Pembangunan yang
sedang gencar dilakukan Pemerintah adalah dalam rangka mewujudkan masyarakat
yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Untuk
mencapai tujuan pembangunan, Pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan dan
regulasi.
Pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum mustahil terwujud tanpa pengadaan tanah.
Tanah dan pembangunan merupakan satu kesatuan (unitas) tak terpisahkan.
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan dengan mengedepankan
prinsip kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan,
kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan, keberlanjutan, dan keselarasan
sesuai dengan nilai-nilai berbangsa dan bernegara. Pengadaan tanah harus
diselenggarakan melalui perencanaan dengan melibatkan semua pemangku dan
pengampu kepentingan. Oleh karena itu, pengadaan tanah harus memperhatikan
keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat.
Ganti kerugian tanah
untuk kepentingan publik seringkali memicu permasalahan di masyarakat. Harga
yang tidak setimpal dengan nilai tanah membuat masyarakat enggan menyerahkan
tanahnya untuk kepentingan umum. Hal ini mengakibatkan proses pembangunan
faslititas umum menjadi terhambat.
Regulasi pengadaan
tanah untuk kepentingan umum mengabaikan prinsip keadilan. Begitulah dalil yang
mengemuka dalam judicial review Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (UU PTPKU) yang kini
tengah bergulir di dalam proses persidangan di Mahkamah Konstitusi. Permohonan
diajukan oleh delapan warga yang tergabung dalam Paguyuban Warga Peduli
Pembangunan Jalan Toll. Mereka yaitu R. Soedarno, Zulhasril Nasir, Soetopo
Ronodihardjo, Benggol Martonohadi, Purwoko, Pekik Denjatmiko, Surya Gunawan,
dan Hidayat. Paguyuban Warga Peduli Pembangunan Jalan Toll merupakan paguyuban
yang memiliki kepedulian terhadap warga yang memiliki tanah yang terkena proyek
Jalan Toll Cinere Jagorawi (Cijago) dan pembangunan jalan toll lainnya di
Indonesia di waktu yang akan datang, terdiri dari.
Permohonan yang
diregistrasi oleh Kepaniteraan MK pada Kamis (10/4/2014) dengan Nomor
42/PUU-XII/2014 ini meminta MK menguji ketentuan Pasal 1 ayat (10) PTPKU yang
menyatakan, “Ganti Kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak
yang berhak dalam proses pengadaan tanah.”
Menurut para Pemohon,
berlakunya Pasal 1 ayat (10) UU PTPKU dan pasal terkait lainnya yaitu Pasal 9
ayat (2), Pasal 31, Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 27 ayat (4) PTPKU, menyebabkan
para Pemohon mengalami kerugian konstitusional. Ketentuan ini tidak memberikan
kepastian hukum. Apakah keadilan yang dimaksud adalah menurut pihak yang membebaskan
atau pihak yang dibebaskan? Sehingga menurut para Pemohon ketentuan tersebut
bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD
1945 yang menjamin hak konstitusional Para Pemohon untuk mendapatkan jaminan
kepastian hukum yang adil atas hak miliknya.
Korbankan Hak Milik
Rakyat
Keadilan adalah
penilaian dengan memberikan kepada siapapun sesuai dengan apa yang menjadi
haknya, yakni dengan bertindak proposional dan tidak melanggar hukum. Keadilan
berkaitan erat dengan hak. Dalam konsepsi bangsa Indonesia hak tidak dapat
dipisahkan dengan kewajiban.
Inkonstitusionalitas
norma dalam frasa “pemberian ganti kerugian yang layak dan adil”, dalam
pelaksanaannya menimbulkan multitafsir pihak-pihak terkait. Rakyat selaku
pemegang hak, seringkali menjadi korban.
Penilaian besarnya
ganti kerugian yang adil juga terkait dengan Pasal 31 UU PTPKU yang menyatakan,
“(1) Lembaga Pertanahan menetapkan Penilai sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. “(2) Lembaga Pertanahan mengumumkan Penilai yang telah
ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk melaksanakan penilaian
Obyek Pengadaan Tanah.”
Peran Perusahaan
Appraisal
Penilai yang dimaksud
dalam UU PTPKU adalah perusahaan yang bergerak di bidang Appraisal. Ketentuan
Pasal 31 UU PTPU tersebut membuka celah terjadinya pemberian kuasa tidak
terbatas kepada pihak appraisal (Penilai) dalam menjalankan tugasnya.
Seyogianya dalam
pasal tersebut atau dalam Penjelasannya harus disebutkan dengan metode apa
perusahaan appraisal menilai aset-aset pemilik hak. Hal ini untuk menjamin
kepastian hukum Para Pemohon, dan menghindari adanya tindakan
kesewenang-wenangan secara sepihak.
Seperti diketahui,
selain NJOP, terdapat beberapa metode yang dapat dijadikan tolak ukur bagi
penilai dalam melakukan penilaiannya terhadap suatu aset tanah atau bangunan.
Misalnya Metode Penyusutan atau Nilai Buku, dan Metode Nilai Perolehan dengan
Hasil Baru (nilai pengganti, atau nilai perolehan sebagai bangunan baru).
Ketentuan Pasal 31 UU
PTPU juga membuka celah masuknya pihak ketiga, dalam hal ini pihak sponsor yang
merupakan pihak pemberi order. Kepentingan sponsor berpotensi membuat penilaian
harga menjadi lebih rendah dari harga yang sebenarnya.
Untungkan Investor
Ganti kerugian yang
adil dalam ketentuan Pasal 1 angka 10 dan pasal-pasal UU PTPKU lainnya, membuka
peluang bagi pihak pembebas untuk menetapkan ganti kerugian serendah mungkin
lahan dengan cara sewenang-wenang, baik secara terang-terangan atau
terselubung. Penilaian dan penetapan suatu harga yang memenuhi unsur keadilan,
harus berdasarkan beberapa unsur misalnya, harga jual pada saat itu dan harga
berdasarkan luas bangunan. Harga NJOP tidak selamanya realistis di daerah
tertentu dan pada periode waktu tertentu. Harga NJOP tidak sama dengan nilai
rata-rata nilai jual yang sesungguhnya terjadi di daerah tersebut.
Menjadi pertanyaan
pihak masyarakat adalah mengapa NJOP yang merupakan Pendapatan Asli Daerah,
tidak disesuaikan dengan harga nyata di masyarakat. Penetapan NJOP yang rendah
mempengaruhi PAD untuk pembangunan daerah dari NJOP tetap rendah.
Pembebasan lahan yang
hanya mengacu kepada harga NJOP sangat menguntungkan bagi investor dalam
pengadaan tanah. Padahal dari sisi kelayakan usaha, investor tetap akan dapat
memperoleh return on investment (RoI) yang baik dan terjamin, tanpa
harus menekan serendah-rendahnya harga pembebasan lahan. Misalnya soal tarif
toll, Pemerintah selalu mendukung investor secara berkala menaikkan tarip toll.
Hal ini berarti peningkatan volume sales tanpa kesulitan berarti. Apalagi tarip
toll di Jakarta saat ini relatif masih sangat rendah dibandingkan dengan tarip
toll kota-kota metropolitan lainnya di dunia, misalnya Tokyo dan New York,
sehingga tarip toll di Jakarta sangat berpotensi untuk dinaikkan sesuai
situasi.
Pembangunan jalan toll
akan terus berjalan, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Oleh karena itu perlu
adanya perlindungan dalam UU agar masyarakat, termasuk para Pemohon terhindar
dari kepentingan aksi ambil untung para pembebas tanah. Masyarakat tidak
menjadi korban pemiskinan dengan intimidasi dan ancaman baik terang-terangan
atau terselubung yang tidak mereka sadari.
Ketentuan Pasal 1
ayat 10 UU PTPKU merupakan langkah mundur jika dibandingkan dengan ketentuan
ganti kerugian yang sebelumnya yang diatur dalam PerPres Nomor 36/2005 yang
sudah diganti (diperbaharui) dengan Perpres Nomor 65/2006. Pasal 1 ayat 11
Perpres Nomor 36/2005 menyatakan, “Ganti rugi adalah penggantian terhadap
kerugian baik bersifat fisik dan/atau non fisik sebagai akibat pengadaan tanah
kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang
berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik
dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelumterkena pengadaan tanah.”
Ganti kerugian yang
layak dan adil dalam Pasal 1 ayat 10 UU PTPKU membuka peluang multitafsir.
Layak dan adil menurut pihak pembebas lahan, atau layak dan adil menurut pihak
pemilik lahan?
Oleh karena itu, para
Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Bab I Pasal 1 Angka 10 UU PTPKU
Konstitusional Bersyarat (conditionally
constitutional). Demi menjamin keadilan bagi rakyat, bunyi Pasal 1
angka 10 UU PTPKU menjadi, “Ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian
baik bersifat fisik dan/atau non fisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada
yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang
berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik
dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah.”
Nur
Rosihin Ana
Majalah Konstitusi
Edisi No. 90 - Agustus 2014 hal. 32-33 klik di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar