Selasa, 21 Oktober 2014

Nasib Tenaga Honorer

Selaksa asa dan cita mewarnai derap langkah para tenaga honorer dalam khidmah dan bakti kepada negara. Bahkan rasa cemas dan takut pun bergayut di sudut tak bertepi menanti kepastian pengangkatan. Tenaga Honorer ingin dihargai secara wajar, bermartabat sebagaimana layaknya para pegawai negeri sipil, pegawai sipil, dan pengabdian lainnya.


Era otonomi daerah memberikan kewenangan manajemen kepegawaian tidak lagi sentralistik. Semua kewenangan yang merupakan kewenangan daerah, dan tugas-tugas desentralisasi yang semula terpusat, menjadi kewenangan daerah. Salah satu implikasinya yaitu terjadi perubahan terutama yang berkaitan dengan penerimaan dan pengangkatan pegawai menjadi kewenangan daerah.
Kewenangan daerah terukir dalam Pasal 76 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan “Daerah mempunyai kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan pegawai, serta pendidikan dan pelatihan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah, Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan”.
Dalam rangka penyempurnaan manajemen, pada 2004 terbit Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hadirnya UU 32/2004 ini yang mencabut dan menyatakan tidak berlaku Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah karena tidak mampu mengakomodasikan kebutuhan yang berubah dengan cepat.

Pengangkatan Pegawai
Berkaitan dengan manajemen Pegawai Negeri Sipil Daerah, dalam Pasal 129 ayat (2) UU 32/2004 terdapat frasa yang menggelitik yaitu “…meliputi penetapan formasi, pengangkatan, pemindahan, …kedudukan hukum, pengembangan kompetensi, dan pengendalian jumlah.” Kemudian pada Pasal 132 mengesankan hanya penetapan formasi yang harus berkoordinasi dengan Menpan melalui Gubernur. Berlakunya UU 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara tegas menyatakan pada pasal 137 mencabut ketentuan UU 32/2004 pada bab V Kepegawaian Daerah mulai Pasal 129 hingga Pasal 135 dan peraturan pelaksanaannya.
Sementara itu, Pada Pasal 2 ayat (3) UU 43/1999 jo UU 8/1974 tentang Pokok Pokok Kepegawaian, tertera jelas adanya perkenan bagi pejabat yang berwenang untuk mengangkat pegawai tidak tetap. Pada bagian penjelasannnya, yang dimaksud dengan pegawai tidak tetap adalah “Pegawai yang diangkat untuk jangka waktu tertentu guna melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan yang bersifat teknis profesional dan administrasi sesuai kebutuhan dan kemampuan organisasi. Pegawai tidak tetap tidak berkedudukan sebagai pegawai negeri. Selain itu, terdapat restriksi seperti yang tertera pada Pasal 1 angka 6 terutama pada kalimat berupa “Jabatan karier adalah jabatan struktural dan fungsional yang hanya dapat diduduki oleh Pegawai Negeri Sipil.”
UU Kepegawaian menimbulkan kekosongan hukum bagi tenaga honorer/pegawai tidak tetap serta tidak mengatur mengenai jaminan bagi tenaga honorer. Begitu pula peraturan pelaksananya.

Posisi Tenaga Honorer

Pada 15 Januari 2014 terbit Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Berlakunya UU ASN khususnya yang mengatur Pengadaan PNS merupakan pengganti UU Kepegawaian yang mengatur tentang PNS. Namun, UU ASN juga tidak memberikan pengaturan lebih lanjut mengenai tenaga honorer. UU ASN hanya mengatur mengenai pembagian Aparatur Sipil Negara yang terdiri dari PNS dan PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja). Bahkan pengaturan mengenai PPPK ini pun tidak mewadahi nasib tenaga honorer non kategori atau tidak termasuk ke dalam kategori PNS maupun PPPK.
Hal tersebut mengundang keberatan Forum Perjuangan Honorer Indonesia (FPHI) Korda Ponorogo yang dalam hal ini diwakili oleh Rochmadi Sularsono, seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pemda Kabupaten Ponorogo. Keberatan dilampiaskan ke MK melalui permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Kepaniteraan MK meregistrasi permohonan ini pada Rabu (3/9/2014) dengan Nomor 86/PUU-XII/2014. Adapun materi UU ASN yang dimohonkan untuk diuji di MK yaitu Pasal 2 huruf (a) “kepastian hukum”, huruf (j) “non diskriminatif” serta huruf (l) “keadilan dan kesetaraan”, Pasal 6, Pasal 58 ayat (3) terutama pada kata “seleksi” serta pasal 67 terutama pada frasa kata “Ketentuan lebih lanjut mengenai pengadaan PNS … diatur oleh Peraturan Pemerintah” serta Pasal 129 ayat (2). Menurut Pemohon ketentuan dalam UU ASN ini bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Pasal 2 huruf a, huruf j, dan huruf l UU ASN menyatakan, Penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN berdasarkan pada asas: (a) kepastian hukum; (j) nondiskriminatif; (l) keadilan dan kesetaraan.”
Pasal 58 ayat (3) UU ASN menyatakan, Pengadaan PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui tahapan perencanaan, pengumuman lowongan, pelamaran, seleksi, pengumuman hasil seleksi, masa percobaan, dan pengangkatan menjadi PNS.”
Pasal 129 ayat (2) UU ASN menyatakan, “Upaya administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari keberatan dan banding administratif.”
Menurut Pemohon, pengangkatan tenaga honorer terutama pada frasa kata baik “teknis fungsional maupun administrasi” seperti yang tertera pada UU 43/1999 bilamana digabungkan dengan UU 14/2005 tentang guru dan dosen, UU 36/2009 tentang Kesehatan, dan UU 44/2009 tentang Rumah Sakit, tidak memiliki payung hukum yang kokoh. Selain itu bertentangan dengan UU 13/2003 tentang ketenagakerjaan Pasal 59 ayat (2) pada frasa “tidak terdapat perkenan melakukan kontrak kerja berbatas waktu bilamana sifat kerjanya tetap” serta ayat (7) terutama frasa “… demi hukum menjadi pagawai tetap” khususnya yang memiliki masa pengabdian diatas tiga tahun terus menerus.

Hak Mengabdi dan Berprofesi

Pengadaan PNS pada Pasal 58 ayat (3) UU ASN kata “seleksi” serta Pasal 67 pada frasa “Diatur dengan Peraturan Pemerintah” serta pasal 139 yang intinya semua produk hukum yang bersifat pengaturan UU 8/1974 jo UU 43/1999 tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang Undang ini. Khusus menyangkut prasyarat penerimaan CPNS, ketentuan tersebut menjadikan tenaga honorer baik yang baru diangkat sebagai CPNS semenjak diberlakukannya UU ASN, tenaga honorer yang masih tersisa baik K 1 ataupun K 2 serta tenaga honorer non katagori, terhambat nasibnya sebagai CPNS khususnya pada tenaga non katagori yang penerimaannya antara tanggal 4 Januari sampai dengan 11 November 2005 serta mulai 11 November 2014 hingga akhir 2011, karena prasyarat usia terutama bagi yang lama pengabdiannya dan/atau berpendidikan setara Sarjana.
Restriksi yang ada telah mematikan hak untuk mengabdi dan berprofesi sebagai PNS atau setidak-tidaknya bukan menjadi pegawai tidak tetap yang mengabdi pada negara. Padahal tenaga honorer yang memiliki sifat kerja tetap itu berasal dari UU, Peraturan Pemerintah (PP). Namun UU dan PP pula yang meniadakan kesempatan menjadi PNS.
Ciri negara hukum adalah adanya jaminan terhadap HAM warga negaranya. Salah satunya adalah persamaan dalam Hukum (Equality before the law). Adanya Affirmative Actions (tindakan khusus yang bersifat sementara) yang mengizinkan berlakunya kebijakan penerimaan tenaga honorer, bukan berarti penghilangan atas hak dasar yang melekat pada tenaga honorer lainnya dalam hal ini tenaga honorer non katagori.
Pemohon dalam petitum antara lain meminta Mahkamah agar menyatakan UU ASN Bagian (3) manajemen PNS terutama Paragraf 2 kata “Pengadaan” pada Pasal 58 ayat (3) terutama kata “seleksi” sepanjang tidak mencantumkan “perkenan pemerintah untuk mengangkat langsung Pegawai Negeri Sipil bagi mereka yang mengabdi pada instansi yang menunjang kepentingan nasional”. Bagian penjelasannya terutama frasa kata “ …sangat selektif …berjasa dan diperlukan bagi negara” bukannya “dan/atau”, maka sepanjang itu pula Pasal 58 ayat (3) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Hal ini agar kontinuitas kebijakan terjamin khususnya bagi tenaga honorer baik K1 ataupun K2 ataupun dokter dan tenaga tertentu lainnya yang ada pada PP 56/2012 yang memenuhi prasyarat pada Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta ayat (4) dan ayat (8) dan yang terutama lulus tes namun belum diangkat sepanjang telah diberlakukan UU ASN.
Kemudian menyatakan UU ASN Pasal 2 huruf (2) huruf a. kepastian hukum, j. non diskriminatif serta l. keadilan dan kesetaraan sepanjang tidak mengatur baik berujud bagian/Pasal/ayat tersendiri tenaga honorer yang diangkat oleh pejabat yang berwenang termasuk dalam hal ini oleh satuan pendidikan baik yang bersifat teknis fungsional maupun administrasi diluar ketentuan tanggal 3 Januari 2005 hingga penerbitan PP 48/2005 dan kehilangan kesempatan disebut tenaga K1 atau K2 maka sepanjang itu pula UU ASN Pasal 2 huruf (a) kepastian hukum, huruf (j) non diskriminatif serta (l) keadilan dan kesetaraan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Pemohon juga meminta Mahkamah menyatakan bahwa UU ASN pada Bagian keempat manajemen PPPK sepanjang tidak mengatur tenaga honorer di luar ketentuan yang ada pada PP 48/2005 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat bilamana pada sifat kerja yang tetap tidak ada pengaturan khusus yang dimulai pada tahun 2012 karena bertentangan dengan Asas Kepastian Hukum dan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) hingga ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2).


Nur Rosihin Ana

(Majalah Konstitusi No. 92 – Oktober 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More