Selasa, 19 Agustus 2014

Ambiguitas Keadilan dalam Ganti Rugi Tanah

Pembangunan yang sedang gencar dilakukan Pemerintah adalah dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Untuk mencapai tujuan pembangunan, Pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan dan regulasi.
Pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum mustahil terwujud tanpa pengadaan tanah. Tanah dan pembangunan merupakan satu kesatuan (unitas) tak terpisahkan. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan, keberlanjutan, dan keselarasan sesuai dengan nilai-nilai berbangsa dan bernegara. Pengadaan tanah harus diselenggarakan melalui perencanaan dengan melibatkan semua pemangku dan pengampu kepentingan. Oleh karena itu, pengadaan tanah harus memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat.
Ganti kerugian tanah untuk kepentingan publik seringkali memicu permasalahan di masyarakat. Harga yang tidak setimpal dengan nilai tanah membuat masyarakat enggan menyerahkan tanahnya untuk kepentingan umum. Hal ini mengakibatkan proses pembangunan faslititas umum menjadi terhambat.
Regulasi pengadaan tanah untuk kepentingan umum mengabaikan prinsip keadilan. Begitulah dalil yang mengemuka dalam judicial review Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (UU PTPKU) yang kini tengah bergulir di dalam proses persidangan di Mahkamah Konstitusi. Permohonan diajukan oleh delapan warga yang tergabung dalam Paguyuban Warga Peduli Pembangunan Jalan Toll. Mereka yaitu R. Soedarno, Zulhasril Nasir, Soetopo Ronodihardjo, Benggol Martonohadi, Purwoko, Pekik Denjatmiko, Surya Gunawan, dan Hidayat. Paguyuban Warga Peduli Pembangunan Jalan Toll merupakan paguyuban yang memiliki kepedulian terhadap warga yang memiliki tanah yang terkena proyek Jalan Toll Cinere Jagorawi (Cijago) dan pembangunan jalan toll lainnya di Indonesia di waktu yang akan datang, terdiri dari.
Permohonan yang diregistrasi oleh Kepaniteraan MK pada Kamis (10/4/2014) dengan Nomor 42/PUU-XII/2014 ini meminta MK menguji ketentuan Pasal 1 ayat (10) PTPKU yang menyatakan, “Ganti Kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah.”
Menurut para Pemohon, berlakunya Pasal 1 ayat (10) UU PTPKU dan pasal terkait lainnya yaitu Pasal 9 ayat (2), Pasal 31, Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 27 ayat (4) PTPKU, menyebabkan para Pemohon mengalami kerugian konstitusional. Ketentuan ini tidak memberikan kepastian hukum. Apakah keadilan yang dimaksud adalah menurut pihak yang membebaskan atau pihak yang dibebaskan? Sehingga menurut para Pemohon ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 yang menjamin hak konstitusional Para Pemohon untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum yang adil atas hak miliknya.

Korbankan Hak Milik Rakyat
Keadilan adalah penilaian dengan memberikan kepada siapapun sesuai dengan apa yang menjadi haknya, yakni dengan bertindak proposional dan tidak melanggar hukum. Keadilan berkaitan erat dengan hak. Dalam konsepsi bangsa Indonesia hak tidak dapat dipisahkan dengan kewajiban.
Inkonstitusionalitas norma dalam frasa “pemberian ganti kerugian yang layak dan adil”, dalam pelaksanaannya menimbulkan multitafsir pihak-pihak terkait. Rakyat selaku pemegang hak, seringkali menjadi korban.
Penilaian besarnya ganti kerugian yang adil juga terkait dengan Pasal 31 UU PTPKU yang menyatakan, “(1) Lembaga Pertanahan menetapkan Penilai sesuai dengan peraturan perundang-undangan. “(2) Lembaga Pertanahan mengumumkan Penilai yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk melaksanakan penilaian Obyek Pengadaan Tanah.”

Peran Perusahaan Appraisal
Penilai yang dimaksud dalam UU PTPKU adalah perusahaan yang bergerak di bidang Appraisal. Ketentuan Pasal 31 UU PTPU tersebut membuka celah terjadinya pemberian kuasa tidak terbatas kepada pihak appraisal (Penilai) dalam menjalankan tugasnya.
Seyogianya dalam pasal tersebut atau dalam Penjelasannya harus disebutkan dengan metode apa perusahaan appraisal menilai aset-aset pemilik hak. Hal ini untuk menjamin kepastian hukum Para Pemohon, dan menghindari adanya tindakan kesewenang-wenangan secara sepihak.
Seperti diketahui, selain NJOP, terdapat beberapa metode yang dapat dijadikan tolak ukur bagi penilai dalam melakukan penilaiannya terhadap suatu aset tanah atau bangunan. Misalnya Metode Penyusutan atau Nilai Buku, dan Metode Nilai Perolehan dengan Hasil Baru (nilai pengganti, atau nilai perolehan sebagai bangunan baru).
Ketentuan Pasal 31 UU PTPU juga membuka celah masuknya pihak ketiga, dalam hal ini pihak sponsor yang merupakan pihak pemberi order. Kepentingan sponsor berpotensi membuat penilaian harga menjadi lebih rendah dari harga yang sebenarnya.

Untungkan Investor
Ganti kerugian yang adil dalam ketentuan Pasal 1 angka 10 dan pasal-pasal UU PTPKU lainnya, membuka peluang bagi pihak pembebas untuk menetapkan ganti kerugian serendah mungkin lahan dengan cara sewenang-wenang, baik secara terang-terangan atau terselubung. Penilaian dan penetapan suatu harga yang memenuhi unsur keadilan, harus berdasarkan beberapa unsur misalnya, harga jual pada saat itu dan harga berdasarkan luas bangunan. Harga NJOP tidak selamanya realistis di daerah tertentu dan pada periode waktu tertentu. Harga NJOP tidak sama dengan nilai rata-rata nilai jual yang sesungguhnya terjadi di daerah tersebut.
Menjadi pertanyaan pihak masyarakat adalah mengapa NJOP yang merupakan Pendapatan Asli Daerah, tidak disesuaikan dengan harga nyata di masyarakat. Penetapan NJOP yang rendah mempengaruhi PAD untuk pembangunan daerah dari NJOP tetap rendah.
Pembebasan lahan yang hanya mengacu kepada harga NJOP sangat menguntungkan bagi investor dalam pengadaan tanah. Padahal dari sisi kelayakan usaha, investor tetap akan dapat memperoleh return on investment (RoI) yang baik dan terjamin, tanpa harus menekan serendah-rendahnya harga pembebasan lahan. Misalnya soal tarif toll, Pemerintah selalu mendukung investor secara berkala menaikkan tarip toll. Hal ini berarti peningkatan volume sales tanpa kesulitan berarti. Apalagi tarip toll di Jakarta saat ini relatif masih sangat rendah dibandingkan dengan tarip toll kota-kota metropolitan lainnya di dunia, misalnya Tokyo dan New York, sehingga tarip toll di Jakarta sangat berpotensi untuk dinaikkan sesuai situasi.
Pembangunan jalan toll akan terus berjalan, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Oleh karena itu perlu adanya perlindungan dalam UU agar masyarakat, termasuk para Pemohon terhindar dari kepentingan aksi ambil untung para pembebas tanah. Masyarakat tidak menjadi korban pemiskinan dengan intimidasi dan ancaman baik terang-terangan atau terselubung yang tidak mereka sadari.
Ketentuan Pasal 1 ayat 10 UU PTPKU merupakan langkah mundur jika dibandingkan dengan ketentuan ganti kerugian yang sebelumnya yang diatur dalam PerPres Nomor 36/2005 yang sudah diganti (diperbaharui) dengan Perpres Nomor 65/2006. Pasal 1 ayat 11 Perpres Nomor 36/2005 menyatakan, “Ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik dan/atau non fisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelumterkena pengadaan tanah.”
Ganti kerugian yang layak dan adil dalam Pasal 1 ayat 10 UU PTPKU membuka peluang multitafsir. Layak dan adil menurut pihak pembebas lahan, atau layak dan adil menurut pihak pemilik lahan?
Oleh karena itu, para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Bab I Pasal 1 Angka 10 UU PTPKU Konstitusional Bersyarat (conditionally constitutional). Demi menjamin keadilan bagi rakyat, bunyi Pasal 1 angka 10 UU PTPKU menjadi, “Ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik dan/atau non fisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah.”

Nur Rosihin Ana
Majalah Konstitusi Edisi No. 90 - Agustus 2014 hal. 32-33 klik di sini


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More