Kamis, 10 Juli 2014

Pemilu Presiden Satu Putaran

Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden berlangsung satu putaran jika pesertanya hanya dua pasangan calon.

Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) Tahun 2014 hanya diikuti oleh dua pasangan calon. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan pasangan Capres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Pasangan Capres Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai peserta Pilpres 2014.
Pemungutan suara Pilpres digelar pada 9 juli 2014. Kemudian KPU akan mengumumkan hasil resmi rekapitulasi penghitungan suara Pilpres yang rencananya digelar pada 22 Juli 2014.
Tentu ada menang-kalah dalam kompetisi. Namun, permasalahan konstitusional muncul dalam menentukan pemenang kompetisi Pilpres. Yang menjadi pertanyaan adalah, apabila salah satu pasangan Capres memperoleh suara terbanyak dalam Pilpres, apakah dinyatakan sebagai Capres terpilih walaupun perolehan suaranya tidak tersebar dengan sedikitnya 20% di lebih dari setengah provinsi di Indonesia?
Itulah pertanyaan konstitusional yang mengemuka dalam permohonan judicial review Pasal 159 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres). Permohonan yang diregistrasi oleh Kepaniteraan MK dengan Nomor 50/PUU-XII/2014 ini diajukan oleh sejumlah akademisi, pengacara, dan karyawan yang hak-hak konstitusionalnya terusik oleh ketentuan tersebut. Mereka antara lain Andi Muhammad Asrun, Heru Widodo, Zainal Arifin Hoesein (para Pemohon).
Menurut para Pemohon, penyelenggaraan Pilpres harus menjadi kompetisi yang fair agar terpilih pemimpin rakyat yang memiliki kompetensi dan integritas yang memadai. Pilpres secara langsung oleh rakyat merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Untuk menjamin penyelenggaraan pilpres yang demokratis dan beradab, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, maka perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pengaturan Pilpres dalam Pasal 159 UU Pilpres tentu memengaruhi penyelenggaraan Pilpres. Muatan Pasal 159 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilpres secara substansial merupakan duplikasi dari ketentuan Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945. Selengkapnya, berikut persandingan pasal-pasal tersebut.
Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden”
Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 menyatakan, “Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.”
Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres menyatakan, “Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah provinsi di Indonesia.”
Pasal 159 ayat (2) UU Pilpres menyatakan, “Dalam hal tidak ada Pasangan Calon terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), 2 (dua) Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.”
Berlakunya Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres justru menimbulkan multitafsir atas penerapan UUD 1945. Berlakunya Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres potensial mengakibatkan penggunaan keuangan negara yang berlebihan. Selain itu, potensial menimbulkan gesekan dan konflik di tingkat akar rumput.

Konstruksi Hukum Multitafsir
Konstruksi hukum yang dibangun Pasal 6A ayat (3) UUD 1945, menurut para Pemohon, didasarkan pada sebaran jumlah penduduk yang tidak merata antara Jawa dengan luar Jawa. Demikian pula sebaran penduduk pada antarprovinsi di luar Jawa pun tidak seimbang. Kemudian, apabila Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 tidak dapat dipenuhi, maka harus dibuat alternatif prosedurnya sebagaimana muatan materi Pasal 6A ayat (4) UUD 1945. Namun demikian Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 tidak menyatakan secara eksplisit jumlah pasangan calon dan baru dapat diketahui atau dipahami berapa jumlah pasangan calon yang dimaksud oleh Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 ketika dikaitkan dengan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 yang ditegaskan dalam frasa “Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presuiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua…..”.
“Di sinilah masalahnya. Nampak sekali konstitusi kita dengan melihat pada konstruksi pasal ini bahwa pasangan calon diharapkan adalah lebih dari 2, sehingga diambil 2 yang terbanyak, kemudian maju pada putaran kedua,” kata Andi Muhammad Asrun dalam sidang pendahuluan di MK, Senin, (16/6/2014).
Demikian pula ketentuan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres juga tidak diketahui berapa jumlah pasangan calon karena pengertian pasangan calon terpilih dilekatkan pada syarat yang limitatif, yaitu memperoleh suara lebih dari 50% dan sebaran suara 20%. Dalam ketentuan berikutnya yaitu pada Pasal 159 ayat (2) UU Pilpres diberikan jalan dalam prosedur tertentu untuk mengantisipasi jika pada Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres tidak terpenuhi yaitu; “Dalam hal tidak ada Pasangan Calon terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), 2 (dua) Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.”
Konstruksi hukum yang dibangun dalam ketentuan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres menimbulkan ketidakpastian tafsir. Hal ini diakibatkan oleh ketidakjelasan target penerapannya yaitu, apakah pada jumlah Pasangan Calon pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dengan dua pasangan Capres-Cawapres atau lebih dua Capres-Cawapres, terutama dikaitkan dengan situasi Pilpres 2014 yang hanya diikuti dua pasangan Capres-Cawapres. “Di sinilah letak persoalannya bahwa pada saat ini hanya ada 2 pasangan calon, sehingga penerapan pasal ini, saya kira tidak bisa diterapkan pada kondisi yang sekarang ini,” lanjut Asrun.
Apabila mengikuti alur konstruksi hukum Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945, Pemohon memahami bahwa memakani Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 sepanjang terkait dengan jumlah pasangan calon, maka harus dikaitkan dengan ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945. Hal ini berarti jumlah pasangan yang dimaksud Pasal 6A ayat (3) dikaitkan dengan ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 adalah lebih dari 2 (dua) pasangan calon. Demikian pula konstruksi hukum pada Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres dapat dimaknai bahwa sepanjang terkait dengan jumlah Pasangan Calon, maka harus dikaitkan dengan konstruksi Pasal 159 ayat (2) UU Pilpres, yakni lebih dari 2 (dua) pasangan calon.

Realitas Hukum
Ketentuan Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945 serta ketentuan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres merupakan norma hukum yang dijadikan dasar pijak penyelenggara Pemilu untuk menetapkan pasangan Capres terpilih dalam Pemilu. Namun realitas politik dan hukumnya berbeda karena ternyata Pilpres 2014 hanya diikuti oleh dua pasangan calon.
Realitas tersebut tidak diatur dalam ketentuan UU Pilpres. Padahal semestinya UU Pilpres menjelaskan secara rinci pemaknaan Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945. Hal ini untuk menjamin kepastian hukum yang berkeadilan jika hanya ada dua pasangan Capres.
Pilpres 2014 yang hanya diikuti oleh dua pasangan calon, merupakan realitas yang harus dihadapi dan diselesaikan. Hukum sebagai kenyataan dalam praktik, seringkali berbeda dengan hukum sebagai disiplin ilmu. Realitas hukum kadangkala berbeda dengan apa yang dipelajari dalam ilmu hukum. Nilai validitas suatu hukum terletak pada kesesuaiannya dengan norma lainnya terutama norma dasar.
Dalam doktrin pembentukan suatu peraturan perundang-undangan sebagai keputusan politik dan keputusan hukum, maka setiap pembentukan perundang-undangan memiliki fungsi yang inheren dengan fungsi hukum itu sendiri. Salah satu fungsinya di samping menjamin keadilan adalah terwujudnya kepastian Hukum.

Solusi Hindari Kekosongan Hukum
Untuk menghindari kesimpangsiuran tafsir dan menjamin keadilan dan kepastian hukum, para Pemohon berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi harus memberikan tafsir Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres agar Penyelenggara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dan para Pasangan Calon mendapatkan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan dari putusan tersebut. MK harus memberi arti yang pasti agar Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres sejalan dengan makna Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945 dan menjawab realitas Pilpres 2014 yang diikuti hanya oleh dua pasangan Capres.
Apabila hal ini dibiarkan, dikhawatirkan terjadi kekosongan hukum. Sebab, Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres dirancang untuk Pilpres dengan jumlah pasangan Capres lebih dari dua pasangan. Di samping itu, jika pun diterapkan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres dalam Pilpres 2014 yang diikuti oleh dua pasangan calon dan salah salah kandidat tidak dapat memenuhi ketentuan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres, maka prosedur berikutnya mengikuti ketentuan Pasal 159 ayat (2) UU Pilpres yaitu dilakukan Pilpres dua putaran. Kedua pasangan Capres bertarung kembali. Akibatnya, terjadi pemborosan keuangan negara dan ketidakstabilan politik, bahkan tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan gesekan sangat keras dan berdarah di kalangan akar rumput pada masing-masing pendukung.
Agar ketentuan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres tidak menimbulkan multitafsir, maka sudah saatnya dan seharusnya diberikan makna atau tafsir baru oleh MK, yaitu tidak diberlakukan untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan dua pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian materi muatan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres adalah, “Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah provinsi di Indonesia, dantidak diberlakukan untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan dua pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden.”
Berdasarkan argumentasi tersebut, para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres tidak bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres tidak diberlakukan untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan dua pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden.
Untuk memperkuat dalil-dalil permohonan, para Pemohon mengajukan sejumlah bukti (bukti P-1 sampai P-5.14). Pemohon juga menghadirkan dua orang pakar di persidangan (23/6/2014), yaitu H.A.S. Natabaya dan Harjono.

Terserah Mahkamah
Menanggapi permohonan para Pemohon, Presiden menyampaikan keterangan secara lisan dalam persidangan MK. Sedangkan DPR menyampaikan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada 1 Juli 2014.
Presiden melalui Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Politik, Hukum, dan Hubungan Antarlembaga, Reydonnyzar Moenek, menyampaikan keterangan dalam persidangan di MK, Senin (23/6/2014). Pada intinya Presiden menyatakan jika ketentuan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres diterapkan pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dengan dua pasangan calon maka akan potensial menimbulkan kekosongan kekuasaan.
Menurut Pemerintah, diperlukan pemahaman seluruh elemen bangsa untuk dapat menyepakati suatu kebijakan yang hakiki untuk menentukan arah penyelenggaraan pemerintahan negara yang lebih baik. Sedangkan untuk menjamin kepastian hukum atas hal ini, Pemerintah menyerahkan kepada putusan Mahkamah. “Pemerintah memohon kepada Mahkamah Konstitusi dapat memberikan putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo et bono),” kata Reydonnyzar Moenek.
Sementara DPR dalam keterangan tertulis yang dilayangkan ke MK pada intinya menyatakan bahwa ketentuan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres tetap harus diterapkan meskipun peserta Pilpres hanya dua pasangan calon. Namun apabila tidak ada pasangan calon yang mampu memenuhi syarat persebaran, maka DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Mahkamah untuk menafsirkan ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 juncto Pasal 159 ayat (2) UU 42/2008 apakah akan ada pemungutan suara putaran kedua, atau ketentuan Pasal 6A ayat (3) tidak diberlakukan.

Alasan Persebaran Suara
Konstitusi tidak lahir dan tidak ditegakkan dalam ruang hampa, tetapi lahir dan ditegakkan dalam konteks sosial dan politik yang melingkupinya, sehingga makna konstitusi tidak hanya dapat dibaca dari teks yang ada, tetapi juga dari konteks lahirnya pasal-pasal dalam konstitusi dan konteks penerapannya, in concreto. Dengan demikian, yang dipahami sebagai Undang-Undang Dasar, tidak semata-semata hanya yang tertulis dalam teks, tetapi juga termasuk semangat yang ada di balik teks Undang-Undang Dasar yaitu konteks kelahiran dari pasal Undang-Undang Dasar serta konteks penerapannya dalam penyelenggaraan negara untuk mencapai tujuan bernegara. Dari sinilah fungsi penafsiran konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi yang menjadikan konstitusi sebagai konstitusi yang hidup dan dapat menjawab setiap persoalan kenegaraan yang timbul. Oleh karena itu, penafsiran konstitusional terhadap Undang-Undang yang dimohonkan pengujian ditafsirkan oleh Mahkamah, sehingga sesuai dengan semangat konstitusi.
Menurut Mahkamah, syarat keterpilihan Capres dengan persebaran perolehan suara sedikitnya 20% setiap provinsi di lebih dari setengah provinsi di Indonesia dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 menunjukkan maksud dan kehendak dari pembentuk UUD 1945 agar Presiden dan Wakil Presiden terpilih memperoleh dua legitimasi sekaligus yaitu legitimasi suara terbanyak dari rakyat dan legitimasi sebaran suara. Hal ini sangat wajar karena realitas kondisi geografis dan demografis Indonesia yang timpang, yaitu di Pulau Jawa dan Bali dengan wilayah terbatas tetapi penduduknya yang padat, dan di luar Pulau Jawa dengan wilayah yang luas tetapi penduduknya yang sedikit.
Syarat persebaran perolehan suara menjadi sangat penting untuk menjaga kesatuan dan kebersamaan dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Syarat tersebut juga dimaksudkan agar Calon Presiden dan Wakil Presiden harus mengenal wilayah dan dikenal oleh penduduk di seluruh wilayah Indonesia. Dalam kerangka itulah, menurut Mahkamah makna yang dikehendaki Pasal 6A ayat (3) UUD 1945. “Pengaturan ini untuk menghindari pasangan calon yang hanya berkonsentrasi pada provinsi-provinsi di Pulau Jawa yang jumlah pemilihnya lebih dari setengah jumlah seluruh pemilih di Indonesia,” kata Hakim Konstitusi Muhammad Alim membacakan Pendapat Mahkamah, Kamis (3/7/2014).

Tafsir Gramatikal dan Sistematis
Tidak ada penegasan bahwa Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 dimaksudkan apabila pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden lebih dari dua pasangan. Tetapi dikaitkan dengan konteks lahirnya Pasal 6A UUD 1945, dapat ditarik kesimpulan bahwa pembahasan pada saat itu terkait dengan asumsi pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden lebih dari dua pasangan calon.
Selain itu, dengan mendasarkan pada penafsiran gramatikal dan penafsiran sistematis makna keseluruhan Pasal 6A UUD 1945 sangat jelas bahwa makna yang terkandung dalam Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 paling tidak ada lebih dari dua pasangan Capres yang mengikuti pemilihan pada putaran sebelumnya sebagaimana terkandung dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Kalimat “Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua ...” menunjukkan dengan jelas makna itu jika dikaitkan dengan ketentuan pada ayat (2) dan ayat (3) sebelumnya.
Jika sejak semula hanya ada dua pasangan calon, mengapa dalam ayat (4) dinyatakan, “dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua ...”. Jika terdapat asumsi hanya ada dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang ikut pada pemilihan sebelumnya tidak perlu ada penegasan “dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua ...” karena dengan dua pasangan calon tentulah salah satu di antara keduanya memperoleh suara terbanyak pertama atau kedua. Dengan demikian makna Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 harus dibaca dalam satu rangkaian dengan makna keseluruhan Pasal 6A UUD 1945.

Tiada Putaran Kedua
Syahdan, bagaimana jika realitas Pilpres hanya diikuti oleh dua pasangan calon. Mengenai ihwal ini Mahkamah berpendapat bahwa dua pasangan Capres diajukan oleh gabungan beberapa partai politik yang bersifat nasional. Pada tahap pencalonan pasangan Capres telah memenuhi prinsip representasi keterwakilan seluruh daerah di Indonesia karena Capres sudah didukung oleh gabungan partai politik nasional yang merepresentasikan penduduk di seluruh wilayah Indonesia. “Dengan demikian, tujuan kebijakan pemilihan presiden yang merepresentasi seluruh rakyat dan daerah di Indonesia sudah terpenuhi,” lanjut Alim.
Menurut Mahkamah, Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres harus dimaknai apabila terdapat lebih dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Artinya, jika hanya ada dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden maka pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945, sehingga tidak perlu dilakukan pemilihan langsung oleh rakyat pada pemilihan kedua.
Alhasil, dalam amar putusan Mahkamah menyatakan mengabulkan permohonan. “Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Panel Hakim Hamdan Zoelva membacakan amar Putusan Nomor 50/PUU-XII/2013 dalam persidangan di MK, Kamis (3/7/2014). Lebih lanjut Mahkamah menyatakan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai tidak berlaku untuk pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang hanya terdiri dari dua pasangan calon.

Ikhtilaf Pendapat
Sembilan hakim konstitusi yang memutus judicial review materi UU Pilpres ini tidak mencapai mufakat bulat. Dua orang Hakim Konstitusi yaitu Patrialis Akbar dan Wahiduddin Adams memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion).

Patrialis Akbar
Satu Putaran Dua Tahapan Perhitungan
Patrialis menyatakan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres merupakan turunan langsung dari bunyi Pasal 6A ayat (3) UUD 1945. Oleh karena itu, tidak benar bila UU Pilpres dinyatakan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 6A ayat (3) UUD 1945. Diperlukan suatu penafsiran konstitusional agar dalam penyelenggaraan Pilpres 9 Juli 2014 memiliki dasar hukum dalam menentukan pemenang Presiden dan Wakil Presiden apabila tidak memenuhi persyaratan Pasal 6A ayat (3) UUD 1945. “Dengan demikian, menurut saya permohonan Pemohon seharusnya diputus konstitusional bersyarat (conditionally constitutional),” kata Patrialis.
Jika hanya terdapat dua pasangan calon, maka Pilpres dilakukan satu putaran, dengan perhitungan pemenangnya pada tahap pertama berdasarkan Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 yakni yang memperoleh dukungan suara. Apabila kedua pasangan Capres tidak ada yang memenuhi kualifikasi Pasal 6A ayat (3) UUD 1945, langsung pada tahap kedua dilaksanakan perhitungan suara untuk pasangan yang memperoleh suara terbanyak tanpa mempertimbangkan sebaran suara. Selanjutnya, yang memperoleh suara terbanyak tersebut yang dilantik jadi Presiden dan Wakil Presiden. “Sebagai jawaban terhadap persoalan tersebut sudah saya jelaskan dalam Kesimpulan saya di atas yaitu satu putaran dengan dua tahapan perhitungan,” tegas Patrialis.
Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres seharusnya dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang dimaknai jika peserta pemilihan Presiden dan Wakil Presiden hanya dua pasangan calon, lalu tidak ada yang memenuhi syarat perolehan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah provinsi di Indonesia, maka ditentukan dengan suara terbanyak.

Wahiduddin Adams
Berlaku untuk Segala Kondisi
Jika dilakukan penafsiran sistematis terhadap ketentuan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres, maka diperoleh makna bahwa ketentuan yang ada dalam Pasal ini berlaku untuk segala kondisi. “Termasuk dalam hal Pilpres hanya diikuti oleh dua pasang Capres,” kata Wahiduddin.
Dalam konteks Pasal 159 UU Pilpres, tidak ditemukan norma yang secara eksplisit bersifat derogatif untuk mengantisipasi kondisi di mana Pilpres hanya diikuti oleh dua pasangan calon, sehingga tahapan-tahapan Pilpres sebagaimana yang diatur dalam Pasal 159 UU Pilpres wajib diberlakukan termasuk dalam hal Pilpres hanya diikuti oleh dua pasangan Capres.
Ihwal kekhawatiran terhadap potensi terjadinya instabilitas dan krisis politik jika Pilpres 2014 tetap dilaksanakan sesuai mekanisme yang diatur dalam Pasal 159 UU Pilpres, maka itu bukanlah masalah konstitusionalitas norma. Pilpres 2014 satu putaran pun bukan tidak mungkin juga akan menimbulkan permasalahan hukum karena pelaksanaan Pilpres 2014 dapat ditafsirkan tidak sesuai dengan Pasal 6A UUD 1945 yang secara filosofis tidak menganut konsep simple majority atau run-off election, mengutamakan ide proporsionalitas jumlah pemilih dan persebarannya dengan luas wilayah Indonesia.
Berapapun jumlah peserta Pilpresnya, dalam hal tidak terdapat pasangan Capres yang memenuhi syarat kumulatif yakni mendapatkan suara lebih dari 50% dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari ½ jumlah provinsi di Indonesia maka harus dilangsungkan Pilpres putaran kedua (second round) dengan sistem suara terbanyak tanpa persyaratan persebaran suara sesuai dengan ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945. “Permohonan para Pemohon haruslah ditolak untuk seluruhnya,” tegas Wahiduddin.

HAS Natabaya
“Vacuum of Power”
Lahirnya Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 karena adanya pemikiran mengenai situasi Indonesia yang terdiri dari banyak suku, banyak penduduk di tempat yang tersebar. Kemudian jika tidak ada pasangan calon yang memenuhi persebaran, maka jawabannya ada di Pasal 6A ayat (4) UUD 1945.
Tampaknya Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 dimaksudkan untuk Pilpres dengan lebih dari dua pasangan Capres. “Ketentuan dalam Pasal 6A UUD 1945 selanjutnya diambil alih oleh Pasal 159 ayat (1) Undang-Undang Pilpres,” kata Natabaya dalam persidangan di MK, Senin (23/6/2014).
Ketentuan yang ada dalam Pasal 6A UUD 1945 menimbulkan kekosongan hukum ketika dihadapkan pada kondisi di mana Pilpres hanya diikuti oleh dua pasangan Capres. Oleh karena ada kekosongan hukum, maka Hakim Konstitusi harus menafsirkan UUD 1945.
Jika Pasal 6A ayat (3) dilaksanakan dengan hanya ada dua pasangan calon, maka pemilihan akan terus berulang. Hal ini sangat membahayakan, karena bisa menyebabkan vacuum of power, sehingga negara berada dalam keadaan darurat dan berlaku hukum tata negara darurat. “Indonesia dihadapkan kepada vacuum of power, karena pada tanggal 20 Oktober, Presiden harus dilantik,” jelas Natabaya.

Harjono
“One Man One Vote”
Perumusan UUD 1945 khususnya Pasal 6A, tidak pernah mempertimbangkan kemungkinan yang terjadi dalam penerapan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945. Persyaratan adanya persebaran perolehan suara diterima secara bulat, dengan pertimbangan agar Presiden juga dipilih oleh masyarakat di luar Pulau Jawa. “Tidak pernah ada simulasi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi,” kata Harjono dalam persidangan di MK, Senin (23/6/2014).
Kemungkinan yang akan terjadi jika hanya ada dua pasangan Capres hanya adalah, misalnya ketika putaran pertama, pasangan A memperoleh 52% suara, tapi tidak memenuhi syarat persebaran sehingga harus dilakukan putaran kedua. Kemudian Pada putaran kedua, Pasangan B memperoleh suara 50% +100, sehinga perolehan suara Pasangan A turun 100 suara. Angka prosentase dapat lebih kecil, namun angka riil pasangan A bisa lebih besar. Hal ini bisa disebabkan karena partisipasi pemilih pada putaran kedua menurun. Keadaan demikian tetap menjadikan pasangan pemenang putaran kedua menjadi Presiden terpilih, meskipun angka perolehaan riil pemenang putaran pertama lebih besar dari pada perolehan suara pemenang putaran kedua.
Pemilu seharusnya didasarkan pada persamaan nilai suara (one man one vote). Menjadi adil jika pemenang putaran kedua tidak serta merta menjadi Presiden terpilih, namun juga disyaratkan memenuhi persebaran perolehan suara. Beberapa Putusan Mahkamah sebelumnya memperkuat prinsip one man one vote, seperti penentuan calon legislatif terpilih yang berdasarkan suara terbanyak, bukan nomor urut. “Kemungkinan terjadinya ketidakadilan sebagaimana tersebut dapat dikurangi jika Mahkamah menafsirkan bahwa ketentuan Pasal 6A ayat (4) tidak berlaku apabila hanya ada dua pasangan calon, dan Pasal 6A ayat (4) yang tidak diterapkan pada dua pasangan calon tidak bertentangan dengan UUD 1945,” jelasnya.

NUR ROSIHIN ANA

Majalah Konstitusi No. 89 Edisi Juli 2014, hal 34-40. Klik di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More