Harmoni...

Jakarta, September 2010

Harmoni...

Jakarta, Desember 2010

Belahan jiwa

......

...Belahan jiwa...

......

ceria...

Jakarta, 8 Januari 2012

Nora Uzhma Naghata

Bogor, 24 Februari 2011

Nora Uzhma Naghata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Taman Safari Puncak

Bogor, 24 Februari 2011

Bandara Ahmad Yani

Semarang, 28 September 2011

Rileks

*********

Nur Rosihin Ana

Semarang, 19 Oktober 2010

Nur Rosihin Ana

mahkamah dusturiyyah, 18 Juli 2012

Nur Rosihin Ana

Hotel Yasmin, Puncak, Desember 2010

Nora Uzhma Naghata

Naghata

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Demak, 11 September 2011

Nur Rosihin Ana

Nagreg, Bandung 11 Juli 2011

Nora Uzhma Naghata, Sri Utami, Najuba Uzuma Akasyata, Nur Rosihin Ana

Sapa senja di Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Sapa Senja Jepara

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

...bebas, lepas...

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Rabu, 11 Mei 2016

Ojek Online termasuk Angkutan Umum?

Kehadiran transportasi online memicu pro-kontra. Definisi angkutan umum, dinilai ambigu. Apakah ojek motor termasuk angkutan umum?

Perkembangan teknologi khususnya di bidang penyelenggaraan dan penyediaan angkutan umum telah berkembang pesat. Salah satu buktinya adalah munculnya sejumlah perusahaan berbasis aplikasi online yang memfasilitasi penyediaan jasa angkutan orang dan/atau barang kepada masyarakat Indonesia dengan menggunakan jaringan internet.
Munculnya teknologi berbasis aplikasi online tersebut pada perkembangannya telah secara nyata memberikan pilihan serta memfasilitasi masyarakat Indonesia dalam menggunakan dan memilih jenis angkutan umum di dalam kehidupan kesehariannya dengan biaya yang lebih terjangkau, disamping faktor kenyamanan, keamanan dan kemudahan. Hal ini kemudian secara langsung maupun tidak langsung menjadi alternatif solusi atas sejumlah permasalahan maupun kebutuhan masyarakat dalam menggunakan angkutan umum.
Namun demikian, eksistensi dari angkutan-angkutan berbasis aplikasi online pada perkembangannya saat ini justru membawa polemik baru di tengah kehidupan masyarakat. Muncul pro-kontra mengenai legalitas angkutan berbasis aplikasi online. Bahkan terdapat sejumlah tindakan dari Pemerintah, berupa kebijakan, yang berpotensi mengancam keberlangsungan operasi dari angkutan-angkutan berbasis aplikasi online. Padahal, setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan Ana
manfaat atas perkembangan teknologi. Hak konstitusional ini dijamin dan dilindungi di dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.
Demikian dalil permohonan uji materiil Pasal 138 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) terhadap Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Permohonan ini diajukan oleh dua advokat yakni M. Ridwan Thalib dan R. Artha Wicaksana. M. Ridwan Thalib menyerahkan permohonan uji materi UU LLAJ ini, pada 29 Maret 2016 pukul 13.31 WIB. Permohonan dilengkapi dengan bukti P-1 sampai P-12.
Setelah permohonan lengkap, Kepaniteraan Mahkamah meregistrasi permohonan dengan Nomor 41/PUU-XIV/2016 pada 28 April 2016. Selanjutnya Mahkamah menetapkan panel hakim yang memeriksa perkara ini, yakni trio Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Manahan MP Sitompul, serta didampingi Hani Adhani sebagai panitera pengganti. Mahkamah juga mengagendakan sidang pemeriksaan pendahuluan perkara ini pada 17 Mei 2016.
Para Pemohon yang merupakan konsumen angkutan umum, merasa tidak mendapatkan kepastian hukum terkait legalitas angkutan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu regulasi yang berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon adalah rumusan yang terdapat dalam Pasal 138 ayat (3) UU LLAJ.
Pemohon menegaskan bahwa permohonan sama sekali bukan bermaksud untuk menyerang kebijakan Pemerintah dalam mengatur penyediaan dan pelaksanaan pengangkutan orang dan/atau barang. Namun lebih kepada upaya untuk melindungi, mempertegas, serta menguatkan hak-hak kontitusional warga negara. Yaitu hak untuk mendapatkan kepastian hukum dan hak pemanfaatan teknologi dalam memilih dan menikmati penggunaan angkutan orang dan/atau barang yang seharusnya menjadi hak mutlak warga negara sebagai pengguna angkutan umum.

Definisi yang Ambigu
Rumusan UU LLAJ tidak mengatur secara tegas mengenai definisi frasa “Angkutan umum orang dan/atau barang”. Frasa ini pun hanya muncul pertama dan terakhir dalam Pasal 138 UU LLAJ.
Padahal kata “Angkutan” dalam Pasal 1 angka 3 UU LLAJ telah dimaknai secara pasti dan tegas yaitu, “Perpindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan Kendaraan di Ruang Lalu Lintas Jalan”. Namun patut disayangkan, frasa “Angkutan umum orang dan/atau barang” secara utuh tidak pernah didefinisikan secara tegas dan pasti.
Tidak adanya tafsir yang komprehensif terhadap frasa “Angkutan umum orang dan/atau barang” menyebabkan frasa tersebut menjadi ambigu. Para pihak yang terkait di bidang transportasi angkutan umum pun dapat secara bebas memberikan pemaknaan atau interpretasi terhadap frasa tersebut.
Misalnya, pendapat Regulator/Pemerintah cq Kemenhub yang secara implisit menyatakan penyediaan jasa “Angkutan umum” harus/wajib dilaksanakan oleh “Perusahaan Angkutan Umum”. Hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 139 Ayat (4) UU LLAJ yang menyatakan, “Penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau badan hukum lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Sedangkan definisi Perusahaan Angkutan Umum menurut ketentuan Pasal 1 angka 21 UU LLAJ menyebutkan “Badan Hukum yang menyediakan jasa angkutan orang dan/atau barang dengan Kendaraan Bermotor Umum.” Definisi Perusahaan Angkutan Umum menurut ketentuan ini, mengandung tiga unsur, yakni berbadan hukum, menyediakan jasa angkutan orang dan/atau barang, dan menggunakan Kendaraan Bermotor Umum. Namun ketika definisi Perusahaan Angkutan Umum tersebut dicermati lebih lanjut, maka terlihat jelas bahwa jasa yang disediakan oleh Perusahaan Angkutan Umum tersebut bukanlah Jasa Angkutan Umum tetapi Jasa angkutan orang dan/atau barang.
Sedangkan bersumber pada Pasal 137 ayat (1) UU LLAJ, jasa penyediaan angkutan orang dan/ atau barang, dapat pula dilaksanakan oleh siapapun, sehingga tidaklah harus dilaksanakan oleh Perusahaan Angkutan Umum. Pasal 137 ayat (1) menyatakan, “Angkutan orang dan/atau barang dapat menggunakan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor.”

Inkonsistensi Arti
Ambiguitas definisi dari “Angkutan umum orang dan/atau barang” menimbulkan ketidakpastian makna hukum secara substansial antara “angkutan orang dan/atau barang” dengan “angkutan umum orang dan/atau barang”. Hal ini mengundang beberapa pertanyaan, apakah yang dinamakan angkutan umum orang dan/atau barang(?); apakah perbedaan antara angkutan umum orang dan/atau barang dengan angkutan orang dan/atau barang(?); Siapakah yang dapat melakukan pengangkutan umum orang dan/atau barang(?); kemudian, kendaraan apakah yang dapat melakukan pengangkutan umum orang dan/atau barang(?)
Oleh karena itu, apabila di dalam praktiknya terdapat pihak-pihak yang bukan merupakan Perusahaan Angkutan Umum, namun melakukan penyediaan jasa angkutan orang dan/atau barang bagi warga masyarakat, hal tersebut tidak dapat langsung dinyatakan sebagai bentuk pelanggaran terhadap UU LLAJ. Sebab UU LLAJ tidak pernah secara tegas dan pasti memberikan pemaknaan frasa “Angkutan umum orang dan/atau barang”.

Kendaraan Bermotor Umum
Definisi “kendaraan” menurut ketentuan Pasal 1 angka 7 UU LLAJ yaitu, “Suatu sarana angkut di jalan yang terdiri atas Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor.” Definisi tersebut mengandung dua kategori umum yakni, Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor.
Pelaksanaan Angkutan umum orang dan/atau barang telah dibatasi pada Pasal 138 ayat (3) UU LLAJ, yang pada hakikatnya menyatakan proses pengangkutan umum hanya dilakukan oleh Kendaraan Bermotor Umum.
Namun pada faktanya, selain definisi dari “Angkutan umum orang dan/atau barang” tersebut absurd dan tidak jelas. Hal ini diperparah dengan kenyataan syarat untuk memenuhi definisi/makna dari Kendaraan Bermotor Umum ternyata juga bersifat multitafsir dan tidak pasti.
Lalu, apa syarat suatu kendaraan dapat diklasifikasikan sebagai Kendaraan Bermotor Umum? berrdasarkan uraian unsur dari Pasal 1 angka 10 UU LLAJ tersebut di atas, dapat disimpulkan, syarat mutlak dari Kendaraan Bermotor Umum haruslah memiliki sifat sebagai Kendaraan (baik sebagai Kendaraan Bermotor maupun Kendaraan Tidak Bermotor), yang digunakan sebagai angkutan orang dan/atau barang dan dalam proses pengangkutannya, Kendaraan tersebut memungut bayaran sebagai imbalan jasa.
Kendaraan berdasarkan ketentuan Pasal 47 ayat (1) UU LLAJ terdiri atas, Kendaraan Bermotor, dan Kendaraan Tidak Bermotor. Berdasarkan jenis Kendaraan Bermotor, Pasal 47 ayat (2) UU LLAJ menyebutkan yaitu, sepeda motor, mobil penumpang, mobil bus, mobil barang, dan kendaraan khusus. Sedangkan berdasarkan fungsinya, Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ mengelompokkan fungsi Kendaraan Bermotor terdiri atas, Kendaraan Bermotor perseorangan, dan Kendaraan Bermotor Umum. Sedangkan kelompok Kendaraan Tidak Bermotor dalam Pasal 47 ayat (4) UU LLAJ yaitu, Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga orang, dan Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga hewan.

Ojek Motor
Ketentuan Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ di atas, jelas dinyatakan, berdasarkan fungsinya, kendaraan bermotor dengan jenis sepeda motor tidak masuk di dalam klasifikasi Kendaraan Bermotor Umum maupun Kendaraan Bermotor perserorangan. Kendati demikian, masyarakat di Indonesia masih memanfaatkan sepeda motor sebagai salah satu jenis angkutan umum orang dan/atau barang. Masyarakat menyebutnya dengan Ojek Motor.
Masyarakat di Indonesia menggunakan sepeda motor atau ojek motor sebagai angkutan umum orang dan/atau barang di dalam kehidupan sehari-hari. Para Pemohon juga termasuk pengguna jasa ojek motor tersebut, baik digunakan untuk mengantar barang atau menjadi sarana transportasi.
Jika dicermati lebih seksama, sepeda motor atau ojek motor telah memenuhi definisi Kendaraan Bermotor Umum. Alasannya, pertama, sepeda motor masuk ke dalam jenis Kendaraan Bermotor sesuai ketentuan Pasal 47 ayat (2) Jo. Pasal 1 ayat (8) UU LLAJ. Kedua, sepeda motor digunakan untuk angkutan orang dan/atau barang. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 137 (2) UU LLAJ yang menyatakan pengangkutan orang dapat dilakukan oleh Kendaraan Bermotor berupa sepeda Motor, mobil penumpang, atau mobil bus. Ketiga, dipungut bayaran. Ojek motor memungut bayaran sebagai bentuk imbalan jasa pengangkutan orang dan/atau barang.
Berdasarkan unsur-unsur atas definisi Kendaraan Bermotor Umum di atas, maka ojek motor telah memenuhi syarat/unsur sebagai Kendaraan Bermotor Umum. Oleh karena itu, sepeda motor sudah sepatutnya juga dapat melakukan proses pengangkutan umum orang dan/atau barang.

Pemanfaatan Teknologi
Setiap warga negara, termasuk para Pemohon, memiliki hak untuk mendapatkan manfaat atas perkembangan teknologi. Hak konstitusional ini dijamin dan dilindungi di dalam Pasal 28C ayat 1 UUD 1945.
Perkembangan teknologi adalah suatu bagian dari perkembangan zaman yang tidak dapat dihindari (inevitable). Perkembangan teknologi kini juga menghampiri dunia transportasi/angkutan umum di Indonesia dengan dibuktikannya kemudahan-kemudahan proses pengangkutan orang dan/atau barang berbasis aplikasi telekomunikasi, informatika dan internet. Misalnya pemesanan tiket kereta api, pesawat, sewa mobil melalui website melalui telfon, e-mail, atau website, gadget.
Dalam beberapa tahun belakangan, pemesanan sewa kendaraan mobil (berikut supirnya) untuk jarak dan waktu tertentu di daerah Jakarta, Surabaya, Bandung dan kota besar lainnya melalui teknologi aplikasi online (android maupun Apple). Pembayaran sewa dapat dilakukan melalui kartu kredit (cashless transaction) maupun tunai. Begitu pula dengan pemesanan sewa motor roda dua.
Dampak teknologi tersebut di atas telah memberikan keuntungan bagi Pemohon. Pemohon mendapatkan rasa aman dalam berkendaraan karena kendaraan-kendaraan tersebut dilengkapi dengan fitur Global Positioning System. Pemohon juga merasa nyaman dalam memesan dan menikmati angkutan kendaraan tersebut karena pemesanan dapat dilakukan melalui gadget yang mana aplikasi pemesanan tersebut telah disediakan.
Selain itu, harga yang lebih ekonomis dan terjangkau dimana penumpang diberikan harga sewa kendaraan terbaik berdasarkan tingkat kemacetan dan jarak.
Namun pemerintah CQ Kemenhub, pada faktanya masih membatasi dan menghalangi Hak-Hak Konstitusional Pemohon dalam menikmati keuntungan-keuntungan yang bersumber pada hak atas pemanfaatan teknologi angkutan umum orang dan/atau barang berbasis teknologi aplikasi online, dengan bersumber pada argumen bahwa penyediaan sewa mobil/motor berbasis teknologi aplikasi online tidak memenuhi kualifikasi sebagai “Perusahaan Angkutan Umum” dan “Angkutan umum orang dan/atau barang” sekaligus kendaraan tersebut tidak termasuk sebagai kategori “Kendaraan Bermotor Umum” sebagaimana diatur dalam Pasal 138 ayat (3) UU No. 22/2009.
Hal tersebut tercermin dengan terbitnya surat permohonan pembokiran aplikasi Uber Taxi dan Grab Car oleh Kementrian Perhubungan dalam surat nomor AJ 206/1/1 PHB 2016 tertanggal 14 Maret 2016 oleh Kementrian Perhubungan yang ditujukan kepada Menteri Komunikasi dan Informatika. Kemudian Surat Pemberitahuan Nomor UM.3012/1/21/ Phb/2015 terkait Larangan Operasi untuk Go-Jek tertanggal 9 November 2015 oleh Kementrian Perhubungan.
Pemerintah CQ Kemenhub dalam 3 bulan terakhir, berpendapat penyedia penyewaan angkutan orang dengan mobil penumpang dengan basis teknologi aplikasi online haruslah berentitas Perusahaan Angkutan Umum sesuai ketentuan Pasal 1 angka 21 UU No. 22/2009 dan oleh karenanya kendaraan angkutan orang dan/atau barang haruslah masuk kategori sebagai Kendaraan Umum Bermotor (Pasal 1 angka 8 UU LLAJ).

Pemaknaan Ulang
Para Pemohon berkesimpulan bahwa agar rumusan Pasal 138 ayat (3) UU No. 22/2009 yang menyatakan: Angkutan umum orang dan/atau barang hanya dilakukan dengan Kendaraan Bermotor Umum”, sudah seharusnya untuk dimaknai ulang sebagai “Angkutan umum orang dan/atau barang dapat dilakukan dengan Kendaraan Bermotor Umum.” Bahwa dengan melakukan pemaknaan ulang terhadap Pasal 138 ayat (3) UU No. 22/2009 agar kata “hanya” menjadi kata “dapat”, semakin mempertegas dan memberikan kepastian hukum bahwasanya proses pengangkutan umum orang dan/atau barang dapat dilakukan dengan menggunakan Kendaraan diluar “Kendaraan Bermotor Umum”. Sehingga dalam hal ini, instrumen angkutan umum dan/atau barang akan bersifat pilihan (optional) bagi seluruh warga negara.
Pemaknaan ulang tersebut akan mengakomodir serta melingkupi seluruh jenis angkutan yang secara faktual berada dan dimanfaatkan oleh masyarakat agar dapat beroperasi dan memperoleh kepastian hukum, dengan mengedepankan kebutuhan, kenyamanan, keamanan bagi warga negara dalam menggunakan serta memanfaatkan segala jenis angkutan umum orang dan/atau barang dalam kehidupan kesehariannya. Pemaknaan ulang terhadap Pasal 138 ayat (3) UU LLAJ tidak akan memunculkan ketidakpastian hukum yang baru atau lebih jauh sehubungan pembebasan dan/atau perluasan mengenai apa yang dikategorikan sebagai angkutan umum orang dan/atau barang.
Pemaknaan ulang terhadap Pasal 138 ayat (3) UU LLAJ bukan untuk menghalangi, mengurangi bahkan menghilangkan peranan Pemerintah sebagai regulator dalam mengatur dan menyediakan sarana pengangkutan orang dan/atau barang. Namun lebih kepada upaya untuk melindungi, mempertegas serta menguatkan hak-hak kontitusional warga negara dalam mendapatkan hak atas kepastian hukum dan hak untuk mendapatkan manfaat atas perkembangan teknologi sebagaimana yang dijamin oleh konstitusi. Dengan demikian, pemaknaan ulang tersebut merupakan jalan keluar terbaik untuk menyelesaikan segala polemik dan kerugian konstitusional Para Pemohon yang telah dan/atau berpotensi terjadi sehubungan pelanggaran hak atas kepastian hukum dan hak untuk mendapatkan manfaat atas perkembangan teknologi sebagaimana yang dijamin oleh UUD NRI 1945.
Akhirnya, para Pemohon dalam petitum meminta kepada Mahkamah Menyatakan Pasal 138 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai, “Angkutan umum orang dan/atau barang dapat dilakukan dengan Kendaraan Bermotor Umum.”

Nur Rosihin Ana

Rubrik Catatan Perkara Majalah Konstitusi Nomor 111 • Mei 2016
readmore »»  

Selasa, 10 Mei 2016

Suara Difabel

Hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum adalah hak dasar (basic right) setiap warga negara yang dijamin oleh konstitusi. Seluruh produk peraturan perundang-undangan tentang Pemilu harus membuka ruang dan akses yang seluas-luasnya bagi setiap warga negara untuk dapat menggunakan hak pilihnya. Menghilangkan hak memilih bagi warga negara merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia.
Namun demikian, konstitusi juga memberikan batasan kepada setiap orang dalam menjalankan hak dan kebebasannya. Pembatasan ini ditetapkan dengan undang-undang. Adapun maksud dari pembatasan ini adalah semata-mata untuk menjamin hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil.
Di sekeliling kita, terdapat warga negara penyandang disabilitas, atau dikenal dengan istilah difabel (different ability). Penyandang disabilitas (disability) adalah orang yang mengalami keterbatasan diri.
Apakah mereka berhak memberikan suara atau memilih (right to vote) dalam Pemilu atau pemilihan kepala daerah? Ketentuan Pasal 57 ayat (3) huruf a UU Pilkada (UU Nomor 8 Tahun 2015) menyebutkan persyaratan bagi pemilih dalam pilkada. Yakni, “tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya”. Dengan kata lain, warga yang mengidap gangguan mental, tidak memenuhi syarat sebagai pemilih.
Ketentuan tersebut dinilai bersifat diskriminatif bagi pengidap disabilitas gangguan mental. Mereka kehilangan hak memilih untuk dapat berpartisipasi dalam memilih calon kepala daerahnya. Ketentuan tersebut juga dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum dalam proses pelaksanaan Pilkada, khususnya pada tahapan pemutakhiran dan pendaftaran pemilih.
Padahal psikososial atau disabilitas gangguan mental, bukanlah penyakit yang muncul terus menerus dan datang setiap saat. Terkadang gejala gangguan mental muncul pada dirinya. Saat gejala tersebut hilang, dia menjadi normal kembali. Bahkan orang yang bukan penyandang disabilitas pun suatu saat bisa sedih, marah-marah, hingga terganggu jiwanya.
Tidak dapat dipastikan kapan pengidap psikososial kambuh gejalanya. Begitu pula kapan hilangnya juga tidak dapat dipastikan. Bisa saja pengidap disabilitas gangguan mental dalam kondisi sehat saat pendaftaran pemilih.
Ketentuan dalam UU Pilkada tersebut dinilai diskriminatif. Terlebih lagi Indonesia sudah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak Penyandang Disabilitas. Pasal 29 Konvensi PBB tersebut menyebutkan partisipasi penyandang disabilitas dalam kehidupan politik dan publik. Negara harus menjamin hak politik penyandang cacat dapat berpartisipasi dalam kehidupan politik dan publik secara penuh dan efektif, baik secara langsung maupun melalui perwakilan yang dipilih secara bebas. Mereka memiliki hak dan kesempatan untuk memilih dan dipilih. Penyandang cacat juga harus mendapatkan jaminan kemudahan untuk mengakses dan menggunakan prosedur, fasilitas dan materi pemilihan.
Pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, cukup jelas tertoreh dalam konstitusi kita. Penyandang disabiltas berhak hidup sejajar dengan warga lainnya dalam segala bidang kehidupan, baik ekonomi, politik, sosial dan budaya. Kondisi disabilitas tidak boleh menjadi penyebab hilangnya harkat dan martabat seseorang.

Nur Rosihin Ana

Rubrik Editorial Majalah Konstitusi Nomor 111 • Mei 2016
readmore »»  

Rabu, 20 April 2016

Ketika Jaksa Ajukan PK

Peninjauan Kembali (PK) merupakan upaya hukum untuk melindungi terpidana. Selayaknya upaya PK menjadi domain terpidana atau ahli warisnya. Lalu bagaimana jika PK diajukan oleh jaksa, apakah ada salah tafsir dalam hukum acara pidana?

Medio 2009 silam, Direktur PT. Era Giat Prima, Djoko Soegiarto Tjandra, melakukan perjalanan bisnis ke luar negeri. Sejak saat itu hingga kini, Djoko belum kembali ke Indonesia. Djoko merasa tidak aman dan ketakutan untuk kembali ke Indonesia. Hal ini akibat PK yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Demikian pengakuan istri Djoko Soegiarto Tjandra, Anna Boentaran, yang tertuang dalam permohonan uji materi Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209), selanjutnya disebut KUHAP, terhadap UUD 1945. Adapun materi yang diujikan yaitu ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP.
Anna melalui kuasa hukumnya, Muhammad Ainul Syamsu, pada 17 Maret 2016 mendatangi gedung Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menyerahkan permohonan uji materi KUHAP. Permohonan ini dilengkapi dengan bukti P1 sampai dengan P14.
Kepaniteraan Mahkamah meregistrasi permohonan Anna dengan Nomor Perkara 33/PUU-XIV/2016 pada 21 Maret 2016. Mahkamah juga membentuk panel hakim yang terdiri dari tiga hakim konstitusi untuk memeriksa perkara ini, yakni Manahan MP Sitompul (ketua panel), I Dewa Gede Palguna, dan Patrialis Akbar, serta didampingi seorang panitera, Yunita Ramadhani.
Sidang pemeriksaan pendahuluan digelar pada Kamis 24 Maret 2016. Kemudian pada Selasa 5 April 2016, kuasa hukum Pemohon mendatangi MK untuk menyerahkan perbaikan permohonan sesuai arahan dan nasihat hakim pada sidang pendahuluan. Sidang berikutnya dengan agenda perbaikan permohonan, digelar pada Rabu, 6 April 2016.
Anna Boentaran merasa dirugikan oleh ketentuan tersebut. Dalam kedudukan hukum (legal standing), Anna melampirkan bukti sebagai istri yang sah dari Djoko Soegiarto Tjandra berdasarkan Akte Perkawinan Nomor 2440/1981 tanggal 24 September 1981 (Bukti P-6). Sebagai istri Djoko, Anna mempunyai hak konstitusional untuk memperoleh perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan sesuai Pasal 28G UUD 1945. Secara implisit, Pasal 28G UUD 1945 memandang pentingnya perlindungan keluarga guna mencapai tujuan perkawinan, yaitu “membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu, suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spirituil dan material” (vide Penjelasan Umum UU No. 1/1974) (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) (Bukti P-15). Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa suami istri adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Hal-hal buruk yang menimpa suami akan dirasakan oleh istri, dan begitupun sebaliknya.

Pasal 263 ayat (1) KUHAP
Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.


Upaya PK Jaksa
Anna merasa penegakan hukum terhadap suaminya bertentangan dengan kepastian hukum yang adil yang menjadi ciri utama dari negara hukum sesuai Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. PK terhadap putusan lepas dari tuntutan hukum yang diajukan oleh JPU terhadap suaminya menjadi penyebab suami Anna belum kembali ke Indonesia.
Djoko Soegiarto Tjandra berstatus sebagai orang yang bebas merdeka (tidak berstatus sebagai terdakwa atau terpidana) kala ia sedang melakukan perjalanan bisnis ke luar negeri pada medio 2009 silam. Hingga permohonan uji materi KUHAP ini diujikan ke MK pada 17 Maret 2016, ia belum jua kembali ke Indonesia. Djoko takut kembali ke Indonesia karena adanya upaya PK yang diajukan oleh JPU.
Menurut Anna, kepergian suaminya sebelum putusan PK bukanlah pembangkangan hukum. Sebab selama proses penyidikan sampai persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, suaminya selalu menaati proses hukum meskipun dilakukan penahanan terhadapnya.
Adapun PK yang diajukan oleh JPU yaitu PK terhadap putusan lepas dari tuntutan hukum berdasarkan Putusan PN Jakarta Selatan No. 156/Pid.B/2000/Jak.Sel jo Putusan No. 1688 K/Pid/2000. PK tersebut diajukan setelah delapan tahun sejak kedua putusan tersebut di atas mempunyai kekuatan hukum tetap. Bahkan putusan kasasi tersebut telah dilaksanakan sebagaimana Surat Perintah Pelaksanaan Putusan Pengadilan/Mahkamah Agung (MA) No. Prin-139/o.1.14/Fu.1/09/2001 tanggal 28 September 2001 beserta Berita Acaranya tanggal 29 September 2001 (Bukti P-16) dan telah pula dieksekusi oleh JPU sebagaimana terbukti dalam Berita Acara Eksekusi No WKMA/73/VIII/2002 tanggal 22 Agustus 2002 (Bukti P-7).
Namun JPU tetap mengajukan PK yang bertentangan dengan UU. Apalgi jika PK tersebut diajukan terhadap putusan lepas dari tuntutan hukum (onslag van rechtvervolging) yang nyata-nyata bertentangan dengan Pasal 263 ayat (1) KUHAP.
Putusan PN Jakarta Selatan Nomor 156/Pid.B/2000/PN.Jak.Sel tersebut menyatakan Djoko lepas dari tuntutan hukum karena perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi bukan merupakan tindak pidana. Kemudian Putusan MA Nomor 1688K/Pid/2000, MA menyatakan menolak permohonan kasasi dari Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Oleh karenanya putusan tersebut tetap mengacu kepada Putusan PN Jakarta Selatan.
Terhadap putusan MA tersebut, JPU mengajukan PK. Putusan Mahkamah Agung (Peninjauan Kembali) No. 12 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009 menyatakan Djoko terbukti turut serta melakukan tindak pidana korupsi dan dijatuhi pidana dua tahun penjara.
Putusan No. 12 PK/Pid.Sus/2009 ini diwarnai perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari dua hakim agung, yaitu Komariah Emong Sapardjaja dan Suwardi. Hakim Agung Komariah Emong Sapardjaja menyatakan, PK adalah upaya hukum yang diadakan untuk melindungi kepentingan terpidana. Sejalan dengan penafsiran sistematis berdasarkan Pasal 3 KUHAP, maka PK adalah upaya hukum luar biasa bagi terpidana, bukan JPU. Sedangkan Hakim Agung Suwardi menyatakan, PK dalam perkara pidana mengacu kepada Pasal 263 KUHAP sebagai lex specialis dari Pasal 23 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 263 KUHAP diatur secara tegas dan limitatif bahwa PK hanya dapat diajukan oleh terpidana dan ahli warisnya dan diajukan terhadap putusan selain bebas dan lepas dari tuntutan hukum. Oleh karenanya JPU tidak berwenang untuk mengajukan PK. Terlebih lagi jika PK diajukan terhadap putusan lepas dari tuntutan hukum. Dengan demikian, Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 harus dipahami dalam konteks asas pembatasan kewenangan, sehingga PK hanya dapat diajukan oleh terpidana dan ahli warisnya; dan PK tidak dapat diajukan terhadap putusan bebas dan lepas dari tuntutan hukum.
Kesewenang-wenangan Hukum
Pendapat kedua hakim agung di atas sejalan dengan prinsip-prinsip due process of law yang menegaskan bahwa penegakan hukum harus dilaksanakan sesuai hukum, tidak bertentangan dengan undang-undang karena hal itu akan menghilangkan kepastian hukum serta mengedepankan asas pembatasan kewenangan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan pelanggaran hak asasi manusia. Jika JPU sebagai representasi dari pemerintah ternyata bertindak sewenang-wenang dan mengabaikan perlindungan hak asasi Anna dan suaminya lantas kemana lagi Pemohon, suami Pemohon, anak-anak dan keluarga akan mencari kepastian hukum dan jaminan atas perlindungan hukum dan keadilan? Kejaksaan seharusnya bertanggung jawab atas perlindungan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia dalam penegakan hukum yang dijamin Pasal 28I ayat (4) UUD 1945. Kejaksaan juga harus memastikan bahwa setiap warga negara yang telah menerima putusan yang berkekuatan hukum tetap harus memperoleh haknya atas jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, termasuk bagi Pemohon dan keluarga yang dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga PK tidak diajukan oleh JPU.
Kesewenang-wenangan hukum tersebut secara nyata-nyata terjadi kepada suami Anna dan menimbulkan implikasi secara langsung kepada diri Anna, anak-anak dan keluarga yang sampai ini masih tidak dapat berkumpul layaknya keluarga pada umumnya dan tidak dapat menikmati hak-hak yang dijamin konstitusi dan hukum. Implikasi tersebut merugikan hak konstitusional Anna yang dijamin Pasal 28G UUD 1945 karena hilangnya perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan dan martabat. Bahkan ketidakpastian hukum dan hilangnya perlindungan martabat dan kehormatan tersebut secara potensial dapat terjadi kepada Anna, anak-anak Anna dan keluarganya serta semua rakyat Indonesia manakala berhadapan dengan hukum.
Menurut Anna, kesewenang-wenangan tersebut terjadi disebabkan Pasal 263 ayat (1) KUHAP tidak memberikan kepastian hukum, bersifat multitafsir dan tidak memuat pengaturan secara tegas tentang “konsekuensi yuridis” manakala PK dilaksanakan tidak sesuai dengan cara-cara yang ditentukan dalam KUHAP. Hal ini membuka ruang terjadinya penegakan hukum yang represif, tidak berkeadilan dan melanggar hak asasi yang merugikan Anna, suami, anak-anak, dan keluarganya.
Hak Terpidana dan Ahli Warisnya
Pasal 263 ayat (1) KUHAP tidak menyebutkan JPU sebagai pihak yang diberi hak untuk mengajukan PK. Maka seharusnya JPU tidak dapat mengajukan PK. Pengabaian dan ketidakpatuhan terhadap undang-undang dapat merusak tertib hukum dan menjauhkan kita dari cita hukum nasional yang bersumber dari Pancasila dan UUD 1945, terlebih lagi jika pengabaian dan ketidakpatuhan itu dilakukan oleh alat perlengkapan negara sebagaimana terjadi dalam Pengajuan PK oleh Jaksa Penuntut Umum yang bertentangan dengan Pasal 263 ayat (1) KUHAP.
Secara prinsipil kaidah dan norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP seharusnya mengandung pembatasan kewenangan bagi JPU agar tidak mengajukan permohonan PK. Namun hal itu tidak dipahami dan dihayati dengan baik oleh JPU, sehingga PK tetap diajukan.
Hanya Terpidana dan ahli warisnya yang diberikan hak untuk mengajukan PK. Pihak lain termasuk JPU dilarang mengajukan PK. Kemudian, terhadap putusan bebas dan lepas dari tuntutan hukum, tidak dapat diajukan PK.
Alasan “kepentingan negara” atau “kepentingan umum” yang seringkali digunakan sebagai alasan oleh JPU dalam mengajukan PK adalah salah satu bentuk kesewenang-wenangan hukum. Dalam sistem peradilan pidana Indonesia, Kejaksaan ditempatkan sebagai perwakilan negara dan masyarakat umum sehingga bisa dipastikan bahwa Kejaksaan selalu melakukan penuntutan atas dasar kepentingan umum dan kepentingan negara. Namun jika alasan tersebut ditafsirkan secara subyektif, maka hal itu berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia. Terlebih lagi jika kepentingan negara dan kepentingan umum dihadap-hadapkan dengan kepentingan pribadi terdakwa dan berakhir pada keputusan bahwa kepentingan terdakwa harus selalu dikalahkan. Jika penafsiran semacam itu yang dipupuk dalam pembangunan peradilan pidana kita, maka hal itu justru akan merusak bangunan sistem peradilan pidana kita karena kepentingan terdakwa menjadi tidak berharga dan dapat dilanggar kapan saja karena alasan kepentingan umum atau kepentingan negara.
Alasan “kepentingan negara” dan “kepentingan umum” seharusnya ditafsirkan sesuai cita hukum nasional agar sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945. Alasan yang diemban oleh JPU ini harus diletakkan dalam konteks asas keseimbangan yang diberikan oleh KUHAP, yaitu adanya upaya hukum luar biasa yang diberikan kepada Jaksa Agung berupa Kasasi demi kepentingan hukum dan yang diberikan kepada terpidana dan ahli warisnya berupa PK. Justru PK oleh JPU bertentangan dengan cita hukum nasional, Pancasila dan UUD 1945, khususnya Pasal 28D ayat (1) dan pada akhirnya akan merusak bangunan sistem peradilan pidana Indonesia.
Mahkamah Agung (MA) sampai saat ini merupakan salah satu penjaga hukum yang dapat mencegah terjadinya pengajuan PK oleh JPU. Hal ini sebagaimana Putusan MA Nomor 84 PK/Pid/2006 (Bukti P-14) yang dalam pertimbangannya menyatakan bahwa yang dapat mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya. Artinya bahwa yang bukan terpidana atau ahli warisnya tidak dapat mengajukan PK.
Dalam pertimbangan putusan MA tersebut juga ditegaskan bahwa JPU tidak dapat mengajukan permohonan PK atas putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap. Oleh karenanya apa yang dimohonkan oleh JPU merupakan kesalahan dalam penerapan hukum acara, sehingga permohonan PK yang diajukan JPU haruslah dinyatakan tidak dapat diterima.
Pertimbangan tersebut di atas mencerminkan asas legalitas dalam fungsi negatif yang membatasi kewenangan penegak hukum. Ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP tidak menyebutkan JPU. Hal ini berarti bahwa JPU dilarang mengajukan permohonan PK.
Putusan MA telah menyatakan JPU tidak berwenang mengajukan PK. Namun faktanya sampai saat ini masih banyak ditemukan JPU yang mengajukan PK. Untuk itu diperlukan peran serta MK bersama-sama dengan MA dalam mencegah pelanggaran UU, yakni pengajuan PK oleh JPU terhadap putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum, dengan cara memberikan tafsir konstitusional terhadap Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 agar memberikan kepastian hukum dan menutup penafsiran yang merugikan hak-hak masyarakat pencari keadilan.
Penemuan Hukum
PK yang diajukan oleh JPU tidak berkaitan dengan implementasi norma, tetapi merupakan akibat dari norma dan kaidah Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang tidak tegas mengatur larangan PK oleh JPU, sehingga menimbulkan berbagai penafsiran.
Ketidakjelasan pengaturan Pasal 263 ayat (1) KUHAP tentang PK oleh JPU seringkali dipandang sebagai kekosongan hukum, sehingga diperlukan penemuan hukum. Putusan MA Nomor 84 PK/Pid/2006 adalah penemuan hukum yang menyelaraskan kepastian hukum dan keadilan. Kepastian hukum dalam putusan tersebut mengacu kepada Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang secara prinsipil melarang JPU dan pihak-pihak lain selain terpidana dan ahli warisnya mengajukan permohonan PK.
Banyaknya PK yang diajukan oleh JPU secara terus menerus, menunjukkan bahwa Pasal 263 ayat (1) KUHAP tidak menampakkan asasnya sehingga tidak dapat dipahami dan dihayati dengan baik oleh JPU. Rumusan dan batang tubuh pasal tersebut tidak menegaskan larangan bagi JPU dalam mengajukan PK, sehingga menimbulkan penafsiran bahwa PK dapat diajukan oleh JPU.
Tafsir Konstitusional
Anna Boentaran melalui tim kuasa hukumnya memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menegaskan kembali asas hukum dalam pasal tersebut melalui tafsir konstitusional yang menjadi satu kesatuan yang tidak terpisah dengan pasal dimaksud, sehingga dapat memenuhi amanat konstitusi untuk memberikan kepastian hukum yang adil. Penafsiran ini bukanlah penambahan atau perubahan norma, melainkan hanya menegaskan kembali asas-asas hukum yang terkandung dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP melalui tafsir konstitusional terhadap pasal tersebut. Hal ini dimaksudkan sebagai sanksi yang diharapkan dapat mendorong penegak hukum agar menegakkan hukum secara hati-hati, bertanggung jawab dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Semestinya MK yang dikenal sebagai “the guardian and the final interpreter of constitution” untuk menyatakan Pasal 263 ayat (1) KUHAP tidak sesuai dengan kaidah konstitusi tentang asas negara hukum dan asas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta persamaan di hadapan hukum, perlindungan dari perlakuan diskriminatif, perlindungan atas pribadi dan keluarga, kehormatan, martabat, perlindungan atas rasa aman dan dari ketakutan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G, Pasal 28I ayat (2) dan ayat (4) UUD 1945. Oleh karena itu, Anna Boentaran memohon kepada MK agar memberikan penafsiran konstitusional terhadap Pasal 263 ayat (1) KUHAP sebagaimana pernah dilakukan oleh MK dalam beberapa putusan, antara lain Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan Putusan No. 49/PUU-VIII/2010.
Penafsiran yang dimaksud adalah jika Pasal 263 ayat (1) KUHAP dibiarkan tanpa perubahan dan penegasan, maka kaidah undang-undang yang diatur dalam pasal itu secara kondisional tetap inkonstitusional (conditionally unconstitutional), yakni bertentangan dengan kaidah-kaidah konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G, Pasal 28I ayat (2) dan ayat (4) UUD 1945. Oleh karena itu, agar Pasal 263 ayat (1) KUHAP menjadi conditionally constitutional, maka haruslah diberi tafsir konstitusional.
Dalam petitumnya, Anna Boentaran meminta MK agar menyatakan Pasal 263 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang dimaknai memberikan hak kepada Jaksa Penuntut Umum atau penegak hukum lainnya untuk mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung dan Peninjauan Kembali dari pihak selain terpidana dan ahli warisnya tidak batal demi hukum.
Atau menyatakan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) jika diartikan bahwa “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Permohonan Peninjauan Kembali dari pihak selain Terpidana dan ahli warisnya batal demi hukum”.


Nur Rosihin Ana
Rubrik Catatan Perkara Majalah Konstitusi Nomor 110 • April 2016


Update 12 Mei 2016


Mahkamah dalam Putusan Nomor 33/PUU-XIV/2016 yang dibacakan pada Kamis, 12 Mei 2016, menyatakan mengabulkan permohonan Anna Boentaran.  Mahkamah menyatakan Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat, yaitu sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit tersurat dalam norma a quo.

Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, yaitu sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit tersurat dalam norma a quo.

Berikut putusannya

PUTUSAN
Nomor 33/PUU-XIV/2016
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1]     Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
Nama
:
Anna Boentaran
Pekerjaan
:
Mengurus Rumah Tangga
Alamat
:
Jalan Simprug Golf I Kavling 89 RT 003 RW 008, Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 32/SK-SHP/I/2016, bertanggal 28 Januari 2016 memberi kuasa kepada Muhammad Ainul Syamsu, S.H., M.H., Syaefullah Hamid, S.H., Hafisullah Amin Nasution, S.H., Teuku Mahdar Ardian, S.HI.,  Advokat/Kuasa Hukum, pada Kantor Hukum Syamsu Hamid & Partners, berkantor di Graha Samali Building R. 2001 Lantai 2, Jalan H. Samali Nomor 31B, Pancoran, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, 12740, baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa.
Selanjutnya disebut sebagai -------------------------------------------------------- Pemohon;
[1.2]
Membaca permohonan Pemohon;
Mendengar keterangan Pemohon;
Memeriksa bukti-bukti Pemohon;
2. DUDUK PERKARA
[2.1]     Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan bertanggal 9 Maret 2016 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 17 Maret 2016 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 55/PAN.MK/2016 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor 33/PUU-XIV/2016 pada tanggal 21 Maret 2016, yang diperbaiki dengan perbaikan permohonan bertanggal 4 April 2016, yang pada pokoknya menguraikan hal-hal sebagai berikut:
A.       KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
1.      Bahwa Pemohon mengajukan permohonan uji materi terhadap Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU Nomor 8 Tahun 1981) (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G, Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945);
2.      Bahwa Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) juncto Pasal 10 ayat (1) huruf a UU Nomor 24 Tahun 2003 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) sebagaimana diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226) dan Pasal 29 ayat (1) huruf a UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076) yang pada pokoknya menyebutkan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945); (Bukti P-4)
3.      Bahwa berdasarkan Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234) yang mengatur bahwa manakala terdapat dugaan suatu Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, maka pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi; (Bukti P-5)
4.      Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, maka Pemohon berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan memutus permohonan pengujian undang-undang ini;

B.      KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON
1.      Bahwa Pasal 51 ayat (1) huruf a UU Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 menyebutkan bahwa “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakukanya undang-undang, yaitu perseorangan warga negara Indonesia”. Dikatakan pula dalam Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU a quo bahwa “yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”;
2.      Bahwa berdasarkan ketentuan di atas, Pemohon selaku warga negara Indonesia dan merupakan istri yang sah dari Joko Soegiarto Tjandra sebagaimana Akte Perkawinan Nomor 2440/1981 tanggal 24 September 1981 (Bukti P-6), mempunyai hak konstitusional untuk memperoleh perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan sesuai Pasal 28G Undang-Undang Dasar 1945. Secara implisit, Pasal 28G Undang-Undang Dasar 1945 memandang pentingnya perlindungan keluarga guna mencapai tujuan perkawinan, yaitu “membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu, suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spirituil dan material” (vide Penjelasan Umum UU No. 1/1974) (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) (Bukti     P-15). Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa suami istri adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Hal-hal buruk yang menimpa suami akan dirasakan oleh istri, dan begitupun sebaliknya.
3.      Bahwa hak-hak yang dijamin oleh konstitusi dan hukum tersebut di atas belum dapat dinikmati oleh Pemohon karena kepergian suami Pemohon dari Indonesia disebabkan oleh penegakan hukum yang bertentangan dengan kepastian hukum yang adil yang menjadi ciri utama dari negara hukum sesuai Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yakni Peninjauan Kembali terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap suami Pemohon dalam Peninjauan Kembali yang menyebabkan sampai saat ini suami Pemohon belum kembali ke Indonesia. Pemohon sebagai warga negara Indonesia dan istri sah (ahli waris) dari Joko Soegiarto Tjandra yang diberikan hak oleh Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali, maka Pemohon merasa bahwa hak-hak konstutisional Pemohon baik yang telah disebutkan di atas maupun yang akan disebutkan kemudian, telah dirugikan dengan berlakunya Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981
Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”
4.      Bahwa sejak tahun 2009 dan masih berlangsung pada saat Permohonan ini diajukan, suami Pemohon yang pada waktu itu berstatus sebagai orang yang bebas merdeka dan tidak berstatus sebagai terdakwa atau terpidana, sedang melakukan perjalanan bisnis ke luar negeri, belum kembali ke Indonesia disebabkan karena terjadi ketidakadilan yang dialaminya atas Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Belum kembalinya suami Pemohon ke Indonesia disebabkan ketakutan dan hilangnya rasa aman sebagai akibat dari Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Kepergian suami Pemohon sebelum putusan Peninjauan Kembali bukanlah pembangkangan hukum karena selama proses penyidikan sampai persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, suami Pemohon selalu menaati proses hukum meskipun dilakukan penahanan terhadapnya. Namun rasa aman, perlindungan dan jaminan atas kepastian hukum yang adil menjadi hilang manakala Jaksa Penuntut Umum mengajukan Peninjauan Kembali terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 156/Pid.B/2000/Jak.Sel juncto Putusan Nomor 1688 K/Pid/2000. Peninjauan Kembali tersebut diajukan setelah 8 (delapan) tahun sejak kedua putusan tersebut di atas mempunyai kekuatan hukum tetap, bahkan putusan kasasi tersebut telah dilaksanakan sebagaimana Surat Perintah Pelaksanaan Putusan Pengadilan/Mahkamah Agung Nomor Prin-139/o.1.14/Fu.1/09/2001 tanggal 28 September 2001 beserta Berita Acaranya tanggal 29 September 2001 (Bukti P-16) dan telah pula dieksekusi oleh Jaksa Penuntut Umum sebagaimana terbukti dalam Berita Acara Eksekusi Nomor WKMA/73/VIII/2002 tanggal 22 Agustus 2002 (Bukti P-7). Namun Jaksa Penuntut Umum tetap mengajukan Peninjauan Kembali yang bertentangan dengan undang-undang. Sebab selain Jaksa Penuntut Umum tidak diberi hak untuk itu, Peninjauan Kembali tersebut diajukan terhadap putusan lepas dari tuntutan hukum (onslag van rechtvervolging) yang nyata-nyata bertentangan dengan Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981. Secara berturut-turut dapat dijelaskan proses hukum yang terjadi terhadap suami Pemohon adalah sebagai berikut:
a.      Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 156/Pid.B/2000/PN.Jak.Sel, tanggal 28 Agustus 2000  (Bukti P-8)
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan bahwa Suami Pemohon lepas dari tuntutan hukum karena perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi bukan merupakan tindak pidana. Disebutkan dalam pertimbangan putusan a quo halaman 349 bahwa:
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan unsur delik tersebut di atas, Pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan Terdakwa tersebut di atas, sebagaimana dalam dakwaan primair terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana melainkan termasuk perkara perdata, maka Terdakwa harus dilepas dari tuntutan hukum (onslag van rechtsverfolging); satu dan lain hal karena tidak adanya sifat melawan hukum (wederrechtelijk heid) atas perbuatannya”.
b.      Putusan Mahkamah Agung Nomor 1688K/Pid/2000 tanggal 28 Juni 2001 (Bukti P-9)
Dalam kasasi, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi dari Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Oleh karenanya putusan tersebut tetap mengacu kepada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (vide Bukti P-8). Disebutkan dalam pertimbangan putusan  kasasi tersebut halaman 221 bahwa:
Menimbang bahwa berdasarkan alasan-alasan dan pertimbangan yang diuraikan di atas lagi pula tidak ternyata, bahwa putusan Judex Facti dalam perkara ini bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi tersebut ditolak”.
c.      Putusan Mahkamah Agung (Peninjauan Kembali) Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009 (Bukti P-10)
Jaksa Penuntut Umum mengajukan Peninjauan Kembali atas Putusan Mahkamah Agung Nomor 1688K/Pid/2000 tanggal 28 Juni 2001. Dalam putusan tersebut, suami Pemohon dinyatakan terbukti turut serta melakukan tindak pidana korupsi dan dijatuhi pidana 2 (dua) tahun penjara. Terdapat dua perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari dua hakim agung, yaitu Prof. Komariah Emong Sapardjaja dan Suwardi, SH., MH, yang pada pokok-pokoknya menyatakan sebagai berikut:
1)      Prof. Dr. Komariah Emong Sapardjaja, SH.
Peninjauan Kembali adalah upaya hukum yang diadakan untuk melindungi kepentingan Terpidana. Sejalan dengan penafsiran sistematis berdasarkan Pasal 3 KUHAP, maka Peninjauan Kembali adalah upaya hukum luar biasa bagi Terpidana, bukan Jaksa Penuntut Umum.
2)      Suwardi, SH., MH.
Peninjauan Kembali dalam perkara pidana mengacu kepada Pasal 263 KUHAP sebagai lex specialis dari Pasal 23 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 263 KUHAP diatur secara tegas dan limitatif bahwa Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan oleh Terpidana dan ahli warisnya dan diajukan terhadap putusan selain bebas dan lepas dari tuntutan hukum. Oleh karenanya Jaksa Penuntut Umum tidak berwenang untuk mengajukan Peninjauan Kembali, terlebih lagi jika Peninjauan Kembali diajukan terhadap putusan lepas dari tuntutan hukum. Dengan demikian, Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 harus dipahami dalam konteks asas pembatasan kewenangan, sehingga Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan oleh Terpidana dan ahli warisnya; dan Peninjauan Kembali tidak dapat diajukan terhadap putusan bebas dan lepas dari tuntutan hukum.
Pendapat kedua Hakim Agung di atas sejalan dengan prinsip-prinsip due process of law yang menegaskan bahwa penegakan hukum harus dilaksanakan sesuai hukum, tidak bertentangan dengan undang-undang karena hal itu akan menghilangkan kepastian hukum serta mengedepankan asas pembatasan kewenangan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan pelanggaran hak asasi manusia;
5.      Bahwa meskipun suami Pemohon telah diputus lepas dari tuntutan hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Mahkamah Agung dan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap itu telah dieksekusi (vide Bukti P-7, P-8 dan P-9), namun delapan tahun kemudian Jaksa Penuntut Umum mengajukan Peninjauan Kembali terhadap suami Pemohon, meskipun Jaksa Penuntut Umum bukan pihak yang diberi wewenang untuk itu dan putusan yang dimohonkan Peninjauan Kembali adalah putusan lepas dari tuntutan hukum. Oleh karenanya, Peninjauan Kembali tersebut melanggar hukum dan bertentangan dengan Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981. Jika Jaksa Penuntut Umum sebagai representasi dari pemerintah ternyata bertindak sewenang-wenang dan mengabaikan perlindungan hak asasi Pemohon dan suami Pemohon dengan mengajukan Peninjauan Kembali, lantas kemana lagi Pemohon, suami Pemohon, anak-anak dan keluarga akan mencari kepastian hukum dan jaminan atas perlindungan hukum dan keadilan? Sebagai representasi dari pemerintah yang bertanggung jawab atas pemenuhan dan penegakan hak asasi manusia, maka Kejaksaan seharusnya bertanggung jawab atas perlindungan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia dalam penegakan hukum (vide Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945) dan memastikan bahwa setiap warga negara yang telah menerima putusan yang berkekuatan hukum tetap harus memperoleh haknya atas jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, termasuk bagi Pemohon dan keluarga (vide Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945), sehingga Peninjauan Kembali tidak diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum;
6.      Bahwa kesewenang-wenangan hukum tersebut secara nyata-nyata terjadi kepada suami Pemohon dan menimbulkan implikasi secara langsung kepada Pemohon, anak-anak dan keluarga yang sampai ini masih tidak dapat berkumpul dengan suami Pemohon layaknya keluarga pada umumnya dan tidak dapat menikmati hak-hak yang dijamin konstitusi dan hukum sebagaimanana disebut di atas. Implikasi tersebut merugikan hak konstitusional Pemohon berdasarkan Pasal 28G Undang-Undang Dasar 1945 karena nyata-nyata perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan dan martabat menjadi hilang. Bahkan ketidakpastian hukum dan hilangnya perlindungan martabat dan kehormatan tersebut secara potensial dapat terjadi kepada Pemohon, anak-anak Pemohon dan keluarga Pemohon dan semua rakyat Indonesia manakala berhadapan dengan hukum.
7.      Bahwa menurut hemat Pemohon, kesewenang-wenangan tersebut terjadi disebabkan Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tidak memberikan kepastian hukum, bersifat multi tafsir dan tidak memuat pengaturan secara tegas tentang “konsekuensi yuridis” manakala Peninjauan Kembali dilaksanakan tidak sesuai dengan cara-cara yang ditentukan dalam UU Nomor 8 Tahun 1981. Ketidakpastian hukum dan sifat multi tafsir dari pasal tersebut di atas membuka ruang terjadinya penegakan hukum yang represif, tidak berkeadilan dan melanggar hak asasi yang merugikan Pemohon, suami Pemohon, anak-anak dan keluarga.
8.      Bahwa kerugian konstitusional Pemohon sebagai akibat dari Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum sebagaimana tersebut di atas adalah hilangnya hak konstitusional atas perlindungan diri, keluarga, kehormatan, martabat dan hak atas rasa aman serta perlindungan dari ancaman ketakutan (vide Pasal 28G Undang-Undang Dasar 1945); dan dalam kapasitasnya sebagai istri sah yang diberikan hak untuk mengajukan Peninjauan Kembali menurut Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981, maka Pemohon merasa dirugikan disebabkan hilangnya perlindungan dan jaminan atas kepastian hukum yang berkeadilan manakala Jaksa Penuntut Umum mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan lepas dari tuntutan hukum; 
9.      Bahwa kerugian konstitusional lain yang diderita oleh Pemohon adalah hilangnya kehormatan dan martabat Pemohon, suami Pemohon dan anak-anak Pemohon sebagai suatu keluarga (vide Pasal 28G Undang-Undang Dasar 1945) karena seolah-olah suami Pemohon dipandang sebagai pelaku tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara padahal sesuai Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 156/Pid.B/2000/PN.Jak.Sel tanggal 28 Agustus 2000 (vide Bukti P-8) yang dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1688K/Pid/2000 tanggal 28 Juni 2001 (vide Bukti P-9) yang menyatakan pada pokoknya bahwa perbuatan yang dilakukan oleh suami Pemohon adalah perbuatan perdata. Berdasarkan hal tersebut, maka sesungguhnya kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon disebabkan adanya ketidakpastian hukum dan sifat multi tafsir dalam Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981;
10.  Bahwa merujuk kepada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan No. 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 yang menyatakan bahwa hak konstitusional Pemohon harus memenuhi lima syarat sebagai berikut:
a.     Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
b.     Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-undang yang dimohonkan pengujiannya;
c.     Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d.     Adanya hubungan sebab akibat antara kerugian tersebut dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujiannya;
e.     Adanya kemungkinan dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan dan tidak lagi terjadi.
Jika merujuk kepada uraian Pemohon di atas, maka Pemohon berkeyakinan bahwa syarat-syarat mutlak dalam pengujian undang-undang ini telah dipenuhi Pemohon, dengan penjelasan sebagai berikut:
Syarat pertama adalah Pemohon sebagai warga negara Republik Indonesia yang mempunyai hak konstitusional berupa hak perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan dan martabat serta terbebas dari rasa takut dan tidak aman sesuai Pasal 28G Undang-Undang Dasar 1945; hak untuk mendapat perlindungan dan jaminan atas kepastian hukum yang adil dan hak terhadap negara agar dapat menegakan hak asasi secara bertanggung jawab sesuai Pasal 28D ayat ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dan dalam hal ini bertindak sebagai Pemohon sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK. (vide Bukti P-1)
Syarat kedua, hak dan/atau kewenangan konstusional Pemohon dirugikan oleh berlakunya undang-undang. Hak Pemohon dirugikan dengan berlakunya Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 yang mengandung multi tafsir dan ketidakpastian hukum;   
Syarat ketiga, kerugian konstitusional bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Disebabkan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum bertentangan dengan Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 1981 yang menyebabkan suami Pemohon meninggalkan Indonesia. Hal ini menyebabkan Pemohon, suami Pemohon, anak-anak dan keluarga tidak pernah lagi berkumpul lagi dengan Pemohon selayaknya sebuah keluarga sampai saat ini. Hal ini menyebabkan hilangnya perlindungan atas pribadi Pemohon dan suami Pemohon sebagai satu keluarga, hilangnya kehormatan, martabat dan rasa aman sesuai amanat Pasal 28G Undang-Undang Dasar 1945; 
Syarat keempat, Adanya hubungan sebab akibat antara kerugian tersebut dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujiannya. Bahwa kerugian konstitusional yang dialami Pemohon disebabkan kaidah dan norma Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 yang tidak memberikan kepastian hukum sehingga Jaksa Penuntut Umum mengajukan Peninjauan Kembali terhadap suami Pemohon. Akibatnya, Pemohon kehilangan hak-hak konstitusionalnya sebagaimana disebut di atas;
Syarat kelima, kerugian konstitusional tidak akan terjadi lagi jika permohonan ini dikabulkan. Bilamana Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan ini, diharapkan dapat menegaskan kembali bahwa hanya terpidana dan ahli warisnya yang berhak untuk mengajukan Peninjauan Kembali dan harus dilaksanakan berdasarkan cara-cara yang diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981. Sekaligus untuk menegaskan bahwa penegakan hukum harus sesuai dengan norma yang diatur dalam Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981; 
11.  Bahwa uraian di atas membuktikan bahwa Pemohon yang merupakan perseorangan warga negara Indonesia mempunyai kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang ini. Oleh karenanya, Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi agar menyatakan bahwa Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian undang-undang ini.
C.      POKOK PERMOHONAN
1.      Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Hal ini mengandung pengertian bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Menurut Frederich Julius Stahl, terdapat tiga ciri negara hukum. Pertama, perlindungan hak asasi manusia. Kedua, pembagian kekuasaan. Ketiga, pemerintahan berdasarkan Undang-Undang Dasar. Sejalan dengan itu, AV Decay menegaskan bahwa ciri dari rule of law adalah supremasi hukum, persamaan di depan hukum dan proses hukum yang adil. Supremasi hukum bermakna bahwa hukum mengedepankan undang-undang untuk mencegah kesewenang-wenangan negara terhadap warga negara.
2.      Bahwa sebagai perwujudan dari perlindungan hak asasi manusia dan supremasi hukum sebagaimana yang diungkapkan Stahl dan Decay, maka sebuah negara hukum harus mengatur pembatasan kewenangan penegak hukum secara tegas untuk memastikan bahwa penegakan hukum dapat menjamin perlindungan, penegakan hak asasi manusia dan kepastian hukum yang berkeadilan sesuai amanat Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G dan Pasal 28I ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 yang mewajibkan negara untuk menjamin dan menegakkan hak asasi manusia, bukan malah sebaliknya, yaitu menciptakan ketidakadilan, ketidakpastian hukum dan pelanggaran hak asasi. Dengan menggunakan instrumen hukum pidana, maka negara berkewajiban untuk memastikan bahwa penegakan hukum pidana melalui hukum acara pidana dapat melindungi hak asasi manusia dan menjamin kepastian hukum yang berkeadilan;
3.      Bahwa untuk memenuhi kepastian hukum yang berkeadilan dan perlindungan hak asasi manusia (vide Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945), Konsideran huruf a UU Nomor 8 Tahun 1981 menggambarkan cita hukum nasional yang melandasi dibuatnya UU Nomor 8 Tahun 1981 (vide Bukti P-2) yang menyatakan bahwa:
bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya
Dilanjutkan dalam konsideran c bahwa:
bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu di bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban dan kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945
Cita hukum nasional menekankan perlindungan hak asasi manusia dalam penegakan hukum demi tercapainya keadilan, ketertiban dan kepastian hukum dengan tetap mengingatkan peran masyarakat dan penegak hukum secara bersamaan untuk mencapai pembangunan hukum nasional yang dicita-citakan. Penegakan hukum yang mengabaikan hak asasi manusia akan merusak cita hukum nasional yang melandasi UU Nomor 8 Tahun 1981;
4.      Bahwa cita hukum di atas bersumber dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi pedoman untuk mengukur apakah suatu undang-undang sesuai dengan cita hukum nasional ataukah justru bertentangan dengan cita hukum tersebut. Ditegaskan oleh Roeslan Saleh (1996: 16) (Bukti P-11) bahwa:
cita hukum adalah yang disebut Rechtsidee dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945. Mengenai ini Rudolf Stammler mengemukakan bahwa cita hukum adalah konstruksi pikir yang merupakan keharusan untuk mengarahkan hukum kepada cita-cita yang diinginkan masyarakat. Cita hukum berfungsi sebagai penentu arah bagi tercapainya cita-cita masyarakat. Walaupun disadari benar bahwa titik akhir dari cita-cita masyarakat itu tidak mungkin dapat dicapai sepenuhnya, namun cita hukum memberikan faedah positif karena ia mengandung dua sisi: dengan cita hukum kita dapat menguji hukum positif yang berlaku, dan kepada cita hukum kita dapat mengarahkan hukum positif sebagai usaha untuk mengatur tata kehidupan masyarakat dan bangsa”.
keadilan yang dituju cita hukum itu menjadi pula usaha dan tindakan mengarahkan hukum positif kepada cita hukum. Dan dengan begitu maka hukum yang adil adalah hukum yang diarahkan oleh cita hukum untuk mencapati tujuan-tujuan masyarakat”
Dalam konteks hukum acara pidana yang secara prinsipil mengatur kewenangan penegak hukum, maka hukum yang adil adalah hukum yang membatasi kewenangan penegak hukum berdasarkan undang-undang sedemikian rupa agar dapat menjamin terlindunginya hak asasi warga negara yang tersangkut dalam proses hukum dan masyarakat pada umumnya. Cita hukum yang demikian itu memastikan bahwa penegakan hukum dapat menciptakan tertib hukum masyarakat secara umum sekaligus pada saat yang sama menjaga terciptanya tertib hukum bagi individu, karena tertib hukum individu adalah bagian dari masyarakat yang turut memengaruhi terciptanya tertib hukum masyarakat. Keduanya berjalan seiring;
5.      Bahwa terkait hal ini, Mahkamah Konstitusi dalam putusan perkara yang mengadili sengketa Pilkada Tahun 2015 telah memberikan pelajaran yang positif kepada bangsa ini untuk senantiasa patuh dan menerapkan Undang-Undang, sebagaimana dinyatakan dalam ratusan putusan Mahkamah Konstitusi, antara lain Putusan Nomor 120/PHP.BUP-XIV/2016 (hlm. 223) yang menyatakan bahwa:
Meskipun Mahkamah adalah lembaga yang independen dan para hakimnya bersifat imparsial, bukan berarti hakim konstitusi dalam mengadili sengketa perselisihan perolehan suara Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota bebas sebebas-bebasnya akan tetapi tetap terikat dengan ketentuan perundang-undangan yang masih berlaku, kecuali suatu undang-undang sudah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah….”
Dalam pertimbangan selanjutnya (hlm. 232) dinyatakan bahwa:
… menurut kewenangan a quo, tidak terdapat pilihan dan alasan hukum lain, selain Mahkamah harus tunduk pada ketentuan yang secara expressis verbis digariskan dalam UU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota…”.
Putusan a quo mengajarkan bahwa sesungguhnya tertib hukum hanya tercipta manakala masyarakat dan negara secara bersama-sama dapat menaati dan mematuhi undang-undang. Kewajiban untuk mematuhi dan menaati undang-undang juga berlaku bagi Jaksa Penuntut Umum dalam menegakkan hukum. Dalam hal Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tidak menyebutkan Jaksa Penuntut Umum sebagai pihak yang diberi hak untuk mengajukan Peninjauan Kembali, maka seharusnya Jaksa Penuntut Umum tidak dapat mengajukan Peninjauan Kembali. Jika putusan dipahami secara a contratrio, maka pengabaian dan ketidakpatuhan terhadap undang-undang dapat merusak tertib hukum dan menjauhkan kita dari cita hukum nasional yang bersumber dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, terlebih lagi jika pengabaian dan ketidakpatuhan itu dilakukan oleh alat perlengkapan negara sebagaimana terjadi dalam Pengajuan Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum yang bertentangan dengan Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981;
6.      Bahwa dalam rangka mewujudkan cita hukum nasional tersebut, negara mengatur dalam Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 1981 yang menyatakan bahwa “peradilan dilaksanakan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Pasal tersebut merujuk kepada asas legalitas dalam fungsi negatif dan fungsi sekunder hukum pidana yang mengandung ajaran bahwa aturan hukum pidana berfungsi untuk membatasi kewenangan penegak hukum, bukan memberikan kewenangan. George P Fletcher mengatakan dalam bukunya “Basic Concepts of the Criminal Law” (1998: 207) bahwa:
“… the negative principle holds the highest concern of a legal system should be to protect the citizenry against aggressive state that will invariably seek to impose its will on its subjects… the rule of advanced legislative warning serves to bind the justice against zealous decision making for the sake of immidiate political objectives. If the judges must justify their decisions in the language of enacted rules, shared by community as a whole, they are less likely to act in idiosyncratic ways” (Bukti P-12). 
Senafas dengan pendapat di atas, Soedarto (1981: 150) menyebutkan bahwa:
… Yang khas bagi hukum pidana ialah fungsi sekundernya, ialah pengaturan tentang kontrol sosial sebagaimana dilaksanakan secara spontan atau secara dibuat oleh negara dengan alat perlengkapannya. Tugas yuridis dari hukum pidana bukanlah “policing society” akan tetapi “policing the police”. (Bukti P-13).
Dengan demikian, asas legalitas dalam fungsi negatif yang terkandung dalam Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 1981 mengatur bahwa dalam penegakan hukum, penegak hukum hanya diperbolehkan menggunakan cara-cara yang diatur secara tegas dalam undang-undang. Cara-cara yang tidak diatur atau tidak disebutkan dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 harus dipandang sebagai larangan bagi penegak hukum dan oleh karenanya tidak dapat dipergunakan dalam penegakan hukum termasuk tetapi tidak terbatas pada Peninjauan Kembali yang diajukan jaksa (vide Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981);
7.      Bahwa Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 1981 merupakan “soko guru” bagi seluruh ketentuan yang ada dalam UU Nomor 8 Tahun 1981. Sebab, “…cara yang diatur dalam undang-undang ini” mengandung dua pedoman penting. Pertama, frasa “…cara yang diatur dalam undang-undang ini” merupakan fondasi pembatasan bagi penegak hukum dalam menggunakan kewenangannya guna menjamin perlindungan hak asasi manusia. Oleh karenanya, seluruh kebijakan dan diskresi dalam penegakan hukum hanya dapat diwujudkan melalui cara-cara yang secara tegas dinyatakan dalam UU Nomor 8 Tahun 1981. Kebijakan dan diskresi yang menyimpang dari apa yang telah ditegaskan oleh UU Nomor 8 Tahun 1981 harus dipandang sebagai penyalahgunaan diskresi (misuse of discretion) yang bertentangan dengan undang-undang. Kedua, frasa “…cara yang diatur dalam undang-undang ini” mengandung pengertian bahwa hanya undang-undang yang menjadi sumber hukum acara pidana Indonesia. Ketentuan perundang-undangan lain di luar undang-undang dan putusan pengadilan tidak dapat dijadikan sumber hukum terlebih lagi jika putusan tersebut bertentangan dengan undang-undang yang mengatur hukum acara pidana tersebut;
8.      Bahwa meskipun secara historis dan teleologis, pembentuk undang-undang merumuskan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 1981 sebagai pembatas kewenangan penegak hukum, namun kaidah dan norma dalam pasal tersebut tidak secara tegas menyebutkan hal itu. Terlebih lagi bahwa tidak ada penjelasan apapun dalam Penjelasan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 1981, sehingga asas-asas, maksud dan tujuan yang terkandung dalam pasal tersebut menjadi terabaikan dan pada akhirnya tidak dapat dijadikan pedoman dalam mencegah munculnya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dalam penegakan hukum pidana. Oleh karena asas dan prinsip yang membatasi kewenangan penegak hukum pidana tidak terejawantahkan dalam Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 1981, maka potensi-potensi penyalahgunaan kekuasaan dapat terjadi dalam setiap tahap proses penegakan hukum pidana termasuk tetapi tidak terbatas pada Peninjauan Kembali sesuai Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981;
9.      Bahwa untuk memberikan kepastian hukum yang adil guna mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, maka perlu kiranya Mahkamah Konstitusi menegaskan kembali asas, maksud dan tujuan yang terkandung dalam Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 1981 agar dapat memberikan kepastian hukum dan dijadikan pedoman dalam penegakan hukum termasuk tetapi tidak terbatas pada penegakan hukum berdasarkan Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 sehingga dapat menciptakan pedoman dan pembatasan bagi Jaksa Penuntut Umum agar dalam penegakan hukum hanya menggunakan cara-cara yang ditegaskan dalam hukum, yakni Jaksa Penuntut Umum tidak mengajukan Peninjauan Kembali terhadap putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum. Apabila rumusan Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 dibiarkan begitu saja tanpa penafsiran konstitusional, maka hal itu berpotensi menciptakan penyalahgunaan kekuasaan karena tidak ada batasan dan konsekuensi bagi penegak hukum manakala para penegak hukum menggunakan kewenangannya secara berlebihan dan mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi dalam penggunaan upaya hukum luar biasa;
10.  Bahwa sebagai “soko guru” yang secara tersirat melandasi seluruh ketentuan dalam UU Nomor 8 Tahun 1981, maka asas hukum yang tersirat dalam Pasal 3, yaitu pembatasan kewenangan, harus ditegaskan dalam Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 sehingga dapat dijadikan pedoman bagi Jaksa Penuntut Umum dalam menggunakan upaya hukum luar biasa yang disediakan oleh UU Nomor 8 Tahun 1981. Dengan demikian, pengalaman pahit yang secara nyata dialami oleh suami Pemohon yang menjadi korban dalam Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa, tidak terjadi lagi;
11.  Bahwa secara prinsipil kaidah dan norma Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 seharusnya mengandung pembatasan kewenangan bagi Jaksa Penuntut Umum agar tidak mengajukan permohonan Peninjauan Kembali, namun hal itu tidak dipahami dan dihayati dengan baik oleh Jaksa Penuntut Umum, sehingga Peninjauan Kembali tetap diajukan, meskipun dalam Putusan Pengadilan Negeri No 156/Pid.B/2000/PN.Jak.Sel (vide Bukti P-8) dan putusan Mahkamah Agung No. 1688 K/Pid/2000 (vide Bukti P-9) suami Pemohon dilepaskan dari tuntutan hukum. Berdasarkan Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981, hanya Terpidana dan ahli warisnya yang diberikan hak untuk mengajukan Peninjauan Kembali, sehingga pihak lain termasuk Jaksa Penuntut Umum dilarang mengajukan Peninjauan Kembali dan terhadap putusan bebas dan lepas dari tuntutan hukum tidak dapat diajukan Peninjauan Kembali. Namun hal ini dilanggar oleh Jaksa Penuntut Umum yang tetap mengajukan Peninjuan Kembali terhadap suami Pemohon; 
12.  Bahwa alasan “kepentingan negara” atau “kepentingan umum” yang seringkali digunakan sebagai alasan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam mengajukan Peninjauan Kembali adalah salah satu bentuk kesewenang-wenangan hukum. Dalam sistem peradilan pidana Indonesia, Kejaksaan ditempatkan sebagai perwakilan negara dan masyarakat umum sehingga bisa dipastikan bahwa Kejaksaan selalu melakukan penuntutan atas dasar kepentingan umum dan kepentingan negara. Namun jika alasan tersebut ditafsirkan secara subyektif, maka hal itu berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia. Terlebih lagi jika kepentingan negara dan kepentingan umum dihadap-hadapkan dengan kepentingan pribadi Terdakwa dan berakhir pada keputusan bahwa kepentingan Terdakwa harus selalu dikalahkan. Jika penafsiran semacam itu yang dipupuk dalam pembangunan peradilan pidana kita, maka hal itu justru akan merusak bangunan sistem peradilan pidana kita karena kepentingan Terdakwa menjadi tidak berharga dan dapat dilanggar kapan saja karena alasan kepentingan umum atau kepentingan negara.
13.  Bahwa sudah sepatutnya alasan “kepentingan negara dan kepentingan umum” seharusnya ditafsirkan sesuai cita hukum nasional agar sejalan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Merujuk kepada konsideran huruf c UU Nomor 8 Tahun 1981 yang merupakan cita hukum nasional dalam pembentukan Hukum Acara Pidana Nasional, maka alasan “kepentingan negara” atau “kepentingan umum” yang diemban oleh Jaksa Penuntut Umum harus diletakkan dalam konteks asas keseimbangan yang diberikan oleh UU Nomor 8 Tahun 1981, yaitu adanya upaya hukum luar biasa yang diberikan kepada Jaksa Agung berupa Kasasi Demi Kepentingan Hukum (vide Pasal 259 UU Nomor 8 Tahun 1981) dan yang diberikan kepada Terpidana dan ahli warisnya berupa Peninjauan Kembali (vide Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981). Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum justru bertentangan dengan cita hukum nasional, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 28D ayat (1) dan pada akhirnya akan merusak bangunan sistem peradilan pidana Indonesia;
14.  Bahwa sampai saat ini Mahkamah Agung merupakan salah satu penjaga hukum yang dapat mencegah terjadinya pengajuan Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Nomor 84 PK/Pid/2006 (Bukti P-14) yang menyatakan dalam pertimbangannya bahwa:
Bahwa Pasal 263 ayat (1) KUHAP telah menentukan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas dan lepas dari tuntutan hukum, Terpidana dan ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali kepada Mahakamah Agung;
Bahwa ketentuan tersebut telah mengatur secara tegas dan limitatif bahwa yang dapat mengajukan Peninjauan Kembali adalah Terpidana atau ahli warisnya. Hal ini berarti bahwa yang bukan Terpidana atau ahli warisnya tidak dapat mengajukan Peninjauan Kembali;
Bahwa due process of law tersebut berfungsi sebagai pembatasan kekuasaan negara dalam bertindak terhadap warga masyarakat, dan bersifat normatif, sehingga tidak dapat ditafsirkan dan tidak dapat disimpangi, karena akan melanggar keadilan dan kepastian hukum;
Menimbang berdasarkan hal-hal tersebut disimpulkan bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak dapat mengajukan permohonan Peninjauan Kembali atas putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap. Oleh karenanya apa yang dimohonkan oleh Jaksa Penuntut Umum merupakan kesalahan dalam penerapan hukum acara, sehingga permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan Jaksa Penuntut Umum haruslah dinyatakan tidak dapat diterima”
Pertimbangan tersebut di atas mencerminkan asas legalitas dalam fungsi negatif yang membatasi kewenangan penegak hukum. Oleh karena Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tidak menyebutkan Jaksa Penuntut Umum, maka hal itu berarti bahwa Jaksa Penuntut Umum dilarang mengajukan permohonan Peninjauan Kembali. Esensi pertimbangan tersebut di atas sejalan dengan pandangan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 120/PHP.BUP-XIV/2016 yang pada pokoknya menyatakan keharusan untuk menaati dan mematuhi undang-undang, termasuk tetapi tidak terbatas pada Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981. Meskipun putusan Mahkamah Agung telah menyatakan Jaksa Penuntut Umum tidak berwenang mengajukan Peninjauan Kembali, namun sampai saat ini masih banyak ditemukan Jaksa Penuntut Umum yang mengajukan Peninjauan Kembali. Untuk itu diperlukan peran serta Mahkamah Konstitusi bersama-sama dengan Mahkamah Agung dalam mencegah pelanggaran UU, yakni pengajuan Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum, dengan cara memberikan tafsir konstitusional terhadap Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 agar memberikan kepastian hukum dan menutup penafsiran yang merugikan hak-hak masyarakat pencari keadilan;
15.  Bahwa Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum tidak berkaitan dengan implementasi norma, tetapi merupakan akibat dari norma dan kaidah Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 yang tidak tegas mengatur larangan Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum, sehingga menimbulkan berbagai penafsiran. Berbagai penafsiran tersebut dapat dilihat dari beberapa pernyataan Kejaksaan Agung dalam beberapa berita online sebagai berikut:
a.     “Kejaksaan akan Terus Ajukan PK” (Republika Online)  tanggal 5 September 2009
Terkait rencana Peninjauan Kembali Jaksa terhadap Joko S Tjandra, Jaksa Agng Hendarman Supandji mengakui bahwa Pasal 263 KUHAP hanya memberikan hak Peninjauan Kembali kepada terpidana dan ahli warisnya, namun pasal tersebut tidak menyebutkan larangan jaksa untuk mengajukan PK. (Bukti P-17)
b.     “Dalam Kasus Akbar, Hak Jaksa untuk Ajukan PK Dipertanyakan” (HukumOnline) tanggal 17 Februari 2004
“Menanggapi pendapat yang menolak Peninjauan Kembali Jaksa terhadap Akbar Tanjung yang diputus bebas, Kapuspenkum Kejaksaan Agung Kemas Yahya Rahman menyatakan bahwa ia sependapat bahwa terpidana dan ahli warisnya diberikan hak Peninjauan Kembali. Namun tidak ada larangan yang tegas bagi jaksa menempuh upaya hukum luar biasa itu. Hak jaksa memang tidak diatur, tetapi juga tidak ada larangan. (Bukti P-18)
Pernyataan tersebut di atas menunjukkan bahwa persoalan utamanya tidak terletak pada persoalan implementasi norma, melainkan pada ketidakjelasan norma dan kaidah Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 sehingga Kejaksaan menganggap bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak dilarang mengajukan permohonan Peninjauan Kembali.
16.  Bahwa ketidakjelasan pengaturan Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntutan Umum seringkali dipandang sebagai kekosongan hukum, sehingga diperlukan penemuan hukum. Secara prinsipil, tindakan penegak hukum baik itu tindakan menyidik, menuntut dan mengadili adalah proses penemuan hukum yang akan berakhir pada dua hal. Pertama, penemuan hukum yang menyatakan suatu peristiwa tertentu memenuhi unsur delik. Kedua, penemuan hukum yang menyatakan suatu peristiwa tidak memenuhi unsur delik. Hans Kelsen menjelaskan tentang kesenjangan hukum (gap in the law adalah istilah yang digunakan oleh Kelsen untuk menggambarkan kekosongan hukum) dalam bukunya “The Pure Theory of Law” (1967: 246) sebagai berikut:
In order to judge the theory of gaps in the law it is necessary to determine the circumstances under which, according to that theory, a gaps in the law occurs. According to this theory, the valid law is not applicable in a concrete case if no general legal norm refers to this case; therefore the court is obliged to fill the gap by creating a corresponding norm. The essential argument is that the application of the valid law, as a conclusion from the general to particular, is logically impossible in this case because the necessary condition- the validity of a general norm referring to this case- is missing. This theory is erroneous because it ignores the fact that the legal order permits the behavior of an individual when the legal order does not obligate the individual to behave otherwise. The Application of the valid legal order is not impossible in this case in which traditional theory assumes a gap. The application of a single norm, to be true, is not possible, but the application of legal order-and that, too, is law application- is possible. (Bukti P-19)  
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak ada suatu peristiwa yang dinamakan kekosongan hukum melainkan, dalam konteks hukum pidana, adalah suatu peristiwa yang memenuhi atau tidak memenuhi rumusan delik. Dalam hal undang-undang tidak melarang perbuatan tertentu, maka hal itu berarti undang-undang membolehkan siapapun untuk melakukan perbuatan tersebut. Pernyataan bahwa suatu peristiwa memenuhi atau tidak memenuhi unsur delik adalah sebuah penemuan hukum (rechtvinding). Sementara itu dalam konteks hukum acara pidana yang memiliki mekanisme kebalikan dari hukum pidana, yakni perbuatan yang dapat digunakan dalam penegakan hukum adalah perbuatan yang secara tegas diatur dalam undang-undang, sedangkan perbuatan yang tidak diatur dipandang sebagai dilarangnya penggunaan perbuatan tersebut dalam penegakan hukum, maka kesimpulannya adalah apakah Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum diatur ataukah tidak diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981. Dalam hal UU Nomor 8 Tahun 1981 mengatur Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum, maka upaya hukum luar biasa tersebut diperbolehkan. Sebaliknya, dalam hal UU Nomor 8 Tahun 1981 tidak mengatur Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum, maka hal itu berarti Jaksa Penuntut Umum dilarang mengajukan upaya hukum tersebut. Dengan demikian, tidak adanya pengaturan Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 bukanlah suatu kekosongan hukum, tetapi suatu larangan bagi Jaksa Penuntut Umum untuk menggunakan upaya hukum tersebut. Dalam kaitannya dengan itu pula, maka penemuan hukum tidak selalu dimaknai dengan penjatuhan pidana di luar aturan pidana (hukum pidana) atau dengan pelanggaran prosedur yang ditentukan dalam hukum acara pidana; 
17.  Bahwa Putusan Mahkamah Agung Nomor 84 PK/Pid/2006 (vide Bukti       P-14) adalah penemuan hukum yang menyelaraskan kepastian hukum dan keadilan. Kepastian hukum dalam putusan tersebut mengacu kepada Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 yang secara prinsipil melarang Jaksa Penuntut Umum dan pihak-pihak lain selain terpidana dan ahli warisnya mengajukan permohonan Peninjauan Kembali. Keadilan dalam putusan       a quo terletak pada kesesuaian aturan dengan asas hukum yang melatarbelakanginya. Putusan tersebut merupakan penemuan hukum yang sebenarnya dengan tetap mengacu kepada aturan dan asas hukum;
18.  Bahwa frasa “kepastian hukum yang adil” dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyiratkan bahwa kepastian hukum dapat berjalan seiring dengan keadilan. Kepastian hukum yang adil sebagaimana amanat konstitusi adalah kepastian hukum yang berlandaskan asas hukum. Dengan kata lain, kepastian hukum yang adil adalah kepastian hukum yang berasal dari undang-undang atau aturan yang sesuai dan sejalan dengan asas hukum. Kesesuaian aturan hukum dengan asas hukum inilah yang menjadi tolak ukur apakah suatu aturan dikatakan adil atau tidak adil. Dengan demikian, keadilan bukanlah penilaian subyektif atas moralitas atau etis suatu hal tertentu. Dalam konteks permohonan ini, maka Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 dapat dikatakan adil manakala aturan tersebut berlandaskan asas hukum yang termuat secara jelas dalam batang tubuhnya. Meskipun secara teleologis Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 bertujuan untuk memberikan hak kepada warga negara yang terjerat proses hukum dan membatasi kewenangan penegak hukum, namun pasal tersebut tidak dapat menampakkan asas pemberian hak bagi terpidana dan asas  pembatasan kewenangan terhadap penegak hukum dalam batang tubuhnya. Akibatnya, asas hukum tidak terejewantahkan dengan baik dalam pasal tersebut sehingga tidak memberikan pedoman yang jelas bagi Jaksa Penuntut Umum. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum secara terus menerus, menunjukkan bahwa Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tidak menampakkan asasnya sehingga tidak dapat dipahami dan dihayati dengan baik oleh Jaksa Penuntut Umum. Dengan demikian, Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tidak memberikan kepastian hukum dan keadilan. Dikatakan tidak memberikan kepastian hukum karena rumusan dan batang tubuh pasal tersebut tidak menegaskan larangan bagi Jaksa Penuntut Umum dalam mengajukan Peninjauan Kembali, sehingga menimbulkan penafsiran bahwa Peninjauan Kembali dapat diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Dikatakan tidak memberikan keadilan, karena Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tidak menampakkan asas pembatasan kewenangan penegak hukum yang terkandung dalam Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 1981, sehingga menyebabkan Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tidak sejalan dengan asas pembatasan kewenangan.
Berdasarkan hal itu, permohonan ini memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menegaskan kembali asas hukum dalam pasal tersebut melalui tafsir konstitusional yang menjadi satu kesatuan yang tidak terpisah dengan pasal dimaksud, sehingga dapat memenuhi amanat konstitusi untuk memberikan kepastian hukum yang adil. 
19.  Bahwa meskipun secara prinsipil hukum acara pidana tidak memuat sanksi pidana, namun sanksi atau konsekuensi terhadap penegakan hukum yang keliru dan sewenang-wenang sangat diperlukan untuk memastikan bahwa amanat konstitusi untuk memberikan perlindungan hak asasi dan kepastian hukum yang adil dapat terwujud dalam penegakan hukum di Republik Indonesia. Untuk itu diperlukan penegasan tentang larangan penegakan hukum yang menggunakan cara-cara yang tidak diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 dengan menyatakan penegakan hukum semacam itu batal demi hukum. Penafsiran ini bukanlah penambahan atau perubahan norma, melainkan hanya menegaskan kembali asas-asas hukum yang terkandung dalam Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 melalui tafsir konstitusional terhadap pasal tersebut. Hal ini dimaksudkan sebagai sanksi yang diharapkan dapat mendorong penegak hukum agar menegakkan hukum secara hati-hati, bertanggung jawab dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku;
20.  Bahwa berdasarkan uraian-uraian di atas jelaslah kiranya bahwa norma Undang-Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tidak seusai dengan kaidah konstitusi yang menyatakan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Kaidah-kaidah undang-undang itu juga tidak sesuai dengan kaidah konstitusi yang mengatur tentang pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini sejalan dengan tidak dilaksanakannya kewajiban pemerintah cq. Kejaksaan dalam menjamin perlindungan dan penegakan hak asasi dalam penegakan hukum berdasarkan Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945. Pada akhirnya, tidak adanya perlindungan hak asasi dan kepastian hukum dalam penegakan hukum terhadap suami Pemohon melahirkan perlakuan diskriminatif (vide Pasal 28I ayat (2) UUD 1945) dan merugikan hak konstitusional Pemohon berupa hilangnya perlindungan terhadap keluarga, hilangnya rasa aman dan perlindungan dari ketakutan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 28G Undang-Undang Dasar 1945;
21.  Bahwa menghadapi kenyataan di atas, sesuai dengan isi permohonan ini, maka semestinya Mahkamah Konstitusi yang dikenal sebagai “the guardian and the final interpreter of constitution” untuk menyatakan bahwa kaidah-kaidah undang-undang yang diatur dalam Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tidak sesuai dengan kaidah konstitusi tentang asas negara hukum dan asas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta persamaan di hadapan hukum, perlindungan dari perlakuan diskriminatif, perlindungan atas pribadi dan keluarga, kehormatan, martabat, perlindungan atas rasa aman dan dari ketakutan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G, Pasal 28I ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi dimohon dapat memberikan penafsiran konstitusional terhadap Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 sebagaimana pernah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusan Mahkamah, antara lain Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan Putusan Nomor 49/PUU-VIII/2010.
22.  Bahwa penafsiran yang dimaksud adalah jika Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 dibiarkan tanpa perubahan dan penegasan, maka kaidah undang-undang yang diatur dalam pasal itu secara kondisional tetap inkonstitusional (conditionally unconstitutional), yakni bertentangan dengan kaidah-kaidah konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G, Pasal 28I ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945.
23.  Bahwa untuk menjadikan kaidah undang-undang dalam Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 menjadi conditionally constitutional, maka kaidah itu haruslah diberi tafsir konstitusional sehingga selengkapnya berbunyi  “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Permohonan Peninjauan Kembali dari pihak selain Terpidana dan ahli warisnya batal demi hukum.
24.  Bahwa tafsir konstitusional tidak menjadikan Mahkamah Konsitusi sebagai legislator (positive legislator) karena tafsir konstitusional tersebut tidak melahirkan norma baru, tetapi hanya menegaskan secara tertulis asas-asas yang melatarbelakangi Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 yang merujuk kepada Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 1981, yaitu pembatasan kewenangan bagi Jaksa Penuntut Umum berupa larangan untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali terhadap putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum. Penafsiran konstitusional guna menegaskan prinsip-prinsip hukum dalam sebuah ketentuan adalah hal yang wajar dan dapat dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, antara lain dalam Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang memberikan tafsir konstitusional terhadap Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974, sehingga seorang anak yang lahir di luar perkawinan tidak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarganya, tetapi juga mempunyai hubungan perdata dengan ayah dan keluarga ayahnya (Bukti P-20). Hal ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar anak untuk mendapatkan pengakuan dan kasih sayang kedua orang tuanya. Hak tersebut tidak dapat dicabut dengan alasan tidak terpenuhinya kewajiban administratif. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah Konstitusi memberikan tafsir konstitusional yang menegaskan pemenuhan kebutuhan anak sebagai prinsip dasar yang melatarbelakangi Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974.
Sejalan dengan putusan di atas, permohonan ini memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk memberikan tafsir konstitusional yang menegaskan kembali asas-asas hukum yang tersirat dalam Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 dengan merujuk kepada Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 1981 yang mengandung asas legalitas dalam fungsi negatif dan asas pembatasan kewenangan terhadap penegak hukum sebagai asas fundamen dalam hukum acara pidana Indonesia, yakni bahwa hanya terpidana dan ahli warisnya yang dapat mengajukan permohonan Peninjauan Kembali terhadap putusan pemidanaan, sedangkan penegak hukum termasuk tetapi tidak terbatas pada Jaksa Penuntut Umum dilarang mengajukan permohonan Peninjauan Kembali, khususnya terhadap putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum;
25.  Penafsiran semacam ini akan membuat kaidah-kaidah Undang-Undang sebagaimana termaktub dalam Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 itu secara kondisional adalah konstitusional (conditionally constitution) terhadap kaidah konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G, Pasal 28I ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945. Dengan penafsiran di atas, maka setiap penegakan hukum harus menggunakan cara-cara yang diatur dalam Undang-Undang. Cara-cara yang tidak diatur dalam undang-undang harus dianggap sebagai larangan sehingga cara itu tidak boleh digunakan dalam penegakan hukum karena penggunaan cara yang tidak diatur dalam Undang-Undang menyebabkan batal demi hukum, termasuk berkenaan dengan pihak yang mengajukan Peninjauan Kembali, in casu Jaksa Penuntut Umum;
26.  Bahwa untuk memperkuat dalil-dalil yang Pemohon kemukakan di atas, dalam pemeriksaan perkara ini, Pemohon selain mengajukan bukti-bukti, juga akan menghadirkan ahli-ahli untuk memperkuat dalil-dalil Pemohon;
D.      PETITUM
Bahwa dari seluruh dalil-dalil yang diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir, serta keterangan para ahli yang akan didengar dalam pemeriksaan perkara, dengan ini Pemohon memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi agar berkenan memberikan putusan sebagai berikut:
Dalam Pokok Perkara:
1.      Mengabulkan permohonan Pemohon untuk menguji ketentuan Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk seluruhnya;
2.      Menyatakan bahwa Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai memberikan hak kepada Jaksa Penuntut Umum atau penegak hukum lainnya untuk mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung dan Peninjauan Kembali dari pihak selain terpidana dan ahli warisnya tidak batal demi hukum; 
3.      Menyatakan bahwa Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai memberikan hak kepada Jaksa Penuntut Umum atau penegak hukum lainnya untuk mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung, dan Peninjauan Kembali dari pihak selain terpidana dan ahli warisnya tidak batal demi hukum;
4.      Atau jika Majelis Hakim Konstitusi berpendapat dan menganggap Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat dan berlaku, mohon kiranya Majelis Hakim Konstitusi agar dapat memberikan tafsir konstitusional terhadap Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) dengan menyatakan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) jika diartikan bahwa  “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Permohonan Peninjauan Kembali dari pihak selain Terpidana dan ahli warisnya batal demi hukum.
5.      Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)
[2.2]     Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya, Pemohon mengajukan bukti-bukti surat atau tertulis, yang disahkan di persidangan pada tanggal 6 April 2016, dan diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-20 sebagai berikut:
1.
Bukti P-1
:
Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Anna Boentaran;
2.
Bukti P-2
:
Fotokopi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
3.
Bukti P-3
:
Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
4.
Bukti P-4
:
Fotokopi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
5.
Bukti P-5
:
Fotokopi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
6.
Bukti P-6
:
Fotokopi Akta Perkawinan Nomor 2440/1981, bertanggal 24 September 1981;
7.
Bukti P-7
:
Fotokopi Berita Acara Eksekusi Nomor WKMA/73/VIII/2002, bertanggal 22 Agustus 2002, Perihal: Eksekusi;
8.
Bukti P-8
:
Fotokopi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 156/Pid.B/2000/PN.Jak.Sel, bertanggal 28 Agustus 2000;
9.
Bukti P-9
:
Fotokopi Putusan Mahkamah Agung Nomor 1688K/Pid/2000, bertanggal 28 Juni 2001;
10.
Bukti P-10
:
Fotokopi Putusan Mahkamah Agung Peninjauan Kembali Nomor 12PK/Pid.Sus/2009, bertanggal 11 Juni 2009;
11.
Bukti P-11
:
Fotokopi Buku Roeslan Saleh berjudul; “Pembinaan Cita Hukum dan Asas Hukum Nasional” (1996);
12.
Bukti P-12
:
Fotokopi Buku George P Fletcher, “Basic Concepts of the Criminal Law” (1998);
13.
Bukti P-13
:
Fotokopi Buku Soedarto berjudul “Hukum dan Hukum Pidana (1981);
14.
Bukti P-14
:
Fotokopi Putusan Mahkamah Agung Nomor 84 PK/Pid/2006, bertanggal 8 Juli 2007;
15.
Bukti P-15
:
Fotokopi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
16.
Bukti P-16
:
Fotokopi Surat Perintah Pelaksanaan Putusan Pengadilan/Mahkamah Agung RI No. Prin-139/O.1.14/Fu.1/09/2001 tanggal 28 September 2001 dan Berita Acara, bertanggal 29 September 2001;
17.
Bukti P-17
:
Fotokopi Artikel Media Masa Republika Online “Kejaksaan Akan Terus Ajukan PK”, bertanggal 5 September 2009;
18.
Bukti P-18
:
Fotokopi Artikel Media Masa dalam Hukum Online “Dalam Kasus Akbar, Hak Jaksa untuk Ajukan PK Dipertanyakan, bertanggal 17 Februari 2004;
19.
Bukti P-19
:
Fotokopi Buku The Pure Theory of Law (Bab V);
20.
Bukti P-20
:
Fotokopi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, bertanggal 17 Februari Tahun 2012;
[2.3]     Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan merujuk berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;
3. PERTIMBANGAN HUKUM
Kewenangan Mahkamah
[3.1]   Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK) dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945;
            Bahwa permohonan Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) selanjutnya disebut UU 8/1981, yang menyatakan:
Pasal 263 ayat (1):
“Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung”;
Terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G, Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) yang menyatakan:
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945:
“Negara Indonesia adalah negara hukum”
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945:
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum
Pasal 28G UUD 1945:
(1)  Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi;
(2)  Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.
Pasal 28I ayat (2) UUD 1945:
“Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”
[3.2]   Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah untuk pengujian konstitusionalitas norma Undang-Undang, in casu Pasal 263 ayat (1) UU 8/1981 terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G, dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, sehingga Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;
Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon
[3.3]   Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
a.     perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
b.     kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
c.     badan hukum publik atau privat; atau
d.     lembaga negara;
Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
a.     kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
b.     kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
[3.4]   Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
a.     adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
b.     hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap   dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c.     kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d.     adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e.     adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
[3.5]   Menimbang bahwa Pemohon mendallilkan sebagai warga negara Indonesia (vide bukti P-1) yang merupakan istri yang sah dari Joko Soegiarto Tjandra (vide bukti P-6). Bahwa suami Pemohon (Joko Soegiarto Tjandra) telah diputus lepas dari segala tuntutan hukum berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 156/Pid.B/2000/PN.Jak.Sel, bertanggal 28 Agustus 2000, dan dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1688K/Pid/2000, bertanggal 28 Juni 2001 dan telah berkekuatan hukum tetap (vide bukti P-8 dan bukti P-9). Namun, pada tanggal 11 Juni 2009 Mahkamah Agung melalui Putusan Peninjauan Kembali Nomor 12PK/Pid.Sus/2009 (vide bukti P-10), telah menghukum suami Pemohon (Joko Soegiarto Tjandra) atas dasar permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum yang mendasarkan pada Pasal 263 ayat (1) UU 8/1981. Dengan adanya putusan Mahkamah Agung dimaksud, Pemohon merasa haknya atas kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 telah dilanggar dan dirugikan. Kerugian dimaksud, menurut Pemohon, timbul karena adanya penafsiran terhadap Pasal 263 ayat (1) UU 8/1981 yang diperluas oleh Jaksa/Penuntut Umum dan kemudian diterima oleh Mahkamah Agung. Selain tidak memberikan kepastian hukum, menurut Pemohon, penafsiran di atas juga menyebabkan hilangnya hak konstitusional atas perlindungan diri, keluarga, kehormatan, martabat dan hak atas rasa aman serta perlindungan dari ancaman ketakutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
[3.6]   Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana dijelaskan pada paragraf [3.5] di atas, telah terang bagi Mahkamah bahwa Pemohon telah memenuhi syarat menjadi Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK.   Dengan demikian, Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo.
[3.7] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan Pemohon dan Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan;
Pokok Permohonan
[3.8] Menimbang bahwa pokok permohonan sebagaimana dimaksud oleh Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas Pasal 263 ayat (1) UU 8/1981 yang menurut Pemohon bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G, dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;
            Untuk membuktikan dalilnya Pemohon mengajukan bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai  dengan bukti P-20 yang selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara;
[3.9]    Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah perlu mengutip Pasal 54 UU MK yang menyatakan, Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden” dalam melakukan pengujian atas suatu Undang-Undang. Dengan kata lain, Mahkamah dapat meminta atau tidak meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden, tergantung pada urgensi dan relevansinya. Oleh karena permasalahan hukum dan permohonan a quo telah jelas, Mahkamah akan memutus permohonan a quo tanpa mendengar keterangan dan/atau meminta risalah rapat dari Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden;
[3.10] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan Pemohon dan bukti surat/tulisan Pemohon, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
              Bahwa dalam praktik, acapkali terjadi kesalahan dalam penjatuhan putusan yang disebabkan oleh kekeliruan dalam hal fakta hukumnya (feitelijke dwaling) maupun kekeliruan dalam hal hukumnya sendiri (dwaling omtrent het recht). Kesalahan dalam penjatuhan putusan ini dapat merugikan terpidana maupun masyarakat pencari keadilan dan negara. Sepanjang masih dalam ruang lingkup upaya hukum biasa, terhadap kesalahan demikian, baik terpidana maupun Jaksa/Penuntut Umum dapat melakukan upaya hukum biasa yaitu banding dan kasasi. Namun terhadap putusan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap, hanya ada dua upaya hukum luar biasa yang dapat dilakukan yaitu, Kasasi demi kepentingan hukum oleh Jaksa/Penuntut Umum atau Peninjauan Kembali yang merupakan hak terpidana maupun ahli warisnya;
              Jika putusan yang telah berkekuatan hukum tetap itu adalah putusan yang oleh terpidana atau ahli warisnya dirasa merugikan terpidana karena terpidana ataupun ahli warisnya merasa bahwa negara telah salah mempidana seseorang yang sesungguhnya tidak bersalah atau memberatkan terpidana, maka lembaga Peninjauan Kembali bisa menjadi upaya hukum luar biasa yang dilakukan oleh terpidana ataupun ahli warisnya [vide Pasal 263 ayat (1) UU 8/1981], dengan memenuhi syarat yang ditentukan oleh Pasal 263 ayat (2) UU 8/1981;
              Dengan demikian sistem hukum pidana yang dibangun oleh UU 8/1981 telah memberikan kesempatan yang sama baik kepada terpidana maupun kepada Jaksa/Penuntut Umum yang mewakili kepentingan negara untuk melakukan upaya hukum luar biasa terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum ataupun putusan pemidanaan yang dinilai oleh Jaksa/Penuntut Umum tidak memberikan rasa keadilan pada masyarakat, maka Jaksa/Penuntut Umum dapat mengajukan banding atau kasasi, sedangkan terhadap putusan pemidanaan yang dinilai oleh terpidana atau ahli warisnya tidak memberikan rasa keadilan kepada pihaknya, maka dapat diajukan upaya hukum peninjauan kembali;
          Pasal 263 ayat (1) UU 8/1981 menyatakan, “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”.   Dari rumusan Pasal 263 ayat (1) UU 8/1981 tersebut, menurut Mahkamah, ada empat landasan pokok yang tidak boleh dilanggar dan ditafsirkan selain apa yang secara tegas tersurat dalam Pasal dimaksud, yaitu:
1.     Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde zaak);
2.     Peninjauan Kembali tidak dapat diajukan terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum;
3.     Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya;
4.     Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan terhadap putusan pemidanaan;
[3.11]    Menimbang bahwa upaya hukum Peninjauan Kembali dilandasi filosofi pengembalian hak dan keadilan seseorang yang meyakini dirinya mendapat perlakuan yang tidak berkeadilan yang dilakukan oleh negara berdasarkan putusan hakim, oleh karena itu hukum positif yang berlaku di Indonesia memberikan hak kepada terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan upaya hukum luar biasa yang dinamakan dengan Peninjauan Kembali. Dengan kata lain, lembaga Peninjauan Kembali ditujukan untuk kepentingan terpidana guna melakukan upaya hukum luar biasa, bukan kepentingan negara maupun kepentingan korban. Sebagai upaya hukum luar biasa yang dilakukan oleh terpidana, maka subjek yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali adalah hanya terpidana ataupun ahli warisnya, sedangkan objek dari pengajuan Peninjauan Kembali adalah putusan yang menyatakan perbuatan yang didakwakan dinyatakan terbukti dan dijatuhi pidana. Oleh karena itu, sebagai sebuah konsep upaya hukum bagi kepentingan terpidana yang merasa tidak puas terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tidaklah termasuk ke dalam objek pengajuan Peninjauan Kembali, karena putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum pastilah menguntungkan terpidana;
              Pranata Peninjauan Kembali diadopsi semata-mata untuk kepentingan terpidana atau ahli warisnya dan hal tersebut merupakan esensi dari lembaga Peninjauan Kembali. Apabila esensi ini ditiadakan maka lembaga Peninjauan Kembali akan kehilangan maknanya atau menjadi tidak berarti;
              Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum luar biasa yang dapat dilakukan oleh terpidana atau ahli warisnya harus pula dipandang sebagai bentuk perlindungan Hak Asasi Manusia bagi warga negara, karena dalam hal ini seorang terpidana yang harus berhadapan dengan kekuasaan negara yang begitu kuat. Lembaga Peninjauan Kembali sebagai salah satu bentuk perlindungan Hak Asasi Manusia yang menjiwai kebijakan sistem peradilan pidana Indonesia;
[3.12]    Menimbang bahwa dalam praktiknya Mahkamah Agung ternyata menerima permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum, terlepas dari dikabulkan atau ditolaknya permohonan dimaksud. Terhadap keadaan tersebut, telah timbul silang pendapat, baik di kalangan akademisi maupun praktisi hukum tentang apakah Jaksa/Penuntut Umum berhak mengajukan Peninjauan Kembali terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, demi kepastian hukum, Mahkamah memandang penting untuk mengakhiri silang pendapat dimaksud;
[3.13]    Menimbang bahwa Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-VI/2008, bertanggal 15 Agustus 2008, dalam salah satu pertimbangannya telah menyatakan sebagai berikut:
[3.22] ... Pertanyaan timbul apakah Jaksa/Penuntut Umum dapat mengajukan PK jika dilihat dari rumusan Pasal 263 ayat (1). Memang Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat mengajukan permohonan PK, karena falsafah yang mendasari PK adalah sebagai instrumen bagi perlindungan hak asasi terdakwa, untuk memperoleh kepastian hukum yang adil dalam proses peradilan yang dihadapinya. Memang ada kemungkinan kesalahan dalam putusan pembebasan terdakwa atau ditemukannya bukti-bukti baru yang menunjukkan kesalahan terdakwa, seandainya bukti tersebut diperoleh sebelumnya. Namun, proses yang panjang yang telah dilalui mulai dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan, dan putusan di peradilan tingkat pertama, banding, dan kasasi, dipandang telah memberikan kesempatan yang cukup bagi Jaksa/Penuntut Umum menggunakan kewenangan yang dimilikinya untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Oleh karena itu, dipandang adil jikalau pemeriksaan PK tersebut dibatasi hanya bagi terpidana atau ahli warisnya karena Jaksa/Penuntut Umum dengan segala kewenangannya dalam proses peradilan tingkat pertama, banding, dan kasasi, dipandang telah memperoleh kesempatan yang cukup. ...”;
              Dengan pertimbangan sebagaimana diuraikan dalam putusan Mahkamah Nomor 16/PUU-VI/2008 di atas telah jelas bahwa hak untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali adalah hak terpidana atau ahli warisnya, bukan hak Jaksa/Penuntut Umum. Jika Jaksa/Penuntut Umum melakukan Peninjauan Kembali, padahal sebelumnya telah mengajukan kasasi dan upaya hukum luar biasa berupa kasasi demi kepentingan hukum dan telah dinyatakan ditolak, maka memberikan kembali hak kepada Jaksa/Penuntut Umum untuk mengajukan Peninjauan Kembali tentu menimbulkan ketidakpastian hukum dan sekaligus tidak berkeadilan;
              Ketika Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum diterima, maka sesungguhnya telah terjadi dua pelanggaran prinsip dari Peninjauan Kembali itu sendiri, yaitu pelanggaran terhadap subjek dan objek Peninjauan Kembali. Dikatakan ada pelanggaran terhadap subjek karena subjek Peninjauan Kembali menurut Undang-Undang adalah terpidana atau ahli warisnya. Sementara itu, dikatakan ada pelanggaran terhadap objek karena terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tidak dapat dijadikan objek Peninjauan Kembali.
[3.14]    Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas Mahkamah memandang penting untuk menegaskan kembali bahwa norma Pasal 263 ayat (1) UU 8/1981 adalah norma yang konstitusional sepanjang tidak dimaknai lain selain bahwa peninjauan kembali hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya, dan tidak boleh diajukan terhadap putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum. Pemaknaan yang berbeda terhadap norma        a quo akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang justru menjadikannya inkonstitusional. Untuk itu Mahkamah perlu menegaskan bahwa demi kepastian hukum yang adil norma Pasal 263 ayat (1) UU 8/1981 menjadi inkonstitusional jika dimaknai lain.

4. KONKLUSI
              Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:
[4.1]      Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;
[4.2]      Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;
[4.3]      Pokok permohonan Pemohon beralasan menurut hukum secara bersyarat;
              Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
5. AMAR PUTUSAN
 Mengadili,
Menyatakan:
1.     Mengabulkan permohonan Pemohon;
1.1.             Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat, yaitu sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit tersurat dalam norma a quo;
1.2.             Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, yaitu sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit tersurat dalam norma a quo;
2.     Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
                Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota,  Anwar Usman, Manahan M.P Sitompul, I Dewa Gede Palguna, Patrialis Akbar, Wahiduddin Adams, Maria Farida Indrati, Aswanto, dan Suhartoyo, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Rabu, tanggal tiga belas, bulan April, tahun dua ribu enam belas, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal dua belas, bulan Mei, tahun dua ribu enam belas, selesai diucapkan pukul 09.30 WIB, oleh tujuh Hakim Konstitusi, yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota,  Manahan M.P Sitompul, I Dewa Gede Palguna, Patrialis Akbar, Wahiduddin Adams, Aswanto, dan Suhartoyo, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Yunita Rhamadani sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh Pemohon/kuasanya, Presiden/yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat/yang mewakili.
Ketua,
ttd.
Arief Hidayat
Anggota-Anggota,
 ttd.
Manahan M.P Sitompul
 ttd.
I Dewa Gede Palguna
ttd.
Patrialis Akbar
ttd.
Wahiduddin Adams
ttd.
Aswanto
ttd.
Suhartoyo
PANITERA PENGGANTI,
ttd.
Yunita Rhamadani
readmore »»  
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More