Harmoni...

Jakarta, September 2010

Harmoni...

Jakarta, Desember 2010

Belahan jiwa

......

...Belahan jiwa...

......

ceria...

Jakarta, 8 Januari 2012

Nora Uzhma Naghata

Bogor, 24 Februari 2011

Nora Uzhma Naghata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Taman Safari Puncak

Bogor, 24 Februari 2011

Bandara Ahmad Yani

Semarang, 28 September 2011

Rileks

*********

Nur Rosihin Ana

Semarang, 19 Oktober 2010

Nur Rosihin Ana

mahkamah dusturiyyah, 18 Juli 2012

Nur Rosihin Ana

Hotel Yasmin, Puncak, Desember 2010

Nora Uzhma Naghata

Naghata

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Demak, 11 September 2011

Nur Rosihin Ana

Nagreg, Bandung 11 Juli 2011

Nora Uzhma Naghata, Sri Utami, Najuba Uzuma Akasyata, Nur Rosihin Ana

Sapa senja di Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Sapa Senja Jepara

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

...bebas, lepas...

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Rabu, 30 Januari 2013

Pasangan Asri: Nama Ganda Cawabup Pamekasan Berkekuatan Hukum Tetap


Pasangan calon bupati dan wakil bupati Pamekasan nomor urut 3, Achmad Syafii-Halil (Asri) selaku Pihak Terkait dalam perkara perselisihan hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) Kabupaten Pamekasan Tahun 2013, dalam eksepsinya menyatakan permohonan yang diajukan pasangan Kholilurrahman-Mohammad Masduki (Kompak) hampir seluruhnya menguraikan tentang nama ganda calon wakil bupati (cawabup). Nama ganda dimaksud yaitu nama Khalil Asyari dan Halil yang dimiliki oleh cawabup nomor urut 3.

Persoalan tersebut, kata Syafi’i yang bertindak sebagai kuasa hukum pasangan Asri, telah diputus oleh Pengadilan Negeri (PN) Kelas 1B Pamekasan Nomor 191/Pdt.P/2012/PN.Pks Tanggal 1 November 2012. Putusan ini pada intinya menyatakan bahwa Halil juga mempunyai nama lain yaitu Muhammad Khalil Asyari. “Penetapan pengadilan negeri ini sudah inkracht, mempunyai kekuatan hukum tetap, sehingga harus dihormati,” dalil Syafi’i.

Selain itu, lanjut Syafi’i, nama ganda Khalil Asyari dan Halil sudah diputus oleh oleh Dewan Kehormatan Penyelanggara Pemilu (DKPP) Nomor 30/DKPP-PKE-I/2012 tanggal 6 Desember 2012. DKPP dalam salah satu pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa penetapan PN kelas 1B Pamekasan tersebut di atas, sudah berkekuatan hukum tetap.

Oleh karena itu menurut Syafi’i, objectum litis (objek perkara) permohonan pasangan Kholilurrahman-Mohammad Masduki (Kompak) tidak memenuhi syarat permohonan perselisihan hasil Pemilukada. Dengan demikian, menurut Syafi’i, Mahkamah tidak memiliki kewenangan untuk memeriksanya. “Menurut Pihak Terkait, Mahkamah tidak berwenang memeriksa perkara a quo.

Hal tersebut disampaikan Syafi’i di hadapan persidangan Panel Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar (Ketua Panel), Hamdan Zoelva, dan Muhammad Alim, Rabu (30/01/2013) siang bertempat di ruang sidang pleno lt. 2 gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Persidangan untuk perkara Nomor 6/PHPU.D-XI/2013 ihwal perselisihan hasil Pemilukada Kabupaten Pamekasan Tahun 2013 yang diajukan oleh pasangan Kompak ini, beragendakan mendengarkan keterangan Pihak Terkait dan keterangan ahli.

Pada persidangan kali kedua ini, pasangan Kompak selaku Pemohon, menghadirkan dua orang Ahli, yaitu Irmanputra Sidin dan Yusril Ihza Mahendra. Irmanputra menerangkan tentang pelanggaran terstruktur, sistematis, dan massif (TSM) yang beberapa kali pernah diungkapkannya dalam persidangan di MK. Irmanputra juga memaparkan tentang maklumat DKPP.

Menurutnya, Maklumat DKPP tidak bisa dijadikan dasar hukum untuk merubah keputusan penyelenggara Pemilu. Pada batas-batas tertentu mungkin ada sebuah kejadian luar biasa, bisa saja, tetapi tidak serta-merta bisa dijadikan dasar hukum,” terangnya.

Sementara itu, Yusril Ihza Mahendra menerangkan tentang kejelasan identitas atau nama yang melekat pada diri seseorang, ketika yang bersangkutan melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai warga negara, dalam hal ini mencalonkan diri sebagai bupati atau wakil bupati. Pasal 26 UUD 1945 memuat norma mengenai siapa saja yang menjadi warga negara Indonesia. “Warga negara sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 26 UUD 1945 itu adalah individu-individu atau orang perorangan yang wajib memiliki identitas, seperti nama, tempat, dan tanggal lahir, nama orang tua, dan lain-lain yang semuanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau paling tidak dengan surat keterangan lahir yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang,” kata Yusril.

Menurut Yusril, nama dalam akta kelahiran sangat penting untuk menerbitkan berbagai dokumen kependudukan atau dokumen kewarganegaraan yang lain, seperti kartu penduduk, paspor. Karena ketentuan mengenai akta kelahiran dahulu hanya berlaku bagi golongan Eropa dan Timur Asing, maka secara faktual banyak orang Indonesia asli yang lahir tanpa pernah mengurus akta kelahiran.

Mengacu Identitas KTP

Identitas seseorang, terang Yusril, paling mudah diketahui dari kartu tanda penduduknya. Dengan demikian, apabila seseorang diwajibkan untuk mengisi berbagai formulir, termasuk formulir pendaftaran sebagai calon peserta Pemilukada, maka nama yang dicantumkan dalam formulir tersebut haruslah sama dengan nama yang tertera di dalam kartu tanda penduduknya, dan harus sama pula dengan dokumen-dokumen kependudukan lainnya sebagaimana diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Oleh karena itu, ketika seseorang mengisi sebuah formulir pencalonan bupati atau wakil bupati dengan menggunakan nama Halil, sementara dalam kartu tanda penduduknya menggunakan nama Muhammad Khalil Asyari, maka secara hukum orang yang bernama Halil adalah berbeda dengan orang yang bernama Muhammad Khalil Asyari.

Dengan demikian, jika nama ganda Halil dengan Muhammad Khalil Asyari adalah nama untuk satu orang yang sama, maka yang bersangkutan harus menyelesaikan identitas dirinya dalam seluruh dokumen kependudukan yang dimilikinya melalui permohonan penetapan kepada pengadilan. “Setelah ada penetapan perubahan atau penyesuaian dua nama pada satu orang yang sama, maka pejabat administrasi kependudukan berkewajiban untuk melakukan perubahan atau memberikan catatan perubahan atas nama yang bersangkutan di dalam dokumen-dokumen kependudukan,” tandas Yusril. (Nur Rosihin Ana)
readmore »»  

Selasa, 29 Januari 2013

Berdalil Pelanggaran TSM, Kompak Minta Pemungutan Suara Pemilukada Kab. Pamekasan Diulang


Pasangan Kholilurrahman-Mohammad Masduki (Kompak) mendalilkan pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) Kabupaten Pamekasan Tahun 2013 diwarnai pelanggaran terstruktur, sistematis dan massif (TSM). Pelanggaran tersebut menurut Kompak,  berpengaruh terhadap terpilihnya pasangan calon. Oleh karena itu, Kompak meminta Mahkamah Konstitusi (MK) agar memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Pamekasan untuk menyelenggarakan pemungutan suara ulang di seluruh Tempat Pemungutan Suara (TPS)  se-Kabupaten Pamekasan.

“Memerintahkan kepada Termohon untuk menyelenggarakan pemungutan suara ulang Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Pamekasan Tahun 2013 di seluruh TPS se-Kabupaten Pamekasan yang diikuti oleh pasangan calon bupati dan wakil bupati kabupaten pamekasan, pasangan calon nomor urut 1 yaitu pemohon, pasangan calon nomor Urut 2, tanpa pasangan calon nomor urut 3 Drs. Ahmad Syafii dan Khalil.”

Hal tersebut disampaikan Abdul Rochiem Asnawi, kuasa hukum Kompak dalam persidangan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Pamekasan Tahun 2013 yang digelar di MK pada Selasa (29/01/2013) siang. Sidang pendahuluan untuk perkara Nomor 6/PHPU.D-XI/2013 ini dilaksanakan oleh Panel Hakim Kosntitusi M. Akil Mochtar (Ketua Panel), Hamdan Zoelva, dan Muhammad Alim.

Pasangan Kompak dalam permohonannya ke MK menyatakan keberatan terhadap Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Jawa Timur Nomor  04/Kpts/KPU-Prov-014/tahun 2013 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Tingkat Kabupaten Pamekasan Tahun 2013 Tanggal 12 Januari 2013 dan Keputusan KPU Provinsi Jawa Timur Nomor 05/KptsKPU-Prov-014/Tahun 2013 tentang Penetapan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Terpilih Dalam Pemilihan Umum Bupati dan Wakil Bupati Pamekasan Tahun 2013 Tanggal 12 Januari 2013. KPU Provinsi Jawa Timur dalam keputusannya menetapkan pasangan nomor urut 3, Achmad Syafii-Khalil Asyari (Asri) sebagai pemenang Pemilukada Kabupaten Pamekasan dengan perolehan 250.336 suara atau 54,05%.

Abdul Rochiem Asnawi menyatakan penetapan pasangan Kompak sebagai pasangan calon bupati dan wakil bupati, melanggar peraturan perundang-undangan. “Karena nama bakal calon wakil bupati, yaitu Khalil adalah tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksudkan dalam hasil penelitian surat pencalonan beserta lampirannya,” terang Rochiem.

Perubahan nama Halil menjadi Moh. Khalil Asyari ditetapkan oleh Pengadilan Pamekasan Nomor 191/Pdt.P/2012/PN.Pks Tanggal 1 November 2012 yang menyebutkan: “Pemohon di samping bernama Halil juga dikenal dengan nama lain yaitu Moh. Khalil Asy’ari.” Menurut Rochiem, perubahan nama calon wakil bupati nomor urut 3, Halil menjadi Moh. Khalil Asyari, bertentangan dengan pasal 52 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Di samping itu, lanjutnya, memasukkan nama Khalil Asyari sebagai cawabup tanpa dasar hukum. Sebab dalam Keputusan Dewan Kehormatan Penyelanggara Pemilu (DKPP) Nomor 30/DKPP-PKE-I/2012 tanggal 6 Desember 2012, tidak ada perintah yang menyatakan pasangan Asri memenuhi syarat dan ditetapkan sebagai pasangan calon bupati dan wakil bupati Pamekasan Tahun 2013 dengan nomor urut 3. “Dengan demikian, secara faktual, Termohon melanggar peraturan perundang-undangan.”

Suara Siluman

Rochiem juga mendalilkan terjadinya kesalahan dalam pelaksanaan pemungutan suara pada 9 Januari 2013, karena jumlah jumlah suara sah dan tidak sah melebihi jumlah surat suara yang diterima oleh setiap Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). “Jumlah daftar pemilih tetap (DPT) adalah 618.492 dan terbukti Termohon mengeluarkan suara siluman, yaitu sebesar 22.240,” terang Rochiem.

Rinciannya, surat suara yang terpakai sebanyak 445.446, surat suara tidak terpakai 172.714, surat suara yang dikembalikan oleh pemilih 332, dan jumlah total sebanyak 618.492. Surat suara sah untuk ketiga calon 440.723, suara tidak sah 8.229, jumlah 448.952. Perolehan suara pasangan calon nomor urut 1 sebanyak 6.905, nomor urut 2 sebanyak 205.902, dan nomor urut 3 memperoleh 250.336. Jumlah surat suara sah ketiga calon sebanyak 463.143, surat tidak sah 8.229, jumlah 471.372. Jadi terdapat selisih              22.420.

Berdasarkan dalil-dalil tersebut, pasangan Kompak melalui kuasanya Abdul Rochiem Asnawi, memohon kepada Mahkamah agar membatalkan Keputusan KPU Provinsi Jawa Timur Nomor 04/Kpts/KPU-Prov-014/tahun 2013 dan Keputusan KPU Provinsi Jawa Timur Nomor 05/KptsKPU-Prov-014/Tahun 2013 tersebut di atas. Kompak juga memohon kepada Mahkamah agar mendiskualifikasi pasangan Asri dan memerintahkan KPU Kabupaten Pamekasan untuk melaksanakan pemungutan suara ulang di seluruh TPS. Kemudian, memerintahkan KPU Provinsi Jawa Timur dan Panwaslu untuk mengawasi pemungutan suara ulang tersebut sesuai dengan kewenangannya. Terakhir, melaporkan hasil pemungutan suara kepada MK selambat-lambatnya 60 hari setelah pengucapan putusan.

Sementara itu, KPU Provinsi Jawa Timur melalui kuasa hukumnya, Robikin Emhas, membenarkan dalil pasangan Kompak ihwal tidak terpenuhinya syarat pasangan nomor urut 3, Achmad Syafii-Khalil Asyari (Asri), sebagai pasangan calon. “Tidak terpenuhinya syarat pasangan calon, pada mulanya adalah benar.” Kata Robikin.  

KPU Kabupaten Pamekasan, terang Robikin, semula menyatakan pasangan Asri memenuhi syarat sebagai bakal pasangan calon. Setelah itu, informasi dari masyarakat menerangkan bahwa identitas diri Khalil Asyari tidak sesuai dengan identitas di KTP maupun di ijazah. Menindaklanjuti informasi, KPU Pamekasan melakukan konfirmasi ke pihak terkait, hingga kemudian menetapkan pasangan Asri tidak memenuhi syarat sebagai pasangan calon.

Dinyatakan tidak lolos sebagai pasangan calon, pasangan Asri melaporkan seluruh komisioner KPU Kab Pamekasan ke DKPP dan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya. Putusan pengadilan memperjelas identitas dan nama Khalil yang tertera beda di ijazah, KTP, dan SK pengangkatannya sebagai Anggota DPRD Kabupaten Pamekasan. “Sehingga secara hukum telah mendapatkan keabsahannya,” dalil Robikin.

Sedangkan putusan DKPP berisi pemberhentian tetap kepada lima komisioner Kab. Pamekasan. “Akhhirnya kemudian, KPU Jawa Timur melakukan tindak lanjut dengan, pertama, menerbitkan SK pemberhentian terhadap lima komisioer. Dan kemudian selanjutnya adalah mengambil alih penyelenggaraan Pemilukada Kabupaten Pamekasan,” tandas Robikin. (Nur Rosihin Ana)
readmore »»  

Pemilukada Mamberamo Tengah: Mahkamah Tolak Permohonan Eremen-Leonard


Dalil-dalil yang mendasari permahononan keberatan Pasangan Eremen Yogosam-Leonard Doga (Eremen-Leonard) terhadap hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) Kabupaten Mamberamo Tengah (Mamteng), tidak terbukti menurut hukum. Menurut Mahkamah, tidak terjadi pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan massif dalam pelaksanaan Pemilukada Kabupaten Mamberamo Tengah Tahun 2012.

Walhasil, dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan menolak permohonan Eremen-Leonard. “Amar putusan, mengadili, menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD dalam sidang pengucapan putusan Nomor 1/PHPU.D-XI/2013 ihwal perselisihan hasil Pemilukada Mamteng Tahun 2012, Selasa (29/01/2013) di ruang Pleno lt. 2 gedung Mahkamah Konstitusi.

Dalil-dalil pasangan Eremen-Leonard tersebut yaitu mengenai tidak adanya pemungutan suara di Kampung Dogobak, Binime, Yagabur, dan Kampung Pelanme yang kesemuanya masuk dalam Distrik Kelila. Menurut Eremen-Leonard, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mamteng hanya membagi dan membuat Berita Acara untuk enam TPS di empat kampung tersebut. Selain itu, KPU Mamteng juga mengubah perolehan suara para pasangan calon, sehingga rekapitulasi versi PPD Kelila berbeda dengan rekapitulasi KPU Mamteng.

KPU Mamteng membantah dalil tersebut dan menyatakan pemungutan suara di distrik Kelila menggunakan sistem Noken. Selain itu, saksi-saksi yang diajukan Pemohon tidak menerangkan secara terperinci mengenai tidak dilaksanakannya pemungutan suara di empat kampung tersebut. Para saksi juga tidak menjelaskan secara terperinci mengenai adanya perbedaan hasil rekapitulasi.

KPU Mamteng juga membantah dalil Eremen-Leonard mengenai adanya rekayasa di Distrik Megambilis. Sebaliknya, KPU Mamteng menyatakan justru Eremen-Leonard yang berkolusi dengan Sekretaris dan seorang Anggota PPD Megambilis untuk membuat rekapitulasi perolehan suara fiktif dalam Formulir Model DA-KWK.KPU, Model DA.1-KWK.KPU, dan Lampiran Model DA.1- KWK.KPU yang ditandatangani oleh Sekretaris dan Anggota PPD Distrik
Megambilis tersebut. Rekapitulasi fiktif tersebut ditolak KPU Mamteng karena dibuat secara tidak sah.

Begitu pula dalil mengenai rekapitulasi tingkat PPD Distrik Eragayam dan tingkat Kabupaten yang tidak memasukkan hasil dari TPS 1 Kampung Arsbol, TPS 1 Kampung Pagale, dan TPS 1 Kampung Wanilok. Dalil ini bukan hanya dibantah oleh KPU Mamteng, tapi juga oleh pasangan R. Ham Pagawak-Yonas Kenelak (Ham-Yonas) selaku Pihak Terkait. KPU Mamteng menyatakan enam belas TPS di Distrik Eragayam telah direkapitulasi, yang meliputi juga TPS 1 Kampung Arsbol, TPS 1 Kampung Pagale, dan TPS 1 Kampung Wanilok. Hasil rekapitulasi PPD Distrik Eragayam menunjukkan perolehan suara pasangan calon nomor urut 4 adalah 24 suara. Hasil rekapitulasi PPD tersebut dijadikan dasar penghitungan dalam rekapitulasi tingkat kabupaten.

Dengan demikian, tidak terbukti dalil-dalil pasangan Eremen-Leonard mengenai pelanggaran yang cukup serius dalam Pemilukada Mamteng. “Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, tidak ditemukan adanya pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan massif dalam pelaksanaan Pemilukada Kabupaten Mamberamo Tengah Tahun 2012,” kata Hakim Konstitusi maria Farida Indrati membacakan Pendapat Mahkamah.

Sementara itu, untuk permohonan perselisihan hasil Pemilukada Mamteng yang diajukan oleh pasangan Demi Wanimbo-Naftali Karoba (Demi-Naftali). Demi-Naftali merupakan bakal pasangan calon bupati dan wakil bupati dalam Pemilukada Mamteng Tahun 2012.

Mahkamah dalam amar putusan Nomor 2/PHPU.D-XI/2013 menyatakan permohonan Demi-Naftali tidak dapat diterima. Mahkamah dalam konklusinya menyatakan Demi-Naftali tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan sehingga mahkamah tidak lagi mempertimbangkan mengenai eksepsi KPU Mamteng, tenggang waktu pengajuan permohonan, dan pokok permohonan. “Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo,” kata ketua Panel Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD. (Nur Rosihin Ana).

Selengkapnya putusan permohonan Eremen-Leonard di sini
Selengkapnya putusan permohonan Demi-Naftali di sini
readmore »»  

Senin, 28 Januari 2013

APINDO: Tidak Adil Pengusaha Dibebani Kewajiban Tanpa Batasan Waktu


Perumusan masa kedaluwarsa selama waktu 2 (dua) tahun pada dasarnya merupakan kebutuhan hukum atas keadilan dan kepastian serta dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Jangka waktu 2 tahun adalah waktu yang cukup bagi pekerja/buruh untuk menuntut pembayaran haknya. Namun jika pekerja/buruh tidak memanfaatkan waktu tersebut, maka berarti pekerja/buruh sudah melepaskan segala haknya. “Sangat tidak adil untuk dibebankan kepada pengusaha dan tidak pula adil seorang pengusaha dibebani kewajiban-kewajiban tanpa ada batasan waktu, tentu akan membebani pengusaha sepanjang masa. Hal ini tentu akan menimbulkan hukum yang tidak berkeadilan dan menyampingkan kepastian.”

Ketua Umum Pengurus Harian Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Sofjan Wanandi mengatakan hal tersebut saat menjadi Pihak Terkait dalam sidang pengujian Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (28/1/2013). Sidang kali keempat untuk perkara yang diregisterasi pada 3 Oktober 2012 oleh Kepaniteraan MK dengan Nomor 100/PUU-X/2012 ini mengagendakan mendengarkan keterangan APINDO.

Memperkuat pernyataan tersebut di atas, Sofjan Wanandi menjelaskan tujuh alasan (dalil). Pertama,  hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh harus ada kepastian hukum. Kedua, untuk memperoleh kepastian hukum perlu ditetapkan hak dan kewajiban yang timbul akibat hubungan kerja. Ketiga, ketentuan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan untuk memberikan kepastian hukum atas segala keputusan atau penetapan, dan sampai kapan keputusan atau penetapan tersebut dapat digugat di pengadilan. Keempat, pemberian kesempatan bagi pekerja/buruh untuk menolak atau melakukan gugatan terhadap perlakuan yang dirasakan tidak adil apabila terjadi PHK sebagaimana diatur oleh Pasal 96 UU Ketenagakerjaan, adalah jaminan bahwa hak-hak mendasar pekerja/buruh di tempat bekerja dilindungi oleh negara. Kelima, bagi pekerja/buruh yang tidak melakukan tuntutan melampaui batas waktu yang diberikan oleh UU, maka dengan sendirinya dianggap telah melepaskan haknya, adalah suatu yang wajar demi adanya kepastian hukum bagi para pihak. Keenam, berkaitan dengan pembayaran upah dan hak-hak lain dalam hubungan kerja, selalu diatur adanya ketentuan kedaluwarsa. Ketujuh, Pasal 96 UU Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945.

Berdasarkan dalil tersebut, APINDO meminta Mahkamah agar menolak permohonan uji Pasal 96 UU Ketenagakerjaan. Kemudian meminta Mahkamah menyatakan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. “Berdasarkan hal tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi dapat memberikan keputusan, ini tentu pendapat kami daripada pengusaha, untuk dapat menolak pengujian Pemohon seluruhnya, atau permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima,” pinta Sofjan.

Panel Hakim Konstitusi Achmad Sodiki (ketua panel), Ahmad Fadlil Sumadi, M. Akil Mochtar, Hamdan Zoelva, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, dan Anwar Usman, menyatakan proses persidangan uji materi UU Ketenagakerjaan dianggap cukup. Panel Hakim meminta para pihak yaitu Pemohon, Pemerintah, DPR, agar membuat kesimpulan dan diserahkan langsung ke Kepaniteraan MK paling lambat pada Senin, 4 Februari 2013 pukul 16.00 WIB. “Baiklah, kalau demikian, maka seluruh persidangan mengenai Perkara Nomor 100/PUU-X/2012 ini dianggap cukup,” kata Ketua Pleno Achmad Sodiki.

Untuk diketahui, permohonan uji Pasal 96 UU Ketenagakerjaan dimohonkan oleh Marten Boiliu. Marten adalah petugas Satuan Pengaman (Satpam) pada perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melalui perusahaan penyedia jasa pengamanan, yaitu di PT Sandy Putra Makmur (PT SPM). Marten mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ketika PT SPM tidak lagi menjalin hubungan kerja dengan BUMN tempat di mana dia ditugaskan. Marten kehilangan hak atas uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak karena tidak mengajukan tuntutan atas hak-hak tersebut dalam kurun waktu 2 tahun. Pasal 96 UU Ketenagakerjaan menyatakan, “Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kedaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak.” Menurut Marten, ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” (Nur Rosihin Ana)
readmore »»  

Rabu, 23 Januari 2013

Refly Harun: DPD Berwenang Menyetujui RUU


Ketentuan Pasal 20 ayat (2) Perubahan Pertama UUD 1945 tidak lagi abslout setelah dirumuskannya Pasal 22D ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945. Artinya, tidak semua rancangan undang-undang (RUU) dibahas bersama hanya oleh DPR dan Presiden, melainkan ada pula RUU yang pembahasannya mengikutsertakan DPD.

Pasal 20 ayat (2) Perubahan Pertama UUD 1945 (tahun 1999) menyatakan, “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.” Kemudian Pasal 22D ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945 (tahun 2001) menyatakan, “Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.”

Ketentuan Pasal 22D ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945 merupakan pengecualian (lex specialis) terhadap Ketentuan Pasal 20 ayat (2) Perubahan Pertama UUD 1945. Dengan pengecualian tersebut, maka Ketentuan Pasal 20 ayat (2) Perubahan Pertama UUD 1945 harus dikaitkan secara sistematis dengan Pasal 22D ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945.

“Persetujuan RUU yang disebut dalam Pasal 22D ayat (2) Perubahan Ketiga dengan demikian dilakukan oleh tiga institusi, yaitu DPR, DPD, dan Presiden atau tripartit.”

Demikian disampaikan oleh Refly Harun (Prinsipal Pemohon) dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (23/1/2013). Sidang pleno uji materi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3), ini dilaksanakan oleh sembilan Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Moh. Mahfud MD.

Persetujuan Tripartit

Pembahasan yang dilakukan oleh DPR dan Presiden, terang Refly, bertujuan untuk dicapainya persetujuan bersama. Dengan demikian, pembahasan dan persetujuan UU bukanlah kegiatan yang terpisah menurut Ketentuan Pasal 20 ayat (2) Perubahan Pertama UUD 1945.

Persetujuan adalah produk dari proses pembahasan yang dilakukan oleh DPR dan Presiden. Oleh karena itu, terkait dengan Ketentuan Pasal 22D ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945 yang menyertakan DPD dalam pembahasan RUU, maka secara sistematis ketentuan pasal tersebut harus dibaca: “Rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama, dibahas bersama oleh DPR, Presiden, dan DPD untuk mendapat persetujuan bersama.”

Pasal 1 angka 1 UU P3 menyatakan, “Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.”

Dari kelima tahapan tersebut, lanjut Refly, DPD berhak untuk mengikuti tiga tahapan, yaitu perencanaan, penyusunan, dan pembahasan, sama seperti kewenangan DPR saat ini. “Akan tetapi, DPD hanya terbatas pada mandat yang termaktub dalam Pasal 22D ayat (2) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945,” dalil Refly.

Sementara itu, Presiden justru berhak mengikuti lima tahapan tersebut, termasuk tahapan pengesahan dan pengundangan yang tidak dimiliki oleh DPR maupun DPD. Oleh karena itu, dalam konteks pembahasan RUU, DPD harus diperlakukan sama dengan DPR dan Persiden sepanjang terkait Pasal 22D ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945. “DPD dengan demikian  mengikuti semua tingkat pembahasan RUU yang diatur dalam undang-undang, termasuk kegiatan-kegiatan dalam tingkat pembahasan tersebut. Karena dalam pembahasan tingkat pertama, DPD tidak diikutkan dalam membahas daftar inventarisasi masalah,” terang Refly.

Sidang kali ini merupakan proses pemeriksaan terakhir sebelum pengucapan putusan. Ketua Pleno Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD meminta kepada para pihak untuk membuat kesimpulan dan diserahkan secara langsung kepada Kepaniteraan MK paling lambat pada Rabu 30 Januari 2013 pukul 16.00 WIB.

Untuk diketahui, permohonan uji materi UU MD3 dan UU P3 untuk Perkara Nomor 92/PUU-X/2012 diajukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sedangkan untuk  Perkara Nomor 104/PUU-X/2012 diajukan oleh Prof Syamsuddin Haris (LIPI), Dr. Yudi Latif (Direktur Eksekutif Reform Institute), Sukardi Rinakit (Yayasan Soegeng Sarjadi), Titi Anggraini (Perludem) Toto Sugiarto (Peneliti Soegeng Sarjadi Syndicate), Yurist Oloan (FORMAPPI), sebagai Pemohon VI, Dr. Hemawan Estu Bagijo, SH, MH (Ketua Asosiasi Pengajar HTN), Refly Harun (CORRECT), Yuda Kusumaningsih (Pokja Keterwakilan Perempuan), Sulastio, (IPC), Sulastio (KIPP), Pipit Apriani (KIPP), Yusfitriadi (JPPR), Abdullah (ICW), Feri Amsari, SH, MH (Dosen HTN Fakultas Hukum Universitas Andalas), dan King Faisal Sulaiman SH, LLM (Direktur LBH Imparsial).

Materi UU MD3 yang diujikan yaitu Pasal 71 huruf a, huruf d, huruf e, Pasal 102 ayat (1), Pasal 147 ayat (3), ayat (4), ayat (7), Pasal 150 ayat (3), ayat (4) huruf a, Pasal 151 ayat (1) huruf a, huruf b, dan Pasal 154 ayat (5).

Sedangan materi UU P3 yang diujikan yaitu Pasal 18 huruf g, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), ayat (3), Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 43 ayat (1), ayat (2), Pasal 46 ayat (1), Pasal 48 ayat (2), ayat (4), ayat (5), Pasal 65 ayat (3), Pasal 68 ayat (2) huruf c, huruf d, ayat (3), ayat (4), ayat (5), Pasal 69 ayat (1) huruf a, huruf b, Pasal 70 ayat (1), dan ayat (2).

DPD mendalilkan, Pasal 102 ayat (1) huruf (d) dan (e) UU MD3, Pasal 48 ayat (2) dan (4) UU P3 telah mereduksi kewenangan legislasi DPD yang seharusnya setara dengan kewenangan legislasi Anggota, Komisi, dan Gabungan Komisi DPR. Pasal 18 huruf g, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21, Pasal 22 ayat (1), dan Pasal 23 ayat (2)  UU P3  telah meniadakan kewenangan DPD untuk dapat mengajukan RUU baik di dalam maupun di luar Program Legislasi Nasional. Pasal 143 ayat (5) dan Pasal 144 UU MD3 secara sistematis tidak mengikutsertakan DPD sejak awal proses pengajuan RUU. Pasal 147 ayat (1), ayat (3), dan (4) UU MD3 telah mendistorsi RUU usul DPD menjadi RUU usul DPR. Pasal 43 ayat  (1) dan  (2)  serta  Pasal 46 ayat (1) UU P3 telah merendahkan kedudukan DPD menjadi lembaga yang sub-ordinat di Bawah DPR. Pasal 65 ayat (3) dan (4) UU P3 tidak melibatkan DPD dalam seluruh proses pembahasan RUU. (Nur Rosihin Ana)
readmore »»  

Selasa, 22 Januari 2013

Dua Cabup Akui Kemenangan Ham-Yonas dalam Pemilukada Mamberamo Tengah


Dua calon bupati (cabup) Mamberamo Tengah (Mamteng) yaitu David Pagawak dan Daniel Tabuni mengakui kemenangan pasangan R. Ham Pagawak-Yonas Kenelak (Ham-Yonas) dalam pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pemilukada) Mamteng Tahun 2012. “Saya akui kemenangan yang diperoleh Saudara Nomor Urut 2,” kata David Pagawak di hadapan panel Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD (Ketua Panel) Maria Farida Indrati, dan Anwar Usman, Selasa (22/1/2013) siang di ruang pleno lt 2 gedung Mahkamah Konstitusi (MK).

David dalam keterangannya menyatakan, pada 10 November 2012, para calon sepakat untuk siap menerima kemenangan maupun kekalahan dalam Pemilukada Mamteng. Kemudian setelah pemungutan suara, David pun dengan lapang dada menghormati hasil Pemilukada yang dimenangi oleh pasangan Ham-Yonas. Bahkan David berharap pelantikan bupati-wakil bupati terpilih dipercepat karena alam dan masyarakat Mamteng merestuinya. “Jadi, walaupun Bapak kalah, tetap menghormati hasil pemilukada?” tanya Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati. “Ya,” Jawab David.

David Pagawak merupakan bupati pertama kabupaten pemekaran Mamteng. David hadir di persidangan MK sebagai saksi pasangan Ham-Yonas (Pihak Terkait). Pada Pemilukada Mamteng Tahun 2012, David Pagawak berpasangan dengan Simon Gombo maju sebagai cabup/cawabup dengan nomor urut 1.

Senada dengan David, Daniel Tabuni juga menghormati suara mayoritas masyarakat Mamteng. Daniel Tabuni dan Lukas Polona maju dalam Pemilukada Mamteng 2012 diusung oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). “Kami mengakui dan menghormati suara yang terbanyak, yaitu atas nama, nomor urut 2 atas nama R. Ham Pagawak dengan Yonas Kenelak,” tandas Daniel.

Panel Hakim Konstitusi juga mendengar keterangan saksi-saksi yang dihadirkan oleh KPU Mamteng (Termohon), antara lain keterangan Panitia Pemilihan Distrik (PPD) Eragayam, Kelila, Megambilis. Ketua Panitia Pemilihan Distrik (PPD) Eragayam, Kelice Yikwa, menerangkan proses rekapitulasi hasil perhitungan suara di Distrik Eragayam pada 14 Desember 2012. Kelice kemudian mengantar hasil rekap tingkat Distrik Eragayam ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Mamberamo Tengah (Mamteng) tanpa mengkutsertakan rekap perolehan suara 3 tiga TPS, yaitu TPS 1 Kampung Asbol, TPS 1 Kampung Pagale, dan TPS 1 Kampung Wanilok.

Kelice menuturkan, hasil rekap 3 TPS ini diantar langsung ke KPU Mamteng oleh kepala desa, PPS dan warga masyarakat masing-masing kampung. “Mereka bawa ke KPU langsung, sehingga kami ketemu 3 TPS ini di ibu kota (Mamteng), Kobakma,” kata Kelice Yikwa.

Sebelum rapat Pleno KPU Mamteng digelar pada 19 Desember 2012, malam hari pada 18 Desember 2012, PPD Distrik Eragayam melakukan rekap 3 kampung tersebut berdasarkan rekap tingkat TPS. Hasil rekap, 3 kampung tersebut mendukung pasangan calon nomor urut 5 Kalvin Bilin-Thimotius Karoba. “Sehingga suara 3 kampung ini kami masukkan ke Kandidat Nomor 5 bukan kandidat Nomor 4. Sehingga hasil rekapan itu yang diplenokan di KPU,” terang Kelice.

Albert Onna, Anggota PPD Kelila dalam keterangannya menyatakan melakukan rapat pleno rekapitulasi suara pada 17 Desember 2012. Hasilnya, nomor urut 1 pasangan David Pagawak-Simon Gombo memperoleh 862 suara, nomor urut 2 pasangan Ham Pagawak-Yonas Kenelak 5.071 suara, nomor urut 3 pasangan Daniel Tabuni-Lukas Polona 29 suara, nomor urut 4 pasangan Eremen Yogosam-Leonard Doga 341 suara, dan nomor urut 5 pasangan Kalvin Bilin-Thimotius Karoba 2.616 suara. “Kemudian pada tanggal 18 (Desember 2012), kami membawa hasil ini kepada KPU (Mamteng) dan kami serahkan untuk diplenokan,” kata Albert.
 
Ketua PPD Megambilis, Alpius Wenda, menyampaikan hasil rekap di tingkat distrik Megambilis. Hasilnya, nomor urut 1 tidak mendapatkan suara alias nol, nomor urut 2 memperoleh 1.086 suara, nomor urut 3 nol, 4 sebanyak 390 suara, nomor urut 5 sebanyak 872 suara.

Persidangan kali ini merupakan sesi terakhir pemeriksaan perselisihan hasil Pemilukada Mamteng. Panel Hakim menyarankan kepada para pihak untuk membuat kesimpulan akhir dan diserahkan langsung ke Kepaniteraan MK paling lambat pada Rabu, 23 Januari 2013 pukul 16.00 WIB.

Untuk diketahui, perselisihan hasil Pemilukada Mamteng Tahun 2012 ini diajukan oleh pasangan calon dan pasangan bakal calon. Permohonan yang diregistrasi dengan Nomor 1/PHPU.D-XI/2013 diajukan oleh pasangan calon Eremen Yogosam-Leonard Doga. Sedangkan Nomor 2/PHPU.D-XI/2013 diajukan oleh pasangan Demi Wanimbo-Naftali Karoba (Demi-Naftali). Demi-Naftali merupakan bakal pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Mamteng yang dinyatakan tidak lolos karena tidak memenuhi persyaratan. (Nur Rosihin Ana).
readmore »»  

Senin, 21 Januari 2013

KPU Mamberamo Tengah: Masyarakat Adat Distrik Kelila Lazim Gunakan Sistem Noken


Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Mamberamo Tengah (Mamteng) menyatakan pendistribusian logistik pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pemilukada) Mamteng Tahun 2012 di Distrik Kelila telah dilakukan oleh PPD dan PPS ke masing-masing KPPS, termasuk di dalamnya TPS 1 dan TPS 2 Kampung Dogobak, TPS 1 Kampung Binime, TPS 1 Kampung Yagabur, dan TPS 1 dan TPS 2 Kampung Pelanme.Bahwa sebagaimana biasa dalam pelaksanaan Pemilu, baik pada Pemilu DPR, DPD, DPRD, dan pemilu presiden. Di Distrik Kelila masyarakat adat menggelar sistem noken.”
Demikian jawaban KPU Mamteng yang disampaikan oleh kuasa hukumnya, Budi Setyanto, di hadapan Panel Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati (Ketua Panel), Muhammad Alim, dan Anwar Usman, Senin (21/1/2013) siang di ruang sidang panel lantai 4 gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Persidangan ihwal perselisihan hasil Pemilukada Mamteng Tahun 2012 ini diajukan oleh pasangan calon Eremen Yogosam-Leonard Doga (Eremen-Leonard) untuk perkara nomor 1/PHPU.D-XI/2013. Sedangkan perkara Nomor 2/PHPU.D-XI/2013 diajukan oleh pasangan Demi Wanimbo-Naftali Karoba (Demi-Naftali). Demi-Naftali merupakan bakal pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Mamteng yang dinyatakan tidak lolos karena tidak memenuhi persyaratan.
Setelah PPD dan PPS menyerahkan surat suara kepada KPPS, terang Budi, selanjutnya masyarakat adat melakukan kesepakatan untuk membagi surat kepada masing-masing pasangan calon. Hasil kesepakatan inilah yang direkap oleh KPPS.
Jawaban KPU Mamteng tersebut menanggapi dalil pasangan Eremen-Leonard pada persidangan sebelumnya (16/1/2013). Pasangan ini mendalilkan tidak ada pemungutan suara di 6 TPS di Distrik Kelila yaitu TPS 1 dan TPS 2 Kampung Dogobak, TPS 1 Kampung Binime, TPS 1 Kampung Yagabur, dan TPS 1 dan TPS 2 Kampung Pelanme.
Dengan demikian, lanjut Budi, perolehan suara di 6 TPS tersebut bukanlah perolehan suara yang dikarang atau dipindah-pindahkan oleh PPD atau Termohon secara sewenang-wenang. Tetapi perolehan suara sah yang telah ditetapkan melalui musyawarah oleh masyarakat adat atau masyarakat pemilih berdasarkan kesepakatan atau sistem pemungutan suara menggunakan sistem noken telah diakui oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia melalui beberapa putusannya,” dalil Budi.
KPU Mamteng juga membantah dalil pasangan Eremen-Leonard yang menyatakan KPU Mamteng menerima rekap suara dari Distrik Megambilis yang telah direkayasa oleh Ketua PPD Megambilis. KPU menyatakan dalil tersebut tidak benar, karena perolehan suara di tingkat Distrik Megambilis telah diplenokan. “Bahwa dalil Pemohon sebagaimana tersebut di atas adalah keliru dan tidak benar karena perolehan suara dari masing-masing di Distrik Megambilis telah di-Plenokan oleh PPD Distrik Megambilis pada tanggal 11 Desember 2012 yang diikuti dan ditandatangani oleh 4 anggota PPD,” tegas Budi.
Selanjutnya, menjawab dalil permohonan yang diajukan pasangan Demi Wanimbo-Naftali Karoba (Demi-Naftali), KPU Mamteng pada prinsipnya menolak dalil-dalil Demi-Naftali. KPU Mamteng dalam eksepsinya menyatakan pasangan Demi-Naftali tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing). Pihak KPU Mamteng telah melaksanakan verifikasi, namun pasangan Demi-Naftali tidak sempurna mengikutinya. KPU Mamteng juga telah memberitahukan hasil verifikasi administrasi dan faktual persyaratan bakal pasangan calon pada 17 November 2012. “Namun verifikasi tersebut tidak diikuti secara sempurna oleh Pemohon,” kata kuasa hukum KPU Mamteng, Supriyadi Adi.
Sementara itu, pemenang Pemilukada Mamteng yaitu pasangan R. Ham Pagawak-Yonas Kenela (Ham-Yonas) selaku Pihak Terkait dalam perkara perselisihan hasil Pemilukada Mamteng, menyatakan menolak tuduhan yang dialamatkan kepada pasangan ini. Ham Yonas mendalilkan suara yang diperolehnya adalah murni, tanpa rekayasa. Selaku kuasa hukum dari Pihak Terkait, kami menolak semua tuduhan, karena semua proses perolehan suara yang diterima oleh Pihak Terkait adalah benar-benar suara murni dari masyarakat Kabupaten Mamberamo Tengah, tanpa ada rekayasa dari pihak manapun,” kata kuasa hukum pasangan Ham-Yonas, Petus Ell. (Nur Rosihin Ana)
readmore »»  

Menguji “Perbuatan Tidak Menyenangkan” dalam KUHP


Setiap warga negara terancam diadukan ke Polisi karena dianggap melakukan perbuatan tidak menyenangkan. Perbuatan tidak menyenangkan dalam ketentuan Pasal 335 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memiliki unsur delik sangat luas, sehingga para pengacara menganggapnya sebagai pasal “karet”. “Pasal ini unsur deliknya sangat luas. Asusila yang ancaman 2 tahun digandengkan dengan pasal ini, bisa dilakukan penahanan. Perbuatan apapun ketika orang bertamu ke rumah saya, kebetulan saya muslim, tidak salam pun bisa saya anggap melakukan perbuatan tidak menyenangkan. Para pengacara sering menganggap (pasal) ini adalah pasal karet.”

Demikian disampaikan Muhammad Sholeh dalam sidang pemeriksaan pendahuluan perkara Nomor 1/PUU-XI/2013 dan Perkara Nomor 3/PUU-XI/2013 yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (21/1/2013). Perkara Nomor 1/PUU-XI/2013 ihwal pengujian Pasal 335 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP dan Pasal 21 ayat (4) huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, diajukan oleh Oei Alimin Sukamto Wijaya. Sedangkan perkara Nomor 3/PUU-XI/2013 ihwal pengujian Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP,  diajukan oleh Hendry Batoarung Madika.

Di hadapan panel Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi (Ketua Panel), Harjono, dan Maria Farida Indrati, lebih lanjut Sholeh selaku kuasa hukum Oei Alimin Sukamto Wijaya, menyatakan kliennya tersebut terlibat perkelahian di Hotel Meritus, Surabaya pada 5 Agustus 2012 lalu. “Pak Alimin ini dipukuli sampai babak belur oleh yang punya hotel (Meritus), yang kebetulan temannya sendiri,” kata Sholeh.

Saat dipukuli, terang Sholeh, Alimin menantang pemilik Hotel Meritus yang memukulinya untuk duel di Jembatan Suramadu. “Kalau berani itu jangan di sini, ini hotelmu. Kalau mau, ayo kita bertengkar di Jembatan Suramadu,” kata Sholeh menerjemahkan ucapan Alimin kepada pemilik Hotel Meritus yang disampaikan dalam Bahasa Jawa.

Merasa dianiaya, Alimin melapor ke Polisi. Namun, bukannya laporan Alimin yang ditindaklanjuti, justru sebaliknya, Alimin dilaporkan balik. Alimin pun ditahan dengan tuduhan melakukan perbuatan tidak menyenangkan karena melontarkan pernyataan menantang berkelahi. “Klien kami yang nyata-nyata dia menjadi orang teraniaya, dipukuli segala macamnya, justru sekarang menjadi tersangka dengan berbagai macam perkara yang masih berkaitan dengan kejadian di Hotel Meritus, dan Pasal 335 itu selalu dikaitkan,” terang Sholeh.

Pasal 335 ayat (1) KUHP menyatakan, “Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: 1. barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain; 2. barang siapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis.”

Adapun mengenai pengujian Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP, Sholeh mengutarakan keberatan karena adanya perlakuan khsusus untuk Pasal 335 KUHP, di mana penyidik, penuntut, maupun hakim bisa melakukan penahanan. "Nah ini juga kita uji supaya Pasal 335 ini dikeluarkan dari Pasal 21 KUHAP,” pinta Sholeh.

Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP menyatakan: “Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal: b. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1),...”

Menurutnya, tidak sedikit masyarakat yang telah menjadi korban akibat berlakunya ketentuan pasal-pasal yang diujikan ini. Oleh karena itu, Sholeh berharap Mahkamah membatalkan frasa “sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan”, yang termaktub dalam Pasal 335 KUHP. Sholeh juga meminta Mahkamah agar menghapus frasa “Pasal 335 ayat (1)” yang termaktub dalam Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP.

Persoalkan Makna “Segera”

Sementara itu, Hendry Batoarung Madika, melalui kuasanya, Duin Palungkun, menyatakan, ketentuan Pasal 18 ayat (3) KUHAP mengatur tentang Tembusan Surat Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan. Klien Duin ditangkap karena kasus Narkoba. Dalam kurun waktu 24 hari setelah penangkapan, keluarga Hendry baru menerima surat perintah penangkapan. “Klien kami telah ditangkap selama 24 hari kurang lebih baru disampaikan surat perintah penangkapan ini kepada keluarganya,” kata Duin.

Duin mengaku sudah melakukan upaya hukum praperadilan. Namun upaya ini ditolak Hakim, karena KUHAP tidak mengatur pemaknaan mengenai berapa lama kata “segera”. “Menurut pertimbangan Hakim tersebut, dalam undang-undang tidak dijabarkan secara pasti berapa lama rentang waktu untuk kata segera itu,” lanjut Duin.
            
Menurut Duin, penerapan Pasal 18 ayat (3) KUHAP oleh penyidik Kepolisian Republik Indonesia khususnya tentang pemaknaan kata segera, waktunya tidak pasti. Hal ini tidak menjamin kepastian hukum karena warga negara diperlakukan tidak sama di depan hukum.  “Karena penerapan kata segera dalam ketentuan tersebut ada yang dilakukan beberapa jam setelah penangkapan dilakukan. Ada yang diterapkan satu hari, dua hari, hingga satu minggu setelah penangkapan dilakukan,” dalil Duin.

Hendry melalui kuasanya dalam petitum meminta ketentuan Pasal 18 ayat (3) KUHAP dimaknai tidak lebih dari satu minggu setelah penangkapan. “Tembusan surat perintah penangkapan harus disampaikan kepada keluarga,” pinta Duin Palungkun, kuasa hukum Hendry Batoarung Madika. (Nur Rosihin Ana). 
readmore »»  

Rabu, 16 Januari 2013

Pasangan Eremen-Leonard Minta Pemungutan Suara Pemilukada Mamberamo Tengah Diulang


Pasangan Eremen Yogosam-Leonard Doga (Eremen-Leonard) meminta Mahkamah Konstitusi membatalkan berita acara rapat pleno Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Mamberamo Tengah (Mamteng) tanggal 19 Desember 2012. Pasangan nomor urut 4 ini juga meminta Mahkamah memerintahkan KPU Mamteng agar menetapkan pasangan Eremen-Leonard sebagai peraih suara terbanyak. Jika kedua permintaan tersebut tidak dikabulkan, pasangan Eremen-Leonard minta dilaksanakan pemungutan suara ulang seluruh TPS di Kab. Mamteng.

“Atau setidak-tidaknya memerintahkan Termohon KPU Kabupaten Mamberamo Tengah untuk melakukan pemungutan suara ulang dua distrik, yaitu Distrik Megambilis dan Distrik Eragayam.”

Demikian petitum pasangan Eremen-Leonard yang disampaikan oleh kuasa hukumnya, Muh. Sattu Pali, dalam persidangan yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (16/1/2012) siang. Persidangan pendahuluan untuk perkara nomor 1/PHPU.D-XI/2013 ihwal perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pemilukada) Mamteng Tahun 2012, ini dilaksanakan oleh Panel Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati (Ketua Panel), Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman.

Pasangan Eremen-Leonard mendalilkan, pada 19 Desember 2012 KPU Mamteng melaksanakan rapat pleno rekapitulasi hasil suara. Padahal dua distrik, yaitu Distrik Eragayam dan Distrik Megambilis belum melaksanakan rekap. “Rekapitulasi yang dilakukan oleh Termohon pada tanggal 19 Desember 2012 itu masih ada dua PPD, yakni PPD Distrik Eragayam dan Megambilis yang belum melaksanakan rekapitulasi, namun Termohon sudah terlebih dahulu melakukan rekapitulasi di tingkat kabupaten,” kata Muh. Sattu Pali, kuasa hukum Eremen-Leonard.

Melalui Sattu Pali, pasangan Eremen-Leonard juga mendalilkan pelanggaran yang dilakukan oleh Termohon (KPU Mamteng). Pada 11 Desember 2012 saat hari pemungutan suara di seluruh wilayah Kab. Mamteng dilaksanakan, masyarakat pemilih yang berdomisili di TPS 1 dan TPS 2 Kampung Dogobak, TPS 1 Kampung Binime, TPS 1 Kampung Yagabur, serta TPS 1 dan TPS 2 Kampung Pelanme, tidak dapat menggunakan hak pilihnya karena tidak tersedianya kotak suara, berita acara, dan formulir C-1 di masing-masing TPS. Kemudian saat rekap di tingkat Panitia Pemilihan Distrik  (PPD) Distrik Kelila pada 17 Desember 2012, KPPS dan PPS membacakan hasil rekap dan membuat berita acara 6 TPS tersebut.

“Saksi Pasangan Calon Nomor Urut 4 dan Nomor 5 melakukan protes dan keberatan kepada Termohon, dengan alasan bahwa masyarakat pemilih di TPS-TPS yang kami sebutkan tadi, tidak pernah melakukan pemungutan suara,” sambung Sattu Pali.

Sattu Pali kemudian membeberkan ketidakprofesionalan KPU Mamteng karena terjadinya perbedaan hasil rekap suara di tingkat PPD Distrik Kalila dengan rekap di tingkat kabupaten. Hasil rekap suara di tingkat PPD Distrik Kelila, pasangan David Pagawak-Simon Kenelak (Nomor Urut 1) tidak mendapatkan suara alias nol, pasangan R. Ham Pagawak-Yonas Kenelak (Nomor Urut 2) 5.578 suara, pasangan Daniel Tabuni-Lukas Polona (Nomor Urut 3) 29 suara, pasangan Eremen Yogosam-Leonard Doga (Nomor Urut 4) 341 suara, dan pasangan Kalvin Bilin-Thimotius Karoba (Nomor Urut 5) 2.541 suara. Namun pada saat rekap di tingkat kabupaten, perolehan suara untuk Distrik Kelila adalah, Nomor Urut 1 dengan perolehan 862 suara, Nomor Urut 2 sebanyak 5.071 suara, Nomor Urut 3 sebanyak 29 suara, Nomor Urut 4 sebanyak 341 suara, dan Nomor Urut 5 sebanyak 2.616. “Dengan adanya kejadian yang dilakukan oleh Termohon, kami menganggap bahwa Termohon tidak profesional dan nyata-nyata menjalankan tugas dengan tanggung jawabnya,” tuding Sattu Pali.

Selain itu, Sattu Pali juga mengungkap pelanggaran yang terjadi di Distrik Eragayam. Saat rekap di tingkat PPD Eragayam, kata Sattu Pali, Termohon tidak mengakomodir hasil perolehan suara dari tiga TPS yang terdiri dari TPS 1 Kampung Arsbol, TPS 1 Kampung Pagale, dan TPS 1 Kampung Wanilok. Saat rekapitulasi di tingkat distrik (Eragayam), saksi pasangan calon nomor urut 5 maupun nomor urut 4 mengajukan keberatan kepada Termohon untuk menghentikan penghitungan suara, sebelum 3 TPS tersebut memberitahukan atau membacakan hasil penghitungan suaranya. Namun keberatan tersebut tidak diakomodir,” terang Sattu Pali.

Menurut Sattu Pali, rekapitulasi hasil perolehan suara di tingkat kabupaten Mamteng yang benar yaitu, pasangan Nomor Urut 1 mendapatkan 3.688 suara (12,60%), pasangan Nomor Urut 2 sebanyak 8.812 suara (28,5%), pasangan Nomor Urut 3 sebanyak 1.843 suara (6,30%), pasangan Nomor Urut 4 sebanyak 10.363 suara (35,4%), dan pasangan Nomor Urut 5 sebanyak 5.168 suara (17,65%).

Selanjutnya, panel hakim memeriksa permohonan perselisihan hasil Pemilukada Mamteng yang diajukan oleh pasangan Demi Wanimbo-Naftali Karoba (Demi-Naftali), yaitu perkara 2/PHPU.D-XI/2013. Pasangan ini merasa keberatan dengan terbitnya Surat Keputusan (SK) KPU Mamteng Nomor 17 Tahun 2012, tanggal 19 Desember 2012. Pasangan Demi-Naftali merupakan bakal pasangan calon yang dinyatakan tidak lolos karena tidak memenuhi persyaratan.

Pasangan Demi-Naftali, melalui kuasa hukumnya, John Richard, menyatakan KPU Mamteng telah menerbitkan SK Nomor 08 Tahun 2012 tentang Penetapan Calon Bupati dan Wakil Bupati sebagai Peserta Pemilukada. Penerbitan SK tersebut, kata John, dikeluarkan dengan cara melanggar hukum. Oleh karena itu pihaknya telah mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura dan telah diputus pada tanggal 7 Desember 2012 dengan amar putusan, Majelis Hakim PTUN Jayapura membatalkan SK KPU Nomor 08 tahun 2012, tertanggal 10 November 2012. “Surat keputusan Termohon tersebut dikeluarkan dengan cara melanggar hukum,” kata John Richard. (Nur Rosihin Ana)

readmore »»  

Selasa, 15 Januari 2013

MK: Konstitusional, Undur Diri Anggota TNI dan Polri Peserta Pemilukada


Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) diperbolehkan mendaftarkan diri sebagai bakal pasangan calon peserta pemilihan kepala daerah maupun wakil kepala daerah (Pemilukada) dengan syarat mengundurkan diri dari jabatannya.  “Asalkan menyerahkan surat pernyataan pengunduran diri dari jabatan negerinya,” kata Hakim Konstitusi Achmad Sodiki saat membacakan Pendapat Mahkamah dalam Putusan Nomor 67/PUU-X/2012, Senin (15/1/2013) di ruang sidang pleno lt. 2 gedung Mahkamah Konstitusi (MK).
Sidang pengucapan putusan pengujian Pasal 59 ayat (5) huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), ini diajukan oleh Indonesian Human Rights Committe For Social Justice (IHCS). Persidangan dilaksanakan sembilan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD (Ketua Pleno), Achmad Sodiki, Hamdan Zoelva, Akil Mochtar, Harjono, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Anwar Usman.
Mahkamah dalam amar putusan menyatakan menolak permohonan IHCS. “Amar putusan, mengadili, menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD membacakan amar putusan.
Mahkamah berpendapat semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama di bidang politik, termasuk anggota TNI dan anggota Polri yang memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih dalam Pemilu. Hal tersebut bersesuaian dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya,” dan Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan, “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Lebih lanjut Mahkamah berpendapat, larangan anggota TNI dan anggota Polri ikut serta dalam pesta demokrasi Pemilu dalam hal ini Pemilukada dalam ketentuan Pasal 39 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dan Pasal 28 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, telah dianulir oleh Pasal 59 ayat (5) huruf g UU Pemda yang menyatakan, “Partai politik atau gabungan partai politik pada saat mendaftarkan calon partai politik, wajib menyerahkan: ... g. surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri bagi calon yang berasal dari pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.”
“Berdasarkan Pasal a quo, anggota TNI dan anggota Polri diperbolehkan mendaftarkan diri sebagai bakal pasangan calon peserta pemilihan kepala daerah maupun wakil kepala daerah asalkan menyerahkan surat pernyataan pengunduran diri dari jabatan negerinya,” kata Achmad Sodiki membacakan pendapat Mahkamah.
Menurut Mahkamah, frasa “surat pernyataan pengunduran diri dari jabatan negeri” dalam Pasal 59 ayat (5) huruf g UU Pemda merupakan ketentuan persyaratan yang sudah jelas bagi anggota TNI maupun anggota Polri yang akan mendaftarkan diri menjadi peserta Pemilukada dalam menjaga profesionalitas dan netralitas TNI dan Polri. Dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan Pemilu dalam hal ini Pemilukada yang demokratis, jujur, dan akuntabel, para peserta Pemilu, khususnya yang berasal dari PNS, anggota TNI dan anggota Polri, tidak dilarang memanfaatkan jabatan, kewenangan, dan pengaruh yang melekat pada dirinya sebagai akibat jabatan yang disandangnya pada saat Pemilukada berlangsung.
Menurut tafsir IHCS (Pemohon), surat pernyataan pengunduran diri anggota TNI maupun anggota Polri karena berlaga sebagai peserta Pemilukada, belumlah dapat dikatakan non aktif dari keanggotaanya. Dengan demikian, anggota TNI maupun anggota Polri masih dapat dikatakan aktif dan belum benar-benar keluar dari kesatuannya sehingga dapat terlibat dalam politik praktis yang berpotensi memanfaatkan jabatannya dan melakukan tindakan sewenang-wenang.
Dalil IHCS tersebut dipatahkan oleh pendapat Mahkamah yang menyatakan bahwa IHCS telah keliru dalam menafsirkan Pasal 59 ayat (5) huruf g UU Pemda. Menurut Mahkamah, Pasal tersebut justru memberikan persyaratan yang jelas kepada anggota TNI maupun anggota Polri yang hendak mendaftar sebagai perserta Pemilukada, yakni harus membuat surat pernyataan pengunduran diri dari jabatannya.
Meskipun dalam pasal tersebut tidak menjelaskan mengenai tindak lanjut dari surat pernyataan pengunduran diri dari jabatan negeri, namun demikian bukan berarti anggota TNI dan anggota Polri itu masih aktif dalam menduduki jabatannya. Sebab, proses surat pernyataan pengunduran diri merupakan kewajiban atau kewenangan dari atasan anggota TNI dan Polri yang mendaftarkan diri menjadi peserta Pemilukada untuk menindaklanjutinya.
Dengan kata lain, ketegasan pengunduran diri anggota TNI dan/atau anggota Polri dari jabatannya tergantung dari atasan untuk memprosesnya, sehingga jika anggota TNI dan/atau anggota Polri yang mendaftarkan diri menjadi peserta Pemilukada kalah, maka dapat  dipastikan anggota TNI dan/atau anggota Polri tersebut tidak akan kembali ke jabatannya.
Selain itu, jikalau frasa “surat pernyataan pengunduran diri dari jabatan negeri” dalam Pasal 59 ayat (5) huruf g UU Pemda harus diartikan anggota TNI dan/atau anggota Polri benar-benar keluar dari instansinya apabila mendaftarkan diri menjadi peserta Pemilukada, ketentuan tersebut dapat dikatakan telah menghalangi hak warga negara untuk ikut berpartisipasi dalam pemerintahan yang telah dijamin oleh UUD 1945. “Karena ada tenggang waktu proses administrasi pemberhentian dari anggota TNI atau Polri berhadapan dengan jangka waktu pendaftaran yang dalam tahapan Pemilukada sangat singkat,” lanjut Sodiki.
Oleh karena itu menurut Mahkamah dalil yang diusung oleh IHCS tersebut tidak beralasan menurut hukum. “Menurut Mahkamah, dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tandas Sodiki membacakan Pendapat Mahkamah dalam Putusan Nomor 67/PUU-X/2012. (Nur Rosihin)
readmore »»  

Putusan MK: Tamatan Pendidikan Nonformal Berhak Jadi Calon Kepala Daerah


Tamatan pendidikan nonformal berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah. Ketentuan Pasal 58 huruf c UU Pemda dimaksudkan untuk memberi kesempatan bagi calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang latar belakang jalur pendidikannya berbeda (formal, nonformal, dan informal) asalkan telah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.
“Menurut Mahkamah, justru menjadi tidak adil apabila hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, dalam hal ini hak untuk mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah, hanya diberikan kepada warga negara yang berlatar belakang pendidikan formal saja.”
Demikian Pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Muhammad Alim dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 26/PUU-X/2012, Selasa (15/1/2013) di ruang sidang pleno lt. 2 gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Persidangan dilaksanakan sembilan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD (Ketua Pleno), Achmad Sodiki, Hamdan Zoelva, Akil Mochtar, Harjono, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Anwar Usman.
Permohonan pengujian materi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) ini diajukan oleh Mozes Kallem. Materi yang diujikan yaitu frasa "dan/atau sederajat" pada Pasal 58 huruf c UU Pemda yang menyatakan, "Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat: c. berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan atas dan/atau sederajat."
Dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan menolak permohonan Mozes Kallem. “Amar putusan, mengadili, menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Panel Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD membacakan amar putusan.
Mozes Kallem mendalilkan tidak mendapatkan keadilan akibat berlakunya frasa "dan/atau sederajat" dalam Pasal 58 huruf c UU Pemda. Sebabnya, Mozes yang tamatan pendidikan formal, disamakan dan harus berkompetisi dalam Pemilukada dengan seseorang calon tamatan pendidikan nonformal Paket B atau Paket C. Pendidikan nonformal tersebut ditafsirkan sederajat dengan pendidikan formal dan memenuhi syarat untuk berkompetisi dalam Pemilukada.
Mahkamah dalam pertimbangannya merujuk ketentuan Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.” dan Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”
Tindak lanjut dari ketentuan di atas, Pemerintah dan DPR membentuk Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang di dalam Bagian Menimbang huruf c menyatakan, “bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaruan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.”
Kemudian, untuk menjamin pemerataan kesempatan pendidikan tersebut, Pemerintah menciptakan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan [vide Pasal 1 angka 7, Pasal 1 angka 8, Pasal 1 angka 9, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 UU Sisdiknas. Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan (Pasal 1 angka 7 UU Sisdiknas) yang terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya [Pasal 13 ayat (1) UU Sisdiknas].
Pasal 26 ayat (3) UU Sisdiknas menyatakan, “Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.” Penjelasan Pasal 26 ayat (3) UU Sisdiknas menyatakan, “....Pendidikan kesetaraan adalah program pendidikan nonformal yang menyelenggarakan pendidikan umum setara SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA yang mencakup program paket A, paket B, dan paket C....”. Selanjutnya, dalam Pasal 26 ayat (6) UU Sisdiknas dinyatakan, “Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.”
Memberikan kesempatan hanya kepada calon kepala daerah atau wakil kepala daerah yang berpendidikan formal berarti tidak menghormati keberagaman sistem pendidikan. Selain itu, berarti pula menghalangi hak konstitusional warga negara yang lebih luas, yaitu untuk memperoleh sosok kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berintegritas dan mampu mengemban amanah rakyat dengan sebaik-baiknya. “Bisa jadi, mereka berlatar belakang jalur pendidikan nonformal atau informal,” tandas Muhammad Alim membacakan pendapat Mahkamah yang termaktub dalam naskah Putusan Nomor 26/PUU-X/2012. (Nur Rosihin Ana)
readmore »»  

Putusan MK: Tamatan Pendidikan Nonformal Berhak Jadi Calon Kepala Daerah


Tamatan pendidikan nonformal berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah. Ketentuan Pasal 58 huruf c UU Pemda dimaksudkan untuk memberi kesempatan bagi calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang latar belakang jalur pendidikannya berbeda (formal, nonformal, dan informal) asalkan telah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.
“Menurut Mahkamah, justru menjadi tidak adil apabila hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, dalam hal ini hak untuk mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah, hanya diberikan kepada warga negara yang berlatar belakang pendidikan formal saja.”
Demikian Pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Muhammad Alim dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 26/PUU-X/2012, Selasa (15/1/2013) di ruang sidang pleno lt. 2 gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Persidangan dilaksanakan sembilan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD (Ketua Pleno), Achmad Sodiki, Hamdan Zoelva, Akil Mochtar, Harjono, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Anwar Usman.
Permohonan pengujian materi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) ini diajukan oleh Mozes Kallem. Materi yang diujikan yaitu frasa "dan/atau sederajat" pada Pasal 58 huruf c UU Pemda yang menyatakan, "Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat: c. berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan atas dan/atau sederajat."
Dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan menolak permohonan Mozes Kallem. “Amar putusan, mengadili, menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Panel Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD membacakan amar putusan.
Mozes Kallem mendalilkan tidak mendapatkan keadilan akibat berlakunya frasa "dan/atau sederajat" dalam Pasal 58 huruf c UU Pemda. Sebabnya, Mozes yang tamatan pendidikan formal, disamakan dan harus berkompetisi dalam Pemilukada dengan seseorang calon tamatan pendidikan nonformal Paket B atau Paket C. Pendidikan nonformal tersebut ditafsirkan sederajat dengan pendidikan formal dan memenuhi syarat untuk berkompetisi dalam Pemilukada.
Mahkamah dalam pertimbangannya merujuk ketentuan Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.” dan Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”
Tindak lanjut dari ketentuan di atas, Pemerintah dan DPR membentuk Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang di dalam Bagian Menimbang huruf c menyatakan, “bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaruan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.”
Kemudian, untuk menjamin pemerataan kesempatan pendidikan tersebut, Pemerintah menciptakan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan [vide Pasal 1 angka 7, Pasal 1 angka 8, Pasal 1 angka 9, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 UU Sisdiknas. Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan (Pasal 1 angka 7 UU Sisdiknas) yang terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya [Pasal 13 ayat (1) UU Sisdiknas].
Pasal 26 ayat (3) UU Sisdiknas menyatakan, “Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.” Penjelasan Pasal 26 ayat (3) UU Sisdiknas menyatakan, “....Pendidikan kesetaraan adalah program pendidikan nonformal yang menyelenggarakan pendidikan umum setara SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA yang mencakup program paket A, paket B, dan paket C....”. Selanjutnya, dalam Pasal 26 ayat (6) UU Sisdiknas dinyatakan, “Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.”
Memberikan kesempatan hanya kepada calon kepala daerah atau wakil kepala daerah yang berpendidikan formal berarti tidak menghormati keberagaman sistem pendidikan. Selain itu, berarti pula menghalangi hak konstitusional warga negara yang lebih luas, yaitu untuk memperoleh sosok kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berintegritas dan mampu mengemban amanah rakyat dengan sebaik-baiknya. “Bisa jadi, mereka berlatar belakang jalur pendidikan nonformal atau informal,” tandas Muhammad Alim membacakan pendapat Mahkamah yang termaktub dalam naskah Putusan Nomor 26/PUU-X/2012. (Nur Rosihin Ana)
readmore »»  

Jumat, 11 Januari 2013

Saksi Bantah Keterlibatan Gubernur Sulut dalam Pemenangan Pasangan Cabup Minahasa


Alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) yang menurut pasangan Careig Naichel Runtu-Denny Jhonlie Tombeng (Careig-Denny) dipolitisir untuk pemenangan pasangan Jantje W Sajow-Ivan Sarundajang (Jantje-Ivan), dibantah oleh keterangan saksi bernama Christiano Edwin. Menurut Christiano, Gubernur Sulut tidak mempolitisir APBD karena proyek-proyek pembangunan di Minahasa sudah tertuang dalam Peraturan Daerah tentang APBD dan Perubahan APBD.
“(Alokasi APBD) itu sudah dibahas secara bersama-sama antara eksekutif dan DPRD lewat badan anggaran dan fraksi komisi,” kata Christiano Edwin dalam persidangan perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) Kabupaten Minahasa Tahun 2012 yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Jum’at (11/1/2013) pagi. Persidangan kali ketiga untuk nomor perkara 103/PHPU.D-X/2012, ini beragendakan pembuktian. Persidangan dilaksanakan oleh Panel Hakim Konstitusi Achmad Sodiki (Ketua Panel), Harjono, dan Ahmad Fadlil Sumadi. Tampak hadir di persidangan, Pemohon yaitu pasangan Careig Naichel Runtu-Denny Jhonlie Tombeng (Careig-Denny) dan kuasanya, Termohon Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kab. Minahasa dan kuasanya, Pihak Terkait pasangan Jantje W Sajow-Ivan Sarundajang (Jantje-Ivan) dan kuasanya.
Oleh karena itu, menurut Christiano, politisasi APBD Sulut oleh Gubernur sebagaimana didalilkan pasangan Careig-Denny merupakan dalil yang tidak mendasar. “Sangat tidak mendasar menurut hukum ketika Pemohon mendalilkan bahwa ada politisasi gubernur terhadap pelaksanaan proyek yang ada di Minahasa,” tandas Cristiano.
Saksi lainnya, W.P. Nainggolan, menerangkan pertemuan tanggal 15 November 2012 di kediaman pribadi Gubernur Sulut. Nainggolan mengaku datang sekitar pukul 16.00 WITA dan saat itu sudah ada para Hukum Tua. Kehadiran para Hukum Tua, kata Nainggolan, untuk menyampaikan aspirasi di desa mereka misalnya mengenai kondisi jalan rusak.
“Pada kesempatan itu, ada juga janji-janji kalau anaknya (gubernur) terpilih (sebagai wakil bupati), maka gubernur akan memperhatikan (aspirasi)?” tanya Hakim Konstitusi Harjono. “Tidak ada,” jawab Nainggolan.
Mendalami keterangan Nainggolan, Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi menanyakan mengenai pembagian amplop berisi uang tiga juta rupiah. ”Setiap Hukum Tua yang hadir pada ketika itu, ketika mau pulang mendapat amplop yang berisi uang tiga juta rupiah, benar itu?” tanya Fadlil. “Saya tahu tapi isinya saya tidak tahu,” jawab Nainggolan.
Christiano Edwin dan W.P. Nainggolan semula hadir di persidangan sebagai kuasa hukum Gubernur Sulut. Gubernur Sulut sedianya diminta keterangan sebagai saksi dan bukan pihak yang bersengketa dalam Pemilukada Minahasa. Majelis Hakim pun mengubah posisi Christiano danNainggolan sebagai saksi berdasarkan kesediaan yang bersangkutan untuk disumpah sebagai saksi.
Majelis Hakim juga mendengar keterangan saksi yang dihadirkan pasangan Careig-Denny (Pemohon). Saksi Rudy Raymond Sumarauw, Ketua PPK Tondano Timur, menerangkan tentang penambahan DPT Kecamatan Tondano Timur yang ditetapkan pada 3 Desember 2012 berjumlah 12.066 pemilih. Kemudian pada 10 Desember 2012 turun surat dari KPU Minahasa. “Akhirnya terjadi perbaikan DPT pada tanggal 11 (Desember 2012),” terang Rudy.
“Yang digunakan untuk menghitung rekap di PPK Tondano berarti DPT plus tambahan 51?” tanya Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi. “DPT plus 51,” jawab Rudy.
Saksi pasangan Careig-Denny lainnya, Swinglie Kalfin. Swinglie merupakan salah seorang Hukum Tua  yang hadir dalam pertemuan yang diadakan di rumah pribadi Gubernur Sulut pada 22 September 2012. Swinglie mengaku hadir atas undangan lisan Hukum Tua Desa Sendangan, Eddy Rampi.
Pada pertemuan tersebut, Swinglie dan para Hukum Tua menyampaikan program pembangunan di desa masing-masing. Selain dihadiri Gubernur Sulut, Asisten II Pemprov Sulut Roy Roring, pertemuan tersebut juga dihadiri Ivan Sarundajang, putera Gubernur Sulut yang mencalonkan diri sebagai wakil bupati Minahasa. ”Yang hadir pada waktu itu, Asisten II Bapak Roy Roring, calon kandidat ada bapak calon wakil bupati Bapak Ivan Sarundajang,” kata Swinglie. (Nur Rosihin Ana) 
readmore »»  
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More