Harmoni...

Jakarta, September 2010

Harmoni...

Jakarta, Desember 2010

Belahan jiwa

......

...Belahan jiwa...

......

ceria...

Jakarta, 8 Januari 2012

Nora Uzhma Naghata

Bogor, 24 Februari 2011

Nora Uzhma Naghata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Taman Safari Puncak

Bogor, 24 Februari 2011

Bandara Ahmad Yani

Semarang, 28 September 2011

Rileks

*********

Nur Rosihin Ana

Semarang, 19 Oktober 2010

Nur Rosihin Ana

mahkamah dusturiyyah, 18 Juli 2012

Nur Rosihin Ana

Hotel Yasmin, Puncak, Desember 2010

Nora Uzhma Naghata

Naghata

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Demak, 11 September 2011

Nur Rosihin Ana

Nagreg, Bandung 11 Juli 2011

Nora Uzhma Naghata, Sri Utami, Najuba Uzuma Akasyata, Nur Rosihin Ana

Sapa senja di Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Sapa Senja Jepara

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

...bebas, lepas...

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Rabu, 11 Mei 2016

Ojek Online termasuk Angkutan Umum?

Kehadiran transportasi online memicu pro-kontra. Definisi angkutan umum, dinilai ambigu. Apakah ojek motor termasuk angkutan umum?

Perkembangan teknologi khususnya di bidang penyelenggaraan dan penyediaan angkutan umum telah berkembang pesat. Salah satu buktinya adalah munculnya sejumlah perusahaan berbasis aplikasi online yang memfasilitasi penyediaan jasa angkutan orang dan/atau barang kepada masyarakat Indonesia dengan menggunakan jaringan internet.
Munculnya teknologi berbasis aplikasi online tersebut pada perkembangannya telah secara nyata memberikan pilihan serta memfasilitasi masyarakat Indonesia dalam menggunakan dan memilih jenis angkutan umum di dalam kehidupan kesehariannya dengan biaya yang lebih terjangkau, disamping faktor kenyamanan, keamanan dan kemudahan. Hal ini kemudian secara langsung maupun tidak langsung menjadi alternatif solusi atas sejumlah permasalahan maupun kebutuhan masyarakat dalam menggunakan angkutan umum.
Namun demikian, eksistensi dari angkutan-angkutan berbasis aplikasi online pada perkembangannya saat ini justru membawa polemik baru di tengah kehidupan masyarakat. Muncul pro-kontra mengenai legalitas angkutan berbasis aplikasi online. Bahkan terdapat sejumlah tindakan dari Pemerintah, berupa kebijakan, yang berpotensi mengancam keberlangsungan operasi dari angkutan-angkutan berbasis aplikasi online. Padahal, setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan Ana
manfaat atas perkembangan teknologi. Hak konstitusional ini dijamin dan dilindungi di dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.
Demikian dalil permohonan uji materiil Pasal 138 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) terhadap Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Permohonan ini diajukan oleh dua advokat yakni M. Ridwan Thalib dan R. Artha Wicaksana. M. Ridwan Thalib menyerahkan permohonan uji materi UU LLAJ ini, pada 29 Maret 2016 pukul 13.31 WIB. Permohonan dilengkapi dengan bukti P-1 sampai P-12.
Setelah permohonan lengkap, Kepaniteraan Mahkamah meregistrasi permohonan dengan Nomor 41/PUU-XIV/2016 pada 28 April 2016. Selanjutnya Mahkamah menetapkan panel hakim yang memeriksa perkara ini, yakni trio Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Manahan MP Sitompul, serta didampingi Hani Adhani sebagai panitera pengganti. Mahkamah juga mengagendakan sidang pemeriksaan pendahuluan perkara ini pada 17 Mei 2016.
Para Pemohon yang merupakan konsumen angkutan umum, merasa tidak mendapatkan kepastian hukum terkait legalitas angkutan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu regulasi yang berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon adalah rumusan yang terdapat dalam Pasal 138 ayat (3) UU LLAJ.
Pemohon menegaskan bahwa permohonan sama sekali bukan bermaksud untuk menyerang kebijakan Pemerintah dalam mengatur penyediaan dan pelaksanaan pengangkutan orang dan/atau barang. Namun lebih kepada upaya untuk melindungi, mempertegas, serta menguatkan hak-hak kontitusional warga negara. Yaitu hak untuk mendapatkan kepastian hukum dan hak pemanfaatan teknologi dalam memilih dan menikmati penggunaan angkutan orang dan/atau barang yang seharusnya menjadi hak mutlak warga negara sebagai pengguna angkutan umum.

Definisi yang Ambigu
Rumusan UU LLAJ tidak mengatur secara tegas mengenai definisi frasa “Angkutan umum orang dan/atau barang”. Frasa ini pun hanya muncul pertama dan terakhir dalam Pasal 138 UU LLAJ.
Padahal kata “Angkutan” dalam Pasal 1 angka 3 UU LLAJ telah dimaknai secara pasti dan tegas yaitu, “Perpindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan Kendaraan di Ruang Lalu Lintas Jalan”. Namun patut disayangkan, frasa “Angkutan umum orang dan/atau barang” secara utuh tidak pernah didefinisikan secara tegas dan pasti.
Tidak adanya tafsir yang komprehensif terhadap frasa “Angkutan umum orang dan/atau barang” menyebabkan frasa tersebut menjadi ambigu. Para pihak yang terkait di bidang transportasi angkutan umum pun dapat secara bebas memberikan pemaknaan atau interpretasi terhadap frasa tersebut.
Misalnya, pendapat Regulator/Pemerintah cq Kemenhub yang secara implisit menyatakan penyediaan jasa “Angkutan umum” harus/wajib dilaksanakan oleh “Perusahaan Angkutan Umum”. Hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 139 Ayat (4) UU LLAJ yang menyatakan, “Penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau badan hukum lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Sedangkan definisi Perusahaan Angkutan Umum menurut ketentuan Pasal 1 angka 21 UU LLAJ menyebutkan “Badan Hukum yang menyediakan jasa angkutan orang dan/atau barang dengan Kendaraan Bermotor Umum.” Definisi Perusahaan Angkutan Umum menurut ketentuan ini, mengandung tiga unsur, yakni berbadan hukum, menyediakan jasa angkutan orang dan/atau barang, dan menggunakan Kendaraan Bermotor Umum. Namun ketika definisi Perusahaan Angkutan Umum tersebut dicermati lebih lanjut, maka terlihat jelas bahwa jasa yang disediakan oleh Perusahaan Angkutan Umum tersebut bukanlah Jasa Angkutan Umum tetapi Jasa angkutan orang dan/atau barang.
Sedangkan bersumber pada Pasal 137 ayat (1) UU LLAJ, jasa penyediaan angkutan orang dan/ atau barang, dapat pula dilaksanakan oleh siapapun, sehingga tidaklah harus dilaksanakan oleh Perusahaan Angkutan Umum. Pasal 137 ayat (1) menyatakan, “Angkutan orang dan/atau barang dapat menggunakan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor.”

Inkonsistensi Arti
Ambiguitas definisi dari “Angkutan umum orang dan/atau barang” menimbulkan ketidakpastian makna hukum secara substansial antara “angkutan orang dan/atau barang” dengan “angkutan umum orang dan/atau barang”. Hal ini mengundang beberapa pertanyaan, apakah yang dinamakan angkutan umum orang dan/atau barang(?); apakah perbedaan antara angkutan umum orang dan/atau barang dengan angkutan orang dan/atau barang(?); Siapakah yang dapat melakukan pengangkutan umum orang dan/atau barang(?); kemudian, kendaraan apakah yang dapat melakukan pengangkutan umum orang dan/atau barang(?)
Oleh karena itu, apabila di dalam praktiknya terdapat pihak-pihak yang bukan merupakan Perusahaan Angkutan Umum, namun melakukan penyediaan jasa angkutan orang dan/atau barang bagi warga masyarakat, hal tersebut tidak dapat langsung dinyatakan sebagai bentuk pelanggaran terhadap UU LLAJ. Sebab UU LLAJ tidak pernah secara tegas dan pasti memberikan pemaknaan frasa “Angkutan umum orang dan/atau barang”.

Kendaraan Bermotor Umum
Definisi “kendaraan” menurut ketentuan Pasal 1 angka 7 UU LLAJ yaitu, “Suatu sarana angkut di jalan yang terdiri atas Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor.” Definisi tersebut mengandung dua kategori umum yakni, Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor.
Pelaksanaan Angkutan umum orang dan/atau barang telah dibatasi pada Pasal 138 ayat (3) UU LLAJ, yang pada hakikatnya menyatakan proses pengangkutan umum hanya dilakukan oleh Kendaraan Bermotor Umum.
Namun pada faktanya, selain definisi dari “Angkutan umum orang dan/atau barang” tersebut absurd dan tidak jelas. Hal ini diperparah dengan kenyataan syarat untuk memenuhi definisi/makna dari Kendaraan Bermotor Umum ternyata juga bersifat multitafsir dan tidak pasti.
Lalu, apa syarat suatu kendaraan dapat diklasifikasikan sebagai Kendaraan Bermotor Umum? berrdasarkan uraian unsur dari Pasal 1 angka 10 UU LLAJ tersebut di atas, dapat disimpulkan, syarat mutlak dari Kendaraan Bermotor Umum haruslah memiliki sifat sebagai Kendaraan (baik sebagai Kendaraan Bermotor maupun Kendaraan Tidak Bermotor), yang digunakan sebagai angkutan orang dan/atau barang dan dalam proses pengangkutannya, Kendaraan tersebut memungut bayaran sebagai imbalan jasa.
Kendaraan berdasarkan ketentuan Pasal 47 ayat (1) UU LLAJ terdiri atas, Kendaraan Bermotor, dan Kendaraan Tidak Bermotor. Berdasarkan jenis Kendaraan Bermotor, Pasal 47 ayat (2) UU LLAJ menyebutkan yaitu, sepeda motor, mobil penumpang, mobil bus, mobil barang, dan kendaraan khusus. Sedangkan berdasarkan fungsinya, Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ mengelompokkan fungsi Kendaraan Bermotor terdiri atas, Kendaraan Bermotor perseorangan, dan Kendaraan Bermotor Umum. Sedangkan kelompok Kendaraan Tidak Bermotor dalam Pasal 47 ayat (4) UU LLAJ yaitu, Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga orang, dan Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga hewan.

Ojek Motor
Ketentuan Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ di atas, jelas dinyatakan, berdasarkan fungsinya, kendaraan bermotor dengan jenis sepeda motor tidak masuk di dalam klasifikasi Kendaraan Bermotor Umum maupun Kendaraan Bermotor perserorangan. Kendati demikian, masyarakat di Indonesia masih memanfaatkan sepeda motor sebagai salah satu jenis angkutan umum orang dan/atau barang. Masyarakat menyebutnya dengan Ojek Motor.
Masyarakat di Indonesia menggunakan sepeda motor atau ojek motor sebagai angkutan umum orang dan/atau barang di dalam kehidupan sehari-hari. Para Pemohon juga termasuk pengguna jasa ojek motor tersebut, baik digunakan untuk mengantar barang atau menjadi sarana transportasi.
Jika dicermati lebih seksama, sepeda motor atau ojek motor telah memenuhi definisi Kendaraan Bermotor Umum. Alasannya, pertama, sepeda motor masuk ke dalam jenis Kendaraan Bermotor sesuai ketentuan Pasal 47 ayat (2) Jo. Pasal 1 ayat (8) UU LLAJ. Kedua, sepeda motor digunakan untuk angkutan orang dan/atau barang. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 137 (2) UU LLAJ yang menyatakan pengangkutan orang dapat dilakukan oleh Kendaraan Bermotor berupa sepeda Motor, mobil penumpang, atau mobil bus. Ketiga, dipungut bayaran. Ojek motor memungut bayaran sebagai bentuk imbalan jasa pengangkutan orang dan/atau barang.
Berdasarkan unsur-unsur atas definisi Kendaraan Bermotor Umum di atas, maka ojek motor telah memenuhi syarat/unsur sebagai Kendaraan Bermotor Umum. Oleh karena itu, sepeda motor sudah sepatutnya juga dapat melakukan proses pengangkutan umum orang dan/atau barang.

Pemanfaatan Teknologi
Setiap warga negara, termasuk para Pemohon, memiliki hak untuk mendapatkan manfaat atas perkembangan teknologi. Hak konstitusional ini dijamin dan dilindungi di dalam Pasal 28C ayat 1 UUD 1945.
Perkembangan teknologi adalah suatu bagian dari perkembangan zaman yang tidak dapat dihindari (inevitable). Perkembangan teknologi kini juga menghampiri dunia transportasi/angkutan umum di Indonesia dengan dibuktikannya kemudahan-kemudahan proses pengangkutan orang dan/atau barang berbasis aplikasi telekomunikasi, informatika dan internet. Misalnya pemesanan tiket kereta api, pesawat, sewa mobil melalui website melalui telfon, e-mail, atau website, gadget.
Dalam beberapa tahun belakangan, pemesanan sewa kendaraan mobil (berikut supirnya) untuk jarak dan waktu tertentu di daerah Jakarta, Surabaya, Bandung dan kota besar lainnya melalui teknologi aplikasi online (android maupun Apple). Pembayaran sewa dapat dilakukan melalui kartu kredit (cashless transaction) maupun tunai. Begitu pula dengan pemesanan sewa motor roda dua.
Dampak teknologi tersebut di atas telah memberikan keuntungan bagi Pemohon. Pemohon mendapatkan rasa aman dalam berkendaraan karena kendaraan-kendaraan tersebut dilengkapi dengan fitur Global Positioning System. Pemohon juga merasa nyaman dalam memesan dan menikmati angkutan kendaraan tersebut karena pemesanan dapat dilakukan melalui gadget yang mana aplikasi pemesanan tersebut telah disediakan.
Selain itu, harga yang lebih ekonomis dan terjangkau dimana penumpang diberikan harga sewa kendaraan terbaik berdasarkan tingkat kemacetan dan jarak.
Namun pemerintah CQ Kemenhub, pada faktanya masih membatasi dan menghalangi Hak-Hak Konstitusional Pemohon dalam menikmati keuntungan-keuntungan yang bersumber pada hak atas pemanfaatan teknologi angkutan umum orang dan/atau barang berbasis teknologi aplikasi online, dengan bersumber pada argumen bahwa penyediaan sewa mobil/motor berbasis teknologi aplikasi online tidak memenuhi kualifikasi sebagai “Perusahaan Angkutan Umum” dan “Angkutan umum orang dan/atau barang” sekaligus kendaraan tersebut tidak termasuk sebagai kategori “Kendaraan Bermotor Umum” sebagaimana diatur dalam Pasal 138 ayat (3) UU No. 22/2009.
Hal tersebut tercermin dengan terbitnya surat permohonan pembokiran aplikasi Uber Taxi dan Grab Car oleh Kementrian Perhubungan dalam surat nomor AJ 206/1/1 PHB 2016 tertanggal 14 Maret 2016 oleh Kementrian Perhubungan yang ditujukan kepada Menteri Komunikasi dan Informatika. Kemudian Surat Pemberitahuan Nomor UM.3012/1/21/ Phb/2015 terkait Larangan Operasi untuk Go-Jek tertanggal 9 November 2015 oleh Kementrian Perhubungan.
Pemerintah CQ Kemenhub dalam 3 bulan terakhir, berpendapat penyedia penyewaan angkutan orang dengan mobil penumpang dengan basis teknologi aplikasi online haruslah berentitas Perusahaan Angkutan Umum sesuai ketentuan Pasal 1 angka 21 UU No. 22/2009 dan oleh karenanya kendaraan angkutan orang dan/atau barang haruslah masuk kategori sebagai Kendaraan Umum Bermotor (Pasal 1 angka 8 UU LLAJ).

Pemaknaan Ulang
Para Pemohon berkesimpulan bahwa agar rumusan Pasal 138 ayat (3) UU No. 22/2009 yang menyatakan: Angkutan umum orang dan/atau barang hanya dilakukan dengan Kendaraan Bermotor Umum”, sudah seharusnya untuk dimaknai ulang sebagai “Angkutan umum orang dan/atau barang dapat dilakukan dengan Kendaraan Bermotor Umum.” Bahwa dengan melakukan pemaknaan ulang terhadap Pasal 138 ayat (3) UU No. 22/2009 agar kata “hanya” menjadi kata “dapat”, semakin mempertegas dan memberikan kepastian hukum bahwasanya proses pengangkutan umum orang dan/atau barang dapat dilakukan dengan menggunakan Kendaraan diluar “Kendaraan Bermotor Umum”. Sehingga dalam hal ini, instrumen angkutan umum dan/atau barang akan bersifat pilihan (optional) bagi seluruh warga negara.
Pemaknaan ulang tersebut akan mengakomodir serta melingkupi seluruh jenis angkutan yang secara faktual berada dan dimanfaatkan oleh masyarakat agar dapat beroperasi dan memperoleh kepastian hukum, dengan mengedepankan kebutuhan, kenyamanan, keamanan bagi warga negara dalam menggunakan serta memanfaatkan segala jenis angkutan umum orang dan/atau barang dalam kehidupan kesehariannya. Pemaknaan ulang terhadap Pasal 138 ayat (3) UU LLAJ tidak akan memunculkan ketidakpastian hukum yang baru atau lebih jauh sehubungan pembebasan dan/atau perluasan mengenai apa yang dikategorikan sebagai angkutan umum orang dan/atau barang.
Pemaknaan ulang terhadap Pasal 138 ayat (3) UU LLAJ bukan untuk menghalangi, mengurangi bahkan menghilangkan peranan Pemerintah sebagai regulator dalam mengatur dan menyediakan sarana pengangkutan orang dan/atau barang. Namun lebih kepada upaya untuk melindungi, mempertegas serta menguatkan hak-hak kontitusional warga negara dalam mendapatkan hak atas kepastian hukum dan hak untuk mendapatkan manfaat atas perkembangan teknologi sebagaimana yang dijamin oleh konstitusi. Dengan demikian, pemaknaan ulang tersebut merupakan jalan keluar terbaik untuk menyelesaikan segala polemik dan kerugian konstitusional Para Pemohon yang telah dan/atau berpotensi terjadi sehubungan pelanggaran hak atas kepastian hukum dan hak untuk mendapatkan manfaat atas perkembangan teknologi sebagaimana yang dijamin oleh UUD NRI 1945.
Akhirnya, para Pemohon dalam petitum meminta kepada Mahkamah Menyatakan Pasal 138 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai, “Angkutan umum orang dan/atau barang dapat dilakukan dengan Kendaraan Bermotor Umum.”

Nur Rosihin Ana

Rubrik Catatan Perkara Majalah Konstitusi Nomor 111 • Mei 2016
readmore »»  

Selasa, 10 Mei 2016

Suara Difabel

Hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum adalah hak dasar (basic right) setiap warga negara yang dijamin oleh konstitusi. Seluruh produk peraturan perundang-undangan tentang Pemilu harus membuka ruang dan akses yang seluas-luasnya bagi setiap warga negara untuk dapat menggunakan hak pilihnya. Menghilangkan hak memilih bagi warga negara merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia.
Namun demikian, konstitusi juga memberikan batasan kepada setiap orang dalam menjalankan hak dan kebebasannya. Pembatasan ini ditetapkan dengan undang-undang. Adapun maksud dari pembatasan ini adalah semata-mata untuk menjamin hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil.
Di sekeliling kita, terdapat warga negara penyandang disabilitas, atau dikenal dengan istilah difabel (different ability). Penyandang disabilitas (disability) adalah orang yang mengalami keterbatasan diri.
Apakah mereka berhak memberikan suara atau memilih (right to vote) dalam Pemilu atau pemilihan kepala daerah? Ketentuan Pasal 57 ayat (3) huruf a UU Pilkada (UU Nomor 8 Tahun 2015) menyebutkan persyaratan bagi pemilih dalam pilkada. Yakni, “tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya”. Dengan kata lain, warga yang mengidap gangguan mental, tidak memenuhi syarat sebagai pemilih.
Ketentuan tersebut dinilai bersifat diskriminatif bagi pengidap disabilitas gangguan mental. Mereka kehilangan hak memilih untuk dapat berpartisipasi dalam memilih calon kepala daerahnya. Ketentuan tersebut juga dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum dalam proses pelaksanaan Pilkada, khususnya pada tahapan pemutakhiran dan pendaftaran pemilih.
Padahal psikososial atau disabilitas gangguan mental, bukanlah penyakit yang muncul terus menerus dan datang setiap saat. Terkadang gejala gangguan mental muncul pada dirinya. Saat gejala tersebut hilang, dia menjadi normal kembali. Bahkan orang yang bukan penyandang disabilitas pun suatu saat bisa sedih, marah-marah, hingga terganggu jiwanya.
Tidak dapat dipastikan kapan pengidap psikososial kambuh gejalanya. Begitu pula kapan hilangnya juga tidak dapat dipastikan. Bisa saja pengidap disabilitas gangguan mental dalam kondisi sehat saat pendaftaran pemilih.
Ketentuan dalam UU Pilkada tersebut dinilai diskriminatif. Terlebih lagi Indonesia sudah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak Penyandang Disabilitas. Pasal 29 Konvensi PBB tersebut menyebutkan partisipasi penyandang disabilitas dalam kehidupan politik dan publik. Negara harus menjamin hak politik penyandang cacat dapat berpartisipasi dalam kehidupan politik dan publik secara penuh dan efektif, baik secara langsung maupun melalui perwakilan yang dipilih secara bebas. Mereka memiliki hak dan kesempatan untuk memilih dan dipilih. Penyandang cacat juga harus mendapatkan jaminan kemudahan untuk mengakses dan menggunakan prosedur, fasilitas dan materi pemilihan.
Pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, cukup jelas tertoreh dalam konstitusi kita. Penyandang disabiltas berhak hidup sejajar dengan warga lainnya dalam segala bidang kehidupan, baik ekonomi, politik, sosial dan budaya. Kondisi disabilitas tidak boleh menjadi penyebab hilangnya harkat dan martabat seseorang.

Nur Rosihin Ana

Rubrik Editorial Majalah Konstitusi Nomor 111 • Mei 2016
readmore »»  
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More