Harmoni...

Jakarta, September 2010

Harmoni...

Jakarta, Desember 2010

Belahan jiwa

......

...Belahan jiwa...

......

ceria...

Jakarta, 8 Januari 2012

Nora Uzhma Naghata

Bogor, 24 Februari 2011

Nora Uzhma Naghata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Taman Safari Puncak

Bogor, 24 Februari 2011

Bandara Ahmad Yani

Semarang, 28 September 2011

Rileks

*********

Nur Rosihin Ana

Semarang, 19 Oktober 2010

Nur Rosihin Ana

mahkamah dusturiyyah, 18 Juli 2012

Nur Rosihin Ana

Hotel Yasmin, Puncak, Desember 2010

Nora Uzhma Naghata

Naghata

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Demak, 11 September 2011

Nur Rosihin Ana

Nagreg, Bandung 11 Juli 2011

Nora Uzhma Naghata, Sri Utami, Najuba Uzuma Akasyata, Nur Rosihin Ana

Sapa senja di Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Sapa Senja Jepara

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

...bebas, lepas...

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Sabtu, 20 Februari 2016

Kapasitas dan Kualitas Mufakat Jahat

Pemufakatan jahat hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kapasitas dan kualitas untuk melakukan tindak pidana tertentu. Pengaturan pemufakatan jahat dalam Pasal 15 UU Tipikor yang merujuk kepada Pasal 88 KUHP menimbulkan multitafsir bagi penegak hukum. Pengertian pemufakatan jahat dalam Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor tidak memenuhi syarat lex certa, tidak jelas dan membuka potensi terjadinya pelanggaran hak asasi.
Demikian antara lain dalil permohonan pengujian Pasal 88 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 15 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 I ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945).
Permohonan tersebut diajukan oleh Setya Novanto (Setnov). Melalui surat bertanggal 2 Februari 2016, Setnov melalui kuasa hukumnya, Muhammad Ainul Syamsu, dkk, mengajukan permohonan tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Setelah permohonan dinilai lengkap, Kepaniteraan Mahkamah meregistrasi permohonan ini dengan Nomor Perkara 21/PUU-XIV/2016 pada 17 Februari 2016. Saat mengajukan permohonan ini ke MK, Setnov berstatus sebagai Terperiksa dalam penyelidikan atas “dugaan tindak pidana korupsi pemufakatan jahat atau percobaan melakukan tindak pidana korupsi dalam perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia”.

Pasal 88 KUHP

Dikatakan ada pemufakatan jahat bila dua orang atau lebih telah sepakat untuk melakukan kejahatan.
Pasal 15 UU Tipikor
Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3 sampai dengan Pasal 14.

Kapasitas dan Kualitas
Menurut Setnov, sangat tidak tepat jika ketentuan tentang pemufakatan jahat dalam Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor itu diterapkan kepadanya. Sebab ia maupun Muhammad Riza Chalid bukanlah orang-orang yang berwenang, dan bukan penentu kebijakan pemerintah dalam memperpanjang izin PT Freeport Indonesia. Keduanya bukan pula pejabat PT Freeport Indonesia yang dapat menentukan kebijakan divestasi saham yang dimilikinya.
Menurut Setnov, dirinya dan Muhammad Riza Chalid sama sekali tidak mempunyai kapasitas dan kualitas untuk melakukan pemufakatan jahat berdasarkan Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor. Berbeda halnya jika pemufakatan jahat itu dilakukan bersama dengan pihak PT Freeport Indonesia yang mempunyai kewenangan dan kebijakan untuk melepas saham yang dimilikinya atau dengan oknum eksekutif yang memiliki kewenangan untuk memperpanjang izin kontrak PT Freeport Indonesia.
Hal tersebut terjadi karena ketidakjelasan pengaturan pemufakatan jahat dalam Pasal 15 UU Tipikor yang merujuk kepada Pasal 88 KUHP sehingga menimbulkan multitafsir bagi penegak hukum. Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus menyederhanakan frasa “dua orang atau lebih” hanya pada persoalan kuantitas, yaitu jumlah orang yang bersepakat; bukan pada persoalan kualitas, yaitu apakah sejumlah orang itu memiliki kualitas dan kapasitas untuk melakukan tindak pidana tersebut.
Oleh karena itu, diperlukan pemaknaan dan penjelasan lebih lanjut mengenai frasa “permufakatan jahat”. Menurut Setnov, pemufakatan jahat hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kapasitas dan kualitas untuk melakukan tindak pidana tertentu. Simplifikasi kaidah dan norma “pemufakatan jahat” menjadi hanya sekedar dua orang yang berdiskusi dan bercakap tanpa melihat kapasitas dan kualitas orang-orang tersebut untuk melakukan tindak pidana, akan melahirkan konsekuensi praktis yang diwujudkan dalam penegakan hukum yang tidak memberikan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum bagi warga negara yang menjalani proses hukum.

Ambigu dan Multitafsir
Ambiguitas dan multitafsir frasa “pemufakatan jahat” dalam Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor mendorong terjadinya proses hukum yang merugikan hak-hak konstitusional Setnov. Ketidakpastian hukum dalam pengertian tentang pemufakatan jahat, rumusan delik dalam Pasal 15 UU Tipikor juga tidak memenuhi syarat lex certa.
Ketidakcermatan perumusan pasal ini terlihat dalam frasa “tindak pidana korupsi” yang tidak menyebutkan jenis-jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud. Hal ini pada akhirnya tidak memberikan jaminan dan perlindungan hak asasi manusia sebagaimana yang dialami Setnov (Pemohon). Dalam beberapa surat panggilan yang dikirimkan oleh Direktur Penyelidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, tidak disebutkan bentuk dan pasal dari tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa, tetapi hanya menyebutkan “dugaan tindak pidana korupsi pemufakatan jahat atau percobaan melakukan tindak pidana korupsi dalam perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia”.
Di satu sisi, hal ini tidak memberikan kepastian hukum bagi Pemohon terkait dengan pasal yang digunakan oleh penegak hukum untuk melakukan pemeriksaan hukum. Di sisi lain, ketidakcermatan rumusan delik dalam Pasal 15 UU Tipikor berpotensi menciptakan kesewenang-wenangan penegak hukum karena sangat dimungkinkan bahwa dugaan-dugaan hanya didasarkan pada penilaian subyektif dan merupakan perbuatan yang tidak pernah dilarang dalam undang-undang.
Sangat dimungkinkan surat panggilan tersebut didasari pemahaman bahwa terhadap orang-orang yang diduga melakukan pemufakatan jahat tindak pidana korupsi cukup digunakan Pasal 15 UU Tipikor tanpa merujuk kepada tindak pidana pokoknya sebagaimana tercantum dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai Pasal 14. Setnov meyakini bahwa tindakan tersebut disebabkan ketidaktegasan dan ketidakcermatan rumusan delik dalam Pasal 15 UU Tipikor.
Kerugian konstitusional yang potensial terjadi manakala proses hukum tetap dipaksakan dan dijatuhkan pidana berdasarkan aturan pidana yang multitafsir adalah tersendatnya dan berhentinya karir politik Setnov yang telah dibina sejak lama. Keadaan ini dapat menghambat aktivitas politik dan kewajiban serta tugas negara yang diemban Setnov sebagai Anggota DPR RI. Potensi kerugian konstitusional tersebut di atas hanya melengkapi kerugian konstitusional yang telah dan sedang dialami oleh Pemohon, yaitu tidak terpenuhinya jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang disebabkan berlakunya Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor yang multi tafsir.
Kerugian konstitusional itu tidak akan terjadi lagi jika permohonan ini dikabulkan. Dengan dikabulkannya permohonan ini, maka Direktur Penyelidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus dan penegak hukum lain tidak akan menerapkan ketentuan Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor secara membabi buta tanpa melihat kapasitas dan kualitas orang tersebut untuk melakukan tindak pidana, terlebih kepada Pemohon.
Dalam asas legalitas terkandung asas lex certa yang mengajarkan bahwa undang-undang harus diatur secara cermat untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dalam penegakan hukumnya. Pengertian pemufakatan jahat dalam Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor tidak memenuhi syarat lex certa, tidak jelas dan membuka potensi terjadinya pelanggaran hak asasi disebabkan penegakan hukum yang keliru.
Dalam KUHP, tindak pidana pemufakatan jahat diatur dalam Pasal 110 dan Pasal 125 mengatur tentang pemufakatan jahat untuk melakukan kejahatan terhadap keamanan negara berdasarkan Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108 dan Pasal 124. Berbagai tindak pidana keamanan negara dalam beberapa pasal tersebut tidak mensyaratkan kualitas dan kualifikasi tertentu bagi subjek deliknya sehingga setiap orang dapat mewujudkan delik tersebut dan dapat pula diterapkan pemufakatan jahat dengan pengertian “dua orang atau lebih yang bersepakat melakukan kejahatan”. Namun persoalannya menjadi berbeda manakala pemufakatan jahat dengan pengertian tersebut diberlakukan terhadap delik-delik yang mensyaratkan kualitas tertentu, seperti pejabat negara atau pegawai negeri sipil yang diatur dalam UU Tipikor. Sebab manakala definisi pemufakatan jahat tidak diubah, maka definisi pemufakatan jahat akan digunakan untuk menjerat siapapun yang bersepakat untuk melakukan tindak pidana meskipun orang-orang tersebut tidak mempunyai kualitas tertentu yang ditentukan oleh undang-undang.
Dapat dibayangkan betapa seorang Anggota DPR RI yang merupakan pejabat negara saja dapat mengalami tindakan represif sebagai akibat dari berlakunya Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor yang sumir, tidak jelas dan tidak memenuhi asas lex certa. Apalagi terhadap warga negara biasa yang bukan pejabat negara yang lebih rentan untuk menerima tindakan represif dari negara dengan menggunakan aturan hukum yang sumir, tidak jelas dan tidak memenuhi asas lex certa. Kenyataan ini sangat bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa negaralah terutama pemerintah yang bertanggung jawab untuk melindungi dan memenuhi hak asasi manusia. Namun kenyataannya negara belum dapat melaksanaan kewajiban konstitusional dengan baik.
Meskipun pemufakatan jahat ditetapkan sebagai tindak pidana tersendiri, namun secara esensial pemufakatan jahat tidak berdiri sendiri dan tergantung dengan tindak pidana lainnya. Oleh karenanya seharusnya Pasal 15 UU Tipikor menyebutkan jenis-jenis tindak pidana korupsi (strafbaar) sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai Pasal 14. Namun kenyataannya, Pasal 15 UU Tipikor hanya menyebutkan “dipidana dengan pidana yang sama dengan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai Pasal 14” yang mengandung pengertian bahwa dalam menjatuhkan pidana, hakim bebas untuk memilih ancaman pidana berdasarkan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai Pasal 14 tanpa menyebutkan terhadap tindak pidana apa seseorang dituduh dalam sebuah proses hukum.
Frasa “tindak pidana korupsi” dalam Pasal 15 UU Tipikor seharusnya menguraikan strafbaar (perbuatan yang dilarang) dalam bentuk kalimat definisional atau dengan merujuk kepada pasal tertentu yang merupakan tindak pidana korupsi. Pasal 110 ayat (1) dan Pasal 125 KUHP dapat dijadikan contoh dalam merumuskan pemufakatan jahat secara cermat agar tidak melahirkan ketidakpastian hukum. Disebutkan dalam Pasal 110 ayat (1) KUHP bahwa “pemufakatan jahat untuk melakukan kejahatan menurut Pasal 104, 106, 107, dan 108 diancam berdasarkan ancaman pidana dalam pasal-pasal tersebut”. Disebutkan juga dalam Pasal 125 KUHP bahwa “pemufakatan jahat untuk melakukan kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124, diancam dengan pidana paling lama enam tahun”. Kedua pasal tersebut mengatur pemufakatan jahat terhadap tindak pidana menurut Pasal 104, 106, 107, 108 dan Pasal 125 sebagai perbuatan yang dilarang (strafbaar) sehingga memberikan kepastian hukum bahwa pemufakatan jahat secara limitatif hanya dapat dikaitkan dengan tindak pidana tertentu. Hal ini sangat berbeda dengan Pasal 15 UU Tipikor yang tidak mengatur strafbaar secara mendetail karena hanya mencantumkan frasa “tindak pidana korupsi”.
Ketidakcermatan dalam Pasal 15 UU Tipikor juga dapat disimpulkan dari dicantumkannya “Pasal 14” sebagaimana frasa “…sampai Pasal 14”, padahal Pasal 14 UU Tipikor tidak mengatur tentang tindak pidana, sehingga tidak dapat disematkan pemufakatan jahat terhadap Pasal 14 dan lagi pula Pasal 14 tidak mencantumkan ancaman pidana. Sejatinya Pasal 14 UU Tipikor mengatur tentang asas kekhususan sistematis (specialiteit systematische) sehingga pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana berdasarkan Pasal 14 UU Tipikor tidak dimungkinkan.
Ketidaktegasan dan ketidakcermatan rumusan delik dalam Pasal 15 UU Tipikor berpotensi menghilangkan kepastian hukum, jaminan dan perlindungan hak asasi setiap orang yang terlibat dalam proses hukum dengan dugaan tindak pidana berdasarkan Pasal 15 UU Tipikor. Sebab, tanpa pengaturan yang tegas dan cermat tentang bentuk-bentuk tindak pidana dalam frasa “tindak pidana korupsi” yang diatur dalam Pasal 15 UU Tipikor, setiap orang yang terlibat proses hukum tidak akan mengetahui tuduhan terhadap dirinya.

Tafsir Ulang
Norma Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor bertentangan dengan kaidah konstitusi yang menyatakan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Selain itu, bertentangan dengan kaidah konstitusi yang mengatur tentang pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Oleh karena itu, Setnov berharap Mahkamah Konstitusi yang dikenal sebagai “the guardian and the final interpreter of constitution” untuk menyatakan bahwa kaidah-kaidah undang-undang yang diatur dalam 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor adalah bertentangan dengan kaidah konstitusi. Mahkamah Konstitusi dapat memberikan penafsiran ulang terhadap Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor sebagaimana pernah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 49/PUU-VIII/2010.
Dalam petitumnya, Setnov meminta MK menyatakan frasa “pemufakatan jahat” dalam Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai dengan “dikatakan ada pemufakatan jahat bila dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas dan kapasitas untuk melakukan tindak pidana bersepakat melakukan tindak pidana”. Menyatakan Pasal 15 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai dengan “setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 2 atau Pasal 3 atau Pasal 5 sampai dengan Pasal 13 diancam dengan pidana yang sama dengan pasal-pasal tersebut”.


Nur Rosihin Ana

Rubrik “Catatan Perkara” Majalah Konstitusi Nomor 108 • Februari 2016
readmore »»  

Sengketa Pilkada Serentak 2015

“Layu Sebelum Berkembang”

Hasil Pilkada serentak 2015 menuai sengketa di MK. Mayoritas perkara PHPU Kada layu sebelum berkembang. Sepanjang Januari 2016, sejumlah 139 perkara rontok berguguran di persidangan.

Pagi itu, Senin, 18 Januari 2016, Gedung Mahkamah Konstitusi yang berlokasi di Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat, sudah tampak ramai. Tdak seperti biasanya hadirin dari berbagai penjuru di tanah air berbondong mendatangi MK. Mereka hadir di MK bukan dalam rangka studi hukum dan konstitusi laiknya kunjungan ke MK. Mereka datang ke MK untuk mengikuti dari dekat jalannya sidang pengucapan putusan perkara Perselisihan Hasil Pemililihan Kepala Daerah (PHP Kada).
Pengamanan ekstra ketat juga nampak berbeda seperti hari biasa. Sejumlah aparat Kepolisian dari Polres Metro Jakarta Pusat bersiaga di beberapa titik lokasi. Personil dari unit Samapta Bhayangkara (Sabhara), Brigade Mobil (Brimob), Reserse Kriminal (Reskrim) ditambah pengamanan dalam MK, siap mengamankan jalannya pembacaan putusan.
Potensi ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan keamanan dalam proses penyelesaian perkara sengketa Pilkada harus mampu dipetakan dan dideteksi secara dini. Hal ini untuk mengantisipasi terulangnya sejarah kelam dalam persidangan di MK, 14 November 2013 silam. Saat itu MK menggelar sidang pengucapan putusan sengketa Pilkada Maluku. Keributan bermula saat majelis hakim usai membacakan amar putusan salah satu permohonan sengketa Pilkada Maluku. Sekelompok massa yang merasa tidak puas dengan putusan MK, tiba-tiba merangsek masuk ke ruang sidang pleno pengucapan putusan yang tengah berlangsung di lt. 2 Gedung MK. Massa meluapkan amarah dengan mengobrak-abrik inventaris ruang sidang pleno. Meja, kursi, podium, mikropon menjadi sasaran perusakan. Pergerakan massa pun mengarah ke meja hakim. Melihat situasi yang tidak memungkinkan, Ketua MK yang memimpin jalannya persidangan saat itu, Hamdan Zoelva, terpaksa menskors sidang. Aparat Kepolisian yang berjaga di MK dengan sigap mengevakuasi para hakim dari ruang sidang pleno menuju tempat yang aman.
Tragedi kelam tersebut terjadi di tengah menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap MK. Dua pekan sebelum tragedi ini, Ketua MK kala itu, M. Akil Mochtar, terjaring operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK. Akil ditangkap KPK di rumah dinas Ketua MK pada Rabu, 2 Oktober 2013 malam terkait suap perkara Pilkada. Dua kejadian ini membuat muruah mahkamah terjun bebas ke titik nadir. Sembilan pilar yang selama ini kokoh berdiri seakan tumbang dihantam badai tsunami.
Mengantisipsi terjadinya gangguan keamanan di MK selama proses penyelesaian perkara sengketa Pilkada, Polda Metro Jaya menerjunkan tiga batalyon. Polda Metro jaya juga telah menyiapkan pola pengamanan khusus yang terbagai menjadi tiga ring. Kawasan ring satu meliputi balkon lantai 3 dan ruang sidang lantai 4. Kawasan ring dua yakni halaman sekitar MK. Kemudian ring tiga meliputi depan dan belakang gedung MK. “Kami sudah menyiapkan pengamanan khusus dengan pola ring di Mahkamah Konstitusi yang terbagi atas tiga ring,” kata Kapolda Metro Jaya, Irjen Pol. Tito Karnavian saat memantau pengamanan pada hari kedua sidang sengketa Pilkada di MK (8/1 2016).
Kapasitas ruang sidang pleno yang berada di lt. 2 Gedung MK tentu tidak mampu menampung seluruh hadirin. Apalagi hari itu akan diputus 40 perkara sengketa Pilkada yang dibagi menjadi dua sesi. Demi ketertiban, kenyamanan, dan keamanan, hadirin yang diperkenankan masuk ke ruang sidang pleno dibatasi. Bagi hadirin yang tidak dapat masuk ke ruang sidang pleno, mereka dapat mengikuti jalannya persidangan secara langsung melalui layar monitar LED berukuran besar.
Sebuah tenda berukuran besar berdiri di halaman gedung Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang bersebelahan dengan gedung MK. Hembusan udara yang mengalir dari mesin pendingin ruangan menambah kenyamanan tenda dwi warna merah putih beralaskan karpet merah. Di dalam tenda inilah para pengunjung yang tidak kebagian masuk ke ruang sidang, dapat mengikuti jalannya persidangan melalui tiga buah layar monitor LED berukuran 50 inch. Pengunjung yang masuk pun harus melalui pemeriksaan metal detektor. “Kami juga bekerja sama dengan MK untuk membatasi pengunjung ke ruang sidang MK melalui pengamanan dalam yang menyeleksi, mengatur siapa yang boleh masuk dan siapa yang tidak boleh masuk,” tambah Tito.

Putusan
Petugas persidangan meminta hadirin untuk berdiri saat hakim konstitusi memasuki ruang persidangan. Tepat pukul 09.00 WIB Ketua MK Arief Hidayat dengan didampingi delapan hakim konstitusi, mengetukkan palu tiga kali pertanda persidangan dibuka dan terbuka untuk umum.
Agenda sidang pada Senin, 18 Januari 2016 itu adalah pengucapan putusan dan ketetapan. Sebanyak 40 perkara yang terdiri dari lima ketetapan dan 35 putusan sengketa Pilkada dibacakan hari itu.
Sidang pengucapan ketetapan dan putusan dibagi menjadi tiga Sesi. Sesi pertama digelar pukul 09.00-12.36 WIB untuk pembacaan 21 putusan. Tepat satu jam kemudian, setelah jeda untuk istirahat, makan siang dan shalat zhuhur, pada pukul 13.36-14.45 WIB sidang sesi kedua digelar. Sebanyak 7 perkara diputus pada sesi kedua ini. Sidang sesi ketiga dibuka pada Pukul 16.07-18.17 WIB untuk membacakan 12 putusan.
Persidangan tersebut menghasilkan lima ketetapan. Sebanyak lima permohonan ditarik kembali oleh Pemohonnya. Mahkamah dalam ketetapannya menyatakan mengabulkan penarikan kembali permohonan Pemohon. Adapun lima permohonan yang ditarik kembali, yakni PHP Kada Kabupaten Bulukumba Provinsi (Perkara Nomor 27/PHP.BUP-XIV/2016), PHP Kada Kabupaten Kotabaru Provinsi Kalimantan Selatan (Perkara Nomor 50/PHP.BUP-XIV/2016), PHP Kada Kabupaten Pesisir Barat Provinsi Lampung (Perkara Nomor 142/PHP.BUP-XIV/2016), PHP Kada Kabupaten Boven Digoel Provinsi Papua (Perkara Nomor 146/PHP.BUP-XIV/2016), dan PHP Kada Kabupaten Toba Samosir Provinsi Sumatera Utara (147/PHP.BUP-XIV/2016). Sedangkan sisanya yakni 35, Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Putusan PHP Kada di MK terkait dengan tenggang waktu pengajuan permohonan dan persentase selisih suara berdasarkan ketentuan perundang-undangan, serta terkait kedudukan hukum (legal standing) para pihak yang berperkara.
Majelis hakim dan seluruh pegawai MK harus menyiapkan waktu dan tenaga ekstra karena sidang pengucapan putusan dan ketetapan dilakukan secara marathon sejak pagi hingga petang hari. Tak terkecuali pula aparat Kepolisian terus waspada bersiaga menjaga keamanan sidang pengucapan putusan.
Sidang berikutnya digelar pada 21 Januari 2016 dengan agenda pengucapan putusan. Terdapat 26 perkara PHP Kada diputus pada persidangan kali ini. Mahkamah dalam amar putusannya menyatakan tidak dapat menerima ke-26 permohonan perkara tersebut.
Sehari kemudian, tepatnya pada 22 Januari 2016 Mahkamah juga menggelar sidang putusan. Sebanyak 23 perkara diputus pada sidang kali ini. Sebanyak 22 perkara diputus tidak dapat diterima. Sisanya, satu perkara diputus sela, yakni Putusan Nomor 1/PHP.BUP-XIV/2016 ihwal Perselisihan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara Tahun 2015. Mahkamah dalam amar putusannya memerintahkan kepada KPU Provinsi Maluku Utara untuk melakukan penghitungan surat suara ulang Pilkada Kabupaten Halmahera Selatan Tahun 2015 untuk Kecamatan Bacan paling lama 14 hari sejak putusan ini dibacakan.
Persidangan pengucapan putusan berikutnya digelar dua hari secara berturut-turut, yakni pada 25-26 Januari 2016. Pada persidangan 25 Januari 2016, Mahkamah menyatakan tidak dapat menerima 26 permohonan yang putusannya dibacakan pada hari itu. Begitu pula dengan nasib 25 permohonan yang dibacakan pada persidangan 26 Januari 2016, Mahkamah juga menyatakan tidak dapat menerima permohonan.
Sebanyak 140 perkara telah diputus. Bagaimana dengan nasib sembilan perkara yang masih berlanjut pemeriksaannya, ikuti proses persidangan MK.

Nur Rosihin Ana

Laporan Utama Majalah Konstitusi Nomor 108 • Februari 2016
readmore »»  

Menang-Kalah Terhormat

Permohonan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHP Kada) yang masuk ke MK hingga akhir Desember 2015, semula berjumlah 147. Pada Januari 2016 masuk satu perkara. Kemudian pada 9 Februari 2016, masuk lagi satu perkara. Dengan demikian, perkara PHP Kada yang masuk ke MK sejumlah 149 perkara. Jumlah ini kemungkinan akan bertambah mengingat beberapa daerah yang melaksanakan Pilkada susulan.
Sembilan Hakim Konstitusi dibantu panitera serta didukung segenap jajaran di MK serta aparat keamanan, harus ekstra mencurahkan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengawal proses demokrasi lokal ini. Dari 149 perkara PHP Kada tersebut, sebanyak 140 perkara telah diputus MK. Mayoritas perkara tidak memenuhi syarat tenggang waktu pengajuan permohonan dan persentase selisih suara, serta terkait dengan kedudukan hukum (legal standing) para pihak yang berperkara.
Tentu Mahkamah tidak gegabah atau gebyah-uyah dalam menjatuhkan putusan. Sebelum putusan dijatuhkan, MK telah meneliti dengan jeli serta memilah-milah permohonan. Permohonan yang tidak memenuhi syarat, tentu harus segera diputus. Para pihak yang bersengketa harus segera mendapatkan kepastian hukum.
Keadilan yang tertunda adalah keadilan yang tertolak (justice delayed justice denied). Menunda keadilan adalah kezhaliman. Menunda-nunda putusan juga merupakan kezhaliman. Maka demi keadilan, perkara yang sudah terang benderang duduk perkara dan faktor yang melingkupinya, harus segera diputus. Tak perlu harus menunda hingga 45 hari kerja. Semakin cepat jaminan perlindungan kepastian hukum yang adil bagi para pencari keadilan, tentu lebih baik dari pada menundanya. Prinsipnya, jika dapat dipercepat, maka jangan diperlambat.
Ibarat dedaunan yang kering kerontang, perkara-perkara tersebut harus gugur. Sewajarnya dedaunan yang kering itu akan luruh berguguran tertiup angin. Tidak cukup alasan untuk tetap bertahan pada tangkainya. Semua pihak harus introspeksi dan legowo menerima apa yang diputus oleh MK. Mengutip ungkapan Tere Liye, “Daun yang jatuh tak pernah membenci angin. Dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak melawan. Mengikhlaskan semuanya.”
Semua permohonan PHP Kada diunggah di dunia maya (situs MK). Para pihak dan masyarakat Indonesia dapat membaca lengkap permohonan tersebut. Proses persidangan PHP Kada pun bersifat terbuka. Tidak ada yang ditutup-tutupi. Semua serba kasat mata. Maka tak heran jika sedari awal permohonan diajukan, sebagian masyarakat sudah dapat meraba, menduga bahkan muncul keyakinan ihwal nasib sebuah permohonan. Bagi para pakar dan pemerhati PHP Kada, tentu tak begitu sulit untuk sampai kepada kesimpulan akhir suatu perkara.
Maka ketika tiba hari-hari pengucapan putusan, semua tampak normal. Persidangan berjalan lancar. Tiada suasana mencekam. Keamanan cukup kondusif, baik sebelum maupun setelah pengucapan putusan.
Secara umum, pelaksanaan Pilkada serentak 2015 berjalan cukup baik. Pilkada serentak tahap pertama ini diharapkan menjadi barometer pelaksanaan pilkada serentak tahap selanjutnya. Munculnya sengketa pasca pelaksanaan Pilkada pun menuntut penyelesaian yang baik pula. Keadilan harus ditegakkan. Suasana damai dalam penanganan sengketa Pilkada harus tetap terjaga.
Dalam setiap kontestasi, tentu melahirkan pemenang dan pecundang. Pemenang tidak perlu bertepuk dada dan merayakan kemenangan dengan gegap gempita. Kemenangan dalam pilkada merupakan awal khidmah mengemban amanat rakyat. Sementara bagi yang kalah harus lapang dada menerima kekalahan. Menang maupun kalah dalam kontestasi pilkada yang jujur dan adil merupakan sebuah kehormatan.

Nur Rosihin Ana
Editorial Majalah Konstitusi Nomor 108 • Februari 2016
readmore »»  
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More