah mampu menembus batas lokasi negara maupun benua. Jarak antarlokasi dalam sebuah negara, antarnegara atau benua serasa sangat dekat dan sempit dalam genggaman jemari. Seseorang yang berada di Sabang dapat berkomunikasi dengan teman atau saudaranya yang berada nun di Merauke secara real time.
Telekomunikasi adalah teknik pengiriman atau penyampaian informasi dari suatu tempat ke tempat lain. Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Nomor 01/PER/M.KOMINFO/01/2010 tentang Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi menyebutkan, “Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio atau sistem elektromagnetik lainnya.”
Persaingan bisnis telekomunikasi di Indonesia tak terelakkan. Hal ini mendorong para penyelenggara telekomunikasi mengembangkan kualitas jaringan mereka. Salah satunya dengan memperbanyak jumlah menara telekomunikasi (Base Transceiver Station, BTS). Dalam industri telekomunikasi, keberadaan menara telekomunikasi (Base Transceiver Station, BTS) merupakan infrastruktur pendukung yang utama. Keberadaan menara menjadi salah satu kata kunci dalam memenangkan persaingan di industri telekomunikasi. Tak mengherankan jika operator berlomba membangun menara.
Pembangunan menara telekomunikasi kian hari meningkat secara masif. Muncul kekhawatiran suatu daerah potensial menjadi rimba menara. Menara telekomunikasi juga dapat memberikan dampak negatif bagi lingkungan sekitar. Oleh karena itu, harus ada regulasi mengenai hal ini. Salah satu pengendalian menara telekomunikasi adalah dengan memperluas objek retribusi daerah hingga mencakup pengawasan dan pengendaliannya.
Pertumbuhan menara telekomunikasi membawa berkah bagi daerah. Semangat otonomi daerah telah melimpahkan kewenangan kepada daerah untuk melakukan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. Retribusi pengendalian menara telekomunikasi merupakan salah satu retribusi baru yang masuk dalam perluasan objek retribusi daerah. Hal ini berlaku sejak penetapan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). UU PDRD menyebutkan bahwa retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
Besaran tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi di setiap daerah harus memperhatikan frekuensi pengawasan dan pengendalian. Ketentuan tarif retribusi menara telekomunikasi maksimal 2% dari NJOP, menyebabkan hampir di setiap daerah menggunakan batas maksimal. Padahal setiap daerah memiliki karakteristik berbeda. Pengenaan tarif retribusi maksimal 2% dari NJOP tanpa penghitungan yang jelas menyebabkan ketidakadilan.
Ketentuan mengenai tarif retribusi menara telekomunikasi maksimal 2% dari NJOP ini termaktub dalam Penjelasan Pasal 124 UU PDRD. Penjelasan yang tidak taat asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Penjelasan pasal seharusnya tidak memuat norma. Penjelasan yang justru membuat tidak jelas kandungan norma Pasal 124 UU PDRD.
Pemerintah harus segera membuat formulasi penghitungan tarif yang jelas. Penghitungan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi harus memperhatikan biaya penyediaan jasa. Apabila tingkat penggunaan jasa sulit diukur, maka dapat ditaksir berdasarkan rumus yang dibuat oleh Pemerintah Daerah.

Nur Rosihin Ana
Dalam Rubrik Editorial Majalah Konstitusi No. 100 – Juni 2015
readmore »»  
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More