Sabtu, 15 November 2014

“Perlindungan” bagi Pahlawan Devisa

Malang nian nasib Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Mereka sering dijadikan objek perdagangan manusia, termasuk perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan mertabat menusia, serta perlakuan lain yang melanggar HAM. Selayaknya mereka mendapatkan perlindungan optimal dari negara.
Perlindungan TKI melalui Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKILN) merupakan upaya untuk melindungi kepentingan calon TKI/TKI, baik sebelum, selama, maupun sesudah bekerja. Namun, konsep perlindungan yang ditawarkan UU PPTKILN cenderung direduksi menjadi sekadar penanganan kasus. Konsep perlindungan bagi TKI juga kurang memadai karena ketentuan di dalam UU PPTKILN lebih banyak mengatur bisnis penempatan TKI. Sebanyak 61 persen ketentuan UU PPTKILN mengatur bisnis penempatan TKI. Sedangkan yang mengatur perlindungan TKI sekitar tujuh persen.
Lebih ironi lagi, terdapat konsep perlindungan yang justru mengebiri TKI. “Perlindungan” macam apa jika yang terjadi justru sebaliknya? “Perlindungan” yang merugikan tak ubahnya sebuah “kezhaliman”.
“Perlindungan” dimaksud termaktub dalam ketentuan Pasal 59 UU PPTKILN yang menyatakan, “TKI yang bekerja pada pengguna perseorangan yang telah berakhir perjanjian kerjanya dan akan memperpanjang perjanjian kerja, TKI yang bersangkutan harus pulang terlebih dahulu ke Indonesia.”
TKI yang bekerja pada majikan perseorangan harus pulang ke Indonesia jika hendak mengurus perpanjangan Perjanjian Kerja (PK). Sementara bagi TKI yang bekerja selain pada pengguna perseorangan (instansi pemerintah badan hukum pemerintah), badan hukum swasta, tidak diwajibkan mudik untuk mengurus perpanjangan kontrak.
Ketentuan yang kontraproduktif dan meyulitkan posisi TKI yang bekerja pada majikan perseorangan. Bukankah mengurus perpanjangan kontrak lebih efektif jika dikuasakan kepada keluarga ataupun kuasa hukum. Terlebih lagi, TKI yang pulang ke Indonesia seringkali menjadi sasaran pungli oleh aparat. Birokrasi yang berbelit-belit juga menghambat TKI untuk kembali bekerja ke majikan yang sama. Sebab, dalam tenggang waktu tertentu, si majikan sudah terlanjur mempekerjakan orang lain.
Perlakuan berbeda antara TKI yang bekerja pada pengguna perseorangan dan TKI yang bekerja pada selain pengguna perseorangan cenderung diskriminatif. Padahal di mata hukum, keduanya berada pada kondisi setara. Keduanya harus mengurus visa dan keduanya terikat pada ketentuan jangka waktu PK.
Jika keduanya berada pada kondisi setara, kenapa harus diperlakukan berbeda. Selain itu, tiada alasan kuat yang mendukung kenapa harus diperlakukan berbeda. Maka sudah selayaknya “perlindungan” semacam ini harus dinyatakan bertentangan dengan konstitusi.

Nur Rosihin Ana
Editorial Majalah Konstitusi No. 93 november2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More