Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden berlangsung satu putaran
jika pesertanya hanya dua pasangan calon.
Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) Tahun 2014 hanya diikuti oleh dua
pasangan calon. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan pasangan Capres
Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Pasangan Capres Joko Widodo-Jusuf Kalla
sebagai peserta Pilpres 2014.
Pemungutan suara Pilpres digelar pada 9 juli
2014. Kemudian KPU akan mengumumkan hasil resmi rekapitulasi penghitungan suara
Pilpres yang rencananya digelar pada 22 Juli 2014.
Tentu ada menang-kalah dalam kompetisi. Namun,
permasalahan konstitusional muncul dalam menentukan pemenang kompetisi Pilpres.
Yang menjadi pertanyaan adalah, apabila salah satu pasangan Capres memperoleh
suara terbanyak dalam Pilpres, apakah dinyatakan sebagai Capres terpilih
walaupun perolehan suaranya tidak tersebar dengan sedikitnya 20% di lebih dari
setengah provinsi di Indonesia?
Itulah pertanyaan konstitusional yang
mengemuka dalam permohonan judicial review Pasal 159 Undang-Undang Nomor
42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres).
Permohonan yang diregistrasi oleh Kepaniteraan MK dengan Nomor 50/PUU-XII/2014
ini diajukan oleh sejumlah akademisi, pengacara, dan karyawan yang hak-hak
konstitusionalnya terusik oleh ketentuan tersebut. Mereka antara lain Andi
Muhammad Asrun, Heru Widodo, Zainal Arifin Hoesein (para Pemohon).
Menurut para Pemohon, penyelenggaraan Pilpres
harus menjadi kompetisi yang fair agar terpilih pemimpin rakyat yang memiliki
kompetensi dan integritas yang memadai. Pilpres secara langsung oleh rakyat
merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara
yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Untuk menjamin
penyelenggaraan pilpres yang demokratis dan beradab, langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil, maka perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pengaturan Pilpres dalam Pasal 159 UU Pilpres
tentu memengaruhi penyelenggaraan Pilpres. Muatan Pasal 159 ayat (1) dan ayat
(2) UU Pilpres secara substansial merupakan duplikasi dari ketentuan Pasal 6A
ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945. Selengkapnya, berikut persandingan pasal-pasal
tersebut.
Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 menyatakan,
“Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari
lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua
puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah
jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden”
Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 menyatakan, “Dalam
hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan
calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum
dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara
terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.”
Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres menyatakan,
“Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari
50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang
tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah provinsi di Indonesia.”
Pasal 159 ayat (2) UU Pilpres menyatakan,
“Dalam hal tidak ada Pasangan Calon terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), 2 (dua) Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua
dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden.”
Berlakunya Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres
justru menimbulkan multitafsir atas penerapan UUD 1945. Berlakunya Pasal 159
ayat (1) UU Pilpres potensial mengakibatkan penggunaan keuangan negara yang
berlebihan. Selain itu, potensial menimbulkan gesekan dan konflik di tingkat
akar rumput.
Konstruksi Hukum Multitafsir
Konstruksi hukum yang dibangun Pasal 6A ayat
(3) UUD 1945, menurut para Pemohon, didasarkan pada sebaran jumlah penduduk
yang tidak merata antara Jawa dengan luar Jawa. Demikian pula sebaran penduduk
pada antarprovinsi di luar Jawa pun tidak seimbang. Kemudian, apabila Pasal 6A
ayat (3) UUD 1945 tidak dapat dipenuhi, maka harus dibuat alternatif
prosedurnya sebagaimana muatan materi Pasal 6A ayat (4) UUD 1945. Namun demikian
Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 tidak menyatakan secara eksplisit jumlah pasangan
calon dan baru dapat diketahui atau dipahami berapa jumlah pasangan calon yang
dimaksud oleh Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 ketika dikaitkan dengan Pasal 6A ayat
(4) UUD 1945 yang ditegaskan dalam frasa “Dalam hal tidak ada pasangan calon
Presiden dan Wakil Presuiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara
terbanyak pertama dan kedua…..”.
“Di sinilah masalahnya. Nampak sekali
konstitusi kita dengan melihat pada konstruksi pasal ini bahwa pasangan calon
diharapkan adalah lebih dari 2, sehingga diambil 2 yang terbanyak, kemudian
maju pada putaran kedua,” kata Andi Muhammad Asrun dalam sidang pendahuluan di
MK, Senin, (16/6/2014).
Demikian pula ketentuan
Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres juga tidak diketahui berapa jumlah pasangan calon
karena pengertian pasangan calon terpilih dilekatkan pada syarat yang
limitatif, yaitu memperoleh suara lebih dari 50% dan sebaran suara 20%. Dalam
ketentuan berikutnya yaitu pada Pasal 159 ayat (2) UU Pilpres diberikan jalan
dalam prosedur tertentu untuk mengantisipasi jika pada Pasal 159 ayat (1) UU
Pilpres tidak terpenuhi yaitu; “Dalam hal tidak ada Pasangan Calon terpilih
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), 2 (dua) Pasangan Calon yang memperoleh
suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung
dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.”
Konstruksi hukum yang dibangun dalam ketentuan
Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres menimbulkan ketidakpastian tafsir. Hal ini
diakibatkan oleh ketidakjelasan target penerapannya yaitu, apakah pada jumlah
Pasangan Calon pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dengan dua
pasangan Capres-Cawapres atau lebih dua Capres-Cawapres, terutama dikaitkan
dengan situasi Pilpres 2014 yang hanya diikuti dua pasangan Capres-Cawapres.
“Di sinilah letak persoalannya bahwa pada saat ini hanya ada 2 pasangan calon,
sehingga penerapan pasal ini, saya kira tidak bisa diterapkan pada kondisi yang
sekarang ini,” lanjut Asrun.
Apabila mengikuti alur konstruksi hukum Pasal
6A ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945, Pemohon memahami bahwa memakani Pasal 6A
ayat (3) UUD 1945 sepanjang terkait dengan jumlah pasangan calon, maka harus
dikaitkan dengan ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945. Hal ini berarti jumlah
pasangan yang dimaksud Pasal 6A ayat (3) dikaitkan dengan ketentuan Pasal 6A
ayat (4) UUD 1945 adalah lebih dari 2 (dua) pasangan calon. Demikian pula
konstruksi hukum pada Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres dapat dimaknai bahwa
sepanjang terkait dengan jumlah Pasangan Calon, maka harus dikaitkan dengan
konstruksi Pasal 159 ayat (2) UU Pilpres, yakni lebih dari 2 (dua) pasangan
calon.
Realitas Hukum
Ketentuan Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) UUD
1945 serta ketentuan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres merupakan norma hukum yang
dijadikan dasar pijak penyelenggara Pemilu untuk menetapkan pasangan Capres
terpilih dalam Pemilu. Namun realitas politik dan hukumnya berbeda karena
ternyata Pilpres 2014 hanya diikuti oleh dua pasangan calon.
Realitas tersebut tidak diatur dalam ketentuan
UU Pilpres. Padahal semestinya UU Pilpres menjelaskan secara rinci pemaknaan
Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945. Hal ini untuk menjamin kepastian hukum
yang berkeadilan jika hanya ada dua pasangan Capres.
Pilpres 2014 yang hanya diikuti oleh dua
pasangan calon, merupakan realitas yang harus dihadapi dan diselesaikan. Hukum
sebagai kenyataan dalam praktik, seringkali berbeda dengan hukum sebagai
disiplin ilmu. Realitas hukum kadangkala berbeda dengan apa yang dipelajari
dalam ilmu hukum. Nilai validitas suatu hukum terletak pada kesesuaiannya
dengan norma lainnya terutama norma dasar.
Dalam doktrin pembentukan suatu peraturan
perundang-undangan sebagai keputusan politik dan keputusan hukum, maka setiap
pembentukan perundang-undangan memiliki fungsi yang inheren dengan fungsi hukum
itu sendiri. Salah satu fungsinya di samping menjamin keadilan adalah
terwujudnya kepastian Hukum.
Solusi Hindari Kekosongan Hukum
Untuk menghindari kesimpangsiuran tafsir dan
menjamin keadilan dan kepastian hukum, para Pemohon berpendapat bahwa Mahkamah
Konstitusi harus memberikan tafsir Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres agar
Penyelenggara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dan para Pasangan Calon
mendapatkan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan dari putusan tersebut. MK
harus memberi arti yang pasti agar Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres sejalan dengan
makna Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945 dan menjawab realitas Pilpres
2014 yang diikuti hanya oleh dua pasangan Capres.
Apabila hal ini dibiarkan, dikhawatirkan
terjadi kekosongan hukum. Sebab, Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres dirancang untuk
Pilpres dengan jumlah pasangan Capres lebih dari dua pasangan. Di samping itu,
jika pun diterapkan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres dalam Pilpres 2014 yang
diikuti oleh dua pasangan calon dan salah salah kandidat tidak dapat memenuhi
ketentuan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres, maka prosedur berikutnya mengikuti
ketentuan Pasal 159 ayat (2) UU Pilpres yaitu dilakukan Pilpres dua putaran.
Kedua pasangan Capres bertarung kembali. Akibatnya, terjadi pemborosan keuangan
negara dan ketidakstabilan politik, bahkan tidak menutup kemungkinan akan
menimbulkan gesekan sangat keras dan berdarah di kalangan akar rumput pada
masing-masing pendukung.
Agar ketentuan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres tidak menimbulkan multitafsir, maka
sudah saatnya dan seharusnya diberikan makna atau tafsir baru oleh MK, yaitu
tidak diberlakukan untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan dua pasangan
Calon Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian materi muatan Pasal 159 ayat
(1) UU Pilpres adalah, “Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang
memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen)
suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah
provinsi di Indonesia, dantidak diberlakukan untuk Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden dengan dua pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden.”
Berdasarkan argumentasi tersebut, para Pemohon
meminta Mahkamah menyatakan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres tidak bertentangan
dengan UUD 1945, sepanjang Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres tidak diberlakukan
untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan dua pasangan Calon Presiden dan
Wakil Presiden.
Untuk memperkuat dalil-dalil permohonan, para
Pemohon mengajukan sejumlah bukti (bukti P-1 sampai P-5.14). Pemohon juga
menghadirkan dua orang pakar di persidangan (23/6/2014), yaitu H.A.S. Natabaya
dan Harjono.
Terserah Mahkamah
Menanggapi permohonan para Pemohon, Presiden
menyampaikan keterangan secara lisan dalam persidangan MK. Sedangkan DPR
menyampaikan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada 1
Juli 2014.
Presiden melalui Staf Ahli Menteri Dalam
Negeri Bidang Politik, Hukum, dan Hubungan Antarlembaga, Reydonnyzar Moenek,
menyampaikan keterangan dalam persidangan di MK, Senin (23/6/2014). Pada
intinya Presiden menyatakan jika ketentuan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres
diterapkan pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dengan dua pasangan
calon maka akan potensial menimbulkan kekosongan kekuasaan.
Menurut Pemerintah, diperlukan pemahaman
seluruh elemen bangsa untuk dapat menyepakati suatu kebijakan yang hakiki untuk
menentukan arah penyelenggaraan pemerintahan negara yang lebih baik. Sedangkan
untuk menjamin kepastian hukum atas hal ini, Pemerintah menyerahkan kepada
putusan Mahkamah. “Pemerintah memohon kepada Mahkamah Konstitusi dapat
memberikan putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo et bono),”
kata Reydonnyzar Moenek.
Sementara DPR dalam keterangan tertulis yang
dilayangkan ke MK pada intinya menyatakan bahwa ketentuan Pasal 159 ayat (1) UU
Pilpres tetap harus diterapkan meskipun peserta Pilpres hanya dua pasangan
calon. Namun apabila tidak ada pasangan calon yang mampu memenuhi syarat
persebaran, maka DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Mahkamah untuk menafsirkan
ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 juncto Pasal 159 ayat (2) UU
42/2008 apakah akan ada pemungutan suara putaran kedua, atau ketentuan Pasal 6A
ayat (3) tidak diberlakukan.
Alasan Persebaran Suara
Konstitusi tidak lahir dan tidak ditegakkan
dalam ruang hampa, tetapi lahir dan ditegakkan dalam konteks sosial dan politik
yang melingkupinya, sehingga makna konstitusi tidak hanya dapat dibaca dari
teks yang ada, tetapi juga dari konteks lahirnya pasal-pasal dalam konstitusi
dan konteks penerapannya, in concreto. Dengan demikian, yang dipahami
sebagai Undang-Undang Dasar, tidak semata-semata hanya yang tertulis dalam
teks, tetapi juga termasuk semangat yang ada di balik teks Undang-Undang Dasar
yaitu konteks kelahiran dari pasal Undang-Undang Dasar serta konteks
penerapannya dalam penyelenggaraan negara untuk mencapai tujuan bernegara. Dari
sinilah fungsi penafsiran konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi yang menjadikan
konstitusi sebagai konstitusi yang hidup dan dapat menjawab setiap persoalan
kenegaraan yang timbul. Oleh karena itu, penafsiran konstitusional terhadap
Undang-Undang yang dimohonkan pengujian ditafsirkan oleh Mahkamah, sehingga
sesuai dengan semangat konstitusi.
Menurut Mahkamah, syarat
keterpilihan Capres dengan persebaran perolehan suara sedikitnya 20% setiap provinsi
di lebih dari setengah provinsi di Indonesia dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945
menunjukkan maksud dan kehendak dari pembentuk UUD 1945 agar Presiden dan Wakil
Presiden terpilih memperoleh dua legitimasi sekaligus yaitu legitimasi suara
terbanyak dari rakyat dan legitimasi sebaran suara. Hal
ini sangat wajar karena realitas kondisi geografis dan demografis Indonesia
yang timpang, yaitu di Pulau Jawa dan Bali dengan wilayah terbatas tetapi
penduduknya yang padat, dan di luar Pulau Jawa dengan wilayah yang luas tetapi
penduduknya yang sedikit.
Syarat persebaran perolehan suara menjadi
sangat penting untuk menjaga kesatuan dan kebersamaan dalam negara kesatuan
Republik Indonesia. Syarat tersebut juga dimaksudkan agar Calon Presiden dan
Wakil Presiden harus mengenal wilayah dan dikenal oleh penduduk di seluruh
wilayah Indonesia. Dalam kerangka itulah, menurut Mahkamah makna yang
dikehendaki Pasal 6A ayat (3) UUD 1945. “Pengaturan ini untuk menghindari
pasangan calon yang hanya berkonsentrasi pada provinsi-provinsi di Pulau Jawa
yang jumlah pemilihnya lebih dari setengah jumlah seluruh pemilih di
Indonesia,” kata Hakim Konstitusi Muhammad Alim membacakan Pendapat Mahkamah,
Kamis (3/7/2014).
Tafsir Gramatikal dan Sistematis
Tidak ada penegasan bahwa Pasal 6A ayat (3)
UUD 1945 dimaksudkan apabila pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden lebih
dari dua pasangan. Tetapi dikaitkan dengan konteks lahirnya Pasal 6A UUD 1945,
dapat ditarik kesimpulan bahwa pembahasan pada saat itu terkait dengan asumsi
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden lebih dari dua pasangan calon.
Selain itu, dengan mendasarkan pada penafsiran
gramatikal dan penafsiran sistematis makna keseluruhan Pasal 6A UUD 1945 sangat
jelas bahwa makna yang terkandung dalam Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 paling tidak
ada lebih dari dua pasangan Capres yang mengikuti pemilihan pada putaran
sebelumnya sebagaimana terkandung dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Kalimat
“Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua
pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua ...”
menunjukkan dengan jelas makna itu jika dikaitkan dengan ketentuan pada ayat
(2) dan ayat (3) sebelumnya.
Jika sejak semula hanya ada dua pasangan
calon, mengapa dalam ayat (4) dinyatakan, “dalam hal tidak ada pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara
terbanyak pertama dan kedua ...”. Jika terdapat asumsi hanya ada dua pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden yang ikut pada pemilihan sebelumnya tidak
perlu ada penegasan “dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama
dan kedua ...” karena dengan dua pasangan calon tentulah salah satu di antara
keduanya memperoleh suara terbanyak pertama atau kedua. Dengan demikian makna
Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 harus dibaca dalam satu rangkaian dengan makna
keseluruhan Pasal 6A UUD 1945.
Tiada Putaran Kedua
Syahdan, bagaimana jika realitas Pilpres hanya
diikuti oleh dua pasangan calon. Mengenai ihwal ini Mahkamah berpendapat bahwa
dua pasangan Capres diajukan oleh gabungan beberapa partai politik yang
bersifat nasional. Pada tahap pencalonan pasangan Capres telah memenuhi prinsip
representasi keterwakilan seluruh daerah di Indonesia karena Capres sudah
didukung oleh gabungan partai politik nasional yang merepresentasikan penduduk
di seluruh wilayah Indonesia. “Dengan demikian, tujuan kebijakan pemilihan
presiden yang merepresentasi seluruh rakyat dan daerah di Indonesia sudah
terpenuhi,” lanjut Alim.
Menurut Mahkamah, Pasal 159 ayat (1) UU
Pilpres harus dimaknai apabila terdapat lebih dari dua pasangan calon Presiden
dan Wakil Presiden. Artinya, jika hanya ada dua pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden maka pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih adalah
pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945, sehingga tidak perlu dilakukan pemilihan
langsung oleh rakyat pada pemilihan kedua.
Alhasil, dalam amar putusan Mahkamah
menyatakan mengabulkan permohonan. “Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk
seluruhnya,” kata Ketua Panel Hakim Hamdan Zoelva membacakan amar Putusan Nomor
50/PUU-XII/2013 dalam persidangan di MK, Kamis (3/7/2014). Lebih lanjut
Mahkamah menyatakan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres bertentangan dengan UUD 1945
dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai tidak berlaku
untuk pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang hanya terdiri dari dua
pasangan calon.
Ikhtilaf Pendapat
Sembilan hakim konstitusi yang memutus judicial review materi
UU Pilpres ini tidak mencapai mufakat bulat. Dua orang Hakim Konstitusi yaitu
Patrialis Akbar dan Wahiduddin Adams memiliki pendapat berbeda (dissenting
opinion).
Patrialis Akbar
Satu Putaran Dua Tahapan Perhitungan
Patrialis menyatakan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres merupakan
turunan langsung dari bunyi Pasal 6A ayat (3) UUD 1945. Oleh karena itu, tidak
benar bila UU Pilpres dinyatakan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal
6A ayat (3) UUD 1945. Diperlukan suatu penafsiran konstitusional agar dalam
penyelenggaraan Pilpres 9 Juli 2014 memiliki dasar hukum dalam menentukan
pemenang Presiden dan Wakil Presiden apabila tidak memenuhi persyaratan Pasal
6A ayat (3) UUD 1945. “Dengan demikian, menurut saya permohonan Pemohon
seharusnya diputus konstitusional bersyarat (conditionally constitutional),”
kata Patrialis.
Jika hanya terdapat dua pasangan calon, maka Pilpres dilakukan
satu putaran, dengan perhitungan pemenangnya pada tahap pertama berdasarkan
Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 yakni yang memperoleh dukungan suara. Apabila kedua
pasangan Capres tidak ada yang memenuhi kualifikasi Pasal 6A ayat (3) UUD 1945,
langsung pada tahap kedua dilaksanakan perhitungan suara untuk pasangan yang
memperoleh suara terbanyak tanpa mempertimbangkan sebaran suara. Selanjutnya,
yang memperoleh suara terbanyak tersebut yang dilantik jadi Presiden dan Wakil
Presiden. “Sebagai jawaban terhadap persoalan tersebut sudah saya jelaskan
dalam Kesimpulan saya di atas yaitu satu putaran dengan dua tahapan
perhitungan,” tegas Patrialis.
Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres seharusnya dinyatakan tidak bertentangan
dengan UUD 1945, sepanjang dimaknai jika peserta pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden hanya dua pasangan calon, lalu tidak ada yang memenuhi syarat
perolehan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilu Presiden dan
Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di
lebih dari ½ (setengah) jumlah provinsi di Indonesia, maka ditentukan dengan
suara terbanyak.
Wahiduddin Adams
Berlaku untuk Segala Kondisi
Jika dilakukan penafsiran sistematis terhadap ketentuan Pasal
159 ayat (1) UU Pilpres, maka diperoleh makna bahwa ketentuan yang ada dalam
Pasal ini berlaku untuk segala kondisi. “Termasuk dalam hal Pilpres hanya
diikuti oleh dua pasang Capres,” kata Wahiduddin.
Dalam konteks Pasal 159 UU Pilpres, tidak ditemukan norma yang
secara eksplisit bersifat derogatif untuk mengantisipasi kondisi di mana
Pilpres hanya diikuti oleh dua pasangan calon, sehingga tahapan-tahapan Pilpres
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 159 UU Pilpres wajib diberlakukan termasuk
dalam hal Pilpres hanya diikuti oleh dua pasangan Capres.
Ihwal kekhawatiran terhadap potensi terjadinya instabilitas dan
krisis politik jika Pilpres 2014 tetap dilaksanakan sesuai mekanisme yang
diatur dalam Pasal 159 UU Pilpres, maka itu bukanlah masalah konstitusionalitas
norma. Pilpres 2014 satu putaran pun bukan tidak mungkin juga akan menimbulkan
permasalahan hukum karena pelaksanaan Pilpres 2014 dapat ditafsirkan tidak
sesuai dengan Pasal 6A UUD 1945 yang secara filosofis tidak menganut konsep simple
majority atau run-off election, mengutamakan ide proporsionalitas
jumlah pemilih dan persebarannya dengan luas wilayah Indonesia.
Berapapun jumlah peserta Pilpresnya, dalam hal tidak terdapat
pasangan Capres yang memenuhi syarat kumulatif yakni mendapatkan suara lebih
dari 50% dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih
dari ½ jumlah provinsi di Indonesia maka harus dilangsungkan Pilpres putaran
kedua (second round) dengan sistem suara terbanyak tanpa persyaratan
persebaran suara sesuai dengan ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945.
“Permohonan para Pemohon haruslah ditolak untuk seluruhnya,” tegas Wahiduddin.
HAS Natabaya
“Vacuum of Power”
Lahirnya Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 karena adanya
pemikiran mengenai situasi Indonesia yang terdiri dari banyak suku, banyak
penduduk di tempat yang tersebar. Kemudian jika tidak ada pasangan calon yang
memenuhi persebaran, maka jawabannya ada di Pasal 6A ayat (4) UUD 1945.
Tampaknya Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 dimaksudkan untuk
Pilpres dengan lebih dari dua pasangan Capres. “Ketentuan dalam Pasal 6A UUD
1945 selanjutnya diambil alih oleh Pasal 159 ayat (1) Undang-Undang Pilpres,”
kata Natabaya dalam persidangan di MK, Senin (23/6/2014).
Ketentuan yang ada dalam Pasal 6A UUD 1945 menimbulkan
kekosongan hukum ketika dihadapkan pada kondisi di mana Pilpres hanya diikuti
oleh dua pasangan Capres. Oleh
karena ada kekosongan hukum, maka Hakim Konstitusi harus menafsirkan UUD 1945.
Jika Pasal 6A ayat (3) dilaksanakan dengan hanya ada
dua pasangan calon, maka pemilihan akan terus berulang. Hal ini sangat
membahayakan, karena bisa menyebabkan vacuum of power, sehingga negara berada dalam
keadaan darurat dan berlaku hukum tata negara darurat. “Indonesia dihadapkan
kepada vacuum
of power, karena pada tanggal 20 Oktober, Presiden harus dilantik,” jelas Natabaya.
Harjono
“One Man One Vote”
Perumusan UUD 1945 khususnya Pasal 6A, tidak pernah
mempertimbangkan kemungkinan yang terjadi dalam penerapan Pasal 6A ayat (4) UUD
1945. Persyaratan adanya persebaran perolehan suara diterima secara bulat,
dengan pertimbangan agar Presiden juga dipilih oleh masyarakat di luar Pulau
Jawa. “Tidak pernah ada simulasi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi,”
kata Harjono dalam persidangan di MK, Senin (23/6/2014).
Kemungkinan yang akan terjadi jika hanya ada dua
pasangan Capres hanya adalah, misalnya ketika putaran pertama, pasangan A
memperoleh 52% suara, tapi tidak memenuhi syarat persebaran sehingga harus
dilakukan putaran kedua. Kemudian Pada putaran kedua, Pasangan B memperoleh
suara 50% +100, sehinga perolehan suara Pasangan A turun 100 suara. Angka
prosentase dapat lebih kecil, namun angka riil pasangan A bisa lebih besar. Hal
ini bisa disebabkan karena partisipasi pemilih pada putaran kedua menurun.
Keadaan demikian tetap menjadikan pasangan pemenang putaran kedua menjadi
Presiden terpilih, meskipun angka perolehaan riil pemenang putaran pertama
lebih besar dari pada perolehan suara pemenang putaran kedua.
Pemilu seharusnya didasarkan pada persamaan nilai
suara (one
man one vote). Menjadi adil jika pemenang putaran kedua tidak
serta merta menjadi Presiden terpilih, namun juga disyaratkan memenuhi
persebaran perolehan suara. Beberapa Putusan Mahkamah sebelumnya memperkuat
prinsip one
man one vote, seperti penentuan calon legislatif terpilih yang
berdasarkan suara terbanyak, bukan nomor urut. “Kemungkinan terjadinya
ketidakadilan sebagaimana tersebut dapat dikurangi jika Mahkamah menafsirkan
bahwa ketentuan Pasal 6A ayat (4) tidak berlaku apabila hanya ada dua pasangan
calon, dan Pasal 6A ayat (4) yang tidak diterapkan pada dua pasangan calon
tidak bertentangan dengan UUD 1945,” jelasnya.
NUR ROSIHIN ANA
Majalah Konstitusi No. 89 Edisi Juli 2014, hal 34-40. Klik di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar