Rabu, 10 September 2014

Pernikahan Dini


Perkembangan hukum Indonesia yang mengatur usia anak telah mengalami kemajuan yang pesat, khususnya sejak pengesahan Konvensi Hak-Hak Anak. Namun, di sisi lain praktek perkawinan anak masih marak dan jamak terjadi. Perkawinan anak atau perkawinan dini, merupakan praktik tradisional yang telah lama dikenal di seluruh belahan dunia.
Perkawinan anak merampas hak anak untuk tumbuh dan berkembang serta mendapatkan pendidikan. Hal inilah antara lain dalil permohonan uji materi Undang-Undang Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) terhadap UUD 1945.
Permohonan yang diregistrasi oleh Kepaniteraan MK dengan Nomor 74/PUU-XII/2014, ini diajukkan oleh Indry Oktaviani, Fr Yohana Tantria W, Dini Anitasari Sa’Baniah, Hadiyatut Thoyyibah, Ramadhaniati, dan Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA). Indry Oktaviani dan Fr Yohana Tantria W merupakan aktivis pemajuan dan perlindungan hak-hak perempuan. Sedangkan Dini Anitasari Sa’Baniah, Hadiyatut Thoyyibah, dan Ramadhaniati, adalah para ibu yang memiliki anak. Sementara itu, YPHA adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang didirikan atas dasar kepedulian dan dalam rangka turut serta melakukan pemajuan dan perlindungan hak-hak anak di Indonesia.
Para Pemohon mengujikan ketentuan Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa “16 (enam belas) tahun” dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) terhadap UUD 1945. Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan selengkapnya menyatakan, “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.” Kemudian di dalam penjelasannya dikatakan: “…untuk menjaga kesehatan suami istri dan keturunan perlu ditetapkan batas batas umur untuk perkawinan.” Sedangkan Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan menyatakan, “Dalam hal penyimpangan Pasal terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.”

Umur Anak
Ketentuan frasa “16 (enam belas) tahun” dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan menjadi asas hukum dibenarkannya perkawinan bagi wanita yang sudah mencapai umur 16 tahun. Bahkan dalam praktik, menjadi peluang untuk dapat dilakukannya pernikahan bagi usia wanita sebelum umur 16 tahun.
Padahal hukum Indonesia yang mengatur usia anak telah mengalami kemajuan, khususnya semenjak pengesahan Konvensi Hak-Hak Anak. Pasal 1 Konvensi Hak-Hak Anak menyatakan, “…Untuk digunakan dalam konvensi yang sekarang ini, anak berarti setiap manusia yang berusia di bawah delapan belas tahun kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku untuk anak-anak kedewasaan telah dicapai lebih cepat.”
Penegasan serupa juga terdapat dalam sejumlah peraturan perundang-undangan nasional. Antara lain Pasal 1 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan, “Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Pasal 1 angka 5 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan, “Anak adalah setiap manusia yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.”
Sementara di sisi lain, ketentuan Pasal 47 UU Perkawinan justru menyatakan, “(1) anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.”
Hal tersebut di atas dengan jelas menunjukkan bahwa batas “usia anak” khususnya anak perempuan dalam UU perkawinan secara a contrario tidak seragam. Akibatnya, secara faktual dan aktual menimbulkan ketidakpastian hukum mengenai batas usia anak di Indonesia. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa “16 (enam belas) tahun” UU Perkawinan bertentangan dengan prinsip kepastian hukum, sebagaimana diamanatkan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. 

Dispensasi Perkawinan
Batas usia wanita untuk menikah yang terdapat dalam UU Perkawinan sudah tidak sesuai lagi dengan dengan segala pengaturan yang ada di Indonesia. Hal ini dalam rangka melindungi hak-hak anak, khususnya hak-hak anak perempuan.
Ketidakpastian hukum dari ketentuan tersebut juga nampak sepanjang frasa “Penyimpangan” dalam Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan, yang mengandung ketidakjelasan tentang apa saja kategori yang dimaksud dengan Penyimpangan tersebut. Dalam ketentuan ini, anak yang kawin di bawah 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan harus mendapatkan dispensasi perkawinan dari pengadilan agama. Dispensasi perkawinan di bawah umur selanjutnya diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyebutkan sebuah alasan dispensasi dapat diberikan, yaitu untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga. Interpretasi kemaslahatan keluarga dan rumah tangga kemudian menjadi ranah kewenangan hakim di pengadilan agama.
Pencatatan perkawinan di KUA bagi anak di bawah usia 16 tahun seharusnya tidak dimungkinkan oleh UU Perkawinan. Namun dengan adanya dispensasi perkawinan di bawah usia 16 tahun yang diatur Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, hal tersebut sangat mungkin terjadi. Dalam praktiknya, “dalam hal penyimpangan ini” dimaknai berbeda-beda oleh Hakim. Hakim mengabulkan dispensasi perkawinan untuk kasus anak yang terlanjur sudah hamil. Sebab jika anak lahir tanpa seorang bapak, hal ini ditakutkan akan merugikan kepentingan anak perempuan itu sendiri. Akan tetapi, pada umumnya hakim tidak mengabulkan dispensasi untuk kasus selain alasan kehamilan.
Interpretasi kemaslahatan keluarga dan rumah tangga tersebut mengakibatkan tidak pastinya batasan dalam hal “penyimpangan” yang dimaksud, sehingga mengkibatkan pemberian izin menikah bagi anak dapat dimaknai secara sangat luas. Oleh karenanya jelas keberadaan ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan telah menciptakan situasi ketidakpastian hukum, sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Pembenaran perkawinan anak sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan merupakan ancaman terhadap pemenuhan dan perlindungan hak-hak asasi anak khususnya anak perempuan Indonesia. Sebab ketentuan ini kemudian menjadi landasan dan dasar hukum dibenarkannya perkawinan bagi wanita yang sudah mencapai umur 16 tahun. Bahkan dalam praktiknya menjadi peluang dilakukannya pernikahan bagi usia wanita sebelum umur 16 tahun. Bahkan di sejumlah pedesaan, pernikahan dilakukan segera setelah anak perempuan mendapat haid pertama.

Kawin Paksa Anak
Persetujuan merupakan salah satu syarat yang menentukan legalitas sebuah perkawinan. UU Perkawinan menetapkan persyaratan yang harus dipenuhi agar sebuah perkawinan dapat dianggap sah.
Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan didasarkan pada persetujuan dari pengantin laki-laki dan perempuan. Persyaratan adanya persetujuan ini bertujuan untuk melindungi anak-anak dari perkawinan paksa. Namun, apakah anak-anak yang belum dewasa dapat memberikan persetujuan yang “bebas dan penuh”.
Perkawinan anak (di bawah 18 tahun) yang diperbolehkan berdasarkan UU Perkawinan merupakan bentuk pelanggaran hak. Anak terlalu muda untuk membuat keputusan tentang pasangan perkawinan mereka atau tentang implikasi dari perkawinan itu sendiri.
Dalam KHI, persetujuan dari pengantin laki-laki dan perempuan bahkan didefinisikan sebagai, “Persetujuan dari pengantin perempuan dapat berupa pernyataan tegas dalam bentuk pernyataan tertulis atau lisan, atau gerakan, tetapi juga dapat diam saja, yang dapat ditafsirkan sebagai tidak ada penolakan yang tegas”. Definisi persetujuan seperti ini justru akan berkontribusi pada terjadinya perkawinan paksa, khususnya dalam masyarakat patriarki, dengan ketidakberdayaan perempuan dan kurang diartikulasikannya aspirasi mereka.
Misalnya kasus pernikahan antara Pujiono Cahyo Widiono, atau lebih dikenal sebagai Syekh Puji (43 tahun), menikahi Lutfiana Ulfa (12 tahun) pada November 2008. Pujiono, seorang pengusaha kaya di Semarang, telah beristri. Sementara itu, Ulfa baru lulus sekolah dasar. Orang tua Ulfa adalah karyawan perusahaan swasta dan memiliki latar belakang kesejahteraan ekonomi yang terbatas. Banyak yang menilai bahwa perkawinan tersebut bermotif ekonomi.
Pernikahan kontroversial ini menuai kecaman dari berbagai pihak. Akibatnya, permohonan surat nikah (proses legal formal) perkawinan Pujiono dengan Ulfa ditolak olah KUA Kabupaten Semarang. Dalam perkembangannya, pada 14 Oktober 2010, Pujiono dituntut dengan hukuman enam tahun penjara dan denda 60 juta. Dia dihukum dengan pertimbangan tidak mengindahkan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan dalih mengawini anak di bawah umur, melecehkan perempuan, serta memasung hak anak karena tidak dapat bersekolah.

Ancaman Kesehatan
Kehamilan pada usia kurang dari 17 tahun akan meningkatkan risiko komplikasi medis, baik pada ibu maupun pada anak. Kehamilan di usia yang sangat muda ternyata berkorelasi dengan angka kematian dan kesakitan ibu. Disebutkan bahwa anak perempuan berusia 10-14 tahun berisiko lima kali lipat meninggal saat hamil maupun bersalin dibandingkan kelompok usia 20-24 tahun. Risiko ini meningkat dua kali lipat pada kelompok usia 15-19 tahun. Sebagai contoh angka kematian ibu usia di bawah 16 tahun di Kamerun, Etiopia, dan Nigeria, bahkan lebih tinggi hingga enam kali lipat. Hal ini terjadi karena anatomi tubuh anak belum siap untuk proses mengandung maupun melahirkan, sehingga dapat terjadi komplikasi berupa obstructed labour serta obstetric fistula.
Data dari UNPFA tahun 2003, memperlihatkan 15%-30% di antara persalinan di usia dini disertai dengan komplikasi kronik, yaitu obstetric fistula. Fistula merupakan kerusakan pada organ kewanitaan yang menyebabkan kebocoran urin atau feses ke dalam vagina. Wanita berusia kurang dari 20 tahun sangat rentan mengalami obstetric fistula. Obstetric fistula ini dapat terjadi pula akibat hubungan seksual di usia dini. Pernikahan anak berhubungan erat dengan fertilitas yang tinggi, kehamilan dengan jarak yang singkat, juga terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan.
Perkawinan anak dengan kehamilan dini (di bawah umur 18 tahun) sangat berisiko tinggi bagi si Ibu, karena si Ibu sedang dalam masa pertumbuhan yang masih memerlukan gizi. Sementara janin yang dikandungnya juga memerlukan gizi sehingga ada persaingan perebutan nutrisi dan gizi antara ibu dan janin. Hal ini antara lain beresiko potensi kelahiran premature, bayi lahir cacat, meningkatkan Angka Kematian Ibu (AKI). 

Hak Anak atas Pendidikan
Semakin muda usia anak perempuan menikah maka semakin rendah tingkat pendidikan yang dapat dicapai oleh anak. Pernikahan dini menyebabkan anak tidak lagi bersekolah karena ia memiliki tangung jawab baru, baik sebagai istri atau calon ibu, atau orangtua yang akan diharapkan berperan lebih besar mengurus rumah tangga atau menjadi tulang punggung keluarga dan keharusan mencari nafkah.
Hak atas pendidikan semestinya bisa dinikmati oleh setiap anak di Indonesia. Sistem pendidikan nasional di Indonesia menerapkan wajib belajar 12 tahun. Apabila perkawinan anak dilakukan pada usia 16 tahun, anak tersebut tidak dapat menikmati hak-hak konstitusionalnya untuk mendapatkan pendidikan. Hal ini secara faktual dan juga potensial mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap hak anak untuk tumbuh dan berkembang, serta memperoleh hak atas pendidikan, sehingga ketentuan dalam uji materi UU Perkawinan ini harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945. 

Bias Jender
Pernikahan dini menimbulkan konsekuensi ketidaksetaraan jender. Mempelai anak perempuan memiliki kapasitas yang terbatas baik untuk menyuarakan pendapat, menegosiasikan keinginan berhubungan seksual, memakai alat kontrasepsi, dan mengandung anak, juga terbatas dalam aspek domestik lainnya.
Dominasi pasangan seringkali menyebabkan anak perempuan rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Hasil penelitan PSKK UGM, menunjukkan bahwa anak perempuan yang kawin pada usia muda rentan terhadap tindak KDRT. Kasus KDRT paling banyak dialami anak perempuan di Sikka, Lembata, Dompu, Indramayu, dan Rembang. Terjadinya KDRT tak jarang dipicu oleh tekanan adat yang menempatkan anak perempuan pada posisi yang rentan. Terkait adat belis di Sikka misalnya, pihak suami merasa telah membeli istri melalui pemberian belis, sehingga ia merasa berhak melakukan kekerasan terhadap istri.
Segala bentuk diskriminasi adalah dilarang menurut berbagai instrumen hukum internasional HAM, juga dilarang oleh UUD 1945 khususnya Pasal 28I ayat (2), termasuk juga larangan diskriminasi dalam pemenuhan hak-hak anak, yang ditegaskan di dalam ketentuan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Keberadaan ketentuan yang mengatur mengenai batas usia perkawinan anak perempuan telah secara jelas dan meyakinkan melahirkan adanya tindakan yang diskriminatif dalam perlakuan antara anak laki-laki dan perempuan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, para Pemohon dalam Petitum meminta Mahkamah menyatakan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan, sepanjang frasa “umur 16 (enam belas) tahun”, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dibaca “umur 18 (delapan belas) tahun”. Kemudian, menyatakan ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat. 

Nur Rosihin Ana 
Dalam "Catatan Perkara Majalah Konstitusi Edisi September 2014", hal 48-50. klik di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More