Harmoni...

Jakarta, September 2010

Harmoni...

Jakarta, Desember 2010

Belahan jiwa

......

...Belahan jiwa...

......

ceria...

Jakarta, 8 Januari 2012

Nora Uzhma Naghata

Bogor, 24 Februari 2011

Nora Uzhma Naghata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Taman Safari Puncak

Bogor, 24 Februari 2011

Bandara Ahmad Yani

Semarang, 28 September 2011

Rileks

*********

Nur Rosihin Ana

Semarang, 19 Oktober 2010

Nur Rosihin Ana

mahkamah dusturiyyah, 18 Juli 2012

Nur Rosihin Ana

Hotel Yasmin, Puncak, Desember 2010

Nora Uzhma Naghata

Naghata

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Demak, 11 September 2011

Nur Rosihin Ana

Nagreg, Bandung 11 Juli 2011

Nora Uzhma Naghata, Sri Utami, Najuba Uzuma Akasyata, Nur Rosihin Ana

Sapa senja di Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Sapa Senja Jepara

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

...bebas, lepas...

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Kamis, 22 April 2010

PK Tak Menangguhkan Eksekusi Diuji di MK


(KI-KA) Hakim Maria Farida Indrati, Hakim H.M Akil Mochtar, dan Hakim Arsyad Sanusi sedang memeriksa Permohonan Pengujian UU Hukum Acara Pidana. Terlihat Ketua Majelis Hakim Panel (tengah) memberikan nasihat kepada Pemohon (Yusri Ardisoma) setelah membaca pokok-pokok Permohonan , Rabu (21/04) di Ruang Sidang Pleno MK.
Jakarta, MK Online - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau dikenal Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Rabu (21/4) di ruang pleno lt. II gedung MK. Persidangan perkara No.22/PUU-VIII/2010 ini dengan agenda pemeriksaan pendahuluan yang diajukan Yusri Ardisoma bin Urdiman.a
Pemohon tanpa didampingi kuasa hukum ini mendalilkan Pasal 268 ayat (1) dan penjelasan Pasal 268 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28I Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (5) UUD 1945.
Mantan kepala desa yang tersandung kasus korupsi kredit usaha tani (KUT) ini menganggap Pasal 268 ayat (1) yang berbunyi, "Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut.." merugikan Pemohon, karena tidak menjamin kepastian hukum yang adil, diskriminatif serta melanggar hak asasi manusia. "Saya sebagai terdakwa, ada penangguhan penahanan, trus banding, sekarang sedang kasasi, tapi kasasinya belum turun," kata Pemohon.
Dalam tuntutannya (petitum), Yusri meminta Mahkamah agar menerima dan mengabulkan permohonannya. Di samping itu, juga meminta Mahkamah menyatakan Pasal 268 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 268 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28I Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (5) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan  hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya.
Menanggapi permohonan, Panel Hakim yang memeriksa perkara ini, H.M. Akil Mochtar sebagai Ketua dan dua anggota Maria Farida Indrati dan Arsyad Sanusi menganggap kewenangan Mahkamah dalam permohonan sudah memenuhi syarat, termasuk kedudukan hukum Pemohon (legal standing), yaitu perorangan warga negara Indonesia. Sedangkan mengenai kerugian konstitusional, Akil mempertanyakan. "Kerugian Saudara adalah karena dengan pengajuan PK itu, hak Saudara menjadi dirugikan karena Saudara pernah ditahan, kemudian ditangguhkan, dan sekarang perkaranya dalam proses kasasi," jelas Akil.
Akil menilai belum ada kerugian konstitusional yang diderita Pemohon dengan berlakunya Pasal yang diujikan. "Apabila pasal ini dinyatakan tidak mempunyi kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah, maka apakah saudara tidak bisa dieksekusi karena Saudara mengajukan PK?" kata Akil.
Sementara itu, Anggota Panel Maria Farida Indrati menanyakan mengenai kepastian hukum yang dimaksudkan Pemohon. Lebih lanjut Maria menjelaskan, yang dimaksud kepastian hukum berarti upaya hukum sudah tertutup. "Kepastian hukum ini yang harus dijelaskan," papar Maria. Menurut Maria, PK itu diajukan jika ada ada alat bukti baru (novum). "Apakah Bapak punya bukti baru yang diajukan untuk PK ini?" tanya Maria. Permintaan PK juga tidak dibatasi dengan jangka waktu tertentu. "Jadi, kapan pun bisa," tandas Maria.
Sementara itu Anggota Panel Arsyad Sanusi menelusuri kasus pidana yang menimpa Yusri. Yusri divonis satu tahun penjara karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi. "Dulu waktu putusan pengadilan negeri, Saudara didakwa melakukan korupsi?" tanya Arsyad. "Ya," jawab Yusri singkat. "Setelah itu dihukum," lanjut Arsyad. "Dihukum satu tahun," jawab Yusri. Tidak puas dengan putusan PN, Yusri menyatakan Banding. Tapi putusan Banding justru menguatkan putusan sebelumnya. Setelah itu dia menyatakan Kasasi pada 2007. Yusri mengaku menjalani hukuman selama 4 bulan, kemudian memohon penangguhan penahanan.
Arsyad kemudian mengorek keterangan mengenai kasasi yang diajukan Yusri. "Kalau kasasi diajukan 2007, pasti sudah ada putusannya itu," selidik Arsyad. Yusri akhirnya mengakui kasasinya ditolak. Menurut Arsyad, hal inilah yang mendasari permohonan, bahwa PK sebagai upaya hukum luar biasa itu tidak menangguhkan eksekusi. Tatkala putusan kasasi turun, eksekutornya jaksa, sekalipun mengajukan PK. Arsyad kemudian menanyakan kerugian konstitusional Pemohon. "Apanya yang melanggar undang-undang dasar, sedangkan proses Saudara itu masih berlangsung," tanya Arsyad.   
Di akhir persidangan pemeriksaan pendahuluan, Ketua Majelis Hakim Panel Akil Mochtar memberi kesempatan Yusri untuk memperbaiki permohonan paling lambat 14 hari. (Nur Rosihin Ana)
readmore »»  

Rabu, 21 April 2010

Tidak Penuhi "Legal Standing", Permohonan Korban "Bailout" Bank Century Tidak Diterima

Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 145/PUU-VII/2009

Pemohon:
Sri Gayatri, Adhie M. Massardi, Agus Wahid, Agus Joko Pramono, Halim Dat Kui, M. Hatta Taliwang.
Pokok Perkara:
Pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang juncto Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UU 6/2009) dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (Perpu 4/2008).
Norma yang diuji:
Pasal 11 ayat (4) dan ayat (5) UU 6/2009, serta Perpu 4/2008
Norma UUD 1945 sebagai penguji:
Pasal 1 Ayat (3), Pasal 23 Ayat (1), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28G Ayat (1), Pasal 28H Ayat (2), Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945.
Amar Putusan:
Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima.
Tanggal Putusan:
20 April 2010


Sri Gayatri dkk. adalah nasabah Bank Century (BC) yang menyimpan uang di BC dalam bentuk deposito. Oleh pengelola dan/atau atas perintah dari pihak yang terafiliasi dengan BC, deposito tersebut dialihkan ke dalam bentuk Discretionary Fund PT Antaboga Delta Sekuritas Indonesia (ADS) yang nota bene adalah pemilik saham BC.
Pengalihan simpanan deposito tersebut dilakukan oleh pegawai dan/atau direksi BC, dan diproses di kantor BC. Mereka meyakinkan bahwa Discretionary Fund tersebut merupakan produk BC. Hal ini diperkuat dengan putusan Pengadilan Arbitrase Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Yogyakarta, yang menyatakan bahwa Bank Mutiara (semula Bank Century) bersalah dan harus mengembalikan uang konsumen nasabah BC dan/atau PT ADS.
Namun setelah BC diambil alih dan menerima bailout dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) berdasarkan Perpu 4/2008, BC tidak pernah memenuhi kewajibannya kepada nasabah, termasuk Sri Gayatri. Padahal BC sudah mendapat bailout sebesar Rp 6,7 triliun. Padahal, Pemohon sebagai nasabah pada Bank yang mengikuti program penjaminan simpanan nasabah bank oleh LPS, baik secara langsung maupun tidak langsung Pemohon ikut membayar premi penjaminan simpanan nasabah di LPS.
Implikasi dari Perpu 4/2008 yang diberlakukan terhadap BC, selanjutnya BC berganti pemegang saham, berganti direksi, dan berganti nama menjadi Bank Mutiara. Namun pergantian-pergantian tersebut justru mengaburkan dan menghilangkan hak-hak Sri Gayatri sebagai nasabah BC sehingga berpotensi menderita kerugian Rp. 69.000.000.000,- (enam puluh sembilan miliar rupiah).

Dalil Permohonan
Pemohon mendalilkan, berlakunya UU 6/2009 juncto UU 3/2004, khususnya Pasal 11 ayat (4) dan ayat (5), yang selanjutnya oleh Pemerintah (Presiden) digunakan sebagai dasar untuk menerbitkan Perpu 4/2008, menyebabkan hak-hak konstitusionalnya telah dilanggar dan dirugikan sebagaimana telah dijamin oleh UUD 1945, khususnya Pasal 28D ayat (1) Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2).
Pasal 11 ayat (4) dan ayat (5) UU 6/2009 juncto UU 3/2004, berbunyi: ayat (4) “Dalam hal suatu Bank mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan, Bank Indonesia dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi beban Pemerintah”.
Kemudian ayat (5) “Ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan mengenai kesulitan keuangan Bank yang berdampak sistemik, pemberian fasilitas pembiayaan darurat dan sumber pendanaan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diatur dalam Undang-Undang tersendiri”;
Pemerintah menerbitkan Perpu 4/2008 pada tanggal 15 Oktober 2008 yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengantisipasi kemungkinan situasi krisis keuangan yang berdampak sistemik dan mengantisipasi krisis keuangan global. Namun faktanya justru dengan keluarnya Perpu ini telah berdampak luas dan merugikan kepentingan para Pemohon, karena justru uang simpanan Sri Gayatri tidak dibayar oleh BC (Bank Mutiara).
Dalam Sidang Paripurna DPR RI pada tanggal 18 Desember 2008, DPR RI telah membuat keputusan bahwa Perpu 4/2008 tidak diterima. Dengan demikian, maka Perpu 4/2008 telah terbukti ditolak dan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat dan harus dicabut. Namun faktanya, Pemerintah tetap menganggap Perpu 4/2008 tidak atau belum pernah ditolak oleh DPR RI, dengan alasan bahwa DPR RI tidak secara nyata menyatakan menolak, karena sebagian fraksi ada yang menyatakan menolak, sebagian yang lain menyatakan menerima, bahkan ada fraksi yang menyatakan belum menerima.
Menurut Pemohon, norma Pasal 29 Perpu 4/2008 dapat mempersulit kontrol publik dan cenderung mengarah kepada penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan sempit, dan berpotensi merugikan para Pemohon, sehingga para perumus Perpu ini yakni Gubernur Bank Indonesia (BI), Menteri Keuangan, dan Presiden harus bertanggung jawab secara hukum.
Keberadaan Pasal 29 Perpu 4/2008 telah memberikan kewenangan berlebihan, karena akan melindungi para pembuat dan pengambil kebijakan (Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia) dari jeratan hukum, sehingga mengandung cacat konstitusional. Hal ini terbukti dengan telah dikucurkannya dana talangan (bailout) kepada BC yang semestinya tidak layak menerima. Hal mana kebijakan bailout tersebut telah merugikan hak-hak konstitusional dan kepentingan para Pemohon;
Selain itu, dalam Pasal 5 Perpu 4/2008 juga diatur mengenai pembentukan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang keanggotaannya terdiri dari Menteri Keuangan sebagai Ketua merangkap anggota dan Gubernur BI sebagai Anggota. Hal ini tentu dapat mengaburkan independensi BI, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU 3/2004 yang menyebutkan bahwa ”Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-undang ini”.

Legal Standing tidak Terpenuhi
Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 11 ayat (4) dan ayat (5) UU 6/2009 juncto UU 3/2004 dan Perpu 4/2008, khususnya dalam Pasal 29 yang memberikan kekebalan hukum (imunitas) terhadap KSSK yaitu Menteri Keuangan dan Gubernur BI atas tindakannya membuat keputusan atau kebijakan penyelamatan perbankan, sama sekali tidak berkaitan dengan hak konstitusional para Pemohon yang termaktub dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Selanjutnya, Mahkamah berpendapat, kerugian yang didalilkan oleh para Pemohon tidak bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, serta tidak ada hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan dengan berlakunya Pasal 11 ayat (4) dan ayat (5) UU 6/2009 juncto UU 3/2004 dan Pasal 29 Perpu 4/2008 yang dimohonkan pengujian.
Selain itu, menurut Mahkamah, tidak terdapat jaminan dengan dikabulkannya permohonan a quo, kerugian konstitusional seperti yang didalilkan oleh para Pemohon tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Sehingga Mahkamah berpendapat, para Pemohon tidak memenuhi syarat-syarat kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan MK Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007, untuk mengajukan permohonan, sehingga pokok permohonan para Pemohon tidak perlu dipertimbangkan.
Dalam putusannya Majelis Hakim Konstitusi menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima. Sidang Pleno Pengucapan Putusan perkara Nomor 145/PUU-VII/2009 ini dilakukan oleh Hakim Konstitusi yang terdiri Moh. Mahfud MD, selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, Maria Farida Indrati, Harjono, Muhammad Alim, M. Arsyad Sanusi, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Hamdan Zoelva, masing-masing sebagai Anggota. (Nur Rosihin Ana)
readmore »»  

Permohonan Korban Bailout Bank Century Tidak Diterima

Panitera MK Zainal Arifin Hoesein memberikan salinan Putusan kepada Kuasa Pemohon M. Farhat Abbas, seusai Sidang Pengucapan Putusan Pengujian UU Bank Indonesia dan JPSK, Selasa (20/04) di Ruang sidang Pleno MK.
Jakarta, MK Online - Mahkamah Konstitusi (MK) dalam amar putusannya menyatakan permohonan tidak dapat diterima atas uji materi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang, dan Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK), Selasa (20/4/2010), di ruang pleno gedung MK.
Para Pemohon, Sri Gayatri (korban dari bailout Bank Century) dan pemohon lainnya sebagai warga negara dirugikan hak konstitusionalnya oleh berlakunya Pasal 11 ayat (4) dan ayat (5) UU 6/2009, serta Perpu 4/2008 karena bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Dalam Pasal 11 ayat (4) dinyatakan, “Dalam hal suatu Bank mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan, Bank Indonesia dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi beban Pemerintah”. Kemudian ayat (5) menyatakan,“Ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan mengenai kesulitan keuangan Bank yang berdampak sistemik, pemberian fasilitas pembiayaan darurat dan sumber pendanaan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diatur dalam Undang-Undang tersendiri”

Berwenang Adili Perpu
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar, Mahkamah berpendapat, "Terhadap permohonan pengujian Undang-Undang in casu UU 6/2009, sesuai ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK juncto Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo," kata Akil di depan persidangan.
Sedangkan terhadap permohonan pengujian Perpu in casu Perpu 4/2008, lanjut Akil Mochtar, Mahkamah dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010 dalam pertimbangan hukum paragraf [3.13], Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, ”Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”.
Hak membuat peraturan sebagai pengganti UU tidak diberikan kepada DPR karena pembuatan peraturan di DPR memerlukan waktu yang cukup lama, melalui rapat-rapat di DPR sehingga kalau harus menunggu keputusan DPR kebutuhan hukum secara cepat mungkin tidak dapat terpenuhi.
"Pembuatan Perpu memang di tangan Presiden yang artinya tergantung kepada penilaian subjektif Presiden, namun demikian tidak berarti bahwa secara absolut tergantung kepada penilaian subjektif Presiden karena sebagaimana telah diuraikan di atas penilaian subjektif Presiden tersebut harus didasarkan kepada keadaan yang objektif yaitu adanya tiga syarat sebagai parameter adanya kegentingan yang memaksa," kata Akil Mochtar saat membacakan pertimbangan hukum putusan MK 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010.
Adapun ketiga syarat tersebut, lanjut Akil, adalah sebagai berikut, “(i) adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; (ii) Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; (iii) kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan,” tandas Akil.
Karena yang diujikan oleh para Pemohon adalah Perpu 4/2008 maka pertimbangan hukum Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Pebruari 2010 di atas, menurut Mahkamah, mutatis mutandis juga berlaku bagi pengujian Perpu yang diajukan oleh para Pemohon;

Tidak Ada Kerugian Spesifik dan Aktual
Namun berkenaan dengan legal standing (kedudukan hukum), pendapat Mahkamah yang dibacakan bergantian oleh Hakim Konstitusi Harjono dan Maria Farida Indrati menyatakan, kerugian yang didalilkan para Pemohon tidak bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, serta tidak ada hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan dengan berlakunya pasal yang diujikan tersebut.
Di samping itu, tidak terdapat jaminan dengan dikabulkannya permohonan, kerugian konstitusional seperti yang didalilkan oleh para Pemohon tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat, para Pemohon tidak memenuhi syarat-syarat kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan, sehingga menurut Mahkamah, pokok permohonan para Pemohon tidak perlu dipertimbangkan.
Sidang pengucapan putusan untuk perkara Nomor 145/PUU-VII/2009 ini dilakukan oleh Sembilan hakim konstitusi dan dihadiri Pemohon dan kuasanya, Pemerintah, dan DPR. (Nur Rosihin Ana)
readmore »»  

Senin, 19 April 2010

Menguji Konstitusionalitas Materi UU Penodaan Agama


Tujuh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan empat perorangan warga negara indonesia, pada 28 Oktober 2009 mendaftarkan permohonan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengujikan konstitusionalitas materi UU Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Ketujuh badan hukum privat dimaksud yaitu: Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Perkumpulan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Perkumpulan Pusat Studi Hak Asasi Manusia dan Demokrasi, Perkumpulan Masyarakat Setara, Yayasan Desantara (Desantara Foundation), dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Sedangkan bertindak sebagai Pemohon perorangan, yaitu mantan Presiden (alm.) K.H. Abdurrahman Wahid, Prof. Dr. Musdah Mulia, Prof. M. Dawam Rahardjo, dan K.H. Maman Imanul Haq.

Materi UU Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang diujikan yaitu Pasal 1, Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4a. Menurut para Pemohon, materi pasal dalam UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28I ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 29 ayat (2). Dalam amar putusan yang dibacakan pada Senin (19/04/2010), Mahkamah menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menurunkan UU yang mewajibkan setiap penyelenggara pendidikan mengajarkan agama sebagai suatu mata pelajaran, sesuai dengan agama masing-masing. Mengajarkan agama berarti mengajarkan kebenaran keyakinan agama kepada peserta didik, yaitu siswa dan mahasiswa. Praktik demikian pada kenyataannya telah berlangsung lama dan tidak dipersoalkan legalitasnya. Oleh karenanya, domain keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah domain forum internum yang merupakan konsekuensi penerimaan Pancasila sebagai dasar negara. Setiap propaganda yang semakin menjauhkan warga negara dari Pancasila tidak dapat diterima oleh warga negara yang baik.

Dalam pendapatnya, Mahkamah menyatakan, atas nama kebebasan, seseorang atau kelompok tidak dapat dapat mengikis religiusitas masyarakat yang telah diwarisi sebagai nilai-nilai yang menjiwai berbagai ketentuan perundang-undangan di Indonesia. Pasal-pasal penodaan agama tidak semata-mata dilihat dari aspek yuridis saja melainkan juga aspek filosofisnya yang menempatkan kebebasan beragama dalam perspektif keindonesiaan, sehingga praktik keberagamaan yang terjadi di Indonesia adalah berbeda dengan praktik keberagamaan di negara lain yang tidak dapat disamakan dengan Indonesia. Terlebih lagi, aspek preventif dari suatu negara menjadi pertimbangan utama dalam suatu masyarakat yang heterogen.

Dari sudut pandang HAM, kebebasan beragama yang diberikan kepada setiap manusia bukanlah merupakan kebebasan yang bebas nilai dan kebebasan an sich, melainkan kebebasan yang disertai dengan tanggung jawab sosial untuk mewujudkan HAM bagi setiap orang. Jadi pembatasan kebebasan itu sah asalkan melalui perundang-undangan dan itu juga tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Alasan dan Pendapat berbeda
Dalam pembacaan putusan ini, terdapat alasan berbeda (concurring opiniondari Hakim Konstitusi Harjono dan pendapat berbeda (dissenting opiniondari Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati. Harjono dalam alasannya menyatakan bahwa bahwa meskipun UUD 1945 menyatakan hak beragama sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non derogable right) namun kebebasan untuk memanifestasikan kepercayaan atau agama dapat dibatasi yaitu hanya dengan UU yang diperlukan untuk melindungi keselamatan umum, ketertiban, keselamatan atau moral dan untuk melindungi hak-hak fundamental dan kebebasan orang lain (vide Declaration on the Elimination of All of Intolerance and of Discrimination Based on Religion or Belief Article).

Hakim Konstitusi Maria Farida dalam pendapatnya menyatakan Berdasarkan pasal 38E, 28I, dan 29 UUD 1945, sebenarnya UUD 1945 saat ini sangat memberikan hak dan jaminan secara konstitusional, bahkan memberikan kepada setiap orang kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu, serta berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

Hak dan jaminan konstitusional itu dijamin pula dalam UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, 1/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan juga 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Secara yuridis jaminan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam rezim hukum di Indonesia dinyatakan dengan landasan yang sangat kuat, sehingga dengan demikian negara Republik Indonesia juga memiliki tanggung jawab dan kewajiban konstitusional untuk menjamin terpenuhinya hak-hak tersebut, khususnya hak setiap orang terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan. (Nur Rosihin Ana)
readmore »»  
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More