Harmoni...

Jakarta, September 2010

Harmoni...

Jakarta, Desember 2010

Belahan jiwa

......

...Belahan jiwa...

......

ceria...

Jakarta, 8 Januari 2012

Nora Uzhma Naghata

Bogor, 24 Februari 2011

Nora Uzhma Naghata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Taman Safari Puncak

Bogor, 24 Februari 2011

Bandara Ahmad Yani

Semarang, 28 September 2011

Rileks

*********

Nur Rosihin Ana

Semarang, 19 Oktober 2010

Nur Rosihin Ana

mahkamah dusturiyyah, 18 Juli 2012

Nur Rosihin Ana

Hotel Yasmin, Puncak, Desember 2010

Nora Uzhma Naghata

Naghata

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Demak, 11 September 2011

Nur Rosihin Ana

Nagreg, Bandung 11 Juli 2011

Nora Uzhma Naghata, Sri Utami, Najuba Uzuma Akasyata, Nur Rosihin Ana

Sapa senja di Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Sapa Senja Jepara

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

...bebas, lepas...

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Senin, 30 Mei 2011

KPU Barsel, Wafi, dan Fasty, Minta Mahkamah Tolak Permohonan Suka

Jakarta, MKOnline – Sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Kabupaten Barito Selatan (Barsel), Kalimantan Tengah, memasuki tahapan mendengar jawaban Termohon KPU Barsel dan Pihak Terkait. Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (30/5/2011) kembali menggelar sidang untuk perkara Nomor 54/PHPU.D-IX/2011 mengenai perselisihan hasil pemilukada Barsel yang diajukan oleh pasangan Suriawan Prihandi-H.Syarkawi Harta Tahan (Suka).

Ketua KPU Barsel, Arlansyah, dalam jawabannya di hadapan Panel Hakim Konstitusi memersoalkan surat kuasa khusus yang dibuat pasangan Suka pada 8 Mei 2011. Arlansyah beralasan KPU Barsel mengadakan rapat pleno rekapitulasi hasil penghitungan suara Pemilukada Barsel dan keputusan penetapan tidak terpenuhinya semua pasangan calon terpilih, pada 9 Mei 2011. Suka harusnya memberi kuasa setelah Rapat Pleno tersebut. Sehingga menurut KPU, surat kuasa khusus tersebut prematur. “Bahwa surat kuasa khusus Pemohon prematur, tidak prosedural, dibuat tidak profesional, sebelum ada penetapan oleh Termohon, sehingga tidak pantas untuk diterima,” kata Ketua KPU Barsel, Arlansyah.

Arlansyah juga memersoalkan tidak adanya tanggal surat permohonan Suka yang diajukan ke Kepaniteraan MK. Menurutnya, permohonan tersebut diajukan pada hari Rabu, 11 Mei 2011. “Tapi surat permohonan itu tidak dibuat tanggal oleh Pemohon,” lanjutnya.

Menanggapi dalil pasangan Suka mengenai pengabaian kecurangan-kecurangan Pemilukada, kepada KPU Barsel dalam jawabanya menyatakan tidak benar laporan mengenai kecurangan sebagaimana didalilkan Suka. “Tidak ada Laporan Panwaslu Kabupaten Barito Selatan dan pihak manapun kepada Termohon tentang adanya kecurangan yang dimaksud Pemohon sampai saat Rapat Pleno Hasil Penghitungan Suara tanggal 9 Mei 2011,” jawab Arlansyah.

Selain itu, KPU Barsel membantah jumlah pemilih versi Suka yaitu 68.587 suara. “Itu tidak benar, yang benar 70.136 yang menggunakan hak pilih,” bantah Arlansyah. Menurutnya, 68.587 itu hanya suara sah. Sementara yang menggunakan hak pilih tapi suaranya tidak sah sebanyak 1.549 suara. Sedangkan jumlah pemilih sesuai Daftar Pemilih Tetap (DPT)  92.071.

KPU Barsel juga membantah dalil Suka mengenai pelanggaran secara sengaja dan terstruktur yang dialamatkan kepadanya. KPU menilai dalil tersebut adalah fitnah belaka. “Termohon bekerja profesional di bawah sumpah sesuai peraturan perundang-undangan tidak ada kepentingan berpihak kepada Pasangan Calon mana saja,” tegas Arlansyah.

Dalam pokok bantahannya, KPU Barsel meminta MK agar menolak seluruh permohonan pasangan Suka. “Menolak permohonan Pemohon seluruhnya,” pinta Arlansyah.

Sementara itu, Pihak Terkait I pasangan Hj. Wartiah Thalib-H. Sofiansyah (Wafi) melalui kuasa hukumnya, Sulistyowati, mempertanyakan dalil-dalil permohonan yang diusung pasangan Suka. Di dalam permohonannya, kata Sulistyowati, Suka tidak menguraikan dengan jelas mengenai kesalahan hasil perhitungan suara yang ditetapkan oleh KPU Barsel. Pasangan Suka juga tidak merinci mengenai TPS diduga bermasalah. Berapa jumlah masing-masing kejadian kesalahan penghitungan tersebut, sehingga terjadi perbedaan angka yang merugikan Pemohon,” tanya Sulistyowati.

Sebaliknya, pasangan Wafi justru merasa dirugikan akibat pelanggaran yang dilakukan oleh pasangan lainnya. “Pasangan Wafi dirugikan adanya upaya-upaya yang terstruktur dan massif dari pihak lain,” kata Sulistyowati.

Senada dengan KPU Barsel, Pihak Terkait I pasangan Wafi, dan Pihak Terkait II pasangan H.M. Farid Yusran-Satya Titiek Atyani Djoedir (Fasty), ketiganya meminta Mahkamah menolak seluruh permohonan yang diajukan pasangan Suka.

Untuk diketahui, Pemilukada Barsel yang dilaksanakan pada 4 Mei 2011 lalu, dikuti oleh 7 pasangan calon. Berikut Ketujuh pasangan tersebut beserta perolehan suara berdasarkan penetapan KPU Barsel tanggal 9 Mei 2011: pasangan Suriawan Prihandi-H.Syarkawiharta Tahan (13.715 suara), H. Eddy Raya Samsuri-H. Irawansyah ( 13.970 suara), H. Jamhuri Hadari-H. Abdul Bhayang Ahen (1.243 suara) Hj. Wartiah Thalib- H. Sofiansyah (17.562 suara), HM. Farid Yusran-Satya Titiek Atyani Djoedir (15.832 suara), H. Darsani K-H. Achmad Rasyid (4.998 suara), dan pasangan Areramon-H. Suhardi (1.267 suara).

Pasangan Suka merasa keberatan atas penetapan KPU Barsel atas terpilihnya pasangan Wafi dan pasangan Fasty sebagai Pasangan yang dapat mengikuti Pemilukada Putaran Kedua. Suka mendalilkan terjadinya sejumlah kecurangan dalam pelaksanaan Pemilukada Kabupaten Barito Selatan Tahun 2011-2016. (Nur Rosihin Ana/mh)
readmore »»  

Kamis, 26 Mei 2011

Mahkamah Agung Otonom Kelola Anggaran

Pemohon Prinsipal, Teguh Satya Bhakti dalam sidang lanjutan pengujian Pasal 6 ayat (1) UU 17/2003 Tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara) terhadap Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan, Rabu (25/5) di Ruang Sidang Gedung MK.
Jakarta, MKOnline – Kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan kehakiman yang bebas berdiri sendiri dan tidak tergantung pada pihak tertentu dalam hal organisasi, administrasi, dan finansial. Dalam hal finansial, anggaran Mahkamah Agung (MA) diatur dalam ketentuan Pasal 81A ayat (1) UU 3/2009 tentang Mahkamah Agung (UU MA), menyatakan bahwa anggaran Mahkamah Agung dibebankan pada mata anggaran tersendiri dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

“Jadi secara eksplisit pasal ini menunjukkan bahwa Mahkamah Agung Memiliki otonomi pengelolaan anggaran meliputi hak kewenangan dan kewajiban dalam pengelolaan anggaran,” kata Teguh mendalilkan.

Demikian dalil yang disampaikan Teguh Satya Bhakti dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (25/5/2011). Teguh memohonkan pengujian Pasal 6 ayat (1) UU 17/2003 Tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara) terhadap Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945.

Sementara itu, materi UU Keuangan Negara yang diujikan Teguh yaitu Pasal 6 ayat (1) UU Keuangan Negara menyatakan: “Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan.”

Di depan Panel Hakim, lebih lanjut Teguh yang berprofesi sebagai Hakim PTUN Semarang ini menyatakan, ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU Keuangan Negara tersebut telah mengesampingkan esensi kemandirian kekuasaan kehakiman dalam mengelola anggarannya tersendiri. Hal ini disebabkan karena frasa kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) telah membuka penafsiran bahwa semua pengelolaan anggaran Kementerian Negara atau Lembaga Negara, termasuk MA berada di bawah kekuasaan Presiden. “Padahal sangat jelas dan nyata dari sudut sistem katatanegaraan maupun ketentuan peraturan perundang-undangan, kedudukan Mahkamah Agung, yudikatif merupakan lembaga negara yang berbeda dengan kementerian negara sebagai badan yang berada di bawah presiden atau eksekutif,” tandas Teguh yang hadir di persidangan tanpa didampingi kuasa hukum.

Berlakunya ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU Keuangan Negara tersebut, dalil Teguh, tidak memberi ruang dan atmosfir yang kondusif bagi independensi anggaran MA. Hal ini dapat dilihat dari besarnya proporsi kewenangan Pemerintah dalam menentukan pagu anggaran MA. Wewenang pengelolaan anggaran oleh Pemerintah, baik dalam perencanaan dan penganggaran maupun dalam pembahasannya dengan DPR, secara esensial tidak menempatkan MA secara khusus dalam anggaran pendapatan dan belanja negara, sebagai salah satu lembaga penerima anggaran. Selain itu, walaupun demikian baiknya perencanaan yang dibuat oleh MA, bukan jaminan bahwa anggaran yang dialokasikan untuk Mahkamah Agung akan memadai. Karena apa yang sudah direncanakan belum tentu akan disetujui oleh Pemerintah dan DPR.

Ketergantungan ini mengakibatkan minimnya anggaran yang disediakan negara kepada MA. Hal ini secara langsung berdampak sistemik pula terhadap anggaran yang diberikan kepada pengadilan-pengadilan yang berada di bawah MA, termasuk Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang, tempat Teguh bertugas. “Keadaan ini selanjutnya menyebabkan kerugian bagi Pemohon ketika menjalankan tugas dan fungsinya sebagai seorang hakim,” jelas Teguh menjelaskan kerugian konstitusionalnya.

Sidang kali kedua dengan agenda Pemeriksaan Perbaikan Permohonan ini dilaksanakan oleh Panel Hakim Ahmad Sodiki sebgai Ketua Panel, didampingi Anggota Panel Ahmad Fadlil Sumadi dan Anwar Usman. Panel Hakim kembali menasihati Teguh mengenai materi pasal yang diujikan dan pasal dalam UUD 1945 yang dijadikan batu uji. Panel Hakim juga menyarankan Teguh agar mempertegas kerugian konstitusional yang dialaminya akibat berlakunya pasal yang diujikan. Terakhir, mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon. (Nur Rosihin Ana/mh)

readmore »»  

Rabu, 25 Mei 2011

Suka Persoalkan Terpilihnya Peserta Pemilukada Barsel Putaran Kedua

Jakarta, MKOnline - Penetapan KPU Barito Selatan (Barsel), Kalimantan Tengah dengan terpilihnya pasangan Hj. Wartiah Thalib-H. Sofiansyah dan pasangan H.M. Farid Yusran-Satya Titiek Atyani Djoedir sebagai Pasangan yang dapat mengikuti Pemilukada Putaran Kedua, mengundang keberatan pasangan Suriawan Prihandi-H.Syarkawi Harta Tahan (Suka).

Pasangan Suka melalui kuasa hukumnya, mendalilkan terjadinya sejumlah kecurangan dalam pelaksanaan Pemilukada Kabupaten Barito Selatan Tahun 2011-2016. Kecurangan tersebut yaitu adanya dugaan politik uang untuk memenangkan salah satu calon kandidat.

“Hal ini kami buktikan dengan adanya surat pernyataan dari 13 orang saksi yang juga kami jadikan sebagai bukti dalam persidangan yang mulia ini,” kata M. Nizar Tanjung, kuasa hukum pasangan Suka, dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (25/5/2011).

Sidang untuk perkara Nomor 54/PHPU.D-IX/2011 mengenai perselisihan hasil Pemilukada Barsel ini mengagendakan pemeriksaan pendahuluan. Hadir di persidangan, kuasa Pemohon pasangan Suka, dan didadiri pula oleh Ketua dan empat anggota KPU Barsel yang duduk sebagai Termohon, serta dihadiri Pihak Terkait.

Kecurangan-kecurangan tersebut, lanjut Nizar, jelas sangat disesalkan dan hal ini tidak lagi mencerminkan Pemilukada yang jujur, adil, bersih, dan berwibawa serta merusak sendi-sendi hukum Pemilukada.

Oleh karena itu, dalam permohonan provisinya pasangan Suka melalui M. Nizar Tanjung memohon kepada Mahkamah agar memerintahkan KPU Barsel menunda proses Pemilukada Putaran Kedua. “Dalam provisi, memerintahkan Termohon menunda proses Pemilukada Putaran Kedua dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Terpilih Kabupaten Barito Selatan Periode 2011-2016 selama proses perkara ini berjalan,” pinta Nizar.

Sedangkan dalam pokok perkara, pasangan Suka memohon Mahkamah mengabulkan permohonan untuk seluruhnya. Membatalkan Penetapan Termohon Nomor 185/KPTS/KPU-Kabupaten.020.435837/2011 pada tanggal 9 Mei 2011 yang menetapkan terpilihnya Pasangan Calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Kabupaten Barito Selatan yaitu Hj. Wartiyah Talib-H. Sofyansyah, dan H. Muhammad Farid Yusron-Satya Titik Atiani Judir sebagai pasangan yang dapat mengikuti Putaran Kedua.

Selanjutnya, memohon Mahkamah membatalkan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Perhitungan Suara di tingkat kabupaten. Terakhir, merintahkan KPU Barsel untuk melakukan penghitungan ulang atau Pemilukada ulang. “Memerintahkan kepada KPU Kabupaten Barito Selatan untuk memghitung ulang seluruh surat suara yang sah dan atau mengadakan Pemilukada ulang di seluruh Kecamatan Gunung Bintang Awai dan Dusun Selatan,” pinta pasangan Suka melalui kuasa hukumnya, M. Nizar Tanjung.

Untuk diketahui, Pemilukada Barsel yang dilaksanakan pada 4 Mei 2011 lalu, dikuti oleh tujuh pasangan calon. Berikut Ketujuh pasangan tersebut beserta perolehan suara berdasarkan penetapan KPU Barsel tanggal 9 Mei 2011 yaitu pasangan Suriawan Prihandi-H.Syarkawiharta Tahan (13.715 suara), H. Eddy Raya Samsuri-H. Irawansyah ( 13.970 suara), H. Jamhuri Hadari-H. Abdul Bhayang Ahen (1.243 suara) Hj. Wartiah Thalib- H. Sofiansyah (17.562 suara), HM. Farid Yusran-Satya Titiek Atyani Djoedir (15.832 suara), H. Darsani K-H. Achmad Rasyid (4.998 suara), dan pasangan Areramon-H. Suhardi (1.267 suara). (Nur Rosihin Ana/mh)

readmore »»  

Senin, 23 Mei 2011

MK Tolak Permohonan Pasangan Cabup Kuantan Singingi Mursini - Gumpita

Jakarta, MKOnline – Terjadinya berbagai pelanggaran dalam proses pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Provinsi Riau, sebagaimana didalilkan Pasangan Mursini-Gumpita, menurut Mahkamah, tidak terbukti dan tidak beralasan menurut hukum. Pelanggaran-pelanggaran yang didalilkan, kalaupun ada, quod non, tidak bersifat terstruktur, sistematis, dan masif, yang secara signifikan mempengaruhi peringkat hasil perolehan suara masing-masing pasangan calon.

Demikian pendapat Mahkamah dalam sidang pengucapan putusan perkara PHPU Kepala Daerah Kuansing yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (23/5/2011). Dalam amar putusan untuk perkara Nomor 49/PHPU.D-IX/2011 ini, Mahkamah menyatakan menolak permohonan pasangan Mursini-Gumpita untuk seluruhnya.

Pasangan Mursini-Gumpita dalam permohonannya mendalilkan keterlibatan aparat penyelenggara negara dan pegawai negeri sipil (PNS) dalam memberikan dukungan kepada Pasangan Sukarmis-Zulkifli. Misalnya dukungan Camat Benai, Erdiansyah berupa pemberian Asma’ul Husna bergambar Sukarmis-Zulkifli sejumlah 142 buah kepada Yunisman, Kepala Desa Benai Kecil.

Dalil adanya dukungan kepada pasangan Sukarmis-Zulkifli juga dialamatkan kepada Kepala Desa Siborobah, Kecamatan Gunung Toar berupa janji kepada masyarakat Desa akan mendapat bantuan dari pemerintah seperti tabung gas kecil, rumah layak huni, aliran listrik, jembatan, jika Sukarmis Zulkifli memenangi Pemilukada Kuansing. Kemudian dalil adanya kegiatan terselubung yang diadakan oleh Pemda Kuansing dalam acara pemberantasan pornografi yang diikuti oleh para pelajar SMU di Kec. Kuantan Tengah dengan cara memerintahkan para Camat se-Kuansing untuk mengirimkan pelajar yang telah masuk kategori pemilih pemula untuk hadir pada kegiatan tersebut.

Pasangan Mursini-Gumpita juga mendalilkan adanya keterlibatan Muharman, Plt. Sekretaris Daerah Kuansing berupa kegiatan di Desa Tabarau Panjang, Kecamatan Gunung Toar, dan menghadiri kegiatan pengukuhan Tim Suzuki di Kasang Lubuk Jambi. Sedangkan dalil mengenai pelibatan PNS, menurut Mursini-Gumpita yaitu merekrut Pemilih yang diwajibkan oleh pimpinan terhadap bawahannya baik di tingkat desa, kecamatan dan sekolah-sekolah dengan mewajibkan kepada bawahannya untuk mendapatkan Pemilih minimal 10 orang Pemilih sampai dengan 100 orang Pemilih. Selain itu, Mursini-Gumpita mendalilkan adanya intimidasi di Kecamatan Singingi Hilir terhadap tim suksesnya. Intimidasi ini melibatkan penyelenggara pemerintahan.

Sedangkan mengenai kecurangan dalam Pemilukada, Mursini-Gumpita mendalilkan adanya kecurangan yang dilakukan oleh Anggota KPPS I Desa Pulau Busuk Jaya, Kecamatan Inuman. Kemudian adanya penggelembungan suara di Desa Jake, Kecamatan Kuantan Tengah, dengan ditemukannya Pemilih yang tidak mempunyai surat suara dan tidak mempunyai KTP akan tetapi mempunyai + 1000 undangan.

Bahkan Mursini-Gumpita mendalilkan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Bupati Kuansing (pasangan calon Nomor Urut 1). Para penyelenggara pemerintahan dan PNS di Kuansing diperintahkan untuk hadir dan mendukung kegiatan yang dilakukan bupati disertai dukungan surat perintah tugas (SPT) dari Plt. Sekda kepada seluruh penyelenggara pemerintahan Kuansing dan permintaan dukungan dari masyarakat. Kegiatan dimaksud yaitu, Melayur Jalur, Do’a padang dan wirid bulanan, dan Peringatan Maulid Nabi.

Untuk dikatahui, Pemilukada Kuansing yang dilaksanakan pada 7 April 2011 lalu, diikuti oleh dua pasangan calon, yaitu pasangan Sukarmis-Zulkifli (nomor urut 1) dan pasangan Mursini-Gumpita (nomor urut 2). Berdasarkan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara tertanggal 14 April 2011, dan ditetapkan melalui Surat Keputusan KPU Kuansing Nomor 15/Kpts/KPU-Kab/004.435177/2011, pasangan Sukarmis-Zulkifli memperoleh suara sah sebesar 82.504. Sedangkan pesaingnya, pasangan Mursini-Gumpita nomor urut 2, memperoleh suara sah 69.600.

Berdasarkan hasil tersebut, KPU Kuansing menetapkan Sukarmis-Zulkifli sebagai pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati terpilih. Namun, pasangan Mursini-Gumpita tidak menerima penetapan KPU Kuansing. Mursini-Gumpita menuding terjadinya pelanggaran sistematis, terstruktur, dan massif selama pelaksanaan Pemilukada di Kuansing yang mempengaruhi perolehan suara. Selanjutnya, Mursini-Gumpita mengajukan keberatan ke MK. Tercatat 8 kali MK menggelar persidangan sengketa Pemilukada Kuansing ini. (Nur Rosihin Ana/mh)
readmore »»  

Kamis, 19 Mei 2011

Saksi Pemohon Keberatan Bayar Premi Asuransi Jamsosnas



Majelis Hakim Konstitusi sedang mendengarkan keterangan saksi terkait perkara Pengujian Materi Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN), Rabu (18/5).
Jakarta, MK Online – Uji materi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (18/5/2011). Perkara yang teregistrasi oleh Kepaniteraan MK dengan Nomor 50/PUU-VIII/2010 ini dimohonkan oleh Dewan Kesehatan Rakyat, Perkumpulan Serikat Rakyat Miskin Kota, Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia, dan enam pemohon perseorangan yang merupkan pengguna Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) serta Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek).
Sidang kali keempat ini mengagendakan mendengar keterangan saksi yang diajukan oleh Pemohon. Dalam keterangannya di depan Pleno Hakim MK, saksi bernama Rosidah mengatakan membayar Askes Rp 26.000,00 dalam satu bulan. Namun tidak semua anggota keluarganya yang berjumlah empat orang, dijamin oleh Askes. Selain itu, Rosidah masih dikenakan biaya berobat oleh Rumah Sakit atau Puskesmas. Misalnya untuk cek darah, dikenakan biaya Rp 15.000,00. “Katanya untuk beli jarum, musti beli. Terus, kalau periksa darah, kalau umum, Rp. 20.000,00, kalau yang pake Askes, bayar Rp. 15.000,00,” katanya.
Selanjutnya, kuasa hukum Pemohon, Hermawanto, menjelaskan kepada saksi mengenai keberadaan UU SJSN. “Sekarang ada Undang-Undang SJSM, Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004. Dalam undang-undang itu ditegaskan, untuk bisa mendapatkan jaminan, harus membayar premi asuransi. Apakah Ibu bersedia, membayar premi asuransi?” tanya Hermawanto. “Kagak, Pak,” jawab Rosidah singkat. Rosidah keberatan jika harus membayar lagi karena untuk kebutuhan harian, dia mengaku sudah pas-pasan. Uang pensiun dari suaminya di TNI AD, tiap bulan secara otomatis dipotong Rp. 26.000,00 untuk Askes.

“Ibu senang enggak, Ibu uangnya dipotong Rp. 26.000,00, sementara tetangga Ibu bisa dapat Gakin, dapat SKTM, dan gratis ketika di Rumah Sakit,” tanya Hermawanto. ”Sejujurnya saya enggak senang, ada Askes kok, kadang-kadang saya masih bayar,” jawabnya.
Saksi Pemohon berikutnya yang diminta keterangannya yaitu Amiruddin. Pengguna kartu Jamsostek ini tiap bulan harus merelakan gajinya gajinya sejumlah Rp. 1.100.000 dipotong Rp. 19.000. “Pernahkah Saudara menggunakan kartu Jamsostek?” tanya Hermawanto. “Pernah, ketika saya kecelakaan,” jawab Amiruddin.
Menurut penuturan Amiruddin, akibat kecelakaan itu, ia masuk rumah sakit dengan total biaya Rp. 36.000.000,00-an. Dari jumlah biaya tersebut, pihak Jamsostek hanya menanggung Rp.12.000.000,00. “Waktu itu saya mengalami kecelakaan, kaki sama tangan saya patah, pulang kerja, enggak jauh dari tempat kerja,” terang Amiruddin.
Senada dengan jawaban Rosidah, Amiruddin yang berpenghasilan pasa-pasan, juga keberatan jika harus membayar premi asuransi untuk mendapatkan jaminan sosial dari negara. “Apakah Anda sepakat kalau Anda ditarik untuk bayar premi asuransi?” tanya Hermawanto. “Kalau seperti Jamsostek, saya enggak setuju, percuma. Saya tiap bulan bayar, tapi, enggak dijamin 100%,” jawabnya. Hal ini menurutnya, sama dengan pengguna SKTM, yaitu ditanggung 50%.
Untuk diketahui, Pemohon dan dalam permohonannya mendalilkan hak konstitusionalnya yang dijamin oleh Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 terlanggar akibat berlakunya Pasal 17 UU SJSN. Pasal 17 UU SJSN menyatakan “(1) Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu; (2) Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara berkala; (3) Besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi dan kebutuhan dasar hidup yang layak.” (Nur Rosihin Ana/mh)

readmore »»  

Rabu, 18 Mei 2011

Pantun Dukungan Suara Warnai Proses Pemilukada Kuantan Singingi

Jakarta, MKOnline – Silang sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing) Provinsi Riau, memasuki etape pembuktian VII di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (18/5/2011). Etape ini merupakan kelanjutan persidangan sebelumnya, yaitu mendengar keterangan saksi yang dihadirkan oleh para pihak.
Saksi Pemohon pasangan Mursini-Gumpita bernama Eryswan, di depan Panel Hakim MK menerangkan tugasnya sebagai Kepala Dinas Peternakan Kab. Kuansing yang sehari-hari membantu bupati untuk hadir pada beberapa kegiatan. Salah satunya, kegiatan melayu jalur di Pulau Panjang Cerenti. “Pada kesempatan itu saya dan beberapa PNS yang kebetulan Putra Daerah Cerenti diminta hadir di atas pentas untuk memberikan sumbangan,” terang Eryswan. Kegiatan ini, kata Eryswan, dihadiri antara lain Kabag Keuangan Kuansing, Sekretaris Bappeda, dan beberapa camat.
Sedangkan saksi Pemohon bernama Dodi Amril menerangkan aktivitas PNS pada masa-masa tenang kampanye yaitu tanggal 4-6 April 2011. “Pergerakkan PNS aktif di masa-masa hari tenang,” lanjutnya. Dodi menyontohkan aktivitas pada 5 April 2011 yang dilakukan Marwan, Kepala Bidang Pemuda dan Olah Raga pada Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga Kab. Kuansing. Kegiatan yang dimaksudkan Dodi yaitu acara persukuan Chaniago di Kec. Singingi Hilir yang dihadiri 35 orang dalam ruangan tertutup. “Dalam ruangan tertutup, kok, Saudara tahu,” tanya Ketua Panel Hakim M. Akil Mochtar. “Saya mengintai, mengintip di belakang rumahnya, Yang Mulia,” jawab Dodi Amril.
Dodi juga menerangkan adanya SMS berbau pelecehan kepada Mursini Gempita. SMS dari nomor 0811765407, kata Dodi, berisi kepanjangan dari karakter huruf Mursini-Gumpita, yaitu, Mursini: M, Munafik, U, Usil, R, Rusuh. S, Sempilik. I, Ilegal. N, neo-liberal, I, Idiot. Sedangkan karakter Gumpita: G, Gagap, U, Usang, M, Mandul, P, Pokam, I, Imut, T, Turi. A, Amis. Itulah pimpinan harapan Kuansing semangat baru untuk perubahan.
Sementara itu saksi Pemohon bernama Yusman  menerangkan kegiatan BKMT pada 4 Februari 2011. Ia mengaku melihat dan mendokumentasikan kegiatan tersebut dalam bentuk foto dan rekaman suara. Bahkan ia masih ingat pantun yang dibawakan Marzuki Efrizal, yaitu, “Burung nuri, hinggap di dahan. Di batang kayu manis, mencari makan. Silaturrahmi terus kita pertahankan, dukung Pak Surkamis, lanjutkan pembangunan.” Ia juga ingat pantun istri Surkamis yang berbunyi, “Dari lugut Jambi, hari sudah petang. Singgah sebentar di Desa Pangkalan. Jangan lupa bulan April mendatang, dukung Suzuki pembangunan kita lanjutkan,” kata Yusman menirukan pantun istri Sukarmis.
Sidang sempat diskors untuk melaksanakan ibadah shalat maghrib. Sidang kembali dibuka pukul 18.24 WIB. Pada kesempatan ini diperdengarkan keterangan saksi yang dihadirkan oleh Pihak Terkait pasangan pasangan Sukarmis-Zulkifli.
Saksi pasangan Sukarmis-Zulkifli bernama Andika Putra membantah pengaitan pelaksanaan musyawarah FKMTB dengan Pemilukada Kuansing. “Musyawarah FKMTB adalah dalam rangka mempersiapkan FKMTB untuk dilakukan pengukuhan,” katanya. Mempertegas keterangan Andika, saksi bernama Yansen Amril juga mengatakan bahwa forum komunikasi yang terbentuk, tidak ada sama sekali kaitannya dengan untuk memenangkan salah satu calon.
Saksi lainnya, Hendri membantah dalil pasangan Mursini-Gumpita mengenai adanya mutasi kepala sekolah di Kecamatan Cirenti, atas nama Yusniar dan Bachtiar, disebabkan memihak pada salah satu Calon. “Yang benar, nama Yusniar dan Bachtiar, tidak ada yang menjabat Kepala Sekolah di Kecamatan Cirenti,” bantah Hendri.
Untuk diketahui, Pemilukada Kab. Kuansing yang dilaksanakan pada 7 April 2011 lalu, dikuti oleh dua pasangan calon, yaitu pasangan Sukarmis-Zulkifli (nomor urut 1) dan pasangan Mursini-Gumpita (nomor urut 2). Berdasarkan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara tertanggal 14 April 2011, dan ditetapkan melalui Surat Keputusan KPU Kuansing Nomor 15/Kpts/KPU-Kab/004.435177/2011, pasangan Sukarmis-Zulkifli memperoleh suara sah sebesar 82.504. Sedangkan pesaingnya, pasangan Mursini-Gumpita nomor urut 2, memperoleh suara sah 69.600.
Berdasarkan hasil tersebut, KPU Kuansing menetapkan Sukarmis-Zulkifli (Suzuki) sebagai pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati terpilih. Namun, pasangan Mursini-Gumpita tidak menerima penetapan KPU Kuansing dan mengajukan keberatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalil yang jamak terhampar dalam sengketa Pemilukada, yaitu pelanggaran terstruktur, sistimatis, dan masif pun diusung pasangan Mursini-Gumpita dalam permohonannya ke MK. (Nur Rosihin Ana/mh)
readmore »»  

Kamis, 12 Mei 2011

KPU Kuansing Pungut Suara Ulang Pantai Kuantan Mudik

Jakarta, MKOnline – Silang sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing) Provinsi Riau, memasuki etape pembuktian IV di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (12/5/2011). Pada etape ini, diperdengarkan keterangan saksi yang dihadirkan oleh para pihak.
Saksi KPU Kuansing bernama Ade Sunandar menerangkan ikhwal penyusunan DPT. “Kami melaksanakan penyusunan DPT berdasarkan tahapan dan jadwal yang sudah disusun dalam Rapat Pleno KPU Kabupaten Kuansing,” terang Ade.
“Berapa lama prosesnya dari DPS ke DPT itu?” tanya Ketua Panel Hakim M. Akil Mochtar. “Dari bulan September sampai 28 Desember,” jawab Ade.
Staf Teknis KPU Kuansing ini selanjutnya menerangkan jumlah DPS, yaitu 205.100 pemilih. Setelah ditetapkan menjadi DPT menjadi 210.933 pemilih. “Tidak ada komplain atau protes dari masyarakat, atau dari masing-masing tim pasangan calon, terhadap DPT itu?” tanya M. Akil Mochtar. Menurut penuturan Ade, secara resmi tidak ada laporan keberatan yang masuk. Namun pihaknya mendengar isu dari mulut ke mulut yang mengatakan adanya pemilih yang sudah meninggal dan masuk dalam DPT.
Mengenai adanya pemungutan suara ulang (PSU), menurut penuturan Ade, setelah menerima surat rekomendasi dari Panwascam Kuantan Mudik, pada 13 April 2011 dilakukan PSU di Desa Pantai Kec. Kuantan Mudik dengan DPT yang ditetapkan oleh KPU. Selanjutnya dilakukan rekapitulasi ulang terhadap enam TPS yang ada di Desa Pantai tersebut. ” Ada komplain lagi dari masing-masing pasangan calon?” tanya Akil Mochtar. “Di tingkat kecamatan, tidak ada,” jawab Ade.
Saksi KPU Kuansing lainnya yang dimintai keterangan adalah Ahmad Rizki. Ketua PPS Desa Jake, Kecamatan Kuantan Tengah ini menerangkan, di desanya terdapat 8 TPS. DPT untuk di Desa Jake 2.770, dan warga yang menggunakan hak pilih 1.339, dengan jumlah suara sah 1.325. Suara terbanyak di Desa Jake diraih pasangan Sukarmis-Zulkifli (nomor urut 1).
Mengenai adanya penggelembungan suara sebanyak 1.000 suara sebagaimana didalilkan pasangan Mursini-Gumpita, Rizki justru mempertanyakan hal. “Kenapa bisa terjadi ada isu-isu bahwa di Jake ini ada penggelembungan suara. Sementara pemilihnya saja mungkin tidak sampai 50% dari DPT 2.770,” terangnya heran.
Mendalami keterangan Ahmad Rizki mengenai pemilih harus memperlihatkan KTP, kuasa hukum KPU Kuansing, Bambang Wdjojanto menanyakan pihak yang meminta hal itu. “Yang meminta supaya pemilih yang tidak memiliki KTP itu tidak memilih, itu siapa?” tanya Bambang. “Saksi Nomor 2 yang minta kepada KPPS bahwa kalau ada penduduk yang istilahnya bukan penduduk asli Desa Jake itu atau yang dicurigai, dimintakan KTP-nya,” jawab Rizki. Bambang selanjutnya menanyakan faktor KTP menjadi penyebab warga Desa Jake banyak yang tidak menggunakan haknya. “Apakah itu juga yang menjadi penyebab dari 2.770 daftar pemilih itu yang akhirnya menyoblos hanya 1.339?” tanya Bambang. “Ya Pak, benar,” jawab Rizki.
Sementara itu, saksi dari pasangan Sukarmis-Zulkifli bernama Jefrinaidi menjelaskan tuduhan dugaan pelanggaran massif. Menurutnya, sesuai dengan Permendagri Nomor 54 Tahun 2009, surat perintah tugas (SPT) adalah naskah dinas yang diberikan oleh atasan kepada bawahan dalam rangka perintah untuk melaksanakan pekerjaan sesuai dengan tugas dan fungsinya. SPT ini keluar apabila ada sebentuk undangan ataupun acara yang disampaikan kepada Pemkab Kuansing baik oleh masyarakat, instansi pemerintah, baik instansi pemerintah tingkat desa, kecamatan, ataupun dinas-dinas terkait, maupun oleh pemerintah provinsi, maupun pemerintah pusat. Berkenaan dengan sangkaan untuk kegiatan, khususnya yang terbanyak yaitu kegiatan melayur jalur di SPT.
Kegiatan Melayur Jalur ini, terang Jefri, cukup padat di tahun 2011. Tradisi budaya ini sendiri sudah ada sejak 1903. Kegiatan pacu jalur yang merupakan action dari Melayur Jalur dilaksanakan pada bulan Juni. Biasanya, pacu jalur ini  dilaksanakan pada bulan Agustus dalam rangka perayaan HUT Kemerdekaan RI. “Akan tetapi, karena bulan Agustus ini sudah memasuki bulan suci Ramadhan, Pemerintah Kabupaten Kuantan Singingi mempercepat, sama seperti tahun 2010, agar tidak bentrok dengan bulan suci Ramadhan,” terangnya.    
Untuk diketahui, Pemilukada Kab. Kuansing yang dilaksanakan pada 7 April 2011 lalu, dikuti oleh dua pasangan calon, yaitu pasangan Sukarmis-Zulkifli (nomor urut 1) dan pasangan Mursini-Gumpita (nomor urut 2). Berdasarkan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara tertanggal 14 April 2011, dan ditetapkan melalui Surat Keputusan KPU Kuansing Nomor 15/Kpts/KPU-Kab/004.435177/2011, pasangan Sukarmis-Zulkifli memperoleh suara sah sebesar 82.504. Sedangkan pesaingnya, pasangan Mursini-Gumpita nomor urut 2, memperoleh suara sah 69.600.
Berdasarkan hasil tersebut, KPU Kuansing menetapkan Sukarmis-Zulkifli (Suzuki) sebagai pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati terpilih. Namun, pasangan Mursini-Gumpita tidak menerima penetapan KPU Kuansing dan mengajukan keberatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalil yang jamak terhampar dalam sengketa pemilukada, yaitu pelanggaran terstruktur, sistimatis, dan masif pun diusung pasangan Mursini-Gumpita dalam permohonannya ke MK. (Nur Rosihin Ana/mh)
readmore »»  

Rabu, 11 Mei 2011

Asas UU Perkebunan, Ideal Tapi Abstrak


Ahli dari Pemohon Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya, SH, MH, saat memaparkan keahliannya dalam sidang uji materi Undang-Undang (UU) No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan Pasal 21 dan Pasal 47 ayat (1) dan (2), Selasa (10/5), di ruang sidang Pleno Gedung MK.
Jakarta, Mkonline – Asas-asas pembangunan perkebunan sudah cukup ideal, yaitu asas manfaat, berkelanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, berkeadilan. Namun asas itu masih abstrak dan baru akan menjadi konkret setelah diredaksikan dalam norma. “Nah, apakah sekarang asas-asas ini terwujud dalam norma-norma pasal-pasal selanjutnya?”

Demikian dikatan Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya, SH, MH, saat didaulat menjadi Ahli dari Pemohon dalam sidang uji materi UU Perkebunan yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (10/5/2011), bertempat di ruang sidang Pleno MK. Sidang kali kelima ini beragendakan mendengar keterangan Ahli.

Permohonan perkara nomor 55/PUU-VIII/2010 mengenai uji materi UU 18/2004 tentang Perkebunan ini diajukan oleh Japin, Vitalis Andi, Sakri, dan Ngatimin alias Keling. Japin dkk. merasa dirugikan akibat berlakunya Pasal 21 jo Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU Perkebunan. Pasal 21 UU Perkebunan berbunyi, “Setiap orang dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan.” Menurut Pemohon, ketentuan pasal dalam UU tersebut bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28C Ayat (1), dan Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945.

I Nyoman Nurjaya dalam keterangannya menyatakan, paradigma pembangunan nasional sampai sekarang masih dianut adalah economic growth development, pembangunan yang diorientasikan hanya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Berfokus kepada target pertumbuhan ekonomi dengan mengabaikan aspek proses pembangunan. “Paradigmanya menurut saya tidak salah, tetapi harus dilihat ada dimensi target dan dimensi proses. Nah, yang selama ini yang saya cermati, termasuk juga dukungan hukumnya lebih mengutamakan dimensi targetnya dan mengabaikan dimensi prosesnya,” paparnya.

Lebih lanjut Nyoman berbicara mengenai implikasi pembangunan dengan mengabaikan keseimbangan tujuan pembangunan ekonomi, ekologi, dan sosial budaya. Fokus pertumbuhan ekonomi pada target berorientasi eksploitasi. Kemudian salah satu implikasi yang ditimbulkan adalah prosesnya. Wujudnya, mengabaikan, menggusur, memarjinalisasi hak ekonomi sosial dan budaya masyarakat, khususnya masyarakat adat yang berada di dalam kawasan usaha-usaha untuk memanfaatkan sumber daya alam. “Nah ini yang saya sebut dalam politik pembangunan hukum Indonesia, sebagai political of ignorance (politik pengabaian). Politik pembangunan yang penuh nuansa pengabaian dan penggusuran, biasanya dikemas dengan nama, atas nama atau demi pembangunan nasional. Dan kemudian, akan muncul pembangunan yang sarat dengan konflik nilai, norma, kepentingan,” tambah Nyoman.

Menurutnya, kewajiban hukum yang mendahului pemberian hak atas tanah untuk usaha perkebunan menjadi kewajiban yang harus dilakukan dan tujuannya untuk mencapai kesepakatan, sehingga status tanahnya jelas. Kalau itu belum diselesaikan, ada reaksi, resistensi dari masyarakat yang hak-haknya dilanggar. “Dan itu menjadi hal yang bisa kita cermati bersama di berbagai daerah. Bagaimana resistensi dari masyarakat adat yang hak-haknya dilanggar, tetapi kemudian dalam undang-undang ini dikriminalisasi,” terangnya.

Sementara Ahli dari Pihak Terkait, Sosiolog Prof. Afrizal memaparkan hasil penelitiannya yang memperlihatkan penyebab langsung perlawanan penduduk berkaitan dengan mekanisme pengambilalihan atau penyerahan lahan ulayat penduduk nagari. Biasanya masyarakat hukum adat punya mekanisme internal penyerahan hak wilayah. “Dalam penelitian saya, saya menemukan kesepakatan yang disebut sebagai kesepakatan itu sebenarnya melanggar mekanisme adat yang telah berlaku. Oleh sebab itu, sepertinya praktik-praktik pengambilalihan lahan hak wilayah yang dipraktikkan selama ini agak berlawanan dengan Pasal 9 ayat (2),” terangnya.

Menurutnya, tindakan perusakan yang dilakukan warga sekitar perusahaan perkebunan atau industri pengolahan hasil perkebunan, tidak selalu wajar untuk dikriminalisasi dan dikenai sanksi pidana. Karena perbuatan mereka di banyak tempat merupakan dari strategi perjuangan anggota masyarakat hukum adat memperjuangkan hak-hak atas tanah ulayat mereka. “Biasanya perbuatan merusak atau mengganggu kegiatan perusahaan mereka lakukan setelah usaha-usaha lobby dan pengaduan kepada aparat pemerintah tidak membuahkan hasil,” tandasnya. (Nur Rosihin Ana/mh)

readmore »»  

Selasa, 10 Mei 2011

Pemerintah Nilai PHK Karyawan Hotel Papandayan Bandung Tak Tepat

Jakarta, MKOnline – Berdalih renovasi untuk meningkatkan kualitas Hotel Papandayan Bandung dari bintang empat menjadi bintang lima, berakibat di-PHK-nya karyawan. Padahal, di antara karyawan ada yang sudah bekerja selama 20 tahun di hotel tersebut.
Di antara mereka yang di-PHK, Asep Ruhiyat, Suhesti Dianingsih dan Bambang Mardiyanto. Ketiganya mengadu ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena merasa hak konstitusional mereka yang dijamin oleh Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945 terlanggar akibat berlakunya Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Tenaker). Pasal 164 ayat (3) UU Tenaker menyatakan, “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja tehadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 Ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 Ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat (4).”
Pada Senin (9/5/2011), untuk kali ketiga MK menggelar sidang yang dimohonkan oleh Asep Ruhiyat dkk. Sidang Pleno MK yang dilaksanakan oleh sembilan hakim konstitusi untuk perkara Nomor 19/PUU-IX/2011 ini mengagendakan mendengarkan keterangan Pemerintah, Saksi dan Ahli Pemohon.
Di hadapan Majelis Hakim, Sunarno, Kuasa Hukum Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, menyatakan, pada dasarnya pengusaha, pekerja buruh, serikat pekerja, serikat buruh, dan pemerintah dengan segala upaya mengusahakan agar jangan sampai terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK). Guna memberikan kepastian hukum bagi pekerja serta mencegah PHK yang semena-mena, maka Pemerintah melalui UU Tenaker telah mengatur bahwa pengusaha tidak dapat melakukan PHK tanpa mendapat penetapan sebelumnya dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. “Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tanpa adanya penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial adalah batal demi hukum,” tegas Sunarno
Sunarno yang menjabat Kepala Biro Hukum Kemenakertrans ini menambahkan, sebagaimana diketahui, Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial tersebut dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. Saat ini, lembaga tersebut telah terbentuk di seluruh Indonesia.

Larangan PHK
Ketentuan dalam UU Tenaker mengatur tentang  larangan bagi pengusaha untuk melakukan PHK. Selain itu, mengatur alasan-alasan yang dapat digunakan pengusaha untuk mem-PHK, beserta besaran hak-hak pekerja buruh yang terkena PHK serta proses penyelesaian hubungan kerja.
Sebelum pengusaha mengajukan permohonan penetapan PHK kepada Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, terang Sunarno, maka maksud PHK tersebut wajib dirundingkan oleh pengusaha dengan serikat pekerja, serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja atau buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja atau serikat buruh. “Apabila dalam perundingan tersebut tidak menghasilkan persetujuan atau kesepahaman, maka pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerjanya dengan pekerja buruh setelah memperoleh penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial,” urainya.
Mengenai hak atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak, besarannya berbeda antara perusahaan tutup karena mengalami kerugian atau keadaan memaksa (force majeur) dengan perusahaan tutup karena perusahaan tersebut melakukan efisiensi. Pekerja buruh yang di-PHK dengan alasan perusahaan tutup karena mengalami kerugian secara terus-menerus selama dua tahun atau keadaan memaksa, maka pekerja buruh berhak atas uang pesangon sebesar satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU Tenaker. Kerugian perusahaan tersebut harus dibuktikan dengan laporan keuangan dua tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.
Sedangkan bagi pekerja buruh yang di-PHK dengan alasan perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian atau keadaan memaksa (force majeur), tetapi perusahaan melakukan efisiensi, maka berhak atas uang pesangon dua kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU Tenaker. Adanya perbedaan besaran hak tersebut di atas, dimaksudkan untuk memberikan keadilan bagi pekerja buruh yang di-PHK karena perusahaan tutup, merugi atau keadaan memaksa atau (force majeur) dan perusahaan tutup karena alasan lain.
Tak Tepat
Tindakan PHK dengan alasan efisiensi perusahaan saat terjadi renovasi Hotel Papandayan Bandung, menurut Pemerintah, dapat dimungkinkan operasional perusahaan tersebut berhenti. Namun terhentinya operasional perusahaan tidaklah sama dengan perusahaan tersebut tutup. “Sehingga bila perusahaan melakukan PHK dengan mendasarkan ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, adalah tidak tepat,” tegas Sunarno.
Namun, Menurut Pemerintah, anggapan para Pemohon yang menyatakan Pasal 164 ayat (3) UU Tenaker telah menimbulkan kerugian konstitusional para Pemohon adalah tidak benar, tidak tepat, dan tidak terbukti. Karena yang terjadi adalah pengusaha yang dalam hal ini pemilik Hotel Papandayan Bandung, tidak mematuhi secara benar tentang pemenuhan hak-hak pekerja atau buruh, sebagaimana ditentukan oleh ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut. Apabila dalam pelaksanaannya tidak sesuai, para Pemohon dapat melakukan upaya hukum yang tersedia. Sehingga menurut Pemerintah, hal demikian bukanlah masalah konstitusionalitas keberlakuan norma UU Tenaker.
Berdasarkan penjelasan tersebut, Pemerintah memohon Majelis Hakim Konstitusi agar menolak seluruh permohonan atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan tidak dapat diterima. Kemudian, menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan. Selain itu, menyatakan ketentuan Pasal 164 ayat (3) UU Tenaker tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. “Namun demikian, apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon kiranya putusan yang seadil-adilnya,” kata Sunarno berharap.  (Nur Rosihin Ana/mh)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=5369
readmore »»  

Kamis, 05 Mei 2011

Pasangan Mursini-Gumpita Mohonkan Pemungutan Suara Ulang Pemilukada Kuansing

Jakarta, MKOnline - Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Provinsi Riau yang dilaksanakan a 7 April 2011 lalu, dikuti dua pasangan calon, yaitu pasangan Sukarmis-Zulkifli (nomor urut 1) dan pasangan Mursini-Gumpita (nomor urut 2). Berdasarkan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara tertanggal 14 April 2011, dan ditetapkan melalui Surat Keputusan KPU Kuansing Nomor 15/Kpts/KPU-Kab/004.435177/2011, pasangan Sukarmis-Zulkifli memperoleh suara sah sebesar 82.504. Sedangkan pesaingnya, pasangan Mursini - Gumpita nomor urut 2, memperoleh suara sah 69.600.

Berdasarkan hasil tersebut, KPU Kuansing menetapkan Sukarmis-Zulkifli (Suzuki) sebagai pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati terpilih. Namun, pasangan Mursini-Gumpita tidak menerima penetapan KPU Kuansing, dan mengajukan keberatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Syahdan, MK pada Kamis (5/5/2011) sore menggelar permohonan keberatan terhadap hasil Pemilukada Kab. Kuansing 2011 yang dilayangkan oleh pasangan Mursini-Gumpita. Tampak hadir dalam sidang perkara Nomor 49/PHPU.D-IX/2011, yaitu Pemohon pasangan Mursini-Gumpita didampingi kuasa hukumnya. Tampak pula Ketua KPU Kuansing, Firdaus Oemar dan dua anggotanya, didampingi kuasa hukumnya, Iskandar Sonhadji. Kemudian, dari Pihak Terkait dihadiri oleh Sukarmis dengan didampingi kuasanya.

Di hadapan Panel Hakim yang diketuai Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar, pasangan Mursini-Gumpita melalui kuasa hukumnya menjelaskan pokok permohonan yang diajukannya. Inti permohonan Mursini-Gumpita mengenai keterlibatan pegawai negeri sipil (PNS), kampanye terselubung di masa tenang. Kemudian, daftar pemilih sementara (DPS) dan daftar pemilih tetap (DPT) yang tidak wajar. Selain itu, adanya money politics, pemilih tidak mendapatkan undangan memilih, serta adanya intimidasi. “Pemilih yang tidak mendapatkan yang mayoritas adalah pendukung Nomor Urut 2”, kata Asep Ruhiat, kuasa hukum Mursini-Gumpita.

Mursini-Gumpita  mendalilkan pasangan calon nomor urut 1 yang merupakan bupati incumbent, melakukan penyalahgunaan wewenang dan mengerahkan PNS dan penyelanggaraan pemerintahan Kab. Kuansing untuk hadir dan mendukung pada kegiatan-kegiatan yang dilakukan bupati. Hal ini, kata Asep, sebenarnya merupakan kampanye terselubung. “Terbukti dengan adanya atribut-atribut pasangan calon nomor urut 1 atau disebut juga Suzuki, pada kegiatan bupati tersebut,” kata Asep Ruhiat mendalilkan.

Kegiatan-kegiatan ini, lanjut Asep, telah direncanakan secara sistematis, terstruktur, dan massif melalui surat perintah tugas dari PLT Sekda untuk mendukung acara pasangan nomor urut 1 yang pada saat itu masih menjabat sebagai bupati. “Bahkan, ketika cuti pun di masa kampanye, calon bupati pasangan nomor urut 1 masih mengeluarkan surat perintah tugas bupati. Kami hadirkan dalam permohonan ini surat perintah-surat perintah tugas yang menjadi bukti-bukti adanya pengarahan massa tersebut,” lanjut Asep.

Selain itu, terang Asep, terdapat pula keterlibatan Camat Benai yang memberikan dukungan kepada pasangan calon nomor Urut 1. Kemudian adanya pertemuan yang dilakukan oleh Jefri Naldi selaku Kabag Umum Kantor Bupati Kuansing pada tanggal 6 April 2011 bertempat di rumah Ketua Tim Sukses Suzuki. ”Dalam pertemuan tersebut, Kabag Umum Kantor Bupati Kuantan Singingi bersama peserta yang hadir membahas pemenangan Sukarmi sebagai Bupati Kuantan Singingi dan dihadiri oleh puluhan pemuda Pulau Panjang Hilir,” papar Asep.

Mengenai kampanye di luar jadual, yaitu dengan modus pengajian Maulid Nabi Muhammad SAW yang dihadiri oleh PLT Sekda yang dilaksanakan di Desa Pebaun, Kecamatan Kuantan Mudik. “Di mana yang bersangkutan memberikan sambutan, meminta dukungan untuk melanjutkan kepemimpinan bupati yang sedang memimpin dengan memperlihatkan karikatur pasangan nomor urut 1,” jelas Asep.

Sedangkan bentuk pelanggaran yang bersifat terstruktur yaitu pelibatan PNS untuk merekrut pemilih yang diwajibkan oleh pimpinan terhadap bawahannya, baik di tingkat desa, kecamatan, dan sekolah-sekolah. Pimpinan mewajibkan kepada bawahannya untuk mendapatkan masyarakat pemilih minimal 10 sampai dengan 100 orang pemilih.

Kemudian mengenai money politics, kuasa hukum Mursini-Gumpita, Asep Ruhiat menyontohkan beberapa pelanggaran, antara lain yang dilakukan Kabag Umum Sekda Kantor Bupati yang mengumpulkan massa di sebuah surau dan kemudian memberikan bantuan uang sebesar Rp 3.000.000,00. Kemudian, money politics yang dilakukan oleh Kepala Desa Pulau Godang Kari Kecamatan Kuantan Tengah. “Terdapat pula money politics yang dilakukan oleh Anggota DPRD Kuansing yang bernama Dus Kalimansyur, yang terjadi pada hari Senin, tanggal 4 April,” kata Asep.

Dalam permohonan primairnya, pasangan Mursini-Gumpita melalui kuasa hukum lainnya, Taufik Basari, meminta Mahkamah agar memerintahkan KPU Kuansing untuk menerbitkan surat keputusan yang menetapkan pasangan Mursini-Gumpita sebagai bupati dan wakil bupati terpilih dalam Pemilukada Kabupaten Kuantan Singingi 2011. Sedangkan dalam subsidair, pasangan Mursini-Gumpita meminta dilakukan pemungutan suara ulang. “Memerintahkan Termohon atau KPU Kabupaten Kuantan Singingi untk melakukan pemungutan suara ulang di seluruh kecamatan di Kabupaten Kuantan Singingi,” tandas Taufik. (Nur Rosihin Ana/mh)
readmore »»  

Uji Materi UU Perkawinan: Nasab Anak Kepada Bapak Kandungnya

Machica Mochtar dan anaknya Iqbal didampingi kuasa hukumnya, Oktryan Makta dan Rusdianto dalam sidang uji materi Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1), Rabu (4/5) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.
Permohonan Hj. Aisyah Mochtar (40) atau yang akrab disapa Machica‎ Mochtar, kembali disidangkan di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (4/5/2011). Pedangdut yang sempat ngetop dengan tembang berjudul “Ilalang”, ini hadir di MK bersama anaknya, Iqbal dan didampingi kuasa hukumnya, Oktryan Makta dan Rusdianto, serta Machica juga menghadirkan Ahli yaitu DR. H. Muhammmad Nurul Irfan, M.Ag. Selain itu, sidang juga dihadiri Pihak Pemerintah yaitu dari Kementerian Hukum dan HAM, dan Kementerian Agama. Sidang kali keempat untuk perkara yang diregistrasi di Kepaniteraan MK dengan Nomor 46/PUU-VIII/201 ini mengagendakan mendengar keterangan Ahli yang dihadirkan oleh Machica.

Dalam presentasinya di depan Sidang Pleno, Muhammad Nurul Irfan memaparkan seputar Perkawinan yang sah dan status anak sah menurut Hukum Islam. Pengertian nikah dalam Bahasa Arab, mencakup dua hal. Pertama, disebut sebagai akad (al-‘Aqdu). “Jumhur ulama seperti, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Malik, menyebut bahwa nikah adalah akad. Karenanya kalau tidak ada akad, maka tidak akan membentuk nasab atau hubungan kekerabatan antara anak dengan bapak,” kata Irfan.

Kedua, nikah disebut sebagai hubungan badan. Ini diyakini oleh Imam Abu Hanifah. Ketika nikah dipahami dengan hubungan badan, maka bisa membentuk nasab (hubungan kekerabatan), dan hubungannya dengan persoalan status anak.
Sahnya sebuah pernikahan menurut hukum Islam adalah jika telah terpenuhi seluruh syarat dan rukun-rukunnya. Memperkuat pendapatnya, Irfan menyebutkan literatur dari kalangan Madzhab Syafi’iyyah, misalnya dalam kitab al-Iqnâ’ (Hâsyiyah al-Bujairimî 'alal-Khâthib) karya Sulaiman al-Bujairimi, disebutkan bahwa syarat atau rukun-rukun nikah meliputi lima hal: ijab kabul, calon mempelai wanita, calon mempelai pria, wali, dan dua orang saksi yang hadir. Demikian halnya, lanjut Irfan, dalam ijmâ’ dari kalangan mazhab Hambali, Maliki, dan Hanafi, yaitu meliputi lima syarat di atas. Hanya ada pengecualian dari mazhab Hanafi yaitu, jika yang dinikahi seorang janda, maka  bisa tanpa wali.

Kaitannya dengan UU Perkawinan, Irfan melihat adanya ketentuan yang tidak sejalan dengan prinsip hukum Islam, yaitu Pasal 42 UU Perkawinan. “Seorang anak dianggap sah dan memiliki nasab atau hubungan kekerabatan kepada ayah kandungnya jika anak tersebut dilahirkan dalam perkawinan yang sah atau perkawinan yang fâsid (rusak), wathi’ syubhat, hubungan badan secara subhat, dan ikrar atas nasab, bukan anak yang lahir akibat perzinahan,” terangnya.

Tradisi Jahiliah
Ajaran Islam membatalkan cara-cara penetapan nasab oleh masyarakat jahiliyah yang menganggap perzinaan sebagai cara menetapkan nasab. Hal ini, kata Irfan, didasarkan hadits shahih riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim yang menyatakan: al-waladu lil-firâsyi walil-’âhiri al-hajaru (seorang anak hanya bisa bernasab kepada pemilik atau tempat tidur yang sah dalam hal ini suami, sedangkan pezina hanya akan memperoleh kesialan atau batu hukuman).

Berdasarkan hadits tersebut, lanjutnya, Prof. Wahbah Az-Zuhaili dalam Kitab Al-Fiqhul Islamî wa Adillatuhû, menjelaskan bahwa nasab anak kepada bapak kandungnya bisa ditetapkan atas dasar tiga hal, yaitu perkawinan yang sah atau perkawinan yang fâsid, hubungan badan secara subhat, dan ikrar atau pengakuan adanya hubungan nasab. Secara tegas beliau katakan nasab anak terhadap ibu kandunganya bisa ditetapkan atas dasar kelahiran semata-mata, baik lahir secara syar’i maupun tidak secara syar’i melalui pernikahan atau perzinahan. Adapun nasab anak terhadap ayah kandungnya bisa ditetapkan atas dasar perkawinan yang sah atau perkawinan yang fâsid, hubungan badan secara subhat, atau atas dasar ikrar atau pengakuan nasab.

Sedangkan anak yang lahir dalam nikah di bawah tangan atau nikah siri, menurut Wahbah Az-Zuhaili tetap mempunyai hubungan nasab dengan ayah kandungnya. Wahbah, Guru Besar Bidang Hukum Islam di Syiria dalam pendapatnya mengatakan: “Pernikahan yang sah atau fâsid merupakan sebab ditetapkannya nasab secara teknis. Cara penetapan nasab ini dilihat dari ada atau tidaknya perkawinan. Jika memang telah nyata-nyata terjadi perkawinan, walau dalam nikah fâsid yaitu nikah yang rusak karena syarat dan rukunnya tidak sempurna atau karena status hukumnya diperdebatkan seperti nikah muth’ah, kawin kontrak dan lain-lain, atau dalam perkawinan adat atau dalam perkawinan yang terjadi secara khusus yakni perkawinan yang tidak terdaftar pada lembaga atau instansi perkawinan yang resmi. Maka tetap saja nasab anak yang dilahirkan oleh wanita tersebut bisa ditetapkan dengan ayah kandungnya.” “Ini pendapat Prof. Wahbah Az-Zuhaili,” kata Irfan.

Terkait dengan status anak sah, UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, menurut Irfan, berpotensi mengembalikan cara penetapan nasab ala zaman Jahiliyah. Rumusan pasal tentang kedudukan anak Pasal 42 UU Perkawinan yang berbunyi,“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah” menurut Irfan, kata “dalam” yang pada rumusan pasal ini ditinjau ulang atau bila perlu dihilangkan. “Sebab dengan adanya kata ‘dalam’ maka implikasi dan pengaruh besarnya akan terjadi pada legalisasi perzinaan. Dengan rumusan pasal ini, negara secara otomatis berarti mengakui atau mengizinkan dan melegalisasi proses hubungan badan sebelum nikah,” tandasnya.

Mengakhiri paparannya, Irfan menandaskan, jika keberadaan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan mengandung mudharat tapi untuk menghapuskannya juga mengandung mudharat, maka menurut kaidah hukum Islam, pilih mudharat yang paling ringan. Yang diamaksudkan Irfan adalah kaidah: ijma’ul muslimîna ‘alartikâbi akhâfid dharûraini (Konsensus kaum muslimin menyatakan bahwa memilih dan mengutamakan mudharat yang paling ringan di antara dua mudharat yang ada). “Dasar kepatuhan kaidah ini adalah tindakan Rasullulah SAW, yang membebaskan Abdullah Bin Ubay Bin Salul dari hukuman qadzaf, hukuman menuduh zina. Dia termasuk tersangka yang menuduh Aisyah berselingkuh dengan Sufyan Bin Mu'athal, tetapi dibebaskan oleh Nabi. Dengan pertimbangan bahwa dendam para pengikut  Abdullah Bin Ubay akan lebih besar mudharat-nya dari pada sekedar mengabaikan pemberlakuan sanksi atas dirinya,” terang Irfan.

Untuk diketahui, Machicha mengujikan konstitusionalitas Pasal 2 Ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan. Machica mendalilkan pensyaratan pencatatan perkawinan merupakan pengekangan terhadap kebebasan berkehendak sekaligus bentuk diskriminasi. Anak yang dilahirkan dari sebuah perkawinan yang tidak dicatatkan, dianggap sebagai anak di luar nikah. Ketentuan pasal tersebut menyebabkan anak Machica, Iqbal, tidak bisa mencantumkan nama ayahnya dalam akta kelahiran. Menurutnya, Pasal 2 Ayat (2) UU 1/1974 bertentangan dengan Pasal 28B Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. (Nur Rosihin Ana/mh)

readmore »»  
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More