Malang nian nasib
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Mereka sering dijadikan objek
perdagangan manusia, termasuk perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan,
kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan mertabat menusia, serta
perlakuan lain yang melanggar HAM. Selayaknya mereka mendapatkan perlindungan
optimal dari negara.
Perlindungan
TKI melalui Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKILN) merupakan upaya
untuk melindungi kepentingan calon TKI/TKI, baik sebelum, selama, maupun
sesudah bekerja. Namun, konsep perlindungan yang
ditawarkan UU PPTKILN cenderung direduksi menjadi sekadar penanganan kasus.
Konsep perlindungan bagi TKI juga kurang memadai karena ketentuan di dalam UU
PPTKILN lebih banyak mengatur bisnis penempatan TKI. Sebanyak 61 persen
ketentuan UU PPTKILN mengatur bisnis penempatan TKI. Sedangkan yang mengatur perlindungan TKI
sekitar tujuh persen.
Lebih ironi lagi,
terdapat konsep perlindungan yang justru mengebiri TKI. “Perlindungan” macam
apa jika yang terjadi justru sebaliknya? “Perlindungan” yang merugikan tak
ubahnya sebuah “kezhaliman”.
“Perlindungan”
dimaksud termaktub dalam ketentuan Pasal 59 UU PPTKILN yang menyatakan, “TKI
yang bekerja pada pengguna perseorangan yang telah berakhir perjanjian kerjanya
dan akan memperpanjang perjanjian kerja, TKI yang bersangkutan harus pulang
terlebih dahulu ke Indonesia.”
TKI yang bekerja
pada majikan perseorangan harus pulang ke Indonesia jika hendak mengurus
perpanjangan Perjanjian Kerja (PK). Sementara bagi TKI yang bekerja selain pada
pengguna perseorangan (instansi pemerintah badan hukum pemerintah), badan hukum
swasta, tidak diwajibkan mudik untuk mengurus perpanjangan kontrak.
Ketentuan yang
kontraproduktif dan meyulitkan posisi TKI yang bekerja pada majikan
perseorangan. Bukankah mengurus perpanjangan
kontrak lebih efektif jika dikuasakan kepada keluarga ataupun kuasa hukum.
Terlebih lagi, TKI yang pulang ke Indonesia seringkali menjadi sasaran pungli
oleh aparat. Birokrasi yang berbelit-belit juga menghambat TKI untuk kembali
bekerja ke majikan yang sama. Sebab, dalam tenggang waktu tertentu, si majikan
sudah terlanjur mempekerjakan orang lain.
Perlakuan berbeda antara TKI yang bekerja pada
pengguna perseorangan dan TKI yang bekerja pada selain pengguna perseorangan
cenderung diskriminatif. Padahal di mata hukum, keduanya berada pada kondisi
setara. Keduanya harus mengurus visa dan keduanya terikat pada ketentuan jangka
waktu PK.
Jika keduanya berada pada kondisi setara, kenapa
harus diperlakukan berbeda. Selain itu, tiada alasan kuat yang mendukung kenapa
harus diperlakukan berbeda. Maka sudah selayaknya “perlindungan” semacam ini
harus dinyatakan bertentangan dengan konstitusi.
Nur Rosihin Ana
Editorial
Majalah Konstitusi No. 93 november2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar