Senin, 20 Oktober 2014

Perusahaan Pailit Harus Dahulukan Upah Buruh

Manakala sebuah perusahaan ditimpa pailit, maka upah dan hak-hak pekerja/buruh harus didahulukan pembayarannya. Namun dalam pelaksanaan putusan pailit, kata “didahulukan” ditempatkan setelah pelunasan terhadap hak-hak negara dan para kreditor separatis (pemegang hak tanggungan, gadai, fidusia, hipotik). Titah Mahkamah, pembayaran upah pekerja/buruh didahulukan atas semua jenis kreditor, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah.


Pemerintah RI pada 25 Maret 2003 mengesahkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), yang tercatat dalam Lembaran Negara Nomor 39 Tahun 2003. UU Ketenagakerjaan mengatur tentang hak dan kewajiban dalam suatu hubungan industrial sekaligus juga mengatur tentang ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam hal terjadinya perselisihan dalam hubungan industrial.
Salah satu pasal dalam UU Ketenagakerjaan yaitu Pasal 95 ayat (4) menyatakan; “Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya”
Berdasarkan ketentuan Pasal 95 ayat (4) di atas, upah dan hak-hak lainnya dari para pekerja/buruh merupakan utang yang “didahulukan” pembayarannya. Namun dalam pelaksanaan putusan pailit, kata “didahulukan” ditempatkan setelah pelunasan terhadap hak-hak negara dan para kreditor separatis yang merujuk Buku Dua Bab XIX KUH Perdata dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 yang diubah oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994. Di sini, hak negara ditempatkan sebagai pemegang hak posisi pertama, diikuti oleh kreditor separatis (pemegang hak tanggungan, gadai, fidusia, hipotik).
Ketentuan pasal tersebut dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerapannya. Tak ayal hal ini membuat sembilan karyawan PT Pertamina melakukan aksi uji materi UU Ketenagakerjaan ke MK. Mereka mengajukan permohonan dengan surat permohonan bertanggal 17 Juni 2013. Kepaniteraan MK meregistrasi permohonan pada 27 Juni 2013 dengan Nomor 67/PUU-XI/2013.
Kesembilan karyawan PT Pertamina dimaksud yaitu, Otto Geo Diwara Purba, Syamsul Bahri Hasibuan, Eiman, Robby Prijatmodjo, Macky Ricky Avianto, Yuli Santoso, Joni Nazarudin, Piere J Wauran, dan Maison Des Arnoldi. Para Pemohon ini memohon kepada MK agar menguji konstitusionalitas frasa “yang didahulukan pembayarannya” dalam Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan tentang pelunasan utang dalam hal perusahaan dinyatakan pailit yang tidak mendahulukan pembayaran upah pekerja/buruh, melainkan mendahulukan pembayaran (1) utang negara dan biaya kurator, (2) kreditor separatis pemegang jaminan gadai, fidusia, dan/atau hak tanggungan, (3) kreditor preferen, dan (4) kreditor konkuren.
Para Pemohon mengaku berpotensi menjadi “korban” pemberlakuan Pasal 95 UU Ketenagakerjaan, jika perusahaan tempat mereka bekerja mengalami pailit. Ketentuan pasal ini tentu dapat menyulitkan para Pemohon dalam menuntut hak-hak mereka kelak apabila diperhadapkan dengan kreditor lainnya. “Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menurut Para Pemohon, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 karena berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pekerja,” kata Janses Sihaloho saat bertindak sebagai kuasa para Pemohon dalam persidangan perdana di MK, Selasa (16/7/2013).
Tanpa adanya penafsiran yang tegas terhadap pemberlakuan Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan, selain berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, juga merupakan pengingkaran hak-hak para Pemohon selaku pekerja dan pekerja lainnya yang bekerja di perusahaan tempat mereka bekerja yang sedang mengalami pailit berdasarkan putusan pengadilan.

Praktik Kontradiktif

Ketentuan Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan memang mewajibkan perusahaan yang pailit harus mendahulukan pemenuhan hak-hak pekerja seperti pesongan dan hak-hak lainnya. Namun, dalam praktik, terdapat urutan peringkat penyelesaian tagihan kreditor setelah selesainya kreditor separatis, dimana upah buruh masih harus menunggu urutan setelah tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah untuk didahulukan. Praktik yang kontradiktif ini tertuang dalam Pasal 1134 ayat (2) juncto Pasal 1137 KUH Perdata dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Dalam Pasal 1149 KUH Perdata, piutang buruh terhadap perusahaan/majikan berkedudukan sebagai kreditor/piutang preferen, sehingga dengan dinyatakan pailitnya debitor tidak akan menghilangkan hak-hak buruh sebagai kreditor terhadap perusahaan tersebut. Buruh dapat menuntut pembayaran upahnya sebagai kreditor dengan mengajukan tagihan kepada kurator yang ditunjuk oleh Pengadilan Niaga yang bertugas untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailit. Kurator mendahulukan pembayaran upah buruh sebagai kreditor preferen dari hasil penjualan boedel pailit daripada pembayaran kepada kreditor konkuren.
Praktik kontradiktif lainnya yaitu dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (UU Perasuransian), di mana pemegang polis asuransi didahulukan terhadap hak-hak buruh. Pasal 20 ayat (2) UU Perasuransian menyatakan bahwa: “Hak pemegang polis atas pembagian harta kekayaan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa yang dilikuidasi merupakan hak utama.”

Alasan Prioritas

Lalu, apa alasan hak-hak pekerja harus diproritaskan? Menurut para Pemohon, pekerja merupakan kelompok yang menggantungkan kehidupannya dan keluarganya kepada perusahaan tempat dia bekerja. Hampir semua pekerja yang dikenakan pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak dapat lagi bekerja di perusahaan lain yang disebabkan oleh beberapa hal seperti masalah umur dan lapangan kerja yang terbatas. Artinya, hak-hak pekerja seperti pesangon merupakan modal utama untuk melanjutkan hidup untuk kehidupan pekerja dan keluarganya.
Bila dibandingkan dengan pemegang polis asuransi, maka ketergantungan pemegang polis asuransi terhadap dana asuransi tidaklah se-vital pesangon atau hak-hak buruh. Sebab asuransi diperuntukkan untuk meng-cover risiko yang mungkin terjadi bagi pemegang asuransi. Sedangkan pesangon dipergunakan untuk penghidupan pekerja.
Kemudian bila dibandingkan dengan pemegang hak tanggungan dan pemegang fidusia, maka kedudukan pekerja jauh lebih lemah dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan pemegang hak tanggungan yang tentunya mempunyai dana dan kemampuan lebih untuk hidup dibandingkan dengan pekerja.
Begitu pula bila dibandingkan dengan piutang-piutang negara seperti pajak, tentu posisi pekerja sangat lebih lemah dan lebih penting untuk didahululan, mengingat pajak itu pun secara hukum akan tetap dikembalikan untuk kepentingan masyarakat yang tentunya termasuk pekerja di dalamnya. “Sangat tidak logis piutang negara diutamakan dibanding pekerja karena bagaimana pun negara bertanggung jawab secara konstitusional terhadap jaminan hidup yang layak bagi warga negara, termasuk pekerja. Berdasarkan prinsip perlakuan khusus terhadap pihak yang lemah, maka selayaknyalah dan sepatutnyalah hak pekerja didahulukan dari semua kreditor,” jelas Janses Sihaloho berargumen.
Tidak adanya jaminan kepastian hukum bagi pekerja sebagaimana diuraikan di atas, maka ketentuan Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan sepanjang frasa “didahulukan pembayarannya” menimbulkan multitafsir. Selain itu, menempatkan pekerja dalam posisi yang lemah dan tidak equal dengan para kreditor separatis yang dalam praktik lebih didahulukan pembayarannya.
Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan merupakan norma yang belum jelas dan belum tegas tafsirnya, mengingat belum jelas apa yang dimaksud dengan klausula “…didahulukan pembayarannya”. Sebabnya, meskipun upah dan hak-hak buruh dijamin dalam hal terjadinya pailit atau likuidasi perusahaan, namun posisi pekerja selaku kreditor preferen khusus, menjadi rentan karena masih menunggu pembayaran bagi kreditor separatis dalam hal terjadinya kepailitan. Dengan demikian salah satu pihak yang dijaminkan haknya selama proses pailit itu yaitu para buruh dan pekerja menjadi terabaikan hak asasi manusianya untuk mendapatkan penghidupan yang layak dan imbalan yang sesuai dengan kerjanya.
Untuk diketahui, saat perusahaan pailit, kreditor akan terbagi kedalam 3 bagian yaitu kreditor separatis, kreditor preference dan kreditor konkuren. Buruh merupakan kreditor preference, yang pembayaran hak-haknya dilakukan setelah tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah. Posisi atau kedudukan buruh selaku kreditor preference yang masih menunggu urutan peringkat pembayaran setelah tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah adalah merupakan suatu kedudukan yang bertentangan dengan Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan.
Akibat dari tidak jelasnya penafsiran Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan, maka dengan sendirinya juga menimbulkan ketidakadilan terhadap salah satu pihak karena tidak mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, para Pemohon dalam petitumnya meminta Mahkamah menyatakan frasa “didahulukan pembayarannya” dalam Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan adalah inkonstitusional, kecuali bila ditafsirkan bahwa pelunasan upah dan hak-hak pekerja mendahului semua jenis kreditor baik kreditor separatis/istimewa, kreditor preference, pemegang hak tanggungan, gadai dan hipotik dan kreditor bersaing (concurent).
Untuk memperkuat dalil permohonan, para Pemohon mengusung bukti-bukti yaitu bukti P-1 sampai P-9. Para Pemohon dalam persidangan yang digelar pada Selasa (10/9/2013) juga menghadirkan dua ahli yaitu Timboel Siregar dan Yogo Pamungkas.

Hak Tagih

Politik hukum pembentukan UU 13/2003 adalah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Politik hukum ketenagakerjaan adalah untuk meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan merata, baik materiil maupun spiritual. Oleh karena itu, pengaturan ketenagakerjaan dalam UU Ketenagakerjaan harus memenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh serta pada saat yang sama harus dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan usaha. Selain itu, pembinaan hubungan industrial harus diarahkan untuk mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan.
Pengujian konstitusionalitas yang dimohonkan para Pemohon ini memiliki kesamaan substansi dengan pengujian konstitusionalitas Pasal 29, Pasal 55 ayat (1), Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 138 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 18/PUU-VI/2008, tanggal 23 Oktober 2008. Pertimbangan Mahkamah dalam putusan ini antara lain menyebutkan bahwa pernyataan pailit oleh hakim adalah merupakan satu peletakan sita umum (algemene beslag) terhadap seluruh harta kekayaan seorang debitor. Tujuannya adalah supaya dapat membayar semua tagihan kreditor secara adil, merata, dan seimbang. Mahkamah juga mempertimbangkan bahwa kedudukan pekerja/buruh dalam perusahaan merupakan salah satu unsur yang sangat vital dan mendasar yang menggerakkan proses usaha. Unsur lain yang memungkinkan usaha bergerak adalah modal, yang juga merupakan unsur yang esensial. Dalam membuat kebijakan hukum, hak-hak pekerja/buruh tidak boleh termarginalisasi dalam kepailitan, namun tidak boleh mengganggu kepentingan kreditor (separatis) yang telah diatur dalam ketentuan hukum jaminan baik berupa gadai, hipotek, fidusia, maupun hak tanggungan lainnya.
Menurut Mahkamah, dasar hukum bagi adanya hak tagih masing-masing kreditor ternyata sama, kecuali bagi hak tagih negara. Dasar hukum bagi kreditor separatis dan bagi pekerja/buruh adalah sama, yaitu perjanjian yang dilakukan dengan debitor. Mengenai dasar hukum kewajiban kenegaraan adalah peraturan perundang-undangan. Adapun mengenai dasar hukum bagi adanya peringkat atau prioritas pembayaran sebagaimana pertimbangan Putusan Nomor 18/PUU-VI/2008 tersebut di atas, adalah karena adanya perbedaan kedudukan yang disebabkan oleh isi perjanjian masing-masing berhubung adanya faktor-faktor tertentu. Meskipun antara kreditor separatis dan pekerja/buruh dasar hukumnya adalah sama, yaitu perjanjian, namun manakala dilihat dari aspek lain, yaitu aspek subjek hukum yang melakukan perjanjian, objek, dan resiko, antara keduanya terdapat perbedaan yang secara konstitusional signifikan.

Hubungan Pengusaha-Pekerja

Dalam aspek subjek hukum, perjanjian gadai, hipotik, dan fidusia serta perjanjian tanggungan lainnya, merupakan perjanjian yang dilakukan oleh subjek hukum, yaitu pengusaha dan pemodal. Secara sosial ekonomis para pihak tersebut dapat dikonstruksikan sama. Terlebih lagi pemodal, yang boleh jadi adalah pengusaha juga. Sebaliknya, perjanjian kerja merupakan perjanjian yang dilakukan oleh subjek hukum yang berbeda, yaitu pengusaha dan pekerja/buruh.
Pengusaha dan pekerja/buruh, secara sosial ekonomis tidaklah sejajar. Pengusaha tentu lebih kuat dan lebih tinggi, bila dibandingkan pekerja/buruh. Meskipun demikian, antara pengusaha dan pekerja/buruh saling memerlukan. Perusahaan tidak akan berproduksi tanpa pekerja/buruh. Begitu pula pekerja/buruh tidak dapat bekerja tanpa ada pengusaha. Oleh karena itu, hak-hak pekerja/buruh telah dijamin oleh UUD 1945. “Maka Undang-Undang harus memberikan jaminan perlindungan untuk dipenuhinya hak-hak para pekerja/buruh tersebut,” kata Hakim Konstitusi Patrialis Akbar membacakan Pendapat Mahkamah dalam Putusan Nomor 67/PUU-XI/2013, Kamis (11/9/2014).
Dalam aspek objek, perjanjian gadai, hipotik, fidusia, dan perjanjian tanggungan lainnya yang menjadi objeknya adalah properti. Sementara itu, perjanjian kerja yang menjadi objeknya adalah tenaga atau keterampilan (jasa) dengan imbalan jasa dalam kerangka untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup bagi diri dan keluarga pekerja/buruh. Antara kedua aspek ini memiliki perbedaan yang mendasar, yaitu properti dan manusia. Pertanyaannya adalah bagaimana perbedaan tersebut terkait dengan apa yang sejatinya dilindungi oleh hukum. Pembentukan hukum jelas dimaksudkan untuk melindungi kepentingan manusia. Dalam kasus ini manakah yang seharusnya menjadi prioritas. Kepentingan manusia terhadap properti atau kepentingan manusia terhadap diri dan kehidupannya. Apalagi berdasarkan sistem pembayaran upah pekerja/buruh dalam kegiatan usaha yang dibayar sebulan setelah pekerja melaksanakan pekerjaan, hal ini merupakan argumentasi tersendiri karena upah pekerja/buruh sesungguhnya adalah hutang pengusaha kepada pekerja/buruh, yang seharusnya harus dibayar sebelum kering keringatnya. “Menurut Mahkamah, kepentingan manusia terhadap diri dan kehidupannya haruslah menjadi prioritas, harus menduduki peringkat terdahulu sebelum kreditor separatis,” lanjut Patrialis.
Dalam aspek risiko, bagi pengusaha, risiko merupakan hal yang wajar dalam pengelolaan usaha, Risiko merupakan hal yang menjadi pertimbangan pengusaha ketika melakukan usaha. Risiko bukan ruang lingkup pertimbangan pekerja/buruh.
Sementara itu, bagi pekerja/buruh upah merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi diri dan keluarganya. Sehingga menjadi tidak tepat manakala upah pekerja/buruh tersebut menduduki peringkat yang lebih rendah dengan argumentasi yang dikaitkan dengan risiko yang bukan ruang lingkup pertimbangannya. “Adalah tidak adil mempertanggungkan sesuatu terhadap sesuatu yang ia tidak turut serta dalam usaha,” jelas Patrialis.

Selain Upah Tidak Prioritas

Menurut Mahkamah, hak-hak pekerja/buruh yang lainnya adalah tidak sama atau berbeda dengan upah pekerja/buruh. Upah pekerja/buruh secara konstitusional berdasarkan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 merupakan hak konstitusional. Oleh karena itu, adalah hak konstitusional pula untuk mendapat perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Adapun hak-hak pekerja/buruh lainnya tidaklah demikian. Implikasi hukumnya adalah wajar bila terkait dengan pembayaran dimaksud hak tersebut berada pada peringkat di bawah kreditor separatis. Sementara itu, mengenai kewajiban terhadap negara hal tersebut adalah wajar manakala berada pada peringkat setelah upah pekerja/buruh. Argumentasinya antara lain adalah karena negara memiliki sumber pembiayaan lain. Sedangkan bagi pekerja/buruh upah adalah satu-satunya sumber untuk mempertahankan hidup bagi diri dan keluarganya.
Dengan demikian, menurut Mahkamah, permohonan para Pemohon beralasan hukum untuk sebagian. Walhasil, Mahkamah dalam amar putusan mengabulkan sebagian permohonan. “Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Hamdan Zoelva membacakan amar putusan Putusan Nomor 67/PUU-XI/2013, Kamis (11/9/2014).
Mahkamah menyatakan Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: “pembayaran upah pekerja/buruh yang terhutang didahulukan atas semua jenis kreditor termasuk atas tagihan kreditor separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua tagihan termasuk tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, kecuali tagihan dari kreditor separatis.”
"Upah pekerja/buruh sesungguhnya adalah hutang pengusaha kepada pekerja/buruh, yang seharusnya harus dibayar sebelum kering keringatnya."


IKHTILAF


Pemerintah

Jamin Kepastian Hukum dan Tidak Multitafsir

Pada prinsipnya pemenuhan hak-hak atau pembayaran kewajiban kepada debitor, para kreditor separatis dilakukan tersendiri dan terpisah atau bersifat separatis dan mendahului para kreditor lainnya, termasuk para kreditor pemegang hak istimewa, dan para kreditor bersaing. Dalam konteks pekerja/buruh sebagai salah satu kreditor yang mempunyai hak dalam proses kepailitan berdasarkan ketentuan Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan, menurut Pemerintah, ketentuan ini telah sejalan dengan ketentuan-ketentuan lainnya dalam KUHPerdata, UU Kepailitan dan PKPU. “Kecuali apabila di antara para berpiutang atau kreditor ada alasan-alasan untuk didahulukan,” kata Mualimin Abdi menyampaikan keterangan Presiden dalam persidangan di MK, Rabu (28/8/2013).
Pengecualian itu antara lain diatur di dalam Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU yang menyatakan, “Sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, upah yang terutang sebelum maupun sesudah putusan, pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit.” Yang dimaksud dengan utang harta pailit adalah segala biaya-biaya yang timbul dalam mengurus kepentingan kreditor yang harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum kepentingannya atau kreditor yang lain dipenuhi.
Khusus upah pekerja/buruh, baik sebelum maupun sesudah pernyataan pailit mendapatkan posisi yang lebih tinggi daripada kreditor separatis atau setara dengan fee kurator, biaya kepailitan dan pemeliharaan serta biaya sewa. Hak tersebut diberikan kedudukan yang lebih tinggi oleh UU, sebagaimana diatur di dalam Pasal 1134 KUHPerdata yang menyatakan bahwa hak gadai dan hipotek adalah lebih tinggi daripada hak istimewa kecuali UU menentukan sebaliknya. “Jadi ketentuan Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tersebut telah menempatkan posisi buruh sebagai kreditor preferen yang mempunyai hak istimewa untuk didahulukan daripada para kreditor lainnya,” jelas Mualimin.
Hak pekerja/buruh ada yang masuk dalam kelompok biaya kepailitan dan ada yang masuk dalam kelompok kreditor preference. Dalam arti bahwa hak pekerja/buruh sebenarnya tidak seluruhnya sekadar merupakan hak preference, akan tetapi ada hak yang lebih diistimewakan dan diposisikan sederajat dengan biaya pengadilan (fee curator), biaya pemeliharaan, biaya penilaian, dan biaya lain-lainnya, termasuk biaya lelang di dalamnya, yakni hak atas upah, baik sebelum maupun sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan. Selain upah, juga termasuk adalah merupakan hak-hak yang bersifat preference biasa.
Menurut Pemerintah ketentuan Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan telah memberikan kepastian hukum dan tidak multitafsir. “Justru sebaliknya telah menguatkan kedudukan pekerja/buruh dengan mendahulukan pembayaran upah dan hak-hak lainnya dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi. Sebaliknya menurut Pemerintah, apabila ketentuan tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat atau ditafsirkan lain, maka menurut Pemerintah dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan bahkan dapat menimbulkan multitafsir,” tandas Mualimin.

DPR

Upah Buruh Digolongkan Utang Harta Pailit

Jaminan hak atas upah tenaga kerja pada perusahaan yang dinyatakan pailit juga telah diatur secara tegas dalam ketentuan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitian dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang yang menyatakan, “Sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, upah yang terutang sebelum maupun sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit,”
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka hak upah baik sebelum maupun sesudah putusan pernyataan pailit, digolongkan dalam utang harta pailit yang merupakan biaya kepailitian yang harus dibayar terlebih dahulu mendahului kreditor separatis sehingga sama kedudukannya dengan biaya pengadilan, fee kurator, biaya pemeliharaan, biaya penilaian, biaya lelang, dan lain-lain. Dengan perkataan lain, hak upah tenaga kerja diposisikan sederajat dengan biaya pengadilan, fee curator, biaya pemeliharaan, biaya penilaian, biaya lelang, dan lain-lain.
“Oleh karenanya, DPR berpandangan ketentuan Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan juncto Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan telah cukup memberikan jaminan dan kepastian hukum dalam pelaksanaan hak upah tenaga kerja pada persahaan yang dinyatakan pailit,” kata Anggota Komisi III DPR, Martin Hutabarat, saat menyampaikan keterangan DPR dalam persidangan di MK, Rabu (28/8/2013).

Timboel Siregar

Pemerintah Harus Proteksi Buruh

Upah adalah sebuah indikator harapan utama dari para buruh untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. APBN sangat sedikit mengalokasikan subsidi untuk buruh. Buruh bukan kelompok miskin sehingga tidak mendapatkan BLSM dan fasilitas yang didapatkan oleh orang miskin seperti Jamkesmas. Buruh dianggap kelompok menengah. Namun faktanya buruh hanya mendapatkan sebatas upah. “Jadi sangat jelas bahwa politik upah buruh murah masih terus dijalankan oleh Pemerintah. 40% upah buruh formal masih di bawah upah minimum dari 44,2 juta,” kata Timboel Siregar, saat bertindak sebagai ahli Pemohon dalam persidangan di MK, Selasa (10/9/2013).
Tentang kondisi pengupahan, bila pemerintah sigap, Pemerintah akan menjalankan UU SJSN dan UU BPJS. Tetapi faktanya sampai sekarang belum terimplementasi. Jaminan sosial sebenarnya bisa menunjang kesejahteraan buruh. “Jadi buruh tidak hanya mendapatkan dari sisi upah, tetapi dari sisi kesejahteraan dalam bentuk jaminan sosial. Tetapi faktanya sampai sekarang belum berjalan,” timpal Timboel.
Berdasarkan data Jamsostek, hanya sekitar 11,7 juta pekerja formal dari sekitar 38 juta buruh formal termasuk PNS, TNI, Polri dan 38 juta pekerja buruh formal yang baru mendapatkan jaminan sosial di Jamsostek. Jaminan itu berupa jaminan hari tua, kematian, dan kecelakaan kerja.
Dalam kondisi ekonomi sekarang ini di mana pemerintah gagal menstabilkan harga kedelai, harga kebutuhan pokok, sehingga inflasi cukup tinggi. Demikian juga dengan kondisi mata uang kita yang sangat melemah. Kondisi ini akan mengancam jalannya proses produksi. Hal ini dapat menyebabkan perusahaan tutup karena impor yang sulit dan dengan dollar yang sangat sulit di pasaran.
Buruh dalam kondisi upah yang sangat belum layak dan jaminan sosial yang belum memadai, dan diperburuk dengan kondisi ekonomi yang mengancam perusahaan, maka buruh perlu adanya sebuah proteksi langsung yang sudah diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 dalam bentuk kompensasi PHK yang ada misalnya dalam Pasal 165 ketika terjadi proses pailit.
Apabila buruh tidak ada proteksi, maka nasib buruh akan sulit, ketika buruh tidak punya jaminan sosial, ketika buruh tidak tersubsidi oleh pemerintah secara langsung dari APBN, ketika buruh tidak punya saving ketika bekerja dengan upah yang tidak layak. Artinya, buruh akan terancam nasibnya dan ini akan menciptakan kemiskinan baru. Seharusnya Pemerintah melihat bahwa buruh sebagai faktor yang sangat signifikan dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi dan berkontribusi pada konsumsi, investasi, dan ekspor impor. “Artinya Pemerintah harus melihat buruh sebagai sebuah kelompok yang memang harus diproteksi. Oleh sebab itu, saatnya buruh mendapatkan kepastian hukum tentang masa depannya apalagi ketika buruh mengalami sebuah masalah, seperti PHK dan ketika perusahaan dipailitkan,” pungkas Timboel.

Yogo Pamungkas

Tarik-Menarik Menjadi Prioritas

Saat sebuah perusahaan mengalami pailit, ketentuan yang yang mengatur masalah kepailitan terdapat dalam KUHPerdata, UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, serta UU Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Kesemuanya UU tersebut memberikan prioritas kepada objek untuk mendapatkan referensi. “Di antara Undang-Undang yang berstatus sebagai lex specialis tadi pertanyaannya adalah mana yang diprioritaskan?” kata Yogo Pamungkas saat bertindak sebagai ahli Pemohon dalam persidangan di MK, Selasa (10/9/2013.
UU tentang Pajak tentu memprioritaskan bahwa utang pajak menjadi yang paling diprioritaskan. UU Usaha Asuransi memprioritaskan pemegang polis. Kemudian yang menjadi prioritas dalam UU Ketenagakerjaan adalah upah buruh.
Pekerja memiliki posisi yang tidak terlalu menguntungkan karena dalam Undang-Undang Pailit disebutkan bahwa utang harta pailit hanya sekedar upah, bukan hak-hak yang lain. Benturan kepentingan dari kreditor yang lain akan mampu mengalahkan para buruh, sehingga dirasa perlu ada satu bentuk perlindungan yang khusus agar buruh terlindungi tanpa harus berbenturan dengan kepentingan kreditor-kreditor yang lain, dan khususnya kepentingan yang memiliki jaminan yang baik yaitu perlindungan hukum.

Semua UU tersebut rigid mengatakan yang paling utama. Oleh karena itu perlu ada sinkronisasi dan harmonisasi dari seluruh UU terkait. Khususnya terkait posisi hak pekerja pada saat produsen pailit. “Oleh karena itu, untuk melindungi kepentingan pekerja dengan menempatkan kepentingan dalam hak mendahului berupa upah dan hak lainnya, yaitu upah dan hak lainnya dalam hirarki tertinggi menjadi penting, agar terhindar dari tekanan dan hambatan pihak lain baik secara sengaja maupun tidak sengaja,” pungkasnya.


Nur Rosihin Ana
(Majalah Konstitusi No. 92 – Oktober 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More