Harmoni...

Jakarta, September 2010

Harmoni...

Jakarta, Desember 2010

Belahan jiwa

......

...Belahan jiwa...

......

ceria...

Jakarta, 8 Januari 2012

Nora Uzhma Naghata

Bogor, 24 Februari 2011

Nora Uzhma Naghata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Taman Safari Puncak

Bogor, 24 Februari 2011

Bandara Ahmad Yani

Semarang, 28 September 2011

Rileks

*********

Nur Rosihin Ana

Semarang, 19 Oktober 2010

Nur Rosihin Ana

mahkamah dusturiyyah, 18 Juli 2012

Nur Rosihin Ana

Hotel Yasmin, Puncak, Desember 2010

Nora Uzhma Naghata

Naghata

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Demak, 11 September 2011

Nur Rosihin Ana

Nagreg, Bandung 11 Juli 2011

Nora Uzhma Naghata, Sri Utami, Najuba Uzuma Akasyata, Nur Rosihin Ana

Sapa senja di Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Sapa Senja Jepara

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

...bebas, lepas...

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Kamis, 31 Maret 2011

Pemerintah: Mempertentangkan UU PBB dengan UU Perikanan Bukan Ranah MK

Jakarta, MKOnline - Pengujian konstitusional materi UU 12/1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB), kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (30/3/2011). Sidang Pleno untuk perkara 77/PUU-VIII/2010 ini mengagendakan mendengar keterangan Pemerintah dan Ahli Pemohon.

Permohonan ini diajukan oleh PT West Irian Fishing Industries, PT Dwi Bina Utama, PT Irian Marine Product Development, dan PT Alfa Kurnia. Para Pemohon mengujikan Pasal 4 ayat (1) UU PBB yang menyatakan: ““Yang menjadi Subyek Pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.”

Menurut para Pemohon, berlakunya ketentuan tersebut berdampak munculnya beban pungutan berganda yaitu PBB dan pungutan bukan pajak. Ketentuan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil, sehingga menurut para Pemohon, Pasal 4 ayat (1) UU PBB bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

Pemerintah melalui Dirjen Pajak dalam keterangannya menyatakan para Pemohon tidak dapat mengonstruksikan kerugian konstitusional akibat berlakunya norma yang diujikan. ”Para Pemohon tidak secara tegas dan jelas menguraikan kerugian konstitusionalitas yang dialami, baik yang bersifat aktual maupun potensial atas berlakunya norma yang dimohonkan untuk diuji tersebut,” tegas Dirjen Pajak Dr. Fuad Rahmany di hadapan Pleno Hakim MK.

Fuad mendalilkan Pasal 23A UUD 1945 mengamanatkan bahwa segala pengenaan beban pajak kepada rakyat harus dituangkan dalam UU. Penjabaran Pasal 23A UUD 1945 ini dibuktikan dengan terbitnya berbagai UU di bidang perpajakan yaitu, UU 6/1983, UU 7/1983, UU 8/1983, UU 19/1997, UU 13/1985, dan UU 12/1985. “Bahwa perundang-undangan di bidang perpajakan tersebut, termasuk Undang-Undang PBB, telah memuat ketentuan yang jelas, tegas, dan tidak mengandung arti ganda, atau memberikan peluang atau ditafsirkan lain. Bahkan, dalam Undang-Undang PBB telah diatur secara jelas dan tegas mengenai objek, subjek, tarif, dan sanksi,” papar Fuad Rahmany.

Pemerintah melalui Dirjen Pajak lebih jauh menanggapi permohonan mengenai kerugian akibat pemberlakuan pajak berganda, yaitu pengenaan PBB Usaha Bidang Perikanan berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) UUD PBB dan Pasal 48 Ayat (1) UU 31/2004 tentang Perikanan (UU Perikanan). Para Pemohon berpendapat, pungutan atas hasil produksi usaha perikanan lebih tepat dikenakan berdasarkan UU perikanan, dan bukan berdasarkan UU PBB.

Menurut Pemerintah, para Pemohon secara tidak langsung mempertentangkan antara UU PBB dengan UU Perikanan. Sehingga Pemerintah berpendapat, pengujian UU terhadap UU bukanlah merupakan objek yang dapat diajukan uji materiil di MK. “Seandainya pun benar (quad non), dalam penerapan ketentuan kedua undang-undang tersebut terdapat pertentangan, hendaknya para Pemohon mengajukan permohonan melalui mekanisme legislative review dan bukan constitutional review,” tegas Fuad Rahmany.

Berdasarkan ketentuan Pasal 4 Ayat (1) UU PBB, kata Fuad, subjek PBB termasuk orang atau badan yang menguasai dan atau peroleh manfaat atas perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia. Ketentuan tersebut berlaku bagi semua orang atau badan tanpa diskriminasi. “Sangatlah tepat apabila para Pemohon selaku perusahaan di bidang penangkapan ikan menjadi subjek PBB,” simpul Fuad.

“Oleh karena itu, Pemerintah mohon agar Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi memutuskan untuk menyatakan permohonan para Pemohon dalam pengujian Pasal 4 ayat (1) UU PBB terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima,” pinta Fuad Rahmany di ujung paparannya.

Ketentuan Tak Jelas

Berbeda dengan keterangan Pemerintah, Dr. Dwi Andayani Budisetyowati, S.H.,M.H. yang didapuk Pemohon sebagai Ahli mengatakan ketentuan dalam UU PBB kurang jelas. Sebab  peraturan pelaksanaannya mulai dari Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan, Keputusan Dirjen dan Surat Edaran Dirjen Keuangan, sama sekali tidak menyebut Usaha Perikanan. “Tidak ada satu pun judul yang menyebut-nyebut soal areal laut, artinya, usaha perikanan”, papar Dwi Andayani.

Ahli Pemohon selanjutnya, Arif Satria, menyontohkan tiga model fishing right di yang berlaku di Jepang. Pertama common fishing right yaitu kegiatan perikanan berupa penangkapan dengan jaring. Kedua, set net fishing right, penangkapan menggunakan jaring tapi bersifat statis. Ketiga, demarcated fishing right yaitu kegiatan budidaya kelautan. “Jadi setiap nelayan memiliki titik-titik ordinat tertentu bahwa misalnya si A akan memiliki titik ordinat sekian untuk mengembangkan perikanan budidaya,” terang Arif.

Arif Satria yang juga Anggota Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumber Daya Ikan ini dalam paparannya menyatakan, perikanan tangkap memang dihadapkan pada kondisi bahwa laut adalah sebuah common goods, dimana ciri-ciri common goods adalah high revellery dan low excludability. “Jadi izin yang dilakukan oleh pemerintah adalah izin pada satuan wilayah tertentu pada WPOP, yang kemudian dengan WPOP yang seluas itu untuk sekian jumlah kapal dan sekian jumlah pelaku,” terang Arif. Kegiatan perikanan tangkap pada intinya bukanlah merupakan kegiatan yang para pelakunya mendapatkan exclusive right.

Arif juga membeberkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari hasil perikanan. Tahun 2005, PNBP hasil perikanan Rp. 293 Miliar, tahun 2006 Rp. 215 Miliar, tahun 2007 Rp. 134 Miliar, tahun 2008 Rp. 104 Miliar, dan 2009 Rp. 90 Miliar. “Saya melihat makin lama makin menurun. Ini karena terkait dengan kondisi perikanan yang seperti itu, apalagi dengan kebijakan BBM yang luar biasa tingginya, maka banyak perusahaan-perusahaan yang gulung tikar, dan kemudian menyebabkan sumbangan sektor perikanan terhadap PNBP menjadi menurun. Dan saya perkirakan 2010 dan 2011, semakin turun lagi,” beber Arif. (Nur Rosihin Ana/mh)

readmore »»  

Rabu, 30 Maret 2011

Pemerintah: Sertifikasi Veteriner dan Halal Tidak untuk Daging Anjing dan Babi

Jakarta, MKOnline - Sertifikasi veteriner tidak dilakukan terhadap daging anjing. Sebab menurut ketentuan Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (Office Internationale des Epizooties, OIE) dan Codex Alimentarius Commission (CAC), daging anjing tidak termasuk hewan potong untuk dikonsumsi manusia. Anjing termasuk kategori hewan kesayangan atau pet animal. Apabila daging anjing dikonsumsi oleh manusia, menurut OIE dan CAC dianggap melanggar prinsip kesejahteraan hewan atau animal welfare.
Begitu juga sertifikasi veteriner tidak dilakukan terhadap penjualan eceran daging babi tapi dilakukan pada unit usaha peternakan. “Sertifikasi veteriner terhadap babi dilakukan terhadap sistem produksi di unit usaha peternakannya yang harus memenuhi ketentuan kesehatan masyarakat veteriner, syarat kesehatan lingkungan dan perkandangan, tidak dilakukan terhadap penjualan eceran daging babi.”
Demikian simpulan keterangan Pemerintah yang disampaikan oleh Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, drh. Prabowo Respatiyo Caturroso,M.M.,Ph.D. di hadapan majelis Sidang Panel Khusus Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (29/3/2011). Keterangan ini merupakan tanggapan Pemerintah atas pengujian konstitusionalitas Pasal 58 Ayat (4) UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang dimohonkan oleh Deni Juhaeni, I. Griawan Wijaya, Netty Retta Herawaty Hutabarat, dan Bagus Putu Mantra.
Para pemohon yang berprofesi sebagai pedagang telur ayam, pedagang daging babi, pedagang daging anjing, dan peternak babi ini menyatakan hak-hak konstitusionalnya dirugikan akibat berlakunya Pasal 58 ayat (4) UU 18/2009 yang menyatakan: "Produk hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk diedarkan wajib disertai Sertifikat Veteriner dan Sertifikat Halal." Ketentuan tersebut menurut para Pemohon bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945.
Sidang perkara Nomor 2/PUU-IX/2011 ini dilaksanakan oleh Panel Khusus Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati sebagai Ketua Panel Khusus, didampingi Anggota Panel Khusus M. Akil Mochtar, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi dan Hamdan Zoelva.
Menurut Prabowo, usaha yang dijalani Pemohon 1, tidak termaksuk kategori jenis usaha yang diatur dalam Pasal 58 ayat (4) UU Peternakan dan Kesehatan Hewan. Sehingga berlakunya ketentuan pasal dan ayat tersebut tidak menimbulkan kerugian konstitusional bagi para Pemohon 1. yang berprofesi sebagai pedagang telur.
Sedangkan untuk Pemohon 2, Pemohon 3, dan Pemohon 4, yang masing-masing sebagai pedagang daging babi, pedagang daging anjing dan peternak babi, tidak mungkin usahanya disertai sertifikat halal sebagaimana Pasal 58 Ayat (4) UU Peternakan dan Kesehatan Hewan. Hal ini, lanjut Prabowo, sesuai dengan kriteria General Guidelines for Use of the Term “Halal” CAC/GL 24-1997.
Pengertian halal dalam ketentuan Pasal 58 Ayat (4) hanya ditujukan kepada hewan dan produknya yang dipersyaratkan. “Para pemohon sendiri menyatakan bahwa produk-produk yang dijualnya sebagai tidak halal,” tandas Prabowo.
Pemohon, kata Prabowo, kurang jeli memahami ketentuan pasal. “Pemohon seharusnya memperhatikan bahwa ketentuan Pasal 58 Ayat (4) UU Peternakan dan Kesehatan Hewan tidak berdiri sendiri, namun, berkaitan dengan Ayat (6) yang menyatakan, ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri Pertanian,” lanjutnya.

Implikasi Negatif
Pemerintah menanggapi permohonan uji materi ini justru berfikir sebaliknya. Sebab, jika ketentuan Pasal 58 Ayat (4) jika dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat, dikhawatirkan akan menimbulkan implikasi negatif yaitu, tidak ada jaminan keamanan dan kesehatan pangan bagi produk hewan yang diproduksi di/dan/atau dimasukkan ke wilayah RI untuk diedarkan.
Kemudian, kekhawatiran terjadinya disharmoni hukum, implikasi benturan antar UU karena penyusunan UU Peternakan dan Kesehatan Hewan mempertimbangkan semua produk UU yang telah diundangkan, antara lain UU 16/1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan, UU 7/1994 tentang Pengesahan Agreement Assembling the World Threat Organization, UU 7/1996 tentang Pangan, dan UU Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Sedangkan implikasi negatif lainnya yaitu terjadinya konflik horisontal antar pemeluk agama yang berbeda.
Berdasarkan dalil-dalil yang disampaikan dalam paparan Prabowo, Pemerintah berharap Mahkamah dalam putusannya berkenan menolak permohonan Para Pemohon seluruhnya. (Nur Rosihin Ana/mh)

readmore »»  

Jumat, 25 Maret 2011

Dari Proses Pemilukada Gowa, Uji Materi UU Sisdiknas Bermula

Jakarta, MKOnline – Bermula dari kekalahan dalam pesta demokrasi Pemilukada Kab. Gowa Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2010, pasangan Andi Maddusila Andi Idjo-Jamaluddin Rustam kemudian ajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mahkamah dalam putusannya pada (27/7/2010) menyatakan permohonan pasangan ini tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) karena melewati tenggat waktu yang telah ditentukan.
Saat itu, pasangan Andi Maddusila Andi Idjo-Jamaluddin Rustam antara lain mendalilkan Ichsan Yasin Limpo tidak dapat membuktikan syarat formal pendidikannya, yaitu ijazah asli yang menjadi persyaratan calon. Pemohon meragukan validitas ijazah yang dilampirkan Yasin Limpo saat itu.
Mantan cabup Gowa ini kembali berperkara di MK tanpa didampingi pasangannya, karena kehadirannya kali ini memang tidak mempersoalkan kekalahan dalam Pemilukada lalu. Namun dalil yang diusung Andi dalam permohonan, terkait dengan proses tahapan pencalonan Pemilukada Gowa yaitu mengenai surat keterangan pengganti ijazah yang digunakan salah satu calon. Andi mengujikan konstitusionalitas materi UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).
Persidangan kedua yang digelar MK pada Kamis (24/3/2011) ini mengagendakan pemeriksaan perbaikan permohonan perkara Nomor 14/PUU-IX/2011. Melalui kuasa hukumnya, Kriya Amansyah, Andi Maddusilla melakukan perbaikan permohonannya sesuai saran Majelis Hakim pada sidang pendahuluan (23/2/2011). Selanjutnya, majelis hakim akan membawa perkara ini ke Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). “Proses berikutnya akan dibawa ke RPH, dan akan ditentukan nasib persidangan berikutnya,” kata Ketua Panel Harjono.
Kendati demikian, Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva sarankan penyempurnaan petitum Pemohon poin 2. “Petitum poin 2 harus terlebih dulu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” saran Hamdan. Perbaikan permohonan itu, kata Hamdan, bisa langsung direnvoi dengan tulisan tangan. “Jadi karena sudah tidak ada lagi waktu untuk perbaikan, saudara renvoi saja ya,” lanjut Hamdan.        
Sebagaimana dalam sidang pendahuluan yang digelar MK, Rabu (23/2/2011), Kriya Amansyah dalam permohonannya mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar akibat berlakunya Pasal 61 ayat (1) UU Sisdiknas yang menyatakan “Sertifikat berbentuk ijazah dan sertifikat kompetensi”. Pasal ini, menurutnya, bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) dan Pasal 31 Ayat (1) UUD 1945.
Andi  mendalilkan, saat tahapan Pemilukada Gowa, KPU Kab. Gowa meloloskan salah satu pasangan calon yang menggunakan surat keterangan pernah sekolah sebagai pengganti ijazah tanpa melakukan verifikasi kepada lembaga pendidikan yang mengeluarkan surat keterangan tersebut. Menurut Andi, hal tersebut telah mencoreng dunia pendidikan karena tidak mengacu pada Pasal 61 ayat (1) UU Sisdiknas. Ketentuan Pasal 61 ayat (1) UU Sisdiknas merupakan pasal yang potensial dikualifikasikan merugikan alumni peserta didik yang telah menempuh jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi serta telah menempuh ujian akhir  termasuk Pemohon. (Nur Rosihin Ana/mh)
readmore »»  

Rabu, 16 Maret 2011

Bukan Anggota Organisasi Satu-Satunya, Advokat Tak Bisa Praktik

Jakarta, MKOnline - Konstruksi norma hukum yang terbangun dari Pasal 28 ayat (1), Pasal 30 ayat (2) dan Pasal 32 ayat (3), (4) UU 18/2003 tentang Advokat (UU Advokat)  adalah bahwa setelah berlakunya UU tersebut yakni setelah tahun 2003, setiap advokat tidak lagi boleh mendirikan atau bergabung dengan organisasi profesi baru dan setiap advokat harus menjadi anggota organisasi advokat satu-satunya tersebut. Dengan kata lain, tidak ada advokat yang tidak menjadi anggota organisasi advokat tersebut. Bila seorang advokat tidak bergabung dalam organisasi advokat satu-satunya tersebut, maka ia tidak bisa menjalankan praktek profesi advokat.

Demikian dikatakan Todung Mulya Lubis  saat didaulat menjadi Ahli Pemohon dalam sidang uji konstitusionalitas materi UU Advokat yang digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (15/3/2011), di Ruang Sidang Pleno MK. Dalam sidang dengan agenda mendengarkan keterangan Ahli Pemohon dan Ahli Pihak Terkait ini, tiga perkara sekaligus disidangkan MK, yakni perkara Nomor 66/PUU-VIII/2010, 71/PUU-VIII/2010, serta 79/PUU-VIII/2010. Sebanyak 24 warga negara yang berprofesi sebagai advokat tercatat sebagai pemohon dalam tiga perkara ini, di antaranya Frans Hendra Winarta, Nursyahbani Katjasungkana, H. F. Abraham Amos, S.F. Marbun, Husen Pelu, dan pemohon lainnya.

Pendirian organisasi advokat yang dianggap sebagai satu-satunya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) UU Advokat tersebut, yakni Peradi, menurut Todung, tidak ‘elected by it’s members’ melainkan berdasarkan kesepakatan bersama pimpinan 8 organisasi advokat yang ada saat itu. “Maka hal ini juga bertentangan dengan, ataupun dengan kata lain tidak memenuhi standar profesi advokat yang ditetapkan PBB melalui Pasal 24 UN Basic Principles,” kata Todung.

Selanjutnya Ahli Pemohon Teguh Samudra dalam paparannya menyatakan, materi pokok yang terpenting dalam UU Advokat adalah mengenai pengakuan bahwa advokat adalah penegak hukum yang bebas dan mandiri dan dijamin oleh UU. Untuk menjaga kemandiriannya, advokat mengatur dan mengurus sendiri profesinya dalam satu organisasi profesi advokat, tanpa campur tangan dan kontrol dari kekuasaan pemerintah. “Dengan demikian, tidak boleh organisasi advokat dibentuk hanya oleh beberapa orang pengurus dari organisasi advokat yang ada, yang kemudian mengklaim pembentukan tersebut sah dan benar karena untuk dan atas nama para anggota dari masing-masing organisasi, kemudian memproklamirkan sebagai satu-satunya organisasi advokat yang sah,” tegas Teguh.

Ahli Pemohon selanjutnya, Fajrul Falaakh dalam presentasinya antara lain memaparkan, UU Advokat membatasi hak advokat untuk berserikat membentuk professional self governing bar. UU Advokat menurut Fajrul, mengandung arti kewajiban dan larangan. “Jadi, bukan hanya mewajibkan para advokat masuk dalam integrated bar, tetapi juga sekaligus melarang para advokat mendirikan dan menjadi anggota organisasi advokat yang lain.“ terang Fajrul.

Melindungi Masyarakat
Sementara itu, Ahli Pihak Terkait Peradi, Abdul Hakim Garuda Nusantara mengatakan, pengaturan organisasi profesi melalui UU, tidak mempunyai kaitan dengan masalah kebebasan berserikat karena fungsi publik yang bersifat spesifik yang diemban oleh organisasi profesi. “Yang sesungguhnya hendak dilindungi oleh undang-undang itu adalah masyarakat luas agar diperoleh pelayanan jasa profesi yang bermutu dan dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga masyarakat pengguna atau konsumen jasa profesi itu terlindungi dari kemungkinan tirani profesi atau kesewenang-wenangan oleh penyelenggara jasa profesi,” jelas Abdul Hakim.

Lebih lanjut Abdul Hakim mengatakan, Pasal 28 ayat (1) juncto Pasal 32 ayat (4)  juncto Pasal 30 ayat (2) UU Advokat, jelas dan terang tidak dimaksudkan untuk mengurangi atau membatasi hak atas kebebasan berserikat. Pasal-pasal tersebut bagaikan lampu Kristal, merupakan suatu kebijakan hukum, a legal policy  yang dimaksudkan untuk mengatur pencapaian standar profesi advokat bagi terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan. Di situlah fungsi publik yang spesifik, dari organisasi profesi advokat. “Dengan demikian, isu hak atas berserikat menjadi tidak relevan, non isu, ketika dihadapkan dengan fungsi publik yang spesifik, organisasi profesi advokat,” lanjutnya.(Nur Rosihin Ana/mh)

readmore »»  

Sabtu, 12 Maret 2011

Tiada Kerugian Konstitusional, Uji Soal PK Tidak Diterima

Jakarta, MKOnline - Ada atau tidak adanya permohonan peninjauan kembali (PK), tidak menghalangi pelaksanaan putusan demi kepastian hukum yang adil. Asas tersebut justru mengimplementasikan prinsip negara hukum.
Demikian diantara pertimbangan hukum MK dalam gelar sidang pengucapan putusan perkara Nomor 22/PUU-VIII/2010 mengenai uji materi UU 8/1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Jum’at (11/3/2011), bertempat di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Permohonan diajukan oleh Yusri Ardisoma Bin Urdiman. Pria kelahiran Subang, Jawa Barat, ini menguji konstitusionalitas Pasal 268 ayat (1) KUHAP. Yusri mendalilkan hak konstitusionalnya yang dijamin oleh Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28I Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (5) UUD 1945 telah dilanggar dengan berlakunya Pasal 268 ayat (1) UU tersebut.
Yusri beralasan, berdasarkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Subang Nomor 214/Pid/B/2006/PN.Sbg, bertanggal 28 Mei 2007, dia dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana korupsi. Kemudian, berdasarkan putusan tersebut, Yusri mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Bandung yang putusannya menguatkan Putusan PN Subang. Setelah itu, Yusri mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Menurut Yusri, Pasal 268 ayat (1) KUHAP yang menyatakan: ”Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari suatu putusan tersebut”, telah merugikan hak konstitusionalnya. Sebab, berdasarkan pasal tersebut, harus ada eksekusi terhadap dirinya. Di sisi lain, Yusri sedang melakukan upaya hukum kasasi. Jika kasasi dikabulkan, sementara dia sudah menjalani hukuman, hal tersebut hanya merehabilitasi hak-hak dan martabatnya. Sedangkan penderitaan lahir batin dan keluarga sudah tidak bisa dipulihkan lagi.
Mahkamah dalam pertimbangan hukum menyatakan, pasal 268 ayat (1) KUHAP mengatur tentang pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, meskipun terhadap putusan tersebut terdapat upaya hukum PK. Dengan kata lain bahwa pasal tersebut meneguhkan suatu asas bahwa putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, harus dilaksanakan.
Oleh sebab itu, menurut Mahkamah, pasal yang dimohonkan pengujian tidak menimbulkan kerugian konstitusional baik yang bersifat spesifik (khusus) maupun yang bersifat aktual, serta tidak ada hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya pasal yang dimohonkan pengujian. Apalagi secara fakta, Pemohon sedang melakukan upaya hukum kasasi atas Putusan Pengadilan Tinggi Bandung.
PK merupakan upaya hukum luar biasa yang dapat ditempuh oleh terpidana atau ahli warisnya atas putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sesuai dengan syarat yang ditentukan di dalam UU dan tanpa dibatasi jangka waktunya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 264 ayat (3) KUHAP.
Oleh karena itu, apabila ketentuan Pasal 268 ayat (1) tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, baik terhadap terpidana dan ahli warisnya maupun bagi hukum itu sendiri. Kalau pun terdapat permasalahan, hal tersebut bukan masalah konstitusionalitas norma, tetapi masalah implementasi suatu norma.
Dalam konklusinya, Mahkamah menyatakan berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tersebut. Namun, karena Pemohon tidak memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing), maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan. (Nur Rosihin Ana/mh)

readmore »»  

Jumat, 11 Maret 2011

Tak Miliki Legal Standing, Permohonan Uji KUHAP Tidak Diterima

Jakarta, MKOnline - Mahkamah tidak menemukan adanya kerugian yang dialami para Pemohon karena adanya norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujian, tetapi karena para Pemohon merasa mendapatkan tindakan sewenang-wenang akibat berlarut-larutnya penahanan terhadap para Pemohon karena tidak segera diajukan ke sidang pengadilan.
Demikian pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi (MK) dalam gelar sidang pengucapan putusan perkara nomor 41/PUU-VIII/2010 mengenai uji materi UU 8/1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (UU KUHAP), pada Kamis (10/3/2011), di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima.
Permohonan diajukan oleh Chairulhadi, Afdal Azmi Jambak, Yanto Kurniawan, Carmadi, Sugeng Hari Santoro, Fransiskus Januarta, Dede Kusmanto, Ryan M, Andi W, Robby Sugiharto, Kamari, Oktavian, Riang Ayus A, Sigit P, Siperianto, Ely Irwan Harahap, Ahmad Zulpan Daulay, dan Tedung Siahaan. Para Pemohon mengujikan konstitusionalitas Pasal 21 ayat (1), Pasal 24 ayat (2), Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28 ayat (2), Pasal 29 ayat (2) UU 8/1981 tentang KUHAP.
Para Pemohon mendalilkan telah mengalami kerugian konstitusional dengan berlakunya pasal-pasal dalam UU KUHAP. Dengan pasal-pasal dalam UU tersebut, Bareskrim Polri selaku penyidik perkara pidana telah menangkap dan menahan para Pemohon secara sewenang-wenang selama 20 hari yang kemudian diperpanjang oleh Kejaksaan sebagai penuntut umum selama 40 hari, dilanjutkan penahanan oleh Kejaksaan dan selanjutnya oleh Pengadilan Negeri.
Menurut para Pemohon, Penyidik tidak melakukan optimalisasi penyidikan, tetapi hanya semata-mata melakukan penahanan tanpa tujuan yang jelas, sehingga para Pemohon hanya menunggu ketidakpastian pelimpahan berkas perkara untuk disidangkan oleh pengadilan. Tindakan penahanan telah merugikan hak konstitusional para Pemohon berdasarkan Pasal 28A UUD 1945, karena para Pemohon dihukum sebelum dibuktikan kesalahannya dalam proses persidangan di pengadilan dan ditahan dengan masa perpanjangan yang berulang-ulang tanpa dilakukan lagi proses penyidikan yang maksimal untuk segera melimpahkan berkas perkara ke tahap selanjutnya.
Di samping itu, tindakan penahanan dan perpanjangan penahanan mengakibatkan kerugian hak konstitusional para Pemohon atas kepastian hukum yang adil sebagai prasyarat yang tidak dapat dipisahkan dari negara hukum, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Menurut Mahkamah, tindakan penangkapan dan penahanan dalam perkara pidana terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah tindakan yang dimungkinkan untuk dilakukan oleh aparat penegak hukum demi kepentingan hukum. Tindakan demikian diperbolehkan oleh hukum negara di mana pun. Apalagi tindakan penahanan terhadap para Pemohon tidak melampaui waktu yang ditetapkan dalam UU.
Walaupun tindakan penangkapan dan penahanan adalah bentuk pembatasan terhadap kebebasan dan kemerdekaan individu, tetapi pembatasan yang demikian adalah pembatasan yang dimungkinkan berdasarkan Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945, sepanjang pembatasan tersebut ditetapkan dengan UU dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam masyarakat demokratis.
Lagi pula, menurut Mahkamah, apabila kewenangan penangkapan dan penahanan berdasarkan norma pasal-pasal dalam UU yang dimohonkan pengujian dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, maka akan menyulitkan dan mengancam penegakan hukum dan keadilan untuk ketertiban masyarakat secara keseluruhan.
Tiada Kerugian Konstitusional
Hal yang dipersoalkan oleh para Pemohon, menurut Mahkamah, adalah mengenai implementasi norma pasal-pasal dalam UU KUHAP, khususnya terhadap para Pemohon yang merasa mendapat perlakuan sewenang-wenang, bukan persoalan inkonstitusionalitas norma pasal yang dimohonkan pengujian. Artinya, pasal-pasal tersebut secara normatif tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Oleh sebab itu, menurut Mahkamah, para Pemohon tidak mengalami kerugian konstitusional akibat berlakunya norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujian, melainkan karena penerapan norma dalam praktik. Lagi pula, jika pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dikabulkan, kerugian para Pemohon tidak akan hilang, bahkan justru menimbulkan kesewenang-wenangan yang lebih besar karena tidak ada lagi pembatasan masa penahanan terhadap setiap tersangka oleh Penyidik atau Penuntut Umum di kemudian hari sebagaimana diatur dalam pasal-pasal tersebut.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan, sehingga Mahkamah tidak perlu mempertimbangkan pokok permohonan.
Sidang Pleno MK terbuka untuk umum ini dilaksnaakan oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD, selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Hamdan Zoelva, Maria Farida Indrati, M. Akil Mochtar, Ahmad Fadlil Sumadi, Harjono, dan Muhammad Alim, masing-masing sebagai Anggota.
Alhasil, Mahkamah dalam amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima, “Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua Pleno Moh. Mahfud MD di ujung persidangan. (Nur Rosihin Ana/mh)
readmore »»  

Kamis, 10 Maret 2011

Dalil Tak Beralasan Hukum, Mahkamah Tolak Uji Materi UU Minerba

Jakarta, MK Online – Para Pemohon tidak dapat membuktikan adanya kerugian hak konstitusional dengan berlakunya Pasal 172 UU Minerba sepanjang frasa yang diujikan para Pemohon. Sehingga permohonan para Pemohon tidak terbukti dan tidak beralasan menurut hukum.
Demikian pendapat Mahkamah dalam gelar sidang pengucapan putusan perkara nomor 121/PUU-VII/2009 mengenai uji materi Pasal 172 UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), pada Rabu (9/3/2011), di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.
Pemohon Perkara ini adalah Nunik Elizabeth, Yusuf Merukh, PT Pukuafu Indah, PT Bintang Purna Manggala, PT Lebong Tandai, PT Merukh Ama Coal, dan PT Merukh Lores Coal.  Pemohon memberikan kuasa hukum kepada Hamdan Zoelva, Januardi S. Hariwibowo, R.A. Made Damayanti Zoelva, Wisye Hendrarwati, Abdullah, dan Erni Rasyid yang kesemuanya adalah advokat pada kantor Hukum Zoelva & Januardi.
Pemohon sebagai perseorangan dan badan hukum, mendalilkan Pasal 172 UU 4/2009 bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 22A, dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Pasal 172 UU 4/2009 menyatakan, "Permohonan kontrak karya dan perjanjian karya pertambangan batubara yang telah diajukan kepada menteri paling lambat 1 (satu) tahun sebelum berlakunya Undang-undang ini dan sudah mendapatkan surat persetujuan prinsip atau surat izin penyelidikan pendahuluan tetap dihormati dan dapat diproses perizinannya tanpa melalui lelang berdasarkan undang-undang ini." Yang dipersoalkan Pemohon yaitu sepanjang frasa “kepada menteri paling lambat 1 (satu) tahun”  dan “sudah mendapatkan surat persetujuan prinsip atau surat izin penyelidikkan pendahuluan”.

Menurut Mahkamah, adanya pergantian UU tidak boleh menimbulkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan Pasal 1 Ayat (3) juncto Pasal 22A UUD 1945, pembentuk UU dalam UU Minerba membuat ketentuan peralihan sebagai penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ada pada saat Peraturan Perundang-undangan baru mulai berlaku.
Dalam kasus tersebut, lanjut Mahkamah, jika tidak ada ketentuan peralihan, justru merugikan para Pemohon, karena terhadap para Pemohon diberlakukan lelang. Padahal para Pemohon telah mengajukan permohonan kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (KK/PKP2B) sebelum UU Minerba dibentuk. Lagi pula, permohonan KK/PKP2B yang diajukan oleh para Pemohon telah direspons oleh pemerintah. Dengan demikian dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 172 UU Minerba bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, tidak beralasan hukum.
Beda Pendapat
Sidang Pleno MK terbuka untuk umum ini dilaksanakan oleh tujuh hakim konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., selaku ketua merangkap anggota, Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati, Ahmad Fadlil Sumadi, Muhammad Alim, Harjono, dan M. Akil Mochtar masing-masing sebagai anggota.
Dari delapan hakim konstitusi yang memutus perkara ini dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), terdapat satu hakim mengambil posisi berbeda pendapat (dissenting opinion) yaitu Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar.
Menurut Akil, sebagai ketentuan peralihan, Pasal 172 UU Minerba tidak menjamin kepastian hukum bagi kesinambungan hak para Pemohon yang telah mengajukan permohonan. Lebih lanjut Akil menyatakan, Pasal 172 UU Minerba sepanjang frasa ,”...paling lambat 1 (satu) tahun...”, telah bersifat retroaktif. Padahal seyogianya pemberlakuan suatu ketentuan hukum positif untuk mewujudkan prinsip negara yang berdasarkan hukum, harus memuat asas tidak berlaku surut (non-retroaktif), sesuai dengan Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945.
“Oleh karenanya semua aturan hukum hanya berlaku ke depan (prospektif). Dengan demikian, menurut saya, ketentuan Pasal 172 Undang-Undang a quo harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” tandas Akil. (Nur Rosihin Ana/mh)
readmore »»  

MK Tolak Uji Materi UU Energi Pemkab Tanjabbar

Jakarta, MKOnline - Kata ”daerah” dalam Pasal 20 ayat (3) UU 30/2007 adalah daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota. Kata “daerah” dalam pasal tersebut merupakan ketentuan yang bersifat umum yang menunjuk kepada pengertian kedua daerah tersebut. Sebab, apabila kata ”daerah” menunjuk kepada salah satu daerah, yaitu provinsi ataupun kabupaten/kota maka UU tersebut akan menyebutkan dengan jelas mengenai maksud daerah.
Demikian pendapat Mahkamah dalam gelar sidang pengucapan putusan perkara nomor 153/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian UU 30/2007 tentang Energi, pada Rabu (9/3/2011), di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
Permohonan diajukan oleh Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Tanjabbar) yang dalam hal ini diwakili oleh Safrial (saat pengajuan permohonan menjabat Bupati Tanjabbar). Pemohon menganggap hak konstitusionalnya untuk menjamin kesejahteraan dan/atau kemakmuran rakyat di Kabupaten Tanjabbar dirugikan oleh berlakunya Pasal 20 ayat (3) dan Pasal 23 ayat (3) UU 30/2007. Menurutnya, pasal dalam UU tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Pemohon mendalilkan Pasal 20 ayat (3) menyatakan, “Daerah penghasil sumber energi mendapat prioritas untuk memperoleh energi dari sumber energi setempat”, mengandung ketidakjelasan hukum. Kata "daerah” dalam pasal tersebut tidak secara tegas menentukan apakah daerah yang dimaksud adalah daerah kabupaten/kota ataukah daerah provinsi. Ketidakjelasan pasal tersebut disebabkan karena Pasal 11 ayat (2) UU 32/2004 memberikan landasan yuridis yang bersifat umum yang menyatakan, “Penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara pemerintah dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antar pemerintah daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan”.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka Provinsi Jambi sebagai daerah atasan merasa lebih berwenang mendapatkan prioritas energi dari Kab. Tanjabbar di mana sumber energi tersebut berada. Selain itu, menurut Pemohon, rumusan pasal tersebut sangat lentur, subjektif, dan sangat tergantung pada interpretasi dari daerah provinsi maupun kab/kota sehingga daerah provinsi berpotensi meminta jatah atau prioritas yang lebih besar atas sumber energi yang ada dalam wilayah kabupaten/kota di mana sumber energi tersebut berada.
Tak Beralasan Hukum
Mahkamah dalam pendapatnya meyatakan bahwa yang dimaksud dengan ”daerah” dalam Pasal 20 ayat (3) UU 30/2007 sudah jelas, sehingga tidak menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana didalilkan oleh Pemohon. Oleh karena itu, dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Selanjutnya, mengenai dalil Pemohon yang menyatakan  Pasal 23 ayat (3) UU30/2007 yang menyatakan, “Pengusahaan jasa energi hanya dapat dilakukan oleh badan usaha dan perseorangan”, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Kata “badan usaha” dalam pasal ini, dalil Pemohon, mengandung rumusan yang mengambang karena dapat diinterpretasikan BUMN, BUMD provinsi atau BUMD kabupaten/kota ataupun badan usaha dalam bentuk lainnya. Menurut Pemohon, kata "badan usaha" dalam pasal tersebut harus dimaknai BUMD kabupaten/kota.
Mahkamah berpendapat, pengertian badan usaha dengan tegas telah dinyatakan dalam Pasal 1 angka 12 UU 30/2007 yang menyatakan, “Badan usaha adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus menerus, dan didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Menurut Mahkamah, “badan usaha” yang tercantum dalam Pasal 23 ayat (3) UU 30/2007 adalah sama dengan “badan usaha” yang tercantum dalam Pasal 23 ayat (2) UU 30/2007. Selain itu, Penjelasan Pasal 23 ayat (2) UU 30/2007 dengan tegas menyebutkan macam-macam badan usaha, yaitu meliputi BUMN, BUMD, koperasi, dan badan usaha swasta.
Mahkamah sependapat dengan pemerintah bahwa perbedaan prinsip Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UU tersebut adalah terletak bentuk pengusahaannya, yaitu mengenai “pengusahaan energi” dan “pengusahaan jasa energi”. Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah berpendapat, “badan usaha” dalam Pasal 23 ayat (3) UU 30/2007 tidak dapat dimaknai hanya terbatas pada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Dengan demikian, dalil Pemohon yang memohon agar badan usaha diartikan secara sempit hanya BUMD saja adalah tidak beralasan hukum.
Sidang Pleno MK terbuka untuk umum ini dilaksanakan oleh delapan hakim konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD, selaku ketua merangkap anggota, Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati, Harjono, M. Akil Mochtar, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Hamdan Zoelva, masing-masing sebagai anggota.
Alhasil, Mahkamah dalam amar putusan, menyatakan menolak seluruh permohonan. “Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya” kata Ketua Pleno Moh. Mahfud MD di ujung persidangan. (Nur Rosihin Ana/mh)

readmore »»  

Rabu, 09 Maret 2011

Napi Seumur Hidup Ujikan Aturan Peninjauan Kembali (PK)

Jakarta, MKOnline - Ketentuan mengenai pengajuan peninjauan kembali (PK) untuk kasus-kasus yang menyangkut nama baik dan nyawa orang yang akan dihukum mati atau hukuman seumur hidup hanya boleh satu kali. Sementara mereka harus kehilangan nyawa, keluarga dan keturunan mereka. Padahal hak untuk hidup dijamin dalam Pasal 28 A dan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945.
Oleh karena itu, maka upaya pengajuan PK yang kedua kali dan seterusnya adalah dalam rangka mewujudkan keadilan dan kebenaran materil akan mengembalikan citra dan martabat dari Lembaga Mahkamah Agung RI sebagai benteng terakhir Peradilan di Tanah Air.
Demikian dikatakan Muh. Burhanuddin, kuasa Pemohon, dalam sidang gelar perkara 10/PUU-IX/2011 di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (8/3/2011). Sidang dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan ini dilaksanakan oleh Panel Hakim yang diketuai Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, didampingi dua anggota Hakim Konstitusi Harjono dan Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar.
Permohonan diajukan oleh Liem Marita alias Aling. Aling mengujikan konstitusionalitas Pasal 24 ayat (2) UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 66 ayat (1) UU 14/1985 Jo UU 5/2004 Jo UU 3/2009 tentang Perubahan Kedua atas UU 14/1985 tentang Mahkamah Agung, dan Pasal 268 ayat (3) UU 8/1981 tentang  Hukum Acara Pidana.
Di hadapan Panel Hakim MK, Burhan menyampaikan perubahan permohonan, yaitu mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon. Burhan menuturkan kedudukan hukum (legal standing) kilennya adalah perorangan warga negara Indonesia yang dijatuhi hukuman Seumur Hidup berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali RI nomor 160 PK/PID.SUS/2009 Jo Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 895 K/Pid/2007 tanggal 27 April 2007 Jo Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta nomor 299/Pid/2006/PT.DKI tanggal 15 Januari 2007 Jo Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 1234/Pid/B/2006/PN.JKT.UT tanggal 2 Nopember 2006. “Ini penekanan kami pada legal standing,” kata Burhan.
Pemohon juga menambahkan pasal dalam UUD 1945 sebagai batu uji. Dalam perbaikan, batu uji yang digunakan Pemohon yaitu Pasal 1 Ayat (3), Pasal 28A, Pasal 28D Ayat (1) Pasal 28I Ayat (1) berbunyi UUD 1945. Selain itu, Pemohon juga mempertajam dalil-dalil yang tertuang dalam permohonan. Menurut Pemohon, urgensi dari upaya hukum PK adalah upaya hukum luar biasa yang merupakan upaya hukum yang bersifat koreksi atau memperbaiki kekeliruan, sehingga dapat dilakukan upaya pemulihan dengan mengoreksi yang salah. “Upaya koreksi hanya dapat dilakukan oleh badan peradilan tertinggi yang menjalankan penguasaan tertinggi terhadap jalannya peradilan,” kata kuasa hukum Burhan mendalilkan.
 
Selanjutnya, Burhan memaparkan mengenai fungsi pemidanaan. Menurutnya, fungsi pemidanaan yang tidak lagi sekedar menekankan pada aspek pembalasan (retributive), tetapi juga merupakan aspek usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi pelaku tindak pidana. “Konsep ini bertujuan agar narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri, keluarga dan lingkungannya,” lanjutnya.
Oleh karena itu, Pasal 24 ayat (2) UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 66 ayat (1) UU 14/1985 Jo UU 5/2004 Jo UU 3/2009 tentang Perubahan Kedua atas UU 14/1985 tentang Mahkamah Agung, dan Pasal 268 ayat (3) UU 8/1981 tentang  Hukum Acara Pidana, harus diubah sepanjang untuk hukuman mati dan hukuman seumur hidup dengan memperbolehkan pengajuan permohonan PK lebih dari sekali demi keadilan dan kebenaran materil atau substansif.
Aling melalui kuasanya meminta agar Mahkamah menyatakan pasal-pasal dalam UU yang diujikannya, inkonstitusional bersyarat dengan membolehkan PK lebih dari sekali untuk hukuman mati dan hukuman seumur hidup karena bertentangan dengan UUD RI tahun 1945. Selanjutnya, menyatakan pasal-pasal dalam UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya dengan dikecualikan bagi pemohon PK yang dijatuhi hukuman mati atau hukuman seumur hidup dapat mengajukan PK lebih dari satu kali dalam perkara Pidana.
Sebelum menutup persidangan, Panel Hakim mengesahkan alat bukti. Pemohon mengajukan sepuluh alat bukti, yaitu bukti P-1 sampai P-10. (Nur Rosihin Ana/mh)

sumber: 
readmore »»  

Jumat, 04 Maret 2011

PHPU Kab. Kutai Barat: Dalil Tak terbukti, Mahkamah Tolak Permohonan Raja

Jakarta, MKOnline - Dalil-dalil mengenai terjadinya pelanggaran sistematis, terstruktur dan masif yang diusung dalam permohonan pasangan cabup/cawabup Kutai Barat (Kubar) Rama Alexander Asia-H.Abdul Azizs (Raja) tidak terbukti menurut hukum. Demikian pendapat Mahkamah dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilukada Kubar Tahun 2011 yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (3/3/2011). Dalam amar putusan, Mahkamah menolak seluruh permohonan Raja.
Dalam permohonan, Raja mendalilkan terjadinya sejumlah pelanggaran yang dilakukan oleh Termohon KPU Kubar dan Pihak Terkait pasangan Ismail Thomas-H. Didik Effendi (THD). Raja menuduh THD yang merupakan pasangan incumbent, telah melakukan pelanggaran bersifat sistematis, struktural, dan masif.
Pelanggaran bersifat sistematis yang didalilkan Raja yaitu yang tertuang dalam buku berjudul “Dokumen Publik (Iklan, Media Massa) Bersama “THD” Warga Berdaya, Kubar Sejahtera!! Bupati-Wakil Bupati & Calon Bupati-Wakil Bupati Ismael Thomas, S.H., M.Si–H. Didik Effendi, S.Sos., M.Si. Membangun Kubar Untuk Semua!” bertanggal 23 Agustus 2009.
Dalil Raja tersebut dibantah THD yang menyatakan tidak pernah membuat atau menyuruh pihak lain untuk membuat dokumen yang berisikan strategi, taktik, dan siasat. THD dan Tim Suksesnya dalam pengakuan di persidangan mengakui hanya pernah membuat dokumen “Visi, Misi, Strategi, Kebijakan dan Program Pembangunan Daerah Kabupaten Kutai Barat (2011-2016)”.
Mahkamah menilai Raja tidak dapat membuktikan validitas Bukti P-14 benar-benar dokumen resmi yang dikeluarkan oleh THD. Oleh karenanya, Mahkamah menilai bukti tersebut tidak valid dan tidak dapat dipergunakan untuk menilai dalil-dalil Pemohon yang didasarkan pada Bukti P-14. Dengan demikian dalil-dalil Raja tidak terbukti menurut hukum.
Pelanggaran bersifat struktural yang didalilkan Raja yaitu mengenai pelibatan pegawai negeri sipil, camat, petinggi, dan Badan Perwakilan Kampung, serta KPPS sebagai Tim Sukses dan ikut terlibat aktif dalam rangka pemenangan THD. Dalil ini juga dibantah THD melalui bukti-bukti dan keterangan saksi.
Mahkamah menilai Pemohon tidak memiliki cukup bukti bahwa telah terjadi pelanggaran terstruktur yang melibatkan aparatur pemerintahan sebagaimana didalilkan Pemohon. Jikalaupun dalil Raja benar, Raja tetap tidak dapat meyakinkan Mahkamah bahwa keterlibatan aparatur tersebut dilakukan secara masif dan memberi pengaruh yang signifikan terhadap perolehan suara masing-masing pasangan calon, khususnya mengurangi perolehan suara Raja.
Terakhir, dalil Raja mengenai pelanggaran bersifat massif. Pelangggaran yang sistematis dan terstuktur tersebut di atas terjadi secara luas (masif) di wilayah Kubar yang dilakukan oleh Pihak Terkait THD dan Termohon KPU Kubar. Mahkamah juga menilai Raja tidak cukup bukti.
Sidang Pleno terbuka untuk umum dengan agenda pengucapan putusan perkara Nomor 20/PHPU.D-X/2011 ini dilaksanakan oleh delapan hakim konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD, selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Muhammad Alim, Harjono, Maria Farida Indrati, M. Akil Mochtar, Hamdan Zoelva, dan Ahmad Fadlil Sumadi, masing-masing sebagai Anggota, didampingi oleh Wiwik Budi Wasito sebagai Panitera Pengganti.
Dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. “Amar putusan,mengadili, menyatakan, dalam eksepsi, menolak eksepsi termohon dan eksepsi pihak terkait untuk seluruhnya. Dalam pokok permohonan, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Mahfud MD di ujung persidangan. (Nur Rosihin Ana/mh)

Sumber:
readmore »»  
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More