Harmoni...

Jakarta, September 2010

Harmoni...

Jakarta, Desember 2010

Belahan jiwa

......

...Belahan jiwa...

......

ceria...

Jakarta, 8 Januari 2012

Nora Uzhma Naghata

Bogor, 24 Februari 2011

Nora Uzhma Naghata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Taman Safari Puncak

Bogor, 24 Februari 2011

Bandara Ahmad Yani

Semarang, 28 September 2011

Rileks

*********

Nur Rosihin Ana

Semarang, 19 Oktober 2010

Nur Rosihin Ana

mahkamah dusturiyyah, 18 Juli 2012

Nur Rosihin Ana

Hotel Yasmin, Puncak, Desember 2010

Nora Uzhma Naghata

Naghata

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Demak, 11 September 2011

Nur Rosihin Ana

Nagreg, Bandung 11 Juli 2011

Nora Uzhma Naghata, Sri Utami, Najuba Uzuma Akasyata, Nur Rosihin Ana

Sapa senja di Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Sapa Senja Jepara

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

...bebas, lepas...

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Senin, 20 Juli 2015

Nasib Berkas Perkara Pelanggaran HAM Berat

Berkas hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) beberapa kali dikembalikan oleh Jaksa Agung. Alasannya, belum cukup bukti. Akses korban pelanggaran HAM untuk mendapatkan kepastian hukum dan keadilan menjadi terabaikan.

Komnas HAM merupakan komisi resmi negara yang berwenang melakukan penyelidikan untuk menentukan ada atau tidaknya sebuah pelanggaran HAM berat dalam peristiwa tertentu. Kewenangan ini merupakan mandat Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM). Sedangkan wewenang Jaksa Agung sebagaimana ketentuan Pasal 21 dan Pasal 23 UU Pengadilan HAM yaitu melakukan penyidikan dan penuntutan atas perkara pelanggaran HAM berat berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM.
Sepanjang 2002 sampai saat ini, Jaksa Agung telah beberapa kali (satu hingga enam kali) mengembalikan berkas perkara penyelidikan pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh Komnas HAM. Berkas perkara dimaksud yaitu Peristiwa Trisakti, Semanggi I (1998) dan II (1999); peristiwa Mei 1998; Penghilangan Orang Secara Paksa (1997-1998); Peristiwa Talangsari Lampung (1989); Peristiwa Penembakan Misterius (1982-1985); Peristiwa 1965-1966; serta Peristiwa Wasior 2001 dan Wamena 2002 Papua (non-retroaktif).
Tentu bukan tanpa dasar jika Kejaksaan Agung melakukan hal demikian. Dalam Pasal 20 ayat (3) UU Pengadilan HAM dan Penjelasannya, telah memberikan syarat limitatif tentang pengembalian berkas penyelidikan. Kemudian dalam Penjelasan Pasal tersebut menyebutkan, yang dimaksud dengan kurang lengkap adalah belum cukup memenuhi unsur pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan.
Bersadarkan Pasal 20 ayat (3) UU Pengadilan HAM dan Penjelasannya tersebut, maka jelas dan terang bahwasanya syarat pengembalian tersebut adalah didasarkan kepada syarat materiil bukan kepada syarat formil. Namun pada faktanya, Jaksa Agung seringkali menggunakan pasal dan penjelasan pasal yang dimaksud dengan tafsir yang berbeda. Hal inilahAyang dipersoalkan oleh keluarga korban pelanggaran HAM, yakni Paian Siahaan (Keluarga Korban Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997-1998) dan Yati Ruyati (Keluarga Korban Tragedi Mei 1998).
Paian dan Yati melalui kuasa hukum Haris Azhar dkk, pada 21 Mei 2015 menyampaikan permohonan uji materi atas UU Pengadilan HAM ke MK. Setelah permohonan lengkap, Kepaniteraan Mahkamah meregistrasi permohonan dengan nomor 75/PUU-XIII/2015 pada 17 Juni 2015. Adapun materi UU Pengadilan HAM yang diujikan yakni Pasal 20 ayat (3) dan Penjelasannya, terhadap UUD 1945.

Pasal 20 ayat (3) UU Pengadilan HAMDalam hal penyidik berpendapat bahwa hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) masih kurang lengkap, penyidik segera mengembalikan hasil penyelidikan tersebut kepada penyelidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya hasil penyelidikan, penyelidik wajib melengkapi kekurangan tersebut.”Penjelasan Pasal 20 ayat (3) UU Pengadilan HAMDalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “kurang lengkap” adalah belum cukup memenuhi unsur pelanggaran hak asasi manusia yang berat untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan.

Alasan Berubah-Ubah
Paian Siahaan dan Yati Ruyati (para Pemohon) adalah keluarga korban Pelanggaran HAM Berat. Paian Siahaan adalah orang tua dari Ucok Munandar Siahaan, korban pelanggaran HAM yang berat dalam Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998. Sedangkan Yati Ruyati adalah orang tua dari Eten Karyana, korban dalam peristiwa 13–14 Mei 1998.
Para Pemohon menilai Jaksa Agung tidak konsisten dalam memberikan alasan mengenai hambatan yang menyebabkan tidak dilakukannya penyidikan terhadap berkas-berkas perkara tersebut. Alasan yang diberikan pun berubah-ubah dan berbeda-beda sepanjang tahun 2002–2014 (Bukti P-8).
Mislanya berkas peristiwa Trisakti, Semanggi I 1998 dan Semanggi II 1999, sejak 2002 telah 6 kali bolak-balik dari Komnas HAM ke Kejaksaan Agung. Alasan Jaksa Agung antara lain karena peristiwa Trisakti sudah tidak relevan lagi diajukan ke tahap penyidikan karena DPR telah merekomendasikan peristiwa tersebut disidangkan di Pengadilan Militer. Kemudian, pelaku lapangannya pun sudah diadili serta telah dinyatakan bersalah dan dihukum. Jaksa Agung juga beralasan kelengkapan berkas hasil penyelidikan perkara terhadap pengertian “kurang lengkap” sebagaimana Penjelasan pasal 20 ayat (3) UU Pengadilan HAM adalah belum memenuhi unsur pelanggaran HAM yang berat untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan, termasuk belum adanya Pengadilan HAM Ad Hoc yang berwenang memeriksa dan memutus.
Pada peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Komnas HAM telah menyerahkan berkas hasil penyelidikannya kepada Kejaksaan Agung pada 19 September 2003 untuk ditindaklanjuti ke tahap penyidikan. Sejak 2003 berkas ini 6 kali bolak-balik dari Komnas HAM ke Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Agung ke Komnas HAM. Terakhir, alasan Jaksa Agung mengembalikan berkas hasil penyelidikan ke Komnas HAM melalui surat Jaksa Agung RI Nomor: R-056/A/F.6/04/2008 tanggal 28 April 2008 dengan petunjuk “menunggu terbentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc”. Alasan “menunggu terbentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc” juga digunakan oleh Jaksa Agung saat mengembalikan berkas hasil  penyelidikan ke Komnas HAM dalam Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997–1998.

Wajib Sidik
Inti alasan atau jawaban Jaksa Agung dalam peristiwa tersebut antara lain adalah karena belum cukup bukti memenuhi unsur pelanggaran HAM yang berat. Padahal unsur pelanggaran HAM yang berat sudah ditentukan dalam Pasal 8 jo. Pasal 9 UU Pengadilan HAM. Ketentuan ini berarti bahwa Jaksa Agung wajib melaksanakan suatu tindakan penyidikan terlebih dahulu sebelum menyatakan bahwa suatu peristiwa itu tidak cukup bukti dan/atau belum dapat dikatakan sebagai pelanggaran HAM yang berat.
Alasan Jaksa Agung yang menyatakan berkas-berkas penyelidikan Komnas HAM belum cukup bukti, menunjukkan Jaksa Agung telah melakukan suatu pelanggaran hukum. Sebab Jaksa Agung tidak pernah melakukan penyidikan sebelumnya.
Akibat ketidakjelasan penafsiran ini, hingga saat ini para Pemohon tidak mendapatkan kepastian hukum mengenai peristiwa yang menimpa anak-anaknya: apakah ada pelanggaran HAM berat dalam peristiwa tersebut dan bila ada, siapa yang harus bertanggung jawab secara pidana atas hilangnya nyawa anak-anak mereka.

Perjuangan Mendapatkan Kepastian
Adanya kepastian hukum mengenai terjadinya pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997-1998, Semanggi I 13-15 November 1998, serta Kerusuhan Mei 1998 tersebut sangat penting bagi para Pemohon. Sebab dengan adanya kepastian hukum mengenai peristiwa ini, maka para Pemohon berhak mendapatkan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sebagai korban pelanggaran HAM berat sebagaimana diatur dalam Pasal 35 Pengadilan HAM.
Akibat dari ketidakjelasan Pasal 20 ayat (3) Pengadilan HAM dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) seperti telah diuraikan di atas, hak konstitusional para Pemohon sebagaimana diberikan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 telah dirugikan. Ketidakjelasan penafsiran dan kapan bolak-balik berkas dapat dihentikan, semakin mempersempit kesempatan para Pemohon untuk menggapai keadilan yang telah diperjuangkan selama 12 tahun ini.
Oleh karena itu, para Pemohon meminta MK menyatakan konstitusional bersyarat pada Pasal 20 ayat (3) UU Pengadilan HAM dan penjelasannya. Dalam petitum, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 20 ayat (3) UU Pengadilan HAM tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), 28H ayat (2) dan 28I ayat (2) UUD 1945 sepanjang dinyatakan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) dengan dimaknai: “…Dalam hal penyidik berpendapat bahwa hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) masih kurang lengkap, penyidik segera mengembalikan hasil penyelidikan tersebut kepada penyidik disertai petunjuk yang jelas sebagaimana pasal 8 dan 9 untuk dilengkapi dan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya hasil penyelidikan, penyelidik wajib melengkapi kekurangan tersebut.”
Begitu pula dengan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) UU Pengadilan HAM harus ditafsirkan “…Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “kurang lengkap” adalah belum cukup memenuhi unsur pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana unsur-unsur tindak pidana yang disebutkan pada pasal dan penjelasan pasal 8 dan 9 untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan”.

Nur Rosihin Ana
dalam Rubrik "Catatan Perkara" Majalah "Konstitusi" edisi Juli 2015.
readmore »»  

Taati Putusan Pengadilan

Tujuan utama peradilan adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan. Hukum dan keadilan harus dapat dijalankan secara beriringan. Hukum tidak akan dapat berjalan tanpa keadilan, demikian juga sebaliknya. Untuk itu, sebagai penyelenggara sistem peradilan, pengadilan mempunyai posisi yang penting.
Dalam sistem peradilan, pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hal yang menghambat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Dengan kata lain, pengadilan merupakan instansi resmi yang melaksanakan sistem peradilan berupa memeriksa, mengadili dan memutus perkara, yang berfungsi untuk membantu para pihak yang mencari keadilan (justiciabelen). Peradilan harus terbebas dari campur tangan, negosiasi dan kompromi dengan kekuasaan manapun (independen), karena proses hukum dalam sistem peradilan yang adil dan dapat dipercaya merupakan dambaan bagi para pencari keadilan.
Demikian juga dengan keberadaan hakim dalam sebuah pengadilan. Hakim mempunyai kewajiban untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim dalam menjalankan tugas yudisialnya, baik dalam pemeriksaan maupun memutus perkara tidak boleh memihak dan dipengaruhi oleh siapapun (imparsial). Keberpihakan hakim semata kepada kebenaran dan keadilan.
Putusan merupakan mahkota bagi hakim. Putusan hakim merupakan hasil ijtihad untuk menerapkan hukum. Bahkan dalam kondisi tertentu, jika dalam sebuah perkara tidak diketemukan dasar hukumnya, maka hakim pengadilan tidak boleh menolak perkara dan tetap harus memeriksa, mengadili dan memutusnya. Hakim kemudian dapat melakukan interpretasi (penafsiran) dan konstruksi dalam rangka penemuan hukum (rechtsvinding).
Setiap putusan hakim mengandung kekuatan ilahiah. Sebab dalam setiap putusan terdapat irah-irah eksekutorial “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Nama Tuhan selalu disebut dalam kepala putusan. Maka tak mengherankan jika muncul adagium yang menyatakan, putusan hakim sama dengan putusan Tuhan (that judgment was that of God). Oleh karena itu, ijtihad hakim dalam memutus perkara harus dianggap benar karena dia mewakili putusan Tuhan.
Putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, memiliki tiga sifat kekuatan sehingga putusan tersebut harus dilaksanakan, yakni kekuatan mengikat, kekuatan bukti dan kekuatan untuk dilaksanakan. Oleh karena itu, putusan pengadilan wajib dilaksanakan dan dihormati serta ditaati oleh setiap subjek hukum baik perseorangan maupun korporasi.
Pencari keadilan mengajukan perkara ke lembaga peradilan adalah untuk mendapatkan keadilan. Kemudian yang lebih penting adalah pelaksanaan putusan (eksekusi), yakni setelah putusan tersebut final dan memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), karena sebuah putusan pengadilan dianggap selesai apabila putusan tersebut dilaksanakan atau dieksekusi.
Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, memiliki kekuatan untuk dilaksanakan. Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, tidak dapat diubah atau diganggu gugat oleh siapapun bahkan oleh cabang kekuasaan lain. Putusan tersebut juga sifatnya mengikat, wajib dipatuhi oleh siapapun. Hal ini senada dengan kaidah Ushul Fikih yang menyatakan, keputusan hakim itu wajib dipatuhi dan menghilangkan perbedaan (hukmul hâkim ilzâmun wayarfa’ul khilâf).
Semua pihak harus menghormati dan menaati putusan pengadilan, tidak terkecuali pihak bank. Kini, tiada lagi alasan bagi pengurus bank untuk mengabaikan putusan pengadilan dengan berlindung di bawah peraturan tertentu yang berlaku pada sektor perbankan. Pengurus bank juga harus tunduk pada penetapan eksekusi yang merupakan proses hukum yang melekat satu kesatuan dengan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap.
Putusan pengadilan tidak ada artinya apabila tidak dilaksanakan. Dengan kata lain, putusan hakim yang tidak dapat dilaksanakan (non executable) adalah putusan yang tidak bermanfaat.
Putusan pengadilan harus dihormati. Pengabaian terhadap putusan hakim merupakan pelanggaran terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Nur Rosihin Ana

Dalam Rubrik Editorial Majalah Konstitusi No. 101 – Juli 2015
readmore »»  
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More