Harmoni...

Jakarta, September 2010

Harmoni...

Jakarta, Desember 2010

Belahan jiwa

......

...Belahan jiwa...

......

ceria...

Jakarta, 8 Januari 2012

Nora Uzhma Naghata

Bogor, 24 Februari 2011

Nora Uzhma Naghata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Taman Safari Puncak

Bogor, 24 Februari 2011

Bandara Ahmad Yani

Semarang, 28 September 2011

Rileks

*********

Nur Rosihin Ana

Semarang, 19 Oktober 2010

Nur Rosihin Ana

mahkamah dusturiyyah, 18 Juli 2012

Nur Rosihin Ana

Hotel Yasmin, Puncak, Desember 2010

Nora Uzhma Naghata

Naghata

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Demak, 11 September 2011

Nur Rosihin Ana

Nagreg, Bandung 11 Juli 2011

Nora Uzhma Naghata, Sri Utami, Najuba Uzuma Akasyata, Nur Rosihin Ana

Sapa senja di Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Sapa Senja Jepara

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

...bebas, lepas...

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Jumat, 20 Februari 2015

Pengelolaan Limbah

Keberadaan limbah seringkali menimbukan masalah bagi lingkungan. Terlebih lagi limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Limbah B3 adalah sisa suatu usaha atau kegiatan yang mengandung B3. Limbah B3 baik secara langsung maupun tidak langsung, berpotensi mencemarkan, dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya.
Karakteristik limbah B3 yaitu mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, menyebabkan infeksi, bersifat korosif, dan lain-lain. Oleh karena itu, diperlukan penanganan dan pengolahan khusus terhadap limbah jenis ini.
Lantas, siapa yang bertanggung jawab mengelolanya? Tentu perusahaan produsen limbah yang wajib mengelolanya. Pengelolaan limbah B3 pun harus mendapatkan izin. Ketentuan Pasal 59 ayat 4 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) menyebutkan pengelolaan limbah B3 harus seizin Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Pengelolaan limbah B3 tanpa izin, merupakan tindak pidana, dalam hal ini tindak pidana lingkungan hidup. Lalu bagaimana halnya jika izin dalam proses perpanjangan, apakah pengelolaan limbah harus dihentikan sementara? Jika pengelolaan limbah tetap berlangsung di tengah proses perpanjangan izin, apakah hal ini merupakan tindak pidana?
Kasus yang menimpa Bachtiar Abdul Fatah, General Manager Sumatera Light South PT Chevron Pacific Indonesia (PT. CPI) menjadi kaca benggala dalam pengelolaan limbah B3. Bachtiar didakwa atas tuduhan melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Alasannya antara lain, proyek bioremediasi yang dikerjakan atas tanah yang terkontaminasi minyak bumi (limbah B3), yang dihasilkan oleh PT. CPI, dilakukan tanpa adanya izin.
Benarkah proyek bioremediasi PT CPI tak berizin? Sesungguhnya PT CPI telah mengantongi izin proyek bioremediasi. Soil Bioremediasi Facility (SBF) Lokasi 8D-58, memiliki izin dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Nomor 69 Tahun 2006 dengan masa berlaku sampai Maret 2008.
Saat proses perpanjangan izin di KLH pada 2008 itulah pangkal masalahnya. Bachtiar didakwa tetap menjalankan proyek bioremediasi tanpa izin. Padahal Pengawas Lingkungan Hidup KLH dalam salah satu Berita Acara-nya menyatakan proses operasi bioremediasi bisa dilakukan pada saat perpanjangan izin pengoperasian SBF sedang diproses di KLH.
KLH sebagai regulator tidak mempermasalahkan PT. CPI yang tetap melanjutkan proyek bioremediasi di tengah proses mengurus perpanjangan izin. Namun rupanya pihak Penyidik dan Penuntut Umum mengabaikan sikap KLH. Hal ini berujung pemidanaan kepada Bachtiar.
Sewajarnya perusahaan penghasil limbah B3 berkewajiban mengelola limbah yang dihasilkannya. Sewajarnya pula pengelolaan limbah B3 harus berizin. Permasalahannya adalah, apakah saat proses pengurusan perpanjangan izin pengelolaan limbah B3, secara hukum dianggap telah memperoleh izin, sehingga secara hukum pula dapat melakukan pengelolaan limbah B3.
Subjek hukum yang dalam proses mengajukan permohonan perpanjangan izin, secara formal memang belum mendapat izin, meskipun sebelumnya sudah mendapatkan izin. Namun secara materiil dianggap telah memperoleh izin. Terlabih lagi tidak terdapat pelanggaran terhadap syarat-syarat pengelolaan limbah B3 yang ditentukan dalam pemberian izin.
Apabila pengelolaan limbah B3 harus dihentikan karena proses perpanjangan izin belum keluar, maka akan berdampak kerugian cukup serius baik bagi perusahaan maupun masyarakat dan negara. Terlebih lagi apabila izin tak kunjung terbit justru karena lambatnya birokrasi pemerintahan. Oleh karena itu, tepat kiranya pengelolaan limbah B3 yang sedang dalam proses permohonan perpanjangan izin, harus dianggap telah memperoleh izin.


Editorial Majalah Konstitusi No. 96 - Februari 2015, hal. 3
readmore »»  

Kamis, 19 Februari 2015

Fungsi Alat Berat dan Kendaraan Bermotor

Alat berat berfungsi sebagai alat produksi. Sedangkan kendaraan bermotor berfungsi sebagai moda transportasi. Benarkah alat berat tidak sama dengan kendaraan bermotor?

Alat berat diperlakukan sama dengan kendaraan bermotor. Padahal secara kualitatif dari aspek fungsional (teleologis), alat berat dan kendaraan bermotor adalah berbeda. Alat berat sejak awal (kodrati) dibuat dan ditujukan untuk kegiatan produksi atau secara fungsional (teleologis) merupakan alat produksi. Sedangkan kendaraan bermotor sejak awal dibuat untuk kegiatan transportasi berlalu lintas di jalan atau secara fungsional adalah sebagai alat pengangkut barang atau orang.
Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) menempatkan alat berat sebagai kendaraan bermotor. Ketentuan ini digugat oleh tiga perseoran terbatas (PT) yang bergerak di bidang jasa rental alat berat, yakni PT Tunas Jaya Pratama, PT Multi Prima Universal, dan PT Marga Maju Mapan. Menurut para Pemohon, ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) serta Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
Para Pemohon melalui kuasa hukum Adnan Buyung Nasution, Ali Nurdin, Rasyid Alam Perkasa Nasution, dan Absar Kartabrata, mengajukan permohonan melalui surat bertanggal 28 November 2014 ke Mahkamah Konstitusi. Permohonan ini diregistrasi oleh Kepaniteraan Mahkamah pada Jumat, 9 Januari 2015, dengan Nomor 3/PUU-XIII/2015.
Mahkamah kemudian membentuk Panel Hakim untuk memeriksa perkara ini. Panel Hakim terdiri dari tiga hakim konstitusi, yakni Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Muhammad Alim, dan Suhartoyo, dan dibantu seorang Panitera Pengganti, Mardian Wibowo. Gelar perkara pemeriksaan pendahuluan dilaksanakan pada Rabu, 21 Januari 2015 Pukul 11.00 WIB. Berselang 14 hari kemudian, tepatnya pada 4 Februari 2015, Mahkamah menggelar sidang pemeriksaan perbaikan permohonan. Gelar perkara berikutnya beragendakan mendengar keterangan Pemerintah dan DPR, dijadwalkan pada 23 Februari 2015.
PT Tunas Jaya Pratama, PT Multi Prima Universal, dan PT Marga Maju Mapan merupakan pemilik/pengelola alat-alat berat berupa antara lain: crane, mesin gilas (stoomwaltz), excavator, vibrator, dump truck, wheel loader, bulldozer, tractor, forklift dan batching plant. Ketiga PT ini menggunakan alat-alat berat tersebut dalam aktivitas usahanya. Maka tidak mengherankan jika para Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya ketentuan dalam Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c UU LLAJ.

     Pasal 47 ayat (2) UU LLAJ:
Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikelompokkan berdasarkan jenis:a.  sepeda motor;
b.  mobil penumpang;
c.   mobil bus;
d.  mobil barang; dan
e.  kendaraan khusus.
 Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e UU LLAJ:Yang dimaksud dengan “kendaraan khusus” adalah Kendaraan Bermotor yang dirancang khusus yang memiliki fungsi dan rancang bangun tertentu, antara lain:
a.  Kendaraan Bermotor Tentara Nasional Indonesia;
b.  Kendaraan Bermotor Kepolisian Negara Republik Indonesia;
c.   alat berat antara lain bulldozer, traktor, mesin gilas (stoomwaltz), forklift, loader, excavator, dan crane; serta
d.  Kendaraan khusus penyandang cacat. 

Ilustrasi suasana penumpang di lantai 2 Bus Tingkat Wisata Jakarta City Tour, (21.12.2014).
Dokumentasi foto: Najuba Uzuma Akasyata.

Beda Tapi Disamakan
Para Pemohon berdalil, pengelompokan alat berat sebagai kendaraan bermotor, merupakan perlakuan yang keliru. Perlakuan yang sama ini menimbulkan sejumlah konsekuensi, antara lain, alat berat diharuskan mengikuti uji tipe dan uji berkala serta memiliki perlengkapan kendaraan seperti halnya kendaraan bermotor.
Menurut para Pemohon, persyaratan uji tipe dan uji berkala tidak mungkin dapat dipenuhi oleh alat berat karena karakteristik alat berat tidak pernah sama dengan kendaraan bermotor. Alat berat yang dimiliki dan/atau dikelola Para Pemohon seperti crane, mesin gilas (stoomwaltz), excavator, vibrator, bulldozer dan batching plant tidak memiliki ban karet seperti kendaraan bermotor pada umumnya. Roda alat berat tersebut terbuat dari besi, sehingga tidak mungkin memenuhi syarat kedalaman alur ban. Bahkan terdapat alat berat yang sama sekali tidak bergerak seperti crane dan batching plant, sehingga tidak mungkin memenuhi persyaratan laik jalan. Sebab crane dan batching plant tidak memiliki rem, tidak memiliki roda depan dan tidak menggunakan ban.
Alat berat juga diharuskan memiliki perlengkapan kendaraan bermotor, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 57 ayat (3) UU LLAJ. Kelengkapan dimaksud seperti sabuk keselamatan, ban cadangan, segitiga pengaman, dongkrak, pembuka roda.
Kemudian alat berat juga harus diregistrasi dan diidentifikasi untuk mendapatkan sertifikat uji tipe seperti halnya kendaraan bermotor. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 64 UU LLAJ. Padahal sebagaimana telah diuraikan di atas, alat berat tidak dapat dilakukan uji tipe. Dengan demikian sudah tentu ketentuan imperatif yang mengharuskan adanya Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK) dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 68 ayat (1) UU LLAJ tidak mungkin dapat dipenuhi sehingga pada gilirannya alat berat Para Pemohon tidak dapat dioperasikan.
Operator alat berat pun diharuskan memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM). Menurut para Pemohon, Ketentuan ini tidak mungkin bisa dipenuhi. Sebab untuk mengoperasikan alat berat membutuhkan keahlian tertentu yang tidak ada relevansinya dengan kemampuan seseorang yang sudah memiliki SIM B II. Alat berat yang dimiliki oleh Para Pemohon hanya dapat dioperasikan oleh orang yang sudah mengikuti pelatihan khusus alat berat tanpa harus memiliki SIM B II yang secara khusus mensyaratkan umur dan administrasi SIM B I dan SIM A sebelum mendapatkan SIM B II.
Persyaratan-persyaratan yang secara imperatif diatur dalam ketentuan pasal-pasal tersebut, tidak bakal dapat dipenuhi oleh Para Pemohon. Sebab, terdapat keanekaragaman alat berat baik dalam fungsi, ukuran, bentuk, berat dan operator dalam mengoperasikannya. Masing-masing alat berat memiliki karakteristik tersendiri. Akibatnya, alat berat tidak dapat dioperasikan, yang pada gilirannya mengakibatkan kegiatan produksi Para Pemohon terhenti.

Perbedaan Teleologis
Ketentuan Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c UU LLAJ menimbulkan ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum. Berdasarkan aspek konstruksi hukum, jelas terdapat perbedaan secara teleologis antara alat berat dan kendaraan bermotor.
Untuk memperkuat dalilnya, para Pemohon memaparkan definisi alat berat dan kendaraan bermotor yang secara universal diterima dalam dunia perindustrian dan transportasi. Dalam buku “Manajemen Alat Berat Untuk Konstruksi”, Asiyanto mendefinisikan alat berat adalah, “Alat yang sengaja diciptakan/didesain untuk dapat melaksanakan salah satu fungsi/ kegiatan proses konstruksi yang sifatnya berat bila dikerjakan oleh tenaga manusia seperti: mengangkut, mengangkat, memuat, memindah, menggali, mencampur, dan seterusnya dengan cara yang mudah, cepat, hemat, dan aman.”
Sedangkan definisi kendaraan bermotor, Menurut Wikipedia, kendaraan bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik untuk pergerakkannya dan digunakan untuk transportasi darat.
Definisi tersebut jelas menunjukkan adanya perbedaan alat berat sebagai suatu peralatan (heavy equipment) untuk suatu proyek (produksi) dan kendaraan bermotor (motor vehicle) sebagai sarana angkutan (moda transportasi). Hal ini cukup menjadi bukti bahwa alat berat tidak dapat disamakan dengan kendaraan bermotor.
Secara teleologis, alat berat merupakan alat produksi yang dibuat secara khusus guna memudahkan kegiatan produksi. Sedangkan kendaraan bermotor merupakan kendaraan guna alat angkut (transportasi) manusia dan barang, yang setiap saat melintasi jalan raya.
Alat berat sama sekali tidak berfungsi sebagai alat angkut (transportasi) manusia atau barang. Meskipun terdapat alat berat di jalan umum, seperti halnya bulldozer, namun keberadaan alat berat di jalanan adalah dalam rangka kegiatan produksi, bukan dalam kaitan transportasi. Alat berat tidak akan pernah berfungsi sebagai alat transportasi umum.
Memang dalam perkembangannya terdapat beberapa alat berat yang karena kondisi di lapangan industri membutuhkan perpindahan dari satu tempat ke tempat lain dalam satu wilayah industri, terkesan seolah-olah sama dengan kendaraan bermotor. Namun secara hakikat dan fungsinya (teleologis) tetap tidak mengubah hakikat alat berat sebagai alat produksi, yang sejak semula tidak dapat disamakan dengan kendaraan bermotor sebagai alat transportasi. Berdasarkan sudut pandang teleologis, alat berat tidak akan pernah berubah fungsi menjadi kendaraan bermotor.
Fakta menunjukkan perbedaan alat berat dengan kendaraan bermotor. Oleh karena itu, menurut para Pemohon, Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c UU LLAJ, harus dibatalkan karena tidak memenuhi prosedur konstitusi (hak uji formil). Para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c UU LLAJ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.


Nur Rosihin Ana
Dalam Majalah Konstitusi No. 96 – Februari 2015, hal. 34-35


readmore »»  
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More