Harmoni...

Jakarta, September 2010

Harmoni...

Jakarta, Desember 2010

Belahan jiwa

......

...Belahan jiwa...

......

ceria...

Jakarta, 8 Januari 2012

Nora Uzhma Naghata

Bogor, 24 Februari 2011

Nora Uzhma Naghata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Taman Safari Puncak

Bogor, 24 Februari 2011

Bandara Ahmad Yani

Semarang, 28 September 2011

Rileks

*********

Nur Rosihin Ana

Semarang, 19 Oktober 2010

Nur Rosihin Ana

mahkamah dusturiyyah, 18 Juli 2012

Nur Rosihin Ana

Hotel Yasmin, Puncak, Desember 2010

Nora Uzhma Naghata

Naghata

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Demak, 11 September 2011

Nur Rosihin Ana

Nagreg, Bandung 11 Juli 2011

Nora Uzhma Naghata, Sri Utami, Najuba Uzuma Akasyata, Nur Rosihin Ana

Sapa senja di Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Sapa Senja Jepara

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

...bebas, lepas...

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Senin, 27 Desember 2010

Pedoman Beracara Sengketa Pemilu Legistalif


 PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 16 TAHUN 2009

TENTANG
PEDOMAN BERACARA DALAM PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang  :     a. bahwa salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi adalah memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
b.    bahwa tujuan penyelenggaraan Pemilu, antara lain, untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
c.     bahwa Mahkamah Konstitusi dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya;
d.    bahwa Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 14 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, perlu disempurnakan dan disesuaikan dengan perubahan undang-undang yang mengatur tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
e.    bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu menetapkan Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

Mengingat    :     1.  Pasal 22E ayat (2) dan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
                            2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316);
3.    Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358);
4.    Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);
5.    Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633);
6.    Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4721);
7.    Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836);
8.    Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4846);

Memperhatikan :     1.        Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 22-24/PUU-VI/2008 bertanggal 23 Desember 2008 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
                                              2.      Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 32/PUU-VI/2008 bertanggal 24 Februari 2009 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
                                              3.      Hasil Rapat Permusyawaratan Hakim pada Rapat Kerja Mahkamah Konstitusi tanggal 3 sampai dengan 5 Maret 2009;
                           
MEMUTUSKAN:

Menetapkan      :     PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PEDOMAN BERACARA DALAM PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
1.         Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
2.         Dewan Perwakilan Rakyat, selanjutnya disebut DPR, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
3.         Dewan Perwakilan Daerah, selanjutnya disebut DPD, adalah Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia.
4.         Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disebut DPRD, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5.         Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, selanjutnya disebut DPRA, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di Aceh.
6.         Dewan Perwakilan Rakyat Kota/Kabupaten, selanjutnya disebut DPRK, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota di Aceh.
7.         Komisi Pemilihan Umum, selanjutnya disebut KPU, adalah lembaga penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
8.         Komisi Independen Pemilihan, selanjutnya disebut KIP, adalah penyelenggara Pemilu pada provinsi dan kabupaten/kota di Aceh.
9.         Peserta Pemilu adalah partai politik untuk pemilihan umum anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dan perseorangan untuk Pemilu Anggota DPD.
10.     Partai Politik Lokal adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia yang berdomisili di Aceh secara suka rela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan anggota DPRA/DPRK, Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota.
11.     Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, selanjutnya disebut PHPU Anggota DPR, DPD, dan DPRD, adalah perselisihan antara peserta Pemilu dan KPU atau KIP sebagai penyelenggara Pemilu mengenai penetapan secara nasional perolehan suara Pemilu oleh KPU.
12.     Hakim adalah hakim pada Mahkamah Konstitusi.
13.     Sidang Pleno adalah sidang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan.
14.     Sidang Panel adalah sidang majelis hakim konstitusi yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim konstitusi untuk memeriksa permohonan yang hasilnya dibahas dalam sidang pleno untuk diputus.
15.     Panitera adalah panitera pada Mahkamah Konstitusi.
16.     Pihak Terkait adalah peserta pemilihan umum selain Pemohon.
17.     Turut Termohon adalah KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota atau KIP Provinsi dan KIP Kabupaten/Kota di Aceh.
18.     Buku Registrasi Perkara Konstitusi, selanjutnya disebut BRPK, adalah buku untuk mencatat permohonan yang diterima oleh Mahkamah Konstitusi.
19.     Putusan Sela adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim sebelum putusan akhir berupa putusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang berkaitan dengan objek yang dipersengketakan yang hasilnya akan dipertimbangkan dalam putusan akhir.
20.     Mahkamah adalah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Pasal 2

(1)       PHPU Anggota DPR, DPD, dan DPRD diperiksa dan diputus secara cepat dan sederhana.
(2)       Putusan PHPU Anggota DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana diatur pada ayat (1) merupakan putusan pada tingkat pertama dan terakhir yang bersifat final dan mengikat.

BAB II
PARA PIHAK DAN OBJEK PERSELISIHAN

Pasal 3

(1)       Para pihak yang mempunyai kepentingan langsung dalam PHPU Anggota DPR, DPD, dan DPRD adalah:
a.    perorangan warga negara Indonesia calon anggota DPD peserta Pemilu sebagai Pemohon;
b.    partai politik peserta Pemilu sebagai Pemohon;
c.    partai politik dan partai politik lokal peserta Pemilu anggota DPRA dan DPRK di Aceh sebagai Pemohon;
d.    KPU sebagai Termohon.
(2)       Dalam hal perselisihan hasil penghitungan suara calon anggota DPRD provinsi dan/atau DPRA, KPU provinsi dan/atau KIP Aceh menjadi Turut Termohon.
(3)       Dalam hal perselisihan hasil penghitungan suara calon anggota DPRD kabupaten/kota dan/atau DPRK di Aceh, KPU kabupaten/kota dan/atau KIP kabupaten/kota di Aceh menjadi Turut Termohon.
(4)       Peserta Pemilu selain Pemohon yang berkepentingan terhadap permohonan yang diajukan Pemohon dapat menjadi Pihak Terkait.
(5)       Pemohon, Termohon, Turut Termohon, dan Pihak Terkait dapat diwakili oleh kuasa hukumnya masing-masing berdasarkan surat kuasa khusus dan/atau didampingi oleh pendamping berdasarkan surat keterangan yang dibuat khusus untuk itu.

Pasal 4

Keberadaan Pihak Terkait dalam perkara PHPU ditetapkan oleh Mahkamah.

Pasal 5

Objek PHPU adalah penetapan perolehan suara hasil Pemilu yang telah diumumkan secara nasional oleh KPU yang mempengaruhi:
a.    terpenuhinya ambang batas perolehan suara 2,5% (dua koma lima perseratus) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
b.    perolehan kursi partai politik peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan;
c.     perolehan kursi partai politik dan partai politik lokal peserta Pemilu di Aceh;
d.    terpilihnya calon anggota DPD.

BAB III
TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN

Pasal 6

(1)       Permohonan pembatalan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional oleh KPU hanya dapat diajukan oleh peserta Pemilu dalam jangka waktu paling lambat 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak KPU mengumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional.
(2)       Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh Pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah dalam 12 (dua belas) rangkap setelah ditandatangani oleh:
a.    Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal dari dewan pimpinan pusat atau nama yang sejenisnya dari partai politik peserta Pemilu atau kuasanya;
b.    Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal dari dewan pimpinan atau nama yang sejenisnya dari partai politik lokal atau kuasanya; atau
c.    calon anggota DPD peserta Pemilu atau kuasanya.
(3)    Permohonan yang diajukan calon anggota DPD dan/atau partai politik lokal peserta Pemilu DPRA dan DPRK di Aceh dapat dilakukan melalui permohonan online, surat elektronik, atau faksimili, dengan ketentuan permohonan asli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sudah harus diterima oleh Mahkamah dalam jangka waktu paling lambat 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak berakhirnya tenggang waktu sebagaimana diatur pada ayat (1).
(4)    Permohonan sekurang-kurangnya memuat:
a.  nama dan alamat pemohon, nomor telepon (kantor, rumah, telepon seluler), nomor faksimili, dan/atau surat elektronik;
b.  uraian yang jelas tentang:
1.  kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan hasil penghitungan yang benar menurut Pemohon;
2. permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut Pemohon.
(5)    Permohonan yang diajukan disertai dengan bukti-bukti yang mendukung.

BAB IV
REGISTRASI PERKARA DAN PENJADWALAN SIDANG

Pasal 7

(1)       Permohonan yang diterima Mahkamah diperiksa persyaratan dan kelengkapannya oleh Panitera.
(2)       Permohonan yang sudah lengkap dan memenuhi persyaratan dicatat dalam BRPK, sedangkan permohonan yang tidak lengkap dan tidak memenuhi syarat diberitahukan kepada Pemohon untuk diperbaiki dalam tenggat        1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam.
(3)       Panitera mengirimkan salinan permohonan yang sudah dicatat dalam BRPK kepada KPU dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK disertai permintaan jawaban tertulis KPU dan bukti-bukti hasil penghitungan suara yang diperselisihkan.
(4)       Jawaban tertulis KPU sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus sudah diterima Mahkamah paling lambat satu hari sebelum hari persidangan.
(5)       Mahkamah menetapkan hari sidang pertama dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK.
(6)       Penetapan hari sidang pertama diberitahukan kepada Pemohon dan KPU paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari persidangan.

BAB V
PEMERIKSAAN PERMOHONAN

Bagian Pertama
Pemeriksaan Pendahuluan

Pasal 8

(1)       Pemeriksaan Pendahuluan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Panel Hakim yang sekurang-kurangnya dihadiri 3 (tiga) orang hakim.
(2)       Dalam Pemeriksaan Pendahuluan, Panel Hakim memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 serta memberi nasihat kepada Pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan apabila terdapat kekurangan.
(3)       Pemohon wajib melengkapi dan/atau memperbaiki permohonannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu paling lambat     1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam.

Bagian Kedua
Pemeriksaan Persidangan

Pasal 9

(1)       Pemeriksaan Persidangan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Panel Hakim dan/atau Pleno Hakim.
(2)       Pemeriksaan Persidangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan segera setelah selesainya pemeriksaan pendahuluan.
(3)       Proses pemeriksaan persidangan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
a.    jawaban Termohon;
b.    keterangan Pihak Terkait;
c.    pembuktian oleh Pemohon, Termohon, Turut Termohon, Pihak Terkait; dan
d.    kesimpulan.
(4)       Untuk kepentingan pembuktian Mahkamah dapat memanggil KPU provinsi dan/atau KIP Aceh, KPU kabupaten/kota dan/atau KIP kabupaten/kota tertentu untuk hadir dan memberi keterangan dalam persidangan.
(5)       Apabila dipandang perlu, Mahkamah dapat menetapkan putusan sela sebelum putusan akhir.

Bagian Ketiga
Alat Bukti

Pasal 10

(1)    Alat bukti dalam perselisihan hasil Pemilu terdiri atas:
a.    surat atau tulisan;
b.    keterangan saksi;
c.    keterangan ahli;
d.    keterangan para pihak;
e.    petunjuk; dan
f.      informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik.
(2)       Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
(3)      Dokumen Elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Pasal 11

(1)       Alat bukti surat atau tulisan terdiri atas:
a.    berita acara dan salinan pengumuman hasil pemungutan suara partai politik peserta Pemilu dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD di Tempat Pemungutan Suara (TPS);
b.    berita acara dan salinan rekapitulasi jumlah suara partai politik peserta Pemilu dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD dari Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK);
c.    berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara partai politik peserta Pemilu dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD dari KPU kabupaten/kota;
d.    berita acara dan salinan penetapan hasil penghitungan suara anggota DPRD kabupaten/kota;
e.    berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU provinsi;
f.      berita acara dan salinan penetapan hasil penghitungan suara anggota DPRD provinsi;
g.    berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU;
h.    berita acara dan salinan penetapan hasil penghitungan suara secara nasional anggota DPR, DPD, dan DPRD dari KPU;
i.      salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang mempengaruhi perolehan suara partai politik peserta Pemilu dan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota; dan
j.      dokumen tertulis lainnya.
(2)      Bukti surat atau tulisan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah yang memiliki keterkaitan langsung dengan objek perselisihan hasil Pemilu yang dimohonkan ke Mahkamah.
(3)      Bukti surat atau tulisan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan sebanyak 12 (dua belas) rangkap yang aslinya dibubuhi materai secukupnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 12

(1)      Saksi dalam perselisihan hasil Pemilu terdiri atas:
a.    saksi resmi peserta Pemilu; dan
b.    saksi pemantau Pemilu yang bersertifikat.
(2)       Mahkamah karena kewenangannya dapat memanggil saksi lain untuk hadir dalam persidangan dan didengar keterangannya.
(3)       Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah saksi yang melihat, mendengar, atau mengalami sendiri proses penghitungan suara yang diperselisihkan.

Pasal 13

Sebelum memberikan keterangan dalam persidangan, saksi dan/atau ahli diambil sumpah atau janji sesuai dengan agama atau kepercayaan yang dianut dengan didampingi rohaniwan yang dipandu oleh hakim.

BAB VI
RAPAT PERMUSYAWARATAN HAKIM

Pasal 14

(1)       Rapat Permusyawaratan Hakim diselenggarakan untuk mengambil putusan setelah Pemeriksaan Persidangan dipandang cukup.
(2)       Rapat Permusyawaratan Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tertutup oleh Pleno Hakim Konstitusi yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang hakim konstitusi setelah Rapat Panel Hakim.
(3)       Pengambilan keputusan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim dilakukan secara musyawarah mufakat setelah mendengarkan pendapat hukum para Hakim Konstitusi.
(4)       Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak tercapai mufakat bulat maka pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak.
(5)       Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat diambil dengan suara terbanyak maka suara terakhir Ketua Rapat Permusyawaratan Hakim menentukan.

BAB VII
PUTUSAN

Pasal 15

(1)       Putusan Mahkamah dijatuhkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK.
(2)       Putusan Mahkamah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum yang dihadiri sekurang-kurangnya oleh 7 (tujuh) orang Hakim Konstitusi.
(3)       Amar Putusan Mahkamah dapat menyatakan:
a.    Permohonan tidak dapat diterima apabila tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan/atau Pasal 5 dan/atau Pasal 6 ayat (1) Peraturan ini;
b.    Permohonan dikabulkan apabila terbukti beralasan dan selanjutnya Mahkamah membatalkan hasil penghitungan suara oleh KPU, serta menetapkan hasil penghitungan suara yang benar; dan/atau
c.    Permohonan ditolak apabila permohonan terbukti tidak beralasan.
(4)      Salinan Putusan Mahkamah disampaikan kepada Pemohon, KPU, Presiden, dan Pihak Terkait.
(5)      KPU, KPU provinsi atau KIP dan KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti Putusan Mahkamah.

BAB VIII
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 16

Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan ini ditentukan lebih lanjut oleh Rapat Permusyawaratan Hakim Mahkamah. 

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 17

(1)       Dengan berlakunya Peraturan ini, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 14 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
(2)       Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta       
pada tanggal 5 Maret 2009

KETUA,




MOH. MAHFUD MD.
readmore »»  
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More