Harmoni...

Jakarta, September 2010

Harmoni...

Jakarta, Desember 2010

Belahan jiwa

......

...Belahan jiwa...

......

ceria...

Jakarta, 8 Januari 2012

Nora Uzhma Naghata

Bogor, 24 Februari 2011

Nora Uzhma Naghata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Najuba Uzuma Akasyata

Generasi masa depan negara, bangsa dan agama

Taman Safari Puncak

Bogor, 24 Februari 2011

Bandara Ahmad Yani

Semarang, 28 September 2011

Rileks

*********

Nur Rosihin Ana

Semarang, 19 Oktober 2010

Nur Rosihin Ana

mahkamah dusturiyyah, 18 Juli 2012

Nur Rosihin Ana

Hotel Yasmin, Puncak, Desember 2010

Nora Uzhma Naghata

Naghata

Nora Uzhma Naghata dan Najuba Uzuma Akasyata

Demak, 11 September 2011

Nur Rosihin Ana

Nagreg, Bandung 11 Juli 2011

Nora Uzhma Naghata, Sri Utami, Najuba Uzuma Akasyata, Nur Rosihin Ana

Sapa senja di Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Sapa Senja Jepara

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

...bebas, lepas...

Teluk Awur, Jepara 24 Agustus 2012

Kamis, 20 Juni 2013

Hutan Adat dalam Daulat Masyarakat Hukum Adat

“Al-'âdah Muhakkamah”
Adat kebiasaan itu dapat menjadi dasar 
dalam penetapan hukum. (Kaidah Ushul Fikih)


Fakta sejarah menunjukkan bahwa sebelum ada kerajaan, imperium, dan sebelum ada negara-negara nasional, telah ada terlebih dahulu kesatuan-kesatuan masyarakat adat yang lahir dan tumbuh secara alamiah pada sebuah kawasan. Kesatuankesatuan masyarakat adat ini adalah penduduk asli (indigenous peoples) di kawasan yang bersangkutan. Batas antara wilayah suatu kesatuan masyarakat adat dengan wilayah masyarakat adat lainnya lazim disepakati bersama dengan menggunakan batas-batas alam, seperti sungai, gunung, pohon, atau laut.

Pemerintah kolonial Hindia Belanda sangat menghormati dan mengakui hak kesatuan masyarakat adat tanpa syarat. Namun menjadi ironi ketika hak masyarakat adat justru dikebiri oleh pemerintah nKRi melalui berbagai kondisionalitas. Tanah ulayat kesatuan masyarakat adat yang dikuasai negara, bukannya digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, tetapi diserahkan kepada perusahaan-perusahaan besar swasta dengan tujuan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya.

Memasukkan hutan adat sebagai bagian dari hutan negara sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 Angka 6, Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 5 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU Kehutanan, menunjukkan UU Kehutanan memiliki cara pandang yang tidak tepat terhadap keberadaan dan hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat atas kawasan hutan adatnya. Selama lebih dari 10 tahun sejak diberlakukan, UU Kehutanan menjadi alat negara untuk mengambil alih hak kesatuan masyarakat hukum adat atas wilayah hutan adatnya. Selanjutnya, hutan adat yang telah berubah menjadi hutan negara, diserahkan kepada para pemilik modal melalui berbagai skema perizinan untuk dieksploitasi tanpa memperhatikan hak serta kearifan lokal kesatuan masyarakat hukum adat di wilayah tersebut. Akibatnya, terjadi konflik berkepanjangan antara kesatuan masyarakat hukum adat dengan pengusaha yang memanfaatkan hutan adat mereka. Praktik ini kian menyebar pada sebagian besar wilayah nKRi. Kasus Bentian, Manggarai, Mesuji, dan Pulau Padang, merupakan beberapa contoh kasus tanah masyarakat adat yang dimasukkan dalam izin hutan tanam industri yang diberikan oleh menteri.

Menempatkan hutan adat sebagai bagian dari hutan negara merupakan pengabaian terhadap hak-hak masyarakat hukum adat. Sebab, keberadaan hutan adat dalam wilayah hak ulayat suatu masyarakat hukum adat, diakui dan dilindungan Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28i ayat (3) UUD 1945. Hal ini merupakan konsekuensi pengakuan terhadap hukum adat sebagai living law yang sudah berlangsung sejak lama, dan diteruskan sampai sekarang. Kecuali jika dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat dikembalikan kepada Pemerintah, dan status hutan adat pun beralih menjadi hutan negara.

Sudah saatnya mengembalikan hutan adat dalam daulat masyarakat hukum adat yang diakui eksistensinya dalam konstitusi. Maka sudah selayaknya jika ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Kehutanan harus dimaknai “Hutan adat bukan hutan negara.”

Nur Rosihin Ana


readmore »»  

Swastanisasi TKI Langgar Konstitusi?

Cerita tentang derita para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri, menambah panjang daftar kelam tentang minimnya perlindungan oleh negara terhadap warganya. TKI sering kali dijadikan objek perdagangan manusia. Kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat serta perlakuan yang melanggar HAM menjadi kenyataan pahit yang harus mereka terima.

Hal tersebut dikarenakan negara absen memberikan perlindungan kepada para “pahlawan devisa”. Negara tidak menjalankan amanat konstitusional untuk memberikan perlindungan bagi TKI di luar negeri. Negara justru menyerahkan tanggung jawabnya kepada swasta. Pendelegasian tanggung jawab penempatan TKI oleh negara kepada swasta merupakan merupakan bentuk pengingkaran terhadap hak-hak konstitusional warga negara yang yang bekerja di luar negeri.

Salah satu tugas Negara adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, prinsip perlindungan dan kepastian hukum bagi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) belum tercermin dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKILN). Ketidakseriusan negara memberikan perlindungan kepada TKI, tergambar jelas dalam ketentuan UU PPTKILN. Yakni Pasal 10 huruf b, Pasal 58 ayat (2), Pasal 59, dan Pasal 60 UU PPTKILN.  

Ketentuan pasal-pasal UU PPTKILN tersebut diusung ke MK untuk dimohonkan judicial review. Pengusungnya adalah Arni Aryani Suherlan Odo, Siti Masitoh BT Obih Ading, dan Ai Lasmini BT Enu Wiharja. Para Pemohon yang merupakan buruh migran sekaligus aktivis Yayasan PRO TKI ini meminta MK menyatakan Pasal 10 huruf b, Pasal 58 ayat (2), Pasal 59, dan Pasal 60 UU PPTKILN bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.

Kepaniteraan MK meregistrasi permohonan para TKI luar di negeri ini dengan Nomor 50/PUU-XI/2013 pada Senin 29 April 2013 pukul 14.00 WIB. Menanggapi permohonan buruh migran tersebut, MK menggelar sidang pendahuluan pada Selasa (28/5)

Swastanisasi Tanggung Jawab

Dalam permohonan setebal 12 halaman yang dilayangkan ke MK, para Pemohon melalui kuasa hukum Sondang Tampubolon dkk, mendalilkan bahwa Pemerintah bertugas mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri. Ketentuan ini diperkuat dengan Pasal 10 yang mengamanatkan penempatan TKI di luar negeri dilaksanakan oleh Pemerintah dan swasta. Namun, dalam prakteknya, Pemerintah cenderung memberikan kewenangan pengiriman TKI kepada Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS).

Pasal 10 UU PPTKILN menyatakan, “Pelaksanaan penempatan TKI di luar negeri terdiri dari: a. Pemerintah; b. Pelaksanaan penempatan TKI swasta.” Ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU PPTKILN memberikakan tanggung jawab penempatan TKI kepada swasta. Menurut para Pemohon, hal ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) yang menegaskan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

Kontrak Mandiri

Para Pemohon juga berdalil bahwa pengurusan perpanjangan perjanjian kerja hanya oleh PPTKIS, menutup peluang TKI untuk mengurus perpanjangan kontrak secara mandiri. Hal ini merugikan karena tiadanya jaminan para Pemohon akan kembali bekerja pada majikan yang sama. Selain itu, para Pemohon berpotentsi kehilangan pekerjaan sebab fakta selama ini, penempatan TKI swasta sering mempersulit pengurusan perpanjangan kerja TKI. Bahkan ditemukan fakta perusahaan penempatan TKI swasta tidak lagi diketahui keberadaannya.

Pasal 58 ayat (2) menyatakan, “Pengurusan untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh dan menjadi tanggungjawab pelaksana penempatan TKI swasta.” Frasa “oleh dan menjadi tanggungjawab pelaksana penempatan TKI swasta” dalam ketentuan pasal ini membatasi secara limitatif bahwa yang boleh melaksanakan pengurusan perpanjangan perjanjian kerja hanya Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS). Hal ini menurut para Pemohon, bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menegaskan, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”

Begitu pula dengan ketentuan Pasal 59 UU PPTKILN yang menyatakan, “TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan yang telah berakhir perjanjian kerjanya dan akan memperpanjang perjanjian kerja TKI yang bersangkutan harus pulang terlebih dahulu ke Indonesia.” Ketentuan ini menurut para Pemohon juga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Ketentuan ini mengharuskan TKI pulang ke Indonesia untuk mengurus perpanjangan perjanjian kerja. Ketentuan ini selain tidak efektif, juga berpotensi menyebabkan TKI kehilangan kesempatan untuk bekerja pada majikan yang sama, karena majikan telah memperkerjakan orang lain.

UU PPTKILN yang disahkan pada 18 Oktober 2004 ini telah memunculkan adanya penafsiran berbeda dari para pihak, terutama Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) dan Kementerian Luar Negeri terkait keabsahan dan pemberlakuan kontrak mandiri. Multitafsir dimaksud yaitu pada Pasal 60 menyatakan, “Dalam hal perpanjangan dilakukan sendiri oleh TKI yang bersangkutan, maka pelaksana penempatan TKI swasta tidak bertanggungjawab atas risiko yang menimpa TKI dalam masa perpanjangan perjanjian kerja.

Norma Pasal 60 dalam tataran implementasi ditafsirkan berbeda oleh BNP2TKI dan Kemenakertrans. Peraturan Kepala BNP2TKI Nomor PER.04/KA/V/2011 tentang Petunjuk Teknis Tenaga Kerja Indonesia yang Bekerja Secara Perseorangan, menyebutkan bahwa kontrak kerja mandiri/perseorangan hanya dapat dilakukan bagi yang bekerja pada badan hukum. Namun dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.14/MEN/X/2010 tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, dijelaskan bahwa kontrak kerja mandiri yang dilakukan oleh TKI secara mandiri diperbolehkan, tanpa membedakan yang bekerja pada badan hukum atau perseorangan.

Larangan kontrak mandiri oleh Pemerintah Indonesia di luar negeri sangat merugikan TKI. Pemerintah seharusnya mengaca pada negara lain seperti Filipina, Srilanka, dan Thailand yang membebaskan tenaga kerjanya untuk kontrak mandiri. Norma tersebut pun memunculkan pertanyaan bagi para Pemohon. Apakah perpanjangan perjanjian kerja yang dilakukan oleh TKI yang bersangkutan sah atau tidak sah? Apakah ketentuan tersebut berarti perpanjangan kerja TKI sah, tetapi risiko hukum akibat perpanjangan perjanjian ditanggung oleh TKI yang bersangkutan?

Nur Rosihin Ana
Catatan Perkara Majalah Konstitusi Edisi Juni 2013:
readmore »»  
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More