Profesi dokter umum merupakan ujung tombak sistem
pelayanan kesehatan primer. Sebagai tenaga kesehatan, peran dokter umum berada
dalam garis terdepan (front line) dalam pelayanan kesehatan masyarakat.
Dengan demikian, dokter umum sangat berperan dalam Sistem Kesehatan Nasional
dalam penyelengaraan hak konstitusional pelayanan kesehatan bagi setiap orang (for
all) yang dijamin secara eksplisit dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
Namun,
berlakunya ketentuan dalam peraturan perundang-undangan, justru dinilai
inskonstitusional dan menghambat pelayanan kesehatan masyarakat. Hal ini
terangkum dalam permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013
tentang Pendidikan Kedokteran (UU Dikdok) terhadap UUD 1945 Pasal 28D ayat (1)
dan (2), Pasal 28H ayat (1) dan (3).
Permohonan
diajukan oleh Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI). PDUI
mengujikan Pasal 36 ayat (1), (2), dan (3); Pasal 1 angka 9; Pasal 7 ayat (5)
huruf b; Pasal 7 ayat (9); Pasal 8 ayat (1), (2), (3); (4), dan (5); Pasal 10;
Pasal 19 ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 24 ayat (5) huruf b; Pasal 24 ayat
(7) huruf b; Pasal 28 ayat (1) dan (2); Pasal 29 ayat (1) dan (2); Pasal 31
ayat (1) huruf b; Pasal 39 ayat (1) dan (2); Pasal 40 ayat (2) huruf b; dan
Pasal 54 UU Dikdok.
Inti
permohonan PDUI yaitu mengenai uji kompetensi dokter dan program pendidikan
dokter layanan primer, yaitu frasa “uji Kompetensi” dan frasa “dokter layanan
primer” dalam pasal-pasal UU Dikdok tersebut.
Uji Kompetensi
Uji
Kompetensi mahasiswa dalam ketentuan Pasal 36 ayat (1) dan (2) UU Dikdok,
dilaksanakan untuk menerbitkan sertifikat profesioleh perguruan tinggi.
Penggunaan frasa “uji kompetensi” bagi mahasiswa untuk memperoleh sertifikat
profesi dalam ketentuan tersebut inkonsistensi dengan kelulusan mahasiswa
program profesi dokter untuk memperoleh Ijazah/Gelar Dokter.
Sedangkan
uji kompetensi dokter dalam ketentuan Pasal 36 ayat (3) UU Dikdok, dilaksanakan
oleh Fakultas Kedokteran bekerjasama dengan asosiasi institusi pendidikan
kedokteran dan berkoordinasi dengan organisasi profesi. Penggunaan frasa “uji
kompetensi dokter” dalam ketentuan ini dicampuradukkan dan seakan-akan sama
dengan “uji Kompetensi mahasiswa” dalam ketentuan Pasal 36 ayat (1) dan (2).
Uji kompetensi dokter pun seakan-akan wewenang dan domain fakultas kedokteran.
Padahal, dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Pradok),
uji kompetensi dokter adalah wewenang dan domain organisasi profesi Ikatan
Dokter Indonesia (IDI) cq. Kolegium terkait.
Oleh
karena itu, tidak beralasan jika ketentuan Pasal 36 ayat (3) UU Dikdok yang
menormakan “uji kompetensi dokter” dilaksanakan oleh fakultas kedokteran
bekerjasama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran dan berkoordinasi
dengan organisasi profesi. Justru ketentuan ini merusak tatanan sistem hukum
yang valid dan dipatuhi sesuai UU Pradok dan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia
(KKI) Nomor 6 Tahun 2011, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
Nomenklatur
“uji kompetensi” dalam Pasal 36 ayat (1), (2) UU Dikdok yang dikaitkan pada
kata “mahasiswa” sehingga menjadi frasa “Mahasiswa yang lulus uji kompetensi”
adalah tidak tepat. Hal ini merugikan mahasiswa program profesi dokter. Sebab
mahasiswa diharuskan mengikuti uji kompetensi sebagai Exit Exam. Padahal
secara akademis mahasiswa sudah lulus ujian program profesi dokter, dan secara
formal berhak memperoleh Ijazah/Gelar Dokter. Ketentuan ini merusak tatanan
sistem pendidikan kedokteran yang sudah baku dan valid, serta merugikan
kepentingan dokter yang sudah lulus untuk segera memasuki domain profesi dokter
atau praktik kedokteran. Uji kompetensi dokter oleh fakultas kedokteran bukan
hanya menimbulkan kerugian konstitusional yakni tidak adanya kepastian hukum,
tapi juga menambah biaya pendidikan dan memicu komersialisasi pendidikan
kedokteran.
Pasal 36 Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran,
(1) Untuk menyelesaikan program
profesi dokter atau dokter gigi, Mahasiswa harus lulus uji kompetensi yang
bersifat nasional sebelum mengangkat sumpah sebagai Dokter atau Dokter Gigi.
(2) Mahasiswa yang lulus uji
kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperoleh sertifikat profesi
yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi.
(3) Uji kompetensi Dokter atau
Dokter Gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Fakultas
Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi bekerja sama dengan asosiasi institusi
pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan Organisasi
Profesi.
Dualisme Wewenang
Ketentuan
Pasal 36 ayat (1), (2) dan (3) UU Dikdok merusak tatanan sistem praktik
kedokteran dan menghambat proses formal pengakuan dokter karena dualisme wewenang
uji kompetensi dokter. Adanya dualisme itu menghambatan penerbitan Surat Tanda
Register (STR) oleh KKI karena berdasarkan UU Pradok dan Peraturan KKI, syarat
penerbitan STR adalah hasil uji kompetensi dan sertifikat kompetensi dokter
yang diterbitkan Kolegium terkait selaku organisasi profesi, bukan diterbitkan
Fakultas Kedokteran.
Dualisme
dalam penyelenggaraan uji kompetensi dan penerbitan sertifikat kompetensi bukan
saja menganggu dokter baru yang akan mengikuti proses registrasi, akan tetapi
justru yang paling signifikan adalah para dokter yang akan melakukan registrasi
ulang Surat Tanda Register (STR) kepada KKI karena itu terganggu hak
konstitusionalnya untuk memperoleh kepastian hukum registrasi ulang dan
pengakuan atas keabsahan sertifikat kompetensi Kolegium terkait.
Hambatan
memperoleh STR dan registrasi ulang STR tersebut, menimbulkan kerugian
konstitusional memperoleh legalitas atau registrasi dokter, dan menghambat
kepastian pelayanan kesehatan masyarakat/pasien. Keadaan itu merupakan kausal
atas praduga dokter dianggap tidak menjalankan tugas pelayanan kesehatan
masyarakat. Padahal tanpa STR maka dokter tidak berwenang melakukan tindakan
medis sebagai dokter.
Berdasarkan
dalil tersebut, PDUI meminta kepada Mahkamah agar menyatakan frasa “uji
kompetensi” dalam Pasal 36 ayat (1), dan (2) UU Dikdok bertentangan dengan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang
tidak dimaknai “ujian kelulusan akhir”. Kemudian menyatakan frasa “uji
kompetensi dokter atau dokter gigi” dalam Pasal 36 ayat (3) UU Dikdok
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum
mengikat, sepanjang tidak dimaknai “ujian kelulusan akhir mahasiswa”.
Dokter Layanan Primer
Sistem
hukum kedokteran di Indonesia hanya mengenal dokter dan dokter
spesialis-subspesialis sebagai tenaga kesehatan, dan tidak mengenal kualifikasi
dokter layanan primer, baik secara kompetensi, legalitas STR, prosedur dan
syarat STR, perizinan praktek, dan pengakuan gelar profesi. Tidak ada pengakuan
substansial (kompetensi profesi) dan pengakuan prosedural-formal (penerbitan
STR) terhadap dokter layanan primer. Karenanya, frasa “dokter layanan primer”
dalam Pasal 1 angka 9 UU Dikdok merusak sistem hukum praktik kedokteran dan menimbulkan
ketidakpastian hukum.
Pasal 1 angka 9 UU Dikdok, “Dokter adalah dokter, dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis lulusan pendidikan dokter, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diakui oleh Pemerintah.”
Jika
mengacu pada Pasal 1 angka 9 UU Dikdok tersebut, kualifikasi dokter terdiri
atas 3 (tiga) jenis, yakni (1) Dokter; (2) Dokter layanan primer; (3) Dokter
spesialis-subspesialis. Ketentuan tersebut jelas menyimpangi norma hukum dalam
UU Pradok yang menyebutkan kualifikasi dokter adalah dokter dan dokter
spesialis.
Tidak
ada pengakuan substansial (kompetensi profesi) dan pengakuan prosedural-formal
(penerbitan STR) terhadap dokter layanan primer. Oleh karena itu, frasa “dokter
layanan primer” merusak sistem hukum praktik kedokteran dan menimbulkan
ketidakpastian hukum.
Pada
asasnya, kualifikasi dokter layanan primer tidak berbeda dengan dokter (General
Practitioner/GP), dan tidak pula masuk kualifikasi dokter spesialis, dan
tidak memiliki kompetensi spesialistik. Kualifikasi dokter yang menambahkan
frasa “dokter layanan primer” ini tidak memiliki pengakuan dalam hal kompetensi
profesi, legalitas registrasi (STR), prosedur-formal syarat registrasi,
perizinan, dan gelar profesi.
Oleh
karena itu, PDUI meminta Mahkamah menyatakan ketentuan Pasal 1 Angka 9 UU
Dikdok sepanjang frasa “dokter layanan primer” bertentangan dengan Pasal 28D
ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28H ayat (3) UUD 1945
dan tidak berkekuatan hukum mengikat kecuali dimaknai “Dokter adalah dokter, dokter
spesialis-subspesialis lulusan pendidikan dokter, baik di dalam maupun di luar
negeri, yang diakui oleh Pemerintah.”
Begitu
pula dengan frasa “dokter layanan primer” dalam Pasal 7 ayat (5) huruf b dan
ayat (9), Pasal 8, Pasal 19, Pasal 24 ayat (5) huruf b dan ayat (7) huruf b,
Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 31 ayat
(1), Pasal 39 ayat (1), Pasal 40 ayat (2), dan Pasal 54 UU Dikdok. Frasa
“dokter layanan primer” dalam pasal-pasal tersebut menurut Pemohon menimbulkan
ketidakpastian hukum. Sebab dokter layanan primer secara kompetensi masuk ke
dalam kualifikasi dokter umum karena melakukan pelayanan pada fasilitas
pelayanan tingkat pertama.
Nur Rosihin Ana, dalam "Catatan Perkara" Majalah "Konstitusi" Edisi November 2014, hal 44-45. klik di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar