Kullukum râ'in wa kullukum mas'ûlun
'an ra'iyyatihi...
Setiap kalian adalah pemimpin dan
kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas
kepemimpinan kalian.
(HR Bukhari dan Muslim).
Suhu politik nasional seharusnya berangsur
menurun seiring rampungnya semua tahapan hajat demokrasi dalam pemilu
legislatif dan pemilu presiden/wakil presiden. Faktanya, eskalasi politik
bergolak memperebutkan kursi pimpinan di DPR.
Riak politik perebutan takhta pimpinan di
Senayan bermula berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). UU MD3 yang disahkan Presiden pada 5
Agustus 2014 ini menyulut polemik ihwal siapa berhak duduk sebagai pimpinan DPR
dan pimpinan alat kelengkapan DPR.
Salah satu pangkal polemik yaitu berlakunya
ketentuan Pasal 84 ayat (2) UU MD3 Tahun 2014 yang menentukan pimpinan DPR
dipilih oleh anggota DPR dalam satu paket. Mekanisme pemilihan pimpinan DPR
model ini dinilai sarat dengan muatan politik. Sementara dalam UU MD3
sebelumnya, yakni Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 pada Pasal 82 ayat (2)
menyebutkan bahwa yang berhak menduduki ketua DPR adalah parpol pemenang pemilu
legislatif.
PDI Perjuangan menjadi parpol pemenang
pemilu legislatif tahun 2014. Sebanyak 109 anggota DPR RI dari
PDI-P berhasil masuk ke senayan. Sebagai parpol pemenang pileg, PDI-P merasa
dirugikan karena tidak otomatis menduduki tampuk kepemimpinan di parlemen.
Ketentuan dalam Pasal 84, Pasal 97, Pasal 104, Pasal 109, Pasal 115, Pasal 121,
dan Pasal 152 UU MD3 merintangi anggota DPR terpilih dari PDI-P untuk
mendapatkan hak konstitusionalnya menjadi Ketua DPR-RI dan pimpinan alat-alat
kelengkapan DPR RI. Padahal periode sebelumnya kepemimpinan DPR dipegang oleh
parpol pemenang pemilu. Ketua DPR-RI Periode 2004-2009 berasal dari Fraksi
Partai Golkar dan Ketua DPR-RI Periode 2009-2014 berasal dari Fraksi Partai
Demokrat.
Pertanyaannya, apakah
pemilihan pimpinan DPR RI dan alat kelengkapannya melalui mekanisme dipilih
oleh anggota DPR RI, bertentangan dengan UUD 1945? Pasal 22E ayat (2) UUD 1945
menyebutkan bahwa pemilu adalah untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan
Wakil Presiden, serta DPRD, bukan untuk memilih pimpinan DPR. Tidak ada
ketentuan dalam UUD 1945 yang mengatur mengenai cara dan mekanisme pemilihan pimpinan
DPR. Pasal 19 ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa susunan DPR diatur dengan UU.
Mekanisme pemilihan
pimpinan DPR adalah wilayah kebijakan pembentuk UU. Maka tidak mengherankan
jika cara pemilihan pimpinan DPR cukup beragam, baik sebelum atau sesudah
perubahan UUD 1945. Antara lain, ditentukan oleh dan dari anggota DPR sendiri
dengan sistem paket atau pencalonan oleh fraksi. Sebelum perubahan UUD 1945,
penentuan pimpinan DPR dilakukan dengan cara pemilihan dari dan oleh anggota.
Fakta menunjukkan bahwa
pembentukan UU MD3 telah sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945,
yaitu telah dibahas dan disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. Saat masih
proses pembahasan RUU MD3 di DPR, juga dilakukan secara transparan. Bahkan
PDI-P pun ikut dalam seluruh proses itu. Mempersoalkan konstitusionalitas UU
MD3 berarti mempersoalkan tindakan fraksi dan anggotanya sendiri.
Satu hal yang perlu
menjadi catatan, perubahan UU MD3 hendaknya tidak dilakukan setiap lima tahun.
Hal ini menghindari permainan politik sesaat. Perubahan dilakukan apabila
memang benar-benar diperlukan karena perubahan situasi ketatanegaraan.
Nur Rosihin Ana
(Editorial Majalah
Konstitusi No. 92 – Oktober 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar