Sektor pertanian memegang peran
strategis dalam perekonomian nasional. Pertahanan dan kedaulatan pangan
nasional sangat bergantung pada sektor ini. Semestinya sektor pertanian menjadi
primadona masyarakat Indonesia. Faktanya, para petani kita justru
berangsur-angsur meninggalkan profesi yang telah turun temurun dari para
leluhur.
Marjinalisasi
bertubi-tubi menyelimuti perikehidupan petani. Kehidupan petani dari waktu ke
waktu kian tak menentu. Sering kali petani harus menelan kenyataan pahit ketika
terjadi permasalahan tanah.
Ironisnya,
perlindungan kepada petani terkesan setengah hati. Bahkan masih jauh dari
panggang api. Tengoklah perlindungan kepada petani dalam Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (UU Perlintan).
Persoalan
tanah merupakan hal vital yang dihadapi petani. Namun hal ini justru tidak
masuk dalam konsiderans UU Perlintan. Redistribusi tanah kepada petani pun
tidak menjadi hak milik petani, melainkan hanya berupa hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan,
atau izin pemanfaatan.
Petani
menyewa tanah negara. Inilah ketentuan Pasal 59 UU Perlintan yang menjadi salah
satu pangkal persoalan yang kemudian mengundang keberatan beberapa LSM.
Redistribusi tanah berupa hak sewa menunjukkan tidak adanya upaya negara
melakukan redistribusi tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Tak
ayal muncul tudingan bahwa UU Perlintan mengusung praktik feodalisme. Politik
hukum yang bersifat eksploitatif ini merupakan peninggalan Hindia-Belanda.
Bahkan Sewa menyewa tanah antara negara dengan warga negara khususnya petani,
adalah politik hukum yang sudah ditinggalkan sejak berlakunya Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU PA). UU PA
menegaskan bahwa penggunaan tanah negara dilakukan dengan hak pakai yang bukan
sewa menyewa. Konsep sewa menyewa merupakan marjinalisasi petani yang
berpotensi menyulitkan petani untuk memperoleh penghidupan yang layak.
Upaya
marjinalisasi organisasi tani pun dilegalkan dalam UU Perlintan. Petani
diwajibkan mengikuti organisasi bentukan pemerintah. Organisasi bentukan
pemerintah yang tertuang dalam Pasal 70 ayat (1) dan Pasal 71 ayat (1) jelas
merupakan tindakan diskriminatif. Sebuah upaya Pemerintah untuk memarjinalisasi
organisasi yang diinisiasi oleh petani.
Organisasi
tani diintervensi. Pembentukan organisasi tani difasilitasi dan ditentukan
sesuai selera Pemerintah. Praktek korporatisme negara ini lazim dilakukan oleh
Rezim Militer Orde Baru. Organisasi tani dihimpun dalam wadah tunggal yang
dikooptasi oleh negara.
Padahal
seharusnya Pemerintah memberikan kebebasan pada tumbuh dan berkembangnya
organisasi tani. Pemerintah berkewajiban melindungi, mendorong dan
memfasilitasi terbentuknya kelembagaan petani sesuai dengan perpaduan antara
budaya,norma, nilai, dan kearifan lokal petani.
Tegakkan semboyan negara
“gemah ripah loh jinawi” melalui perlindungan yang hakiki kepada petani.
Lindungi petani dari penindasan, kooptasi. Jadikan petani sebagai tuan di
negeri sendiri (al-fallâhu sayyidul bilâd).
Nur Rosihin Ana
Editorial Majalah Konstitusi No, 94 Desember 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar