Organisasi petani diintervensi. Pembentukan
organisasi tani difasilitasi dan ditentukan sesuai selera Pemerintah. Harusnya
Pemerintah memberikan kebebasan kepada petani untuk menentukan jenis
kelembagaannya. Kewajiban Pemerintah melindungi dan mengakui organisasi
bentukan petani. Pemerintah tidak perlu mengintervensi kelembagaan petani.
Kurang lebih satu tahun berlalu, tepatnya pada 11
Oktober 2013, Indonesian Human Rights Committee For Social Justice (IHCS),
Serikat Petani Indonesia (SPI), dkk, mengajukan
permohonan uji materi UU Perlintan ke MK. Permohonan ini dicatat dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK) pada 23 Oktober 2013 dengan Nomor
87/PUU-XI/2013, dan perbaikan permohonan diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah
pada 20 November 2013. Para Pemohon mengujikan materi UU Perlintan Pasal 59
(sebagaimana diulas di muka), Pasal 70 ayat (1), dan Pasal 71 ayat (1). Ketentuan
Pasal 70 ayat (1) dan Pasal 71 ayat (1), yang dipersoalkan para Pemohon yaitu
mengenai pembentukan kelembagaan petani yang dilakukan secara sepihak oleh
pemerintah dan kewajiban untuk bergabung dalam kelembagaan tersebut. Hal ini
menurut para Pemohon, berpotensi menciptakan tindakan diskriminatif terhadap
kelembagaan petani yang diinisiasi oleh masyarakat yang bentuknya berbeda
dengan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Diskriminasi Organisasi
Pembentukan lembaga petani difasilitasi oleh
Pemerintah. Bentuk lembaga petani pun ditentukan sesuai selera Pemerintah
(sentralisme). Begitulah ketentuan dalam Pasal 70 ayat (1) UU Perlintan ini.
Menurut para Pemohon, ketentuan tersebut merupakan
praktek korporatisme negara. Praktik ini dilakukan oleh Rezim Militer Orde
Baru, yaitu pemberlakukan organisasi petani dalam wadah tunggal yang dikooptasi
oleh negara. Artinya, petani hanya diberikan kesempatan berorganisasi dalam
wadah yang sudah ditentukan.
Penentuan bentuk kelembagaan petani secara sepihak
oleh pemerintah adalah mengabaikan kelembagaan petani bentukan masyarakat. “Hal
ini mengabaikan bentuk kelembagaan petani yang lain, yang sesuai dengan prinsip
yang terkandung dalam Pasal 69 ayat (2) undang-undang a quo, misalnya
Serikat Petani, Kelembagaan Subak di Bali, Kelompok Perempuan Tani, dan lain
sebagainya,” kata Beni Dikty Sinaga, kuasa hukum Pemohon, saat memaparkan pokok
permohonan uji materi UU Perlintan, dalam persidangan pendahuluan di MK, Kamis
(7/11/2013).
Padahal di dalam Pasal 69 ayat (2) UU Pelintan
tegas menyatakan pembentukan kelembagaan Petani harus sesuai dengan perpaduan
dari budaya, norma, nilai, dan kearifan lokal petani. Hal ini tentu
memungkinkan terbentuknya berbagai macam lembaga petani sesuai dengan sistem
nilai yang berkembang dalam masyarakat petani.
Penentuan bentuk kelembagaan petani secara sepihak
oleh pemerintah mengakibatkan petani yang tergabung dalam lembaga petani yang
berbeda dari yang disebutkan oleh UU Perlintan, berpotensi untuk tidak
diberdayakan dan dilindungi oleh pemerintah. Pemberlakuan Pasal 70 ayat (1) UU
Perlintan menimbulkan diskriminasi terhadap petani sehingga bertentangan dengan
Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Pasal 69 UU Perlintan(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban mendorong dan memfasilitasi terbentuknya Kelembagaan Petani dan Kelembagaan Ekonomi Petani.(2) Pembentukan kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan perpaduan dari budaya, norma, nilai, dan kearifan lokal Petani.Pasal 70 ayat (1) UU Perlintan(1) Kelembagaan Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) terdiri atas:a. Kelompok Tani;b. Gabungan Kelompok Tani;c. Asosiasi Komoditas Pertanian; dand. Dewan Komoditas Pertanian Nasional.(2) Kelembagaan Ekonomi Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) berupa badan usaha milik Petani.Pasal 71 UU PerlintanPetani berkewajiban bergabung dan berperan aktif dalam Kelembagaan Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1).
Intervensi Pemerintah
Setiap orang berhak untuk bebas membentuk atau ikut
serta dalam keanggotaan atau menjadi pengurus organisasi dalam kehidupan
bermasyarakat dalam wilayah NKRI. Kebebasan berserikat sebagaimana dijamin
Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, merupakan hak. Pemegang hak memiliki keleluasaan
mempergunakan haknya atau tidak menggunakannya. Kebebasan berserikat bukan
merupakan kewajiban, sebagaimana diatur dalam Pasal 71 UU Perlintan.
Pemerintah tidak perlu mengintervensi organisasi
petani. Tak perlu pula menentukan bentuk kelembagaan petani dan melindungi
keanekaragaman bentuk lembaga petani yang telah ada. Seharusnya Pemerintah
memberikan kebebasan kepada petani atas dasar kesadarannya untuk menentukan
jenis kelembagaan dan jenis keikutsertaannya. Kewajiban utama pemerintah
terhadap kelembagaan tersebut adalah melindungi dan mengakuinya. “Seharusnya
Pemerintah tidak perlu mengintervensi atau menentukan bentuk kelembagaan
petani,” kata kuasa hukum para Pemohon, Muh. Nur.
Mewajibkan petani untuk bergabung ke dalam
kelembagaan petani yang dibentuk dan ditentukan secara sepihak oleh Pemerintah,
adalah bertentangan dengan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Oleh karena itu, para
Pemohon dalam petitum meminta Mahkamah menyatakan kata “berkewajiban”
dalam Pasal 71 UU Perlintan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya.
Pemerintah Tak Batasi Lembaga Tani
Pengertian kelembagaan petani sebagaimana dimaksud
pada Pasal 70 ayat (1), memuat spirit dari esensi lembaga itu sendiri, di mana
kelembagaan petani, baik dalam bentuk kelompok tani, gabungan kelompok tani,
asosiasi, maupun dewan komoditas nasional, mengandung makna, konsep, dan sebuah
struktur yang bersendikan norma regulasi dan kultural kognitif yang menyediakan
pedoman dan sumber daya yang harus ada dalam setiap bentuk kelembagaan tersebut
agar dapat berfungsi untuk menyediakan stabilitas dan keteraturan dalam
masyarakat. “Oleh karena itu, menurut Pemerintah, ketentuan Pasal 70 ayat (1)
Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, tidak membatasi kelembagaan
petani. Petani tetap dapat berkumpul, berorganisasi, dengan berbagai wadah.
Misalnya serikat petani, kelembagaan subak di Bali, kelompok perempuan tani,
dan lain sebagainya,” kata Mualimin Abdi, menyampaikan keterangan Pemerintah, dalam
persidangan di MK, Kamis, (19/12/2013).
Adapun ihwal kewajiban untuk bergabung dalam
kelembagaan petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 menurut Pemerintah,
adalah dimaksudkan untuk mendorong petani agar secara moral mempunyai tanggung
jawab dalam pembentukan kelompok itu sendiri. Hal ini dilaksanakan untuk
mengefektifkan upaya pemberdayaan petani melalui pendekatan kelompok dalam
penyuluhan pertanian, mengingat pembinaan petani melalui penyuluhan tidak
mungkin dilakukan dengan pendekatan perorangan. Hal ini menurut Pemerintah,
telah sejalan dengan paradigma bahwa untuk mewujudkan tindakan kolektif,
dibutuhkan daya kohesi, relasi sosial yang stabil, adanya hierarki, dan saling
percaya dalam relasi yang saling tergantung. Dengan demikian, menurut Pemerintah,
kata “berkewajiban” dalam Pasal 71 UU Perlintan, sejalan dengan amanat
konstitusi. Karena pada hakikatnya pembentukan kelembagaan petani dilakukan
oleh, dari, dan untuk petani itu sendiri, sebagaimana diatur dalam di Pasal 72
ayat (1). Sedangkan pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban atau
mempunyai tanggung jawab untuk mendorong dan memfasilitasi pembentukannya.
Lembaga Tani Tak Dibatasi
Kelembagaan adalah suatu aturan yang merupakan produk dari nilai
yang diharapkan terus berevolusi dan menjadi bagian dari budaya. Kelembagaan
petani yang terdapat dalam Pasal 70 adalah kelembagaan yang sudah melembaga dan
dikenal, serta dipahami oleh petani selama ini. Kelembagaan tersebut bertujuan
untuk menyebut wadah kelembagaan sesuai tingkatannya yang sudah ada saat ini.
Sedangkan tujuan serta misi tiap lembaga dalam Pasal 70 tidak
dibatasi. Petani bebas membentuk kelembagaan petani yang sesuai dengan
perpaduan dari budaya, norma, nilai, dan kearifan lokal petani. Pembetukan
wadah tersebut dimaksudkan sebagai bentuk hak berdemokrasi untuk membuat petani
memiliki akses untuk memperjuangkan kepentingannya. “Jadi, bukan pada
nomenklatur wadahnya, melainkan visi dan misi wadah tersebut dibuat,” kata
Anggota Komisi III M. Nurdin.
Sementara itu, mengenai rumusan ketentuan Pasal 71 mengandung
makna anjuran yang sangat kuat kepada petani untuk bergabung dalam kelembagaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70. DPR berpendapat, penggunaan kata
“berkewajiban” pada Pasal 70 UU Perlintan adalah menganjurkan demi kepentingan
pemberdayaan petani. Ketentuan dalam Pasal 71 bila tidak dilaksanakan oleh
petani tidak membawa konsekuensi petani dikenai sanksi. “Sebaiknya petani
bergabung kepada kelembagaan petani yang disebut dalam Pasal 70,” tandas
Nurdin.
Petani Bebas Membentuk Lembaga
Penguatan kelembagaan petani sangat perlu dilakukan oleh negara
dalam rangka pemberdayaan petani, yaitu dengan membentuk organisasi-organisasi
petani. Namun, hal ini tidak dapat diartikan bahwa negara mewajibkan petani
harus masuk dalam kelembagaan yang dibuat oleh Pemerintah atau negara tersebut.
Penyebutan secara limitatif organisasi kelembagaan petani dalam
Pasal 70 ayat (1) dengan penulisan nama organisasi dalam huruf besar
menunjukkan nomenklatur organisasi yang telah ditentukan. Namun demikian,
petani juga harus diberikan kesempatan untuk membentuk kelembagaan dari, oleh,
dan untuk petani guna memperkuat dan memperjuangkan kepentingan petani itu
sendiri.
Negara sebagai fasilitator bagi petani sesuai dengan
kewenangannya seharusnya juga bertugas mendorong dan memfasilitasi terbentuknya
kelembagaan petani dan dilaksanakan sesuai dengan perpaduan antara
budaya,norma, nilai, dan kearifan lokal petani. Itikad baik dari negara untuk
membentuk organisasi ataupun kelembagaan petani sangatlah positif karena akan
lebih efektif dalam melakukan pembinaan kepada para petani seperti penyuluhan,
penyaluran bantuan, memudahkan pertanggungjawaban, koordinasi, dan komunikasi
Pemerintah dengan petani, antar petani.
Namun, pembentukan kelembagaan petani oleh negara tidak
diartikan bahwa petani dilarang untuk membentuk kelembagaan petani lainnya,
atau diwajibkannya petani untuk bergabung dalam organisasi atau kelembagaan
petani bentukan Pemerintah saja. “Petani harus diberikan hak dan kebebasan
untuk bergabung atau tidak bergabung dengan kelembagaan petani bentukan
Pemerintah dan juga dapat bergabung dengan kelembagaan petani yang dibentuk
oleh petani itu sendiri,” kata Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi.
Selain itu, menurut Mahkamah, kelembagaan petani yang dibentuk
oleh para petani juga harus berorientasi pada tujuan untuk membantu dan
memajukan segala hal ihwal yang ada kaitannya dengan pemberdayaan petani.
Bantuan Pemerintah tidak boleh hanya diberikan kepada kelembagaan petani yang
dibentuk oleh pemerintah atau hanya kepada petani yang bergabung pada
kelembagaan petani yang dibentuk oleh Pemerintah saja.
Menurut Mahkamah ketentuan Pasal 70 ayat (1) UU Perlintan telah
menghalangi hak para Pemohon yang dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945
untuk membentuk wadah berserikat dalam bentuk kelembagaan petani. Oleh karena
itu, Pasal 70 ayat (1) UU Perlintan harus dinyatakan bertentangan dengan konstitusi
sepanjang tidak dimaknai, “termasuk kelembagaan petani yang dibentuk oleh para
petani.” Pasal 70 ayat (1) UU Perlintan selengkapnya menjadi, “Kelembagaan
Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) terdiri atas: a. Kelompok
Tani; b. Gabungan Kelompok Tani; c. Asosiasi Komoditas Pertanian; dan d. Dewan
Komoditas Pertanian Nasional, serta kelembagaan petani yang dibentuk oleh para
petani.”
Mahkamah berpendapat, maksud dan tujuan keberadaan kelembagaan
petani, sebagaimana dimaksudkan Pasal 70 ayat (1) UU Perlintan adalah untuk
memudahkan akuntabilitas terhadap fasilitas dari Pemerintah agar tepat sasaran,
mencegah terjadinya konflik antarpetani dalam memanfaatkan fasilitas yang
disediakan Pemerintah dan mengefektifkan pembinaan petani. “Semangat tersebut
bukan berarti melarang petani membuat kelompok petani yang sesuai dengan
kemauan para petani,” lanjut Fadlil.
Mahkamah juga berpendapat, kata “berkewajiban” dapat
disalahartikan sebagai sesuatu yang wajib sehingga akan mengekang kebebasan
petani untuk berkumpul dan berserikat. Kata “berkewajiban” tidak bisa
dilepaskan dari adanya suatu keharusan ditaati, dipatuhi, dan tidak bisa
dibantah, sehingga apabila ada petani yang tidak bergabung dengan organisasi
yang dibentuk oleh Pemerintah, maka akan mengalami diskriminasi oleh
Pemerintah. “Dengan demikian frasa “berkewajiban” bertentangan dengan UUD 1945
sehingga dalil para Pemohon beralasan menurut hukum,” tandas Fadlil.
Nur Rosihin Ana
Laporan Utama Majalah Konstitusi No, 94
Desember 2014 hal. 15-17
Kutipan Amar Putusan Nomor 87/PUU-XI/2013
Pengujian Nomor Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013
tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Petani terhadap UUD 1945
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk
sebagian;
1.1. Frasa “hak sewa” dalam Pasal 59 Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5433) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
1.2. Frasa “hak sewa” dalam Pasal 59 Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5433) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
1.3. Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5433) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, sepanjang tidak dimaknai “termasuk kelembagaan petani yang dibentuk
oleh para petani”;
1.4. Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5433) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai
“termasuk kelembagaan petani yang dibentuk oleh para petani”;
1.5. Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5433) selengkapnya menjadi, “Kelembagaan Petani sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 69 ayat (1) terdiri atas: a. Kelompok Tani; b. Gabungan Kelompok
Tani; c. Asosiasi Komoditas Pertanian; dan d. Dewan Komoditas Pertanian
Nasional, serta kelembagaan petani yang dibentuk oleh para petani”;
1.6. Kata “berkewajiban” dalam Pasal 71
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 131, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5433) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.7. Kata “berkewajiban” dalam Pasal 71
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 131, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5433) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
1.8. Pasal 71 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013
tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5433) selengkapnya menjadi, “Petani bergabung dan berperan aktif dalam
Kelembagaan Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1)”;
2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam
Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
3. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain
dan selebihnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar