Minggu, 20 Juli 2014

Proses Penyidikan, Pembuktian, dan Penahanan Langgar HAM

Proses hukum harus dilakukan sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan. Prosedur adalah cara yang benar dalam satu proses. Perlindungan hukum dalam satu proses hukum atau yang dikenal secara luas sebagai “Hukum Acara”, tidak bermakna sebagai pedoman atau cara yang sah untuk melindungi pelaku kejahatan untuk menghindar dari tangan hukum. Hukum Acara secara ideal memberikan kesetaraan antara tersangka, terdakwa dengan penyidik dan penuntut dan kemudian diberikan penilaian oleh hakim.
Hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur dan memberikan batasan yang dapat dilakukan oleh negara dalam proses penyelidikan, penyidikan hingga proses peradilan dengan motode yang baku untuk menegakkan hukum dan melindungi hak-hak individu selama proses hukum berlangsung. Pada hakikatanya hukum acara pidana adalah aturan hukum untuk melindungi warga negara dari perlakuan sewenang-wenang oleh aparatur penegak hukum karena diduga melakukan perbuatan pidana. Secara khusus, hukum acara pidana dirancang untuk melindungi dan menegakkan hak-hak konstitusional tersangka dan terdakwa, pada saat dimulai penyelidikan, penyidikan, proses peradilan sampai pelaksanaan hukuman atau eksekusi.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berpotensi menjadi sarana pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM) atas nama penegakan hukum yang akan terjadi terus menerus. Untuk menghindari hal ini, beberapa pasal dalam KUHAP harus diberi tafsir yang jelas atau didefinisikan secara pasti.
Demikian uji materi KUHAP yang diajukan oleh Bachtiar Abdul Fatah. Karyawan PT. Chevron Pacific Indonesia (PT. CPI) ini melalui kuasa hukum Maqdir Ismail, S.F Marbun, Alexander Lay, dkk, mengaku mengalami kerugian konstitusional akibat berlakunya ketentuan Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1), Pasal 77 huruf a, Pasal 156 ayat (2) KUHAP. Permohonan Bachtiar diregistrasi oleh Kepaniteraan Mahkamah dengan Nomor 21/PUU-XII/2014.

Multitafsir Takrif Penyidikan
Penyidikan bukan merupakan suatu proses pidana yang mengharuskan lahirnya tersangka pada proses akhirnya. Penyidikan pun secara tegas memberikan syarat bahwa penetapan tersangka merupakan tahapan lanjutan yang syaratnya hanya dapat dilakukan setelah penyidik berhasil mengumpulkan bukti-bukti yang cukup.
Pasal 1 angka 2 KUHAP menyatakan, “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.
Sepintas ketentuan tersebut terlihat jelas. Namun dalam praktik telah menimbulkan pengertian yang multitafsir dan melanggar asas lex certa serta asas lex stricta sebagai asas umum dalam pembentukan perundang-undangan pidana. Sebab hakikat kegiatan penyidikan pengumpulan alat bukti untuk memastikan perbuatan yang diperiksa sebagai perbuatan pidana atau bukan perbuatan pidana, kemudian menentukan siapa pelaku perbuatan pidana tersebut.
Untuk menjamin kesesuaian ketentuan dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP dengan prinsip-prinsip HAM sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 maka frasa “dan guna menemukan tersangkanya” dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP harus dimaknai sebagai “dan berdasarkan hasil penyidikan tersebut untuk kemudian dapat menemukan tersangkanya” sehingga penyidikan tidak lagi dipergunakan sebagai alat untuk menempatkan orang sebagai tersangka manakala suatu perkara memang tidak seharusnya ada tersangka.

Parameter Bukti Permulaan
Frasa “bukti permulaan” dalam Pasal 1 angka 14 dan frasa “bukti permulaan yang cukup” dalam Pasal 17 KUHAP tanpa disertai dengan parameter yang jelas. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum sehubungan dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi penyidik sebelum menyatakan seseorang sebagai tersangka atau sebelum menggunakan upaya paksa dalam menangkap seseorang.
Pasal 1 angka 14 KUHAP menyatakan, “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.”
Bahwa Pasal 1 angka 17 KUHAP menyatakan, “Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.”
Berbeda dengan KUHAP, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) telah mengatur secara jelas parameter dari istilah “bukti permulaan yang cukup” sebagai syarat meningkatkan tahapan penyelidikan menjadi penyidikan dalam Pasal 44 ayat (2) yang menyatakan, “Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik.”
Syarat terdapatnya dua alat bukti dalam UU KPK adalah sejalan dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP. Oleh karena itu sudah seharusnya aparat penegak hukum menggunakan alat bukti sebagai parameter objektif sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka dan dalam menangkap seseorang. Pengertian “bukti permulaan” dan “bukti permulaan yang cukup” haruslah dinyatakan dalam undang-undang, dalam hal ini KUHAP, dan tidak boleh dilakukan melalui peraturan-peraturan lainnya apalagi melalui interpretasi dari para Penyidik.
Oleh karena itu, untuk menjamin HAM sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (5) dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, sudah seyogyanya Mahkamah menyatakan frasa “bukti permulaan” dan “bukti permulaan yang cukup” yang terdapat dalam Pasal 1 angka 14 jo Pasal 17 KUHAP tidak konstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “bukti permulaan” dan “bukti permulaan yang cukup” tidak dimaknai “sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti”.

Perintah Penahanan
Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan tiga Putusan mengenai pengujian Pasal 21 ayat (1) KUHAP yaitu Putusan Mahkamah No. 018/PUU-IV/2006 tertanggal 19 Desember 2006, Putusan Mahkamah No. 41//PUU-VIII/2010 tertanggal 10 Maret 2011 dan Putusan Mahkamah No. 16/PUU-IX/2011 tertanggal 11 April 2012.
Berulangnya pengujian terhadap Pasal 21 ayat (1) KUHAP menunjukkan bahwa permasalahan yang ada bukanlah hanya sekedar permasalahan implementasi atau penerapan hukum dari ketentuan Pasal 21 ayat (1) KUHAP, melainkan sudah merupakan permasalahan yang mengarah pada adanya kesalahan dalam rumusan norma di dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP yang jelas bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan yang secara nyata bertentangan dengan prinsip due process of law sebagaimana digariskan dalam Pasal 1 ayat (3) serta Pasal 28I ayat (5) UUD 1945.
Pasal 21 ayat (1) KUHAP menyatakan, ”Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.”
Terdapat dua frasa penting di dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP yang bersifat multitafsir dan menimbulkan ketidakpastian hukum serta memberikan ruang subyektivitas yang besar kepada penyidik dalam menerapkannya, yaitu frasa “berdasarkan bukti yang cukup” dan frasa “adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran”.
Tidak ada ukuran yang dimaksud dengan bukti yang cukup, maupun bagaimana kriteria penilaian terhadap bukti yang cukup, dari suatu keadaan untuk dapat dikatakan sebagai keadaan yang menimbulkan kekhawatiran, maupun ukuran atau standar atau parameter dari pemahaman atas definisi “keadaan yang menimbulkan kekhawatiran”, tidak ditemukan jawabannya di dalam ketentuan norma di dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP maupun Penjelasan atas pasal tersebut. Pemaknaannya sepenuhnya diserahkan kepada penyidik. Padahal, penyidik tidak diberikan kewenangan oleh UU untuk menginterpretasikan ketentuan UU yang tidak jelas sekalipun, termasuk memberikan interpretasi dasar menurut hukum (rechtmatige heid) dan dasar hukum menurut keperluan berdasarkan suatu keadaan (nood zakelijk heid) dalam melakukan penahanan, terutama berkenaan dengan alasan subyektif yang menimbulkan kekhawatiran bahwa Tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan/ atau mengulangi tindak pidana.
Berdasarkan hal tersebut, rumusan Pasal 21 ayat (1) KUHAP bersifat multitafsir dan menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (5) dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Untuk menepis hal ini, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan frasa “melakukan tindak pidana” dan frasa “dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sehingga Pasal 21 ayat (1) KUHAP menjadi: “Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras berdasarkan bukti yang cukup akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.”

NUR ROSIHIN ANA

Majalah Konstitusi No. 89 Edisi Juli 2014, hal 42-43. Klik di sini


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More