Perkembangan hukum Indonesia yang mengatur usia anak telah mengalami kemajuan yang pesat, khususnya sejak pengesahan Konvensi Hak-Hak Anak. Namun, di sisi lain praktek perkawinan anak masih marak dan jamak terjadi. Perkawinan anak atau perkawinan dini, merupakan praktik tradisional yang telah lama dikenal di seluruh belahan dunia.
Perkawinan
anak merampas hak anak untuk tumbuh dan berkembang serta mendapatkan
pendidikan. Hal inilah antara lain dalil permohonan uji materi Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) terhadap
UUD 1945.
Permohonan
yang diregistrasi oleh Kepaniteraan MK dengan Nomor 74/PUU-XII/2014, ini
diajukkan oleh Indry Oktaviani, Fr Yohana Tantria W, Dini Anitasari Sa’Baniah,
Hadiyatut Thoyyibah, Ramadhaniati, dan Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA). Indry
Oktaviani dan Fr Yohana Tantria W merupakan aktivis pemajuan dan perlindungan
hak-hak perempuan. Sedangkan Dini Anitasari Sa’Baniah, Hadiyatut Thoyyibah, dan
Ramadhaniati, adalah para ibu yang memiliki anak. Sementara itu, YPHA adalah
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang didirikan atas dasar kepedulian dan dalam
rangka turut serta melakukan pemajuan dan perlindungan hak-hak anak di
Indonesia.
Para
Pemohon mengujikan ketentuan Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa “16 (enam belas)
tahun” dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU
Perkawinan) terhadap UUD 1945. Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan selengkapnya
menyatakan, “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas)
tahun.” Kemudian di dalam penjelasannya dikatakan: “…untuk menjaga kesehatan
suami istri dan keturunan perlu ditetapkan batas batas umur untuk perkawinan.”
Sedangkan Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan menyatakan, “Dalam hal penyimpangan
Pasal terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan
atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak
wanita.”
Umur Anak
Ketentuan
frasa “16 (enam belas) tahun” dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan menjadi asas
hukum dibenarkannya perkawinan bagi wanita yang sudah mencapai umur 16 tahun.
Bahkan dalam praktik, menjadi peluang untuk dapat dilakukannya pernikahan bagi
usia wanita sebelum umur 16 tahun.
Padahal
hukum Indonesia yang mengatur usia anak telah mengalami kemajuan, khususnya
semenjak pengesahan Konvensi Hak-Hak Anak. Pasal 1 Konvensi Hak-Hak Anak
menyatakan, “…Untuk digunakan dalam konvensi yang sekarang ini, anak berarti
setiap manusia yang berusia di bawah delapan belas tahun kecuali berdasarkan
undang-undang yang berlaku untuk anak-anak kedewasaan telah dicapai lebih
cepat.”
Penegasan
serupa juga terdapat dalam sejumlah peraturan perundang-undangan nasional.
Antara lain Pasal 1 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
menyatakan, “Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas)
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Pasal 1 angka 5 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan, “Anak
adalah setiap manusia yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun dan
belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut
adalah demi kepentingannya.”
Sementara di sisi lain, ketentuan
Pasal 47 UU Perkawinan justru menyatakan, “(1) anak yang belum mencapai umur 18
(delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah
kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.”
Hal tersebut di atas dengan jelas
menunjukkan bahwa batas “usia anak” khususnya anak perempuan dalam UU
perkawinan secara a contrario tidak seragam. Akibatnya, secara faktual
dan aktual menimbulkan ketidakpastian hukum mengenai batas usia anak di
Indonesia. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa “16
(enam belas) tahun” UU Perkawinan bertentangan dengan prinsip kepastian hukum,
sebagaimana diamanatkan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Dispensasi Perkawinan
Dispensasi Perkawinan
Batas usia wanita untuk menikah
yang terdapat dalam UU Perkawinan sudah tidak sesuai lagi dengan dengan segala
pengaturan yang ada di Indonesia. Hal ini dalam rangka melindungi hak-hak anak,
khususnya hak-hak anak perempuan.
Ketidakpastian hukum dari
ketentuan tersebut juga nampak sepanjang frasa “Penyimpangan” dalam Pasal 7
ayat (2) UU Perkawinan, yang mengandung ketidakjelasan tentang apa saja
kategori yang dimaksud dengan Penyimpangan tersebut. Dalam ketentuan ini, anak
yang kawin di bawah 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan harus
mendapatkan dispensasi perkawinan dari pengadilan agama. Dispensasi perkawinan
di bawah umur selanjutnya diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang
menyebutkan sebuah alasan dispensasi dapat diberikan, yaitu untuk kemaslahatan
keluarga dan rumah tangga. Interpretasi kemaslahatan keluarga dan rumah tangga
kemudian menjadi ranah kewenangan hakim di pengadilan agama.
Pencatatan perkawinan di KUA bagi
anak di bawah usia 16 tahun seharusnya tidak dimungkinkan oleh UU Perkawinan.
Namun dengan adanya dispensasi perkawinan di bawah usia 16 tahun yang diatur
Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, hal tersebut sangat
mungkin terjadi. Dalam praktiknya, “dalam hal penyimpangan ini” dimaknai
berbeda-beda oleh Hakim. Hakim mengabulkan dispensasi perkawinan untuk kasus
anak yang terlanjur sudah hamil. Sebab jika anak lahir tanpa seorang bapak, hal
ini ditakutkan akan merugikan kepentingan anak perempuan itu sendiri. Akan
tetapi, pada umumnya hakim tidak mengabulkan dispensasi untuk kasus selain
alasan kehamilan.
Interpretasi kemaslahatan
keluarga dan rumah tangga tersebut mengakibatkan tidak pastinya batasan dalam
hal “penyimpangan” yang dimaksud, sehingga mengkibatkan pemberian izin menikah
bagi anak dapat dimaknai secara sangat luas. Oleh karenanya jelas keberadaan
ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan telah menciptakan situasi
ketidakpastian hukum, sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal
28D ayat (1) UUD 1945.
Pembenaran perkawinan anak
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan merupakan
ancaman terhadap pemenuhan dan perlindungan hak-hak asasi anak khususnya anak
perempuan Indonesia. Sebab ketentuan ini kemudian menjadi landasan dan dasar
hukum dibenarkannya perkawinan bagi wanita yang sudah mencapai umur 16 tahun.
Bahkan dalam praktiknya menjadi peluang dilakukannya pernikahan bagi usia
wanita sebelum umur 16 tahun. Bahkan di sejumlah pedesaan, pernikahan dilakukan
segera setelah anak perempuan mendapat haid pertama.
Kawin Paksa Anak
Persetujuan merupakan salah satu
syarat yang menentukan legalitas sebuah perkawinan. UU Perkawinan menetapkan
persyaratan yang harus dipenuhi agar sebuah perkawinan dapat dianggap sah.
Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan
menyebutkan bahwa perkawinan didasarkan pada persetujuan dari pengantin
laki-laki dan perempuan. Persyaratan adanya persetujuan ini bertujuan untuk
melindungi anak-anak dari perkawinan paksa. Namun, apakah anak-anak yang belum
dewasa dapat memberikan persetujuan yang “bebas dan penuh”.
Perkawinan anak (di bawah 18
tahun) yang diperbolehkan berdasarkan UU Perkawinan merupakan bentuk
pelanggaran hak. Anak terlalu muda untuk membuat keputusan tentang pasangan
perkawinan mereka atau tentang implikasi dari perkawinan itu sendiri.
Dalam KHI, persetujuan dari
pengantin laki-laki dan perempuan bahkan didefinisikan sebagai, “Persetujuan
dari pengantin perempuan dapat berupa pernyataan tegas dalam bentuk pernyataan
tertulis atau lisan, atau gerakan, tetapi juga dapat diam saja, yang dapat
ditafsirkan sebagai tidak ada penolakan yang tegas”. Definisi persetujuan
seperti ini justru akan berkontribusi pada terjadinya perkawinan paksa,
khususnya dalam masyarakat patriarki, dengan ketidakberdayaan perempuan dan
kurang diartikulasikannya aspirasi mereka.
Misalnya kasus pernikahan antara
Pujiono Cahyo Widiono, atau lebih dikenal sebagai Syekh Puji (43 tahun),
menikahi Lutfiana Ulfa (12 tahun) pada November 2008. Pujiono, seorang
pengusaha kaya di Semarang, telah beristri. Sementara itu, Ulfa baru lulus
sekolah dasar. Orang tua Ulfa adalah karyawan perusahaan swasta dan memiliki
latar belakang kesejahteraan ekonomi yang terbatas. Banyak yang menilai bahwa
perkawinan tersebut bermotif ekonomi.
Pernikahan kontroversial ini
menuai kecaman dari berbagai pihak. Akibatnya, permohonan surat nikah (proses
legal formal) perkawinan Pujiono dengan Ulfa ditolak olah KUA Kabupaten
Semarang. Dalam perkembangannya, pada 14 Oktober 2010, Pujiono dituntut dengan
hukuman enam tahun penjara dan denda 60 juta. Dia dihukum dengan pertimbangan
tidak mengindahkan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan dalih
mengawini anak di bawah umur, melecehkan perempuan, serta memasung hak anak
karena tidak dapat bersekolah.
Ancaman Kesehatan
Kehamilan pada usia kurang dari
17 tahun akan meningkatkan risiko komplikasi medis, baik pada ibu maupun pada
anak. Kehamilan di usia yang sangat muda ternyata berkorelasi dengan angka
kematian dan kesakitan ibu. Disebutkan bahwa anak perempuan berusia 10-14 tahun
berisiko lima kali lipat meninggal saat hamil maupun bersalin dibandingkan
kelompok usia 20-24 tahun. Risiko ini meningkat dua kali lipat pada kelompok
usia 15-19 tahun. Sebagai contoh angka kematian ibu usia di bawah 16 tahun di
Kamerun, Etiopia, dan Nigeria, bahkan lebih tinggi hingga enam kali lipat. Hal
ini terjadi karena anatomi tubuh anak belum siap untuk proses mengandung maupun
melahirkan, sehingga dapat terjadi komplikasi berupa obstructed labour serta
obstetric fistula.
Data dari UNPFA tahun 2003,
memperlihatkan 15%-30% di antara persalinan di usia dini disertai dengan
komplikasi kronik, yaitu obstetric fistula. Fistula merupakan kerusakan
pada organ kewanitaan yang menyebabkan kebocoran urin atau feses ke dalam
vagina. Wanita berusia kurang dari 20 tahun sangat rentan mengalami obstetric
fistula. Obstetric fistula ini dapat terjadi pula akibat hubungan seksual
di usia dini. Pernikahan anak berhubungan erat dengan fertilitas yang tinggi,
kehamilan dengan jarak yang singkat, juga terjadinya kehamilan yang tidak
diinginkan.
Perkawinan anak dengan kehamilan
dini (di bawah umur 18 tahun) sangat berisiko tinggi bagi si Ibu, karena si Ibu
sedang dalam masa pertumbuhan yang masih memerlukan gizi. Sementara janin yang
dikandungnya juga memerlukan gizi sehingga ada persaingan perebutan nutrisi dan
gizi antara ibu dan janin. Hal ini antara lain beresiko potensi kelahiran
premature, bayi lahir cacat, meningkatkan Angka Kematian Ibu (AKI).
Hak Anak atas Pendidikan
Hak Anak atas Pendidikan
Semakin muda usia anak perempuan
menikah maka semakin rendah tingkat pendidikan yang dapat dicapai oleh anak.
Pernikahan dini menyebabkan anak tidak lagi bersekolah karena ia memiliki
tangung jawab baru, baik sebagai istri atau calon ibu, atau orangtua yang akan
diharapkan berperan lebih besar mengurus rumah tangga atau menjadi tulang
punggung keluarga dan keharusan mencari nafkah.
Hak atas pendidikan semestinya
bisa dinikmati oleh setiap anak di Indonesia. Sistem pendidikan nasional di
Indonesia menerapkan wajib belajar 12 tahun. Apabila perkawinan anak dilakukan
pada usia 16 tahun, anak tersebut tidak dapat menikmati hak-hak
konstitusionalnya untuk mendapatkan pendidikan. Hal ini secara faktual dan juga
potensial mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap hak anak untuk tumbuh
dan berkembang, serta memperoleh hak atas pendidikan, sehingga ketentuan dalam
uji materi UU Perkawinan ini harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28B
ayat (2) dan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945.
Bias Jender
Bias Jender
Pernikahan dini menimbulkan
konsekuensi ketidaksetaraan jender. Mempelai anak perempuan memiliki kapasitas
yang terbatas baik untuk menyuarakan pendapat, menegosiasikan keinginan
berhubungan seksual, memakai alat kontrasepsi, dan mengandung anak, juga
terbatas dalam aspek domestik lainnya.
Dominasi pasangan seringkali
menyebabkan anak perempuan rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Hasil penelitan PSKK UGM, menunjukkan bahwa anak perempuan yang kawin pada usia
muda rentan terhadap tindak KDRT. Kasus KDRT paling banyak dialami anak
perempuan di Sikka, Lembata, Dompu, Indramayu, dan Rembang. Terjadinya KDRT tak
jarang dipicu oleh tekanan adat yang menempatkan anak perempuan pada posisi
yang rentan. Terkait adat belis di Sikka misalnya, pihak suami merasa telah
membeli istri melalui pemberian belis, sehingga ia merasa berhak melakukan kekerasan
terhadap istri.
Segala bentuk diskriminasi adalah
dilarang menurut berbagai instrumen hukum internasional HAM, juga dilarang oleh
UUD 1945 khususnya Pasal 28I ayat (2), termasuk juga larangan diskriminasi
dalam pemenuhan hak-hak anak, yang ditegaskan di dalam ketentuan Pasal 28B ayat
(2) UUD 1945. Keberadaan ketentuan yang mengatur mengenai batas usia perkawinan
anak perempuan telah secara jelas dan meyakinkan melahirkan adanya tindakan
yang diskriminatif dalam perlakuan antara anak laki-laki dan perempuan.
Berdasarkan uraian tersebut di
atas, para Pemohon dalam Petitum meminta Mahkamah menyatakan ketentuan
Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan, sepanjang frasa “umur 16 (enam belas) tahun”,
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang
tidak dibaca “umur 18 (delapan belas) tahun”. Kemudian, menyatakan ketentuan
Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
berkekuatan hukum mengikat.
Nur Rosihin Ana
Dalam "Catatan Perkara Majalah Konstitusi Edisi September 2014", hal 48-50. klik di sini
Nur Rosihin Ana
Dalam "Catatan Perkara Majalah Konstitusi Edisi September 2014", hal 48-50. klik di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar