Negara tidak dapat menyewakan tanah. Sebab negara bukan pemilik
tanah. Sewa menyewa tanah antara negara dengan petani merupakan pelanggaran hak asasi.
Selayaknya ketentuan sewa menyewa tanah dalam UU Perlintan, divonis bertentangan dengan konstitusi.
Penduduk
Indonesia sebagian besar berprofesi sebagai petani. Petani adalah garda
pertahanan dan kedaulatan pangan nasional. Konsumsi bahan pangan manusia
dihasilkan oleh petani. Maka tak heran jika bangsa ini memiliki ketergantungan
yang tinggi kepada petani. Selayaknya petani mendapatkan perlindungan dan
pemberdayaan.
Pada 09 Juli 2013, DPR RI telah mengesahkan RUU Perlindungan dan
Pemberdayaan Petani menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 131. Dalam konsiderans “MENIMBANG”
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
(UU Perlintan) antara lain menyebutkan tentang kecenderungan meningkatnya
perubahan iklim, kerentanan terhadap bencana alam dan risiko usaha, globalisasi
dan gejolak ekonomi global, serta sistem pasar yang tidak berpihak kepada petani,
sehingga petani membutuhkan perlindungan dan pemberdayaan.
Namun, perlindungan dan pemberdayaan petani ternyata masih jauh
dari panggang api. Persoalan tanah yang merupakan hal vital yang dihadapi
petani, justru tidak masuk dalam konsiderans UU Perlintan. UU ini pun dituding
tidak secara komprehensif mengupayakan redistribusi tanah kepada petani. UU
Perlintan hanya mengatur tentang konsolidasi tanah, tanah terlantar, dan tanah
negara bebas yang bisa diredistribusikan kepada petani. Tanah yang diredistribusikan
kepada petani pun tidak menjadi hak milik petani, melainkan hanya berupa hak
sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan.
Maka tak pelak hal tersebut mengundang protes 12 lembaga swadaya
masyarakat (LSM), yakni, Indonesian Human Rights Committee For Social Justice
(IHCS), Serikat Petani Indonesia (SPI), Farmer Initiatives for Ecological
Livelihoods and Democracy (FIELD), Aliansi Petani Indonesia (API), Konsorsium
Pembaruan Agraria (KPA), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA),
Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Desa), Indonesia for Global Justice (IGJ),
Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Perkumpulan Sawit Watch, Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban
Tindak Kekerasan (KONTRAS). Jalur konstitusional pun ditempuh dengan mengujikan
sejumlah ketentuan dalam UU Perlintan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Materi UU Perlintan yang diujikan yaitu Pasal 59, Pasal 70 ayat
(1), dan Pasal 71 ayat (1). Ketentuan Pasal 59 UU Perlintan yang diuji ini
berisi mengenai redistribusi tanah bagi petani dalam bentuk hak sewa, izin
pengelolaan, izin pengusahaan, dan izin pemanfaatan atas tanah negara bebas.
Sedangkan untuk Pasal 70 ayat (1) dan Pasal 71 ayat (1), para Pemohon
mempersoalkan pembentukan kelembagaan petani yang dilakukan secara sepihak oleh
pemerintah. Hal ini menurut para Pemohon, berpotensi menciptakan tindakan
diskriminatif terhadap kelembagaan petani yang diinisiasi oleh masyarakat yang
bentuknya berbeda dengan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Para Pemohon berdalil, pembatasan hak atas tanah petani yang diperoleh
melalui redistribusi tanah berdasarkan hak sewa dan izin adalah merupakan
bentuk dari tidak adanya upaya negara melakukan redistribusi tanah untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pemberlakuan Pasal 59 UU Perlintan sepanjang
frasa “hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan”,
menurut para Pemohon, bertentangan dengan prinsip atau konsep hak menguasai
dari negara dan tidak ditujukan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, sehingga
bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945. Selain itu, adanya hak sewa tanah negara telah menimbulkan
ketidakpastian hukum sebab bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria yang
menyatakan bahwa penggunaan tanah negara dilakukan dengan hak pakai yang bukan
sewa menyewa.
Redistribusi yang Membebani
Makna “hak sewa” dalam ketentuan Pasal 59 UU Perlintan yaitu
petani penggarap membayar sewa kepada negara. Hal ini melanggar prinsip hak
menguasai negara (HMN). Ketentuan pasal ini memosisikan negara sebagai pemilik
tanah yang tanahnya disewa oleh petani. Padahal, pengertian HMN menurut tafsir
MK (Putusan Nomor 002/PUU-I/2003 tentang pengujian UU Minyak dan Gas Bumi),
bukan bermakna negara memiliki, tetapi dalam pengertian bahwa negara merumuskan
kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad),
pengurusan (bestuurdaad), pengelolaan (beheersdaad), dan
melakukan pengawasan (toezichthoudendaad).
Pasal 58 UU Perlintan,
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban memberikan jaminan luasan lahan Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf b bagi Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2).
(2) Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memberikan kemudahan untuk memperoleh tanah negara bebas yang diperuntukan atau ditetapkan sebagai kawasan Pertanian.
(3) Kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
a. pemberian paling luas 2 hektare tanah negara bebas yang telah ditetapkan sebagai kawasan Pertanian kepada Petani, yang telah melakukan Usaha Tani paling sedikit 5 (lima) tahun berturut-turut.
b. pemberian lahan Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1).
(4) Selain kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya memfasilitasi pinjaman modal bagi Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) untuk memiliki dan/atau memperluas kepemilikan lahan Pertanian.
Pasal 59 UU Perlintan,Kemudahan bagi Petani untuk memperoleh lahan Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3) huruf a diberikan dalam bentuk hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan.
Menurut para Pemohon, berlakunya ketentuan Pasal 59 UU Perlintan
khususnya pada frasa “hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin
pemanfaatan” bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal
28H ayat (2) serta Pasal 33 ayat (2) UUD 1945. Pembatasan hak atas tanah petani
yang diperoleh melalui redistribusi tanah berdasarkan hak sewa dan izin,
menunjukkan tidak adanya upaya negara melakukan redistribusi tanah untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Seharusnya negara memberikan tanah kepada petani dalam bentuk
“hak” bukan dalam bentuk “izin”. Sebab, dengan bentuk “hak”, petani sebagai
pemegang hak atas tanah mempunyai posisi hukum yang lebih kuat dibandingkan
sekedar pemegang izin. Pemberian tanah dengan bentuk “hak” secara langsung
dapat menunjang perekenomian petani.
Selain itu, berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU PA), untuk memperkuat hak atas tanah
petani, petani diberikan Hak Milik, minimal Hak Pakai, yang tanpa melibatkan
hubungan sewa-menyewa.
Menurut para Pemohon, pemberlakuan Pasal 59 UU Perlintan
sepanjang frasa “hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin
pemanfaatan” adalah sesuatu yang bertentangan dengan prinsip dan pengaturan
yang terdapat dalam UU PA, sehingga berpotensi besar menimbulkan ketidakpastian
hukum, yang dengan sendirinya merupakan pengingkaran terhadap Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945.
Praktik Feodalisme
Konsep petani menyewa tanah kepada negara adalah sama saja
dengan menghidupkan kembali praktik feodalisme. Dalam praktik feodalisme,
negara diposisikan sebagai tuan tanah dan petani sebagai penggarap. Konsep sewa
menyewa dan perizinan dalam praktik dan pemberlakuannya berpotensi menyulitkan
petani untuk memperoleh penghidupan yang layak. “Bahwa konsep petani menyewa
tanah kepada negara adalah suatu konsep yang menghidupkan kembali praktik
feodalisme,” kata Beni Dikty Sinaga, kuasa hukum Pemohon, saat memaparkan pokok
permohonan uji materi UU Perlintan, dalam persidangan pendahuluan di MK, Kamis
(7/11/2013) satu tahun yang lalu.
Di hadapan panel hakim konstitusi yang diketuai Patrialis Akbar
didampingi dua anggota panel Ahmad Fadlil Sumadi dan Anwar Usman, Beni
mensinyalir praktik sewa menyewa tanah juga membawa petani dalam perangkap
lintah darat dan sistem ijon. “Sisa-sisa penghisapan feodalisme inilah yang sesungguhnya
hendak diberantas oleh undang-undang pokok agraria Nomor 5 Tahun 1960,” lanjut
Beni.
Petani sebagai kelompok rentan, tidak mampu membayar sewa dan
mengurus perizinan. Bagaimana mungkin petani dapat membayar biaya sewa dan
izin, jika permasalahan utama mereka terkait penghidupan yang layak bagi
dirinya dan keluarga saja sulit untuk terpenuhi? Sudah sepatutnya pemerintah
berkewajiban untuk menyediakan tanah bagi para petani yang tidak bertanah, tanpa
harus membebani petani dengan kewajiban untuk membayar sewa.
Bukan Solusi
Kemiskinan paling banyak dialami oleh penduduk pedesaan yang
pada umumnya adalah petani. Dari total rakyat miskin di Indonesia, sekitar 66
persen berada di pedesaan dan sekitar 56 persen menggantungkan hidup sepenuhnya
pada pertanian. Dari seluruh penduduk miskin pedesaan ini ternyata 90 persen
bekerja. Artinya mereka bekerja keras tetapi tetap miskin.
Selama ini, petani kecil atau buruh tani menyewa tanah dari
tanah individu, tanah kas desa dan tanah perusahaan. Oleh karena itu, petani
mendapatkan tanah negara melalui mekanisme sewa, bukanlah solusi kemiskinan
petani, karena tetap saja mereka tidak memiliki alat produksi berupa tanah
milik sendiri karena tetap saja menyewa tanah.
Sewa Menyewa Antarpetani
Menanggapi permohonan para Pemohon, Pemerintah menyatakan hak
sewa dalam ketentuan Pasal 59 UU Perlintan adalah hak sewa antara petani dengan
petani. Jadi, sewa menyewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin
pemanfaatan sesama petani yang telah memperoleh kemudahan dari Pemerintah dalam
satu kawasan pertanian yang tidak dapat dialihfungsikan di luar usaha
non-pertanian.
Perlindungan dan pemberdayaan petani bertujuan untuk mewujudkan
kedaulatan dan kemandirian petani dalam rangka meningkatkan taraf kesejahteraan
kualitas dan kehidupan yang lebih baik. Selain itu, melindungi petani dari
kegalauan risiko harga, menyediakan prasarana dan sarana pertanian yang
dibutuhkan dalam mengembangkan usaha tani.
Pemberdayaan adalah segala upaya untuk meningkatkan kemampuan
petani untuk melaksanakan usaha petani yang lebih baik, yaitu antara lain
melalui pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pendampingan, pengembangan
sistem dan sarana pemasaran hasil pertanian, konsolidasi, dan jaminan luasan
lahan pertanian, ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, serta penguatan
kelembagaan petani. Sedangkan perlindungan petani adalah segala upaya untuk
membantu petani dalam menghadapi kesulitan memperoleh prasarana dan sarana
produksi, kepastian usaha, risiko harga, kegagalan panen, praktik ekonomi biaya
tinggi, dan perubahan iklim.
“Dari definisi tersebut, tentunya akan keliru dan tidak tepat,
apabila memaknai pemberdayaan petani dicampuradukkan dengan memaknai
perlindungan petani itu sendiri karena perlindungan petani diberikan kepada
petani penggarap tanaman pangan yang tidak memiliki usaha tani dan menggarap
paling luas dua hektare,” kata Mualimin Abdi saat menyampaikan keterangan
Pemerintah dalam persidangan di MK, Kamis, (19/12/2013).
Dalam memahami ketentuan Pasal 59 UU Perlintan tidak dapat
dilepaskan dengan ketentuan pasal-pasal lain, antara lain Pasal 58 dan 61 UU
Perlintan. Mualimin juga menegaskan hak milik atas tanah kawasan pertanian oleh
petani, sebagaimana kekhawatiran para Pemohon, tidak terhalang oleh ketentuan
Pasal 59, karena pasal ini hanya menjelaskan lebih lanjut atas ketentuan Pasal
58 ayat (3) huruf a. Kekhawatiran ini tidak cukup beralasan karena kepemilikan
lahan dan perluasan kepemilikan lahan dalam kawasan pertanian dijelaskan secara
gamblang dalam Pasal 58 ayat (4).
Pemerintah menyatakan tidak sependapat dengan argumentasi para
Pemohon yang menyatakan bahwa UU PA bertentangan dengan UU Perlintan.
Sebaliknya, keduanya saling melengkapi. “Menurut Pemerintah, antara keduanya saling
melengkapi,” tegas Mualimin.
Kemudahan bagi Petani
Rumusan ketentuan Pasal 59 UU Perlintan dimaksudkan untuk
menentukan bentuk-bentuk kemudahan bagi petani dalam memperoleh paling luas dua
hektare lahan pertanian sebagaimana diatur dalam Pasal 58 ayat (3) huruf a UU
Perlintan. Adapun bentuk-bentuk kemudahan tersebut adalah berupa hak
sewa, izin penguasaan, izin pengelolaan atau izin pemanfaatan atas anah negara
bebas yang telah diperuntukkan atau ditetapkan sebagai kawasan pertanian.
Kemudahan perolehan lahan pertanian bagi petani dalam bentuk hak
sewa, izin penguasaan, izin pengelolaan atau izin pemanfaatan dimaksudkan agar
pemerintah dan pemerintah daerah dapat mengawasi pemanfaatan tanah negara bebas
yang telah ditetapkan sebagai kawasan pertanian yang telah diberikan. Tujuan
pengawasan dimaksudkan agar tanah tersebut tetap jumlahnya, yaitu dua hektare
per petani. Dengan jumlah tersebut diharapkan petani mampu memperoleh
keuntungan dalam mengelola tanah yang diberikan. “Bila tidak ada instrumen pengawasan
dari Pemerintah, dikhawatirkan petani akan mengurangi luas lahan yang diberikan
dengan mengalihkan kepada pihak lain dan dihabiskan, lahan kawasan pertanian
akan berkurang,” kata Anggota Komisis III DPR-RI M. Nurdin, saat menyampaikan
keterangan DPR dalam persidangan di MK, Kamis (16/1/2014).
Politik Hukum Hindia-Belanda
Distribusi tanah kepada petani adalah untuk memudahkan para
petani memperoleh tanah negara bebas yang ditetapkan sebagai kawasan pertanian
agar para petani mendapatkan kepastian hukum terhadap lahan yang diberikan oleh
negara. Tujuan pemberian tanah negara bebas kepada petani agar tanah tersebut
berdaya guna dan berhasil guna, serta berkesinambungan dan tidak mudah
dipindahtangankan serta menjaga agar lahan pertanian tetap dapat dimanfaatkan
secara turun temurun serta tidak mudah diambil begitu saja oleh negara
(Pemerintah) kecuali untuk kepentingan umum dan yang dilaksanakan dengan suatu
itikad baik dan atau memberikan ganti lokasi yang setara, maka diperlukan
adanya suatu kepastian hukum kepada para petani.
Sewa menyewa tanah antara negara dengan warga negara khususnya
petani, adalah politik hukum yang sudah ditinggalkan sejak berlakunya UU PA.
Politik hukum yang bersifat eksploitatif ini merupakan peninggalan
Hindia-Belanda. “Politik hukum demikian adalah politik hukum peninggalan
Hindia-Belanda yang bersifat eksploitatif terhadap rakyat,” kata hakim
konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi membacakan Pendapat Mahkamah dalam sidang
pengucapan Putusan Nomor 7/PUU-XI/2013, Rabu (5/11/2014).
Menurut Mahkamah, Pasal 59 UU Perlintan berarti negara dapat
menyewakan tanah kepada petani. Hal ini bertentangan dengan prinsip
pemberdayaan petani yang dianut dalam UU PA yang melarang sewa menyewa tanah
antara negara dengan petani.
Sewa Menyewa Tak Perlu Diatur dalam UU Perlintan
Mahkamah berpendapat, sewa menyewa antara petani dengan petani
tidak perlu diatur dalam UU Perlintan. Sebab praktik sewa menyewa berada pada
hubungan hukum keperdataan biasa yang juga dimungkinkan oleh UU PA. Hal ini
berlawanan dengan keterangan Pemerintah sebagaimana tersebut di atas yang
menyatakan bahwa hak sewa dimaksud dalam Pasal 59 UU Perlintan adalah hak sewa
antara petani dengan petani.
Kendati demikian, Mahkamah menegaskan bahwa negara dapat saja
memberikan izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan kepada
petani terhadap tanah negara bebas yang belum didistribusikan kepada petani.
“Tetapi negara atau Pemerintah tidak boleh menyewakan tanah tersebut kepada
petani,” ucap Fadlil.
Sewa menyewa tanah antara negara atau Pemerintah dengan petani
bertentangan dengan prinsip pengelolaan bumi dan air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana dijamin Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Demikian pula dengan pemberian lahan sebesar 2 hektar tanah negara bebas kepada
petani, haruslah memprioritaskan kepada petani yang betul-betul belum memiliki
lahan pertanian dan bukan diberikan kepada petani yang cukup kuat dan telah
memiliki lahan.
Memperkuat dalil, Mahkamah merujuk pada pertimbangan hukum
mengenai pengertian “dikuasai oleh negara” dalam putusan-putusan sebelumnya,
yakni Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 bertanggal 15 Desember 2004, Putusan
Nomor 3/PUUVIII/2010 bertanggal 16 Juni 2011, dan Putusan Nomor 36/PUU-X/2012
bertanggal 13 November 2012. Pengertian “dikuasai oleh negara” harus diartikan
penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dari konsepsi kedaulatan
rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya. Termasuk di dalamnya kepemilikan publik oleh
kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. “Sebesar-besar
kemakmuran rakyat-lah yang menjadi ukuran utama bagi negara dalam menentukan
pengurusan, pengaturan atau pengelolaan atas bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya,” lanjut Fadlil membacakan kutipan pendapat Mahkamah.
Mahkamah berpendirian bahwa bentuk penguasaan negara terhadap
bumi dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dapat dilakukan
dengan tindakan pengurusan dalam hal ini termasuk memberikan izin, lisensi, dan
konsesi, tindakan pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan. Salah satu dari
keempat tindakan tersebut dapat dilakukan oleh negara sepanjang berdasarkan
penilaian tindakan yang memberikan manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran
rakyat. “Menurut Mahkamah, tindakan negara memberikan izin pengelolaan, izin
pengusahaan, dan izin pemanfaatan tanah negara bebas di kawasan pertanian harus
memberikan manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, sehingga pemberian
izin tersebut dapat dilakukan oleh negara,” tandas Fadlil.
Alhasil, Mahkamah mengabulkan permohonan pengujian Pasal 59 UU
Perlintan. Mahkamah menyatakan frasa “hak sewa” dalam Pasal 59 UU Perlintan
bertentangan dengan UUD 1945 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Nur Rosihin Ana
Laporan Utama Majalah
Konstitusi No, 94 Desember 2014 hal. 8-14
Kutipan Amar Putusan Nomor 87/PUU-XI/2013
Pengujian Nomor Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013
tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Petani terhadap UUD 1945
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk
sebagian;
1.1. Frasa “hak sewa” dalam Pasal 59 Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5433) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
1.2. Frasa “hak sewa” dalam Pasal 59 Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5433) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
1.3. Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5433) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, sepanjang tidak dimaknai “termasuk kelembagaan petani yang dibentuk
oleh para petani”;
1.4. Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5433) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai
“termasuk kelembagaan petani yang dibentuk oleh para petani”;
1.5. Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5433) selengkapnya menjadi, “Kelembagaan Petani sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 69 ayat (1) terdiri atas: a. Kelompok Tani; b. Gabungan Kelompok
Tani; c. Asosiasi Komoditas Pertanian; dan d. Dewan Komoditas Pertanian
Nasional, serta kelembagaan petani yang dibentuk oleh para petani”;
1.6. Kata “berkewajiban” dalam Pasal 71
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 131, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5433) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.7. Kata “berkewajiban” dalam Pasal 71
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 131, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5433) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
1.8. Pasal 71 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013
tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5433) selengkapnya menjadi, “Petani bergabung dan berperan aktif dalam
Kelembagaan Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1)”;
2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam
Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
3. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain
dan selebihnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar