Rabu, 26 November 2014

Uji Kompetensi Dokter Digugat

Profesi dokter umum merupakan ujung tombak sistem pelayanan kesehatan primer. Sebagai tenaga kesehatan, peran dokter umum berada dalam garis terdepan (front line) dalam pelayanan kesehatan masyarakat. Dengan demikian, dokter umum sangat berperan dalam Sistem Kesehatan Nasional dalam penyelengaraan hak konstitusional pelayanan kesehatan bagi setiap orang (for all) yang dijamin secara eksplisit dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
Namun, berlakunya ketentuan dalam peraturan perundang-undangan, justru dinilai inskonstitusional dan menghambat pelayanan kesehatan masyarakat. Hal ini terangkum dalam permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran (UU Dikdok) terhadap UUD 1945 Pasal 28D ayat (1) dan (2), Pasal 28H ayat (1) dan (3).
Permohonan diajukan oleh Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI). PDUI mengujikan Pasal 36 ayat (1), (2), dan (3); Pasal 1 angka 9; Pasal 7 ayat (5) huruf b; Pasal 7 ayat (9); Pasal 8 ayat (1), (2), (3); (4), dan (5); Pasal 10; Pasal 19 ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 24 ayat (5) huruf b; Pasal 24 ayat (7) huruf b; Pasal 28 ayat (1) dan (2); Pasal 29 ayat (1) dan (2); Pasal 31 ayat (1) huruf b; Pasal 39 ayat (1) dan (2); Pasal 40 ayat (2) huruf b; dan Pasal 54 UU Dikdok.
Inti permohonan PDUI yaitu mengenai uji kompetensi dokter dan program pendidikan dokter layanan primer, yaitu frasa “uji Kompetensi” dan frasa “dokter layanan primer” dalam pasal-pasal UU Dikdok tersebut.

Uji Kompetensi
Uji Kompetensi mahasiswa dalam ketentuan Pasal 36 ayat (1) dan (2) UU Dikdok, dilaksanakan untuk menerbitkan sertifikat profesioleh perguruan tinggi. Penggunaan frasa “uji kompetensi” bagi mahasiswa untuk memperoleh sertifikat profesi dalam ketentuan tersebut inkonsistensi dengan kelulusan mahasiswa program profesi dokter untuk memperoleh Ijazah/Gelar Dokter.
Sedangkan uji kompetensi dokter dalam ketentuan Pasal 36 ayat (3) UU Dikdok, dilaksanakan oleh Fakultas Kedokteran bekerjasama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran dan berkoordinasi dengan organisasi profesi. Penggunaan frasa “uji kompetensi dokter” dalam ketentuan ini dicampuradukkan dan seakan-akan sama dengan “uji Kompetensi mahasiswa” dalam ketentuan Pasal 36 ayat (1) dan (2). Uji kompetensi dokter pun seakan-akan wewenang dan domain fakultas kedokteran. Padahal, dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Pradok), uji kompetensi dokter adalah wewenang dan domain organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) cq. Kolegium terkait.
Oleh karena itu, tidak beralasan jika ketentuan Pasal 36 ayat (3) UU Dikdok yang menormakan “uji kompetensi dokter” dilaksanakan oleh fakultas kedokteran bekerjasama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran dan berkoordinasi dengan organisasi profesi. Justru ketentuan ini merusak tatanan sistem hukum yang valid dan dipatuhi sesuai UU Pradok dan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) Nomor 6 Tahun 2011, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
Nomenklatur “uji kompetensi” dalam Pasal 36 ayat (1), (2) UU Dikdok yang dikaitkan pada kata “mahasiswa” sehingga menjadi frasa “Mahasiswa yang lulus uji kompetensi” adalah tidak tepat. Hal ini merugikan mahasiswa program profesi dokter. Sebab mahasiswa diharuskan mengikuti uji kompetensi sebagai Exit Exam. Padahal secara akademis mahasiswa sudah lulus ujian program profesi dokter, dan secara formal berhak memperoleh Ijazah/Gelar Dokter. Ketentuan ini merusak tatanan sistem pendidikan kedokteran yang sudah baku dan valid, serta merugikan kepentingan dokter yang sudah lulus untuk segera memasuki domain profesi dokter atau praktik kedokteran. Uji kompetensi dokter oleh fakultas kedokteran bukan hanya menimbulkan kerugian konstitusional yakni tidak adanya kepastian hukum, tapi juga menambah biaya pendidikan dan memicu komersialisasi pendidikan kedokteran.

Pasal 36 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran,
(1)   Untuk menyelesaikan program profesi dokter atau dokter gigi, Mahasiswa harus lulus uji kompetensi yang bersifat nasional sebelum mengangkat sumpah sebagai Dokter atau Dokter Gigi.
(2)   Mahasiswa yang lulus uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperoleh sertifikat profesi yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi.
(3)   Uji kompetensi Dokter atau Dokter Gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi bekerja sama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan Organisasi Profesi.

Dualisme Wewenang
Ketentuan Pasal 36 ayat (1), (2) dan (3) UU Dikdok merusak tatanan sistem praktik kedokteran dan menghambat proses formal pengakuan dokter karena dualisme wewenang uji kompetensi dokter. Adanya dualisme itu menghambatan penerbitan Surat Tanda Register (STR) oleh KKI karena berdasarkan UU Pradok dan Peraturan KKI, syarat penerbitan STR adalah hasil uji kompetensi dan sertifikat kompetensi dokter yang diterbitkan Kolegium terkait selaku organisasi profesi, bukan diterbitkan Fakultas Kedokteran.
Dualisme dalam penyelenggaraan uji kompetensi dan penerbitan sertifikat kompetensi bukan saja menganggu dokter baru yang akan mengikuti proses registrasi, akan tetapi justru yang paling signifikan adalah para dokter yang akan melakukan registrasi ulang Surat Tanda Register (STR) kepada KKI karena itu terganggu hak konstitusionalnya untuk memperoleh kepastian hukum registrasi ulang dan pengakuan atas keabsahan sertifikat kompetensi Kolegium terkait.
Hambatan memperoleh STR dan registrasi ulang STR tersebut, menimbulkan kerugian konstitusional memperoleh legalitas atau registrasi dokter, dan menghambat kepastian pelayanan kesehatan masyarakat/pasien. Keadaan itu merupakan kausal atas praduga dokter dianggap tidak menjalankan tugas pelayanan kesehatan masyarakat. Padahal tanpa STR maka dokter tidak berwenang melakukan tindakan medis sebagai dokter.
Berdasarkan dalil tersebut, PDUI meminta kepada Mahkamah agar menyatakan frasa “uji kompetensi” dalam Pasal 36 ayat (1), dan (2) UU Dikdok bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “ujian kelulusan akhir”. Kemudian menyatakan frasa “uji kompetensi dokter atau dokter gigi” dalam Pasal 36 ayat (3) UU Dikdok bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “ujian kelulusan akhir mahasiswa”.

Dokter Layanan Primer
Sistem hukum kedokteran di Indonesia hanya mengenal dokter dan dokter spesialis-subspesialis sebagai tenaga kesehatan, dan tidak mengenal kualifikasi dokter layanan primer, baik secara kompetensi, legalitas STR, prosedur dan syarat STR, perizinan praktek, dan pengakuan gelar profesi. Tidak ada pengakuan substansial (kompetensi profesi) dan pengakuan prosedural-formal (penerbitan STR) terhadap dokter layanan primer. Karenanya, frasa “dokter layanan primer” dalam Pasal 1 angka 9 UU Dikdok merusak sistem hukum praktik kedokteran dan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Pasal 1 angka 9 UU Dikdok, “Dokter adalah dokter, dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis lulusan pendidikan dokter, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diakui oleh Pemerintah.”

Jika mengacu pada Pasal 1 angka 9 UU Dikdok tersebut, kualifikasi dokter terdiri atas 3 (tiga) jenis, yakni (1) Dokter; (2) Dokter layanan primer; (3) Dokter spesialis-subspesialis. Ketentuan tersebut jelas menyimpangi norma hukum dalam UU Pradok yang menyebutkan kualifikasi dokter adalah dokter dan dokter spesialis.
Tidak ada pengakuan substansial (kompetensi profesi) dan pengakuan prosedural-formal (penerbitan STR) terhadap dokter layanan primer. Oleh karena itu, frasa “dokter layanan primer” merusak sistem hukum praktik kedokteran dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Pada asasnya, kualifikasi dokter layanan primer tidak berbeda dengan dokter (General Practitioner/GP), dan tidak pula masuk kualifikasi dokter spesialis, dan tidak memiliki kompetensi spesialistik. Kualifikasi dokter yang menambahkan frasa “dokter layanan primer” ini tidak memiliki pengakuan dalam hal kompetensi profesi, legalitas registrasi (STR), prosedur-formal syarat registrasi, perizinan, dan gelar profesi.
Oleh karena itu, PDUI meminta Mahkamah menyatakan ketentuan Pasal 1 Angka 9 UU Dikdok sepanjang frasa “dokter layanan primer” bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28H ayat (3) UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat kecuali dimaknai “Dokter adalah dokter, dokter spesialis-subspesialis lulusan pendidikan dokter, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diakui oleh Pemerintah.”

Begitu pula dengan frasa “dokter layanan primer” dalam Pasal 7 ayat (5) huruf b dan ayat (9), Pasal 8, Pasal 19, Pasal 24 ayat (5) huruf b dan ayat (7) huruf b, Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 31 ayat (1), Pasal 39 ayat (1), Pasal 40 ayat (2), dan Pasal 54 UU Dikdok. Frasa “dokter layanan primer” dalam pasal-pasal tersebut menurut Pemohon menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab dokter layanan primer secara kompetensi masuk ke dalam kualifikasi dokter umum karena melakukan pelayanan pada fasilitas pelayanan tingkat pertama.

Nur Rosihin Ana, dalam "Catatan Perkara" Majalah "Konstitusi" Edisi November 2014, hal 44-45. klik di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More