Senin, 15 Desember 2014

Melindungi Petani

Sektor pertanian memegang peran strategis dalam perekonomian nasional. Pertahanan dan kedaulatan pangan nasional sangat bergantung pada sektor ini. Semestinya sektor pertanian menjadi primadona masyarakat Indonesia. Faktanya, para petani kita justru berangsur-angsur meninggalkan profesi yang telah turun temurun dari para leluhur.
Marjinalisasi bertubi-tubi menyelimuti perikehidupan petani. Kehidupan petani dari waktu ke waktu kian tak menentu. Sering kali petani harus menelan kenyataan pahit ketika terjadi permasalahan tanah.
Ironisnya, perlindungan kepada petani terkesan setengah hati. Bahkan masih jauh dari panggang api. Tengoklah perlindungan kepada petani dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (UU Perlintan).
Persoalan tanah merupakan hal vital yang dihadapi petani. Namun hal ini justru tidak masuk dalam konsiderans UU Perlintan. Redistribusi tanah kepada petani pun tidak menjadi hak milik petani, melainkan hanya berupa hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan.
Petani menyewa tanah negara. Inilah ketentuan Pasal 59 UU Perlintan yang menjadi salah satu pangkal persoalan yang kemudian mengundang keberatan beberapa LSM. Redistribusi tanah berupa hak sewa menunjukkan tidak adanya upaya negara melakukan redistribusi tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Tak ayal muncul tudingan bahwa UU Perlintan mengusung praktik feodalisme. Politik hukum yang bersifat eksploitatif ini merupakan peninggalan Hindia-Belanda. Bahkan Sewa menyewa tanah antara negara dengan warga negara khususnya petani, adalah politik hukum yang sudah ditinggalkan sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU PA). UU PA menegaskan bahwa penggunaan tanah negara dilakukan dengan hak pakai yang bukan sewa menyewa. Konsep sewa menyewa merupakan marjinalisasi petani yang berpotensi menyulitkan petani untuk memperoleh penghidupan yang layak.
Upaya marjinalisasi organisasi tani pun dilegalkan dalam UU Perlintan. Petani diwajibkan mengikuti organisasi bentukan pemerintah. Organisasi bentukan pemerintah yang tertuang dalam Pasal 70 ayat (1) dan Pasal 71 ayat (1) jelas merupakan tindakan diskriminatif. Sebuah upaya Pemerintah untuk memarjinalisasi organisasi yang diinisiasi oleh petani.
Organisasi tani diintervensi. Pembentukan organisasi tani difasilitasi dan ditentukan sesuai selera Pemerintah. Praktek korporatisme negara ini lazim dilakukan oleh Rezim Militer Orde Baru. Organisasi tani dihimpun dalam wadah tunggal yang dikooptasi oleh negara.
Padahal seharusnya Pemerintah memberikan kebebasan pada tumbuh dan berkembangnya organisasi tani. Pemerintah berkewajiban melindungi, mendorong dan memfasilitasi terbentuknya kelembagaan petani sesuai dengan perpaduan antara budaya,norma, nilai, dan kearifan lokal petani.
Tegakkan semboyan negara “gemah ripah loh jinawi” melalui perlindungan yang hakiki kepada petani. Lindungi petani dari penindasan, kooptasi. Jadikan petani sebagai tuan di negeri sendiri (al-fallâhu sayyidul bilâd).


Nur Rosihin Ana
Editorial Majalah Konstitusi No, 94 Desember 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More