Definisi
koperasi merupakan “jantung” UU Perkoperasian. Kesalahan mendefinisikan
koperasi berakibat fatal karena dielaborasi dalam pasalpasal. UU Koperasi pun
menjadi kehilangan ruh konstitusionalnya.
Sebuah
takrif (definisi) berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah.
Dengan demikian, sebuah definisi sangat menentukan isi atau materi. Lalu, apa
jadinya jika ada kesalahan dalam merumuskan definisi? Hal inilah yang terjadi
pada saat pembentuk undang-undang merumuskan definisi koperasi dalam
UndangUndang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian (UU Perkoperasian).
Definisi
koperasi merupakan “jantung” dari UU Perkoperasian. Definisi yang salah tentang
koperasi akan mengakibatkan makna yang salah tentang koperasi dan akhirnya
berakibat fatal dengan salahnya materi muatan dalam pasal lebih lanjut.
Koperasi dalam UU Perkoperasian didefinisikan sebagai sebagai “badan hukum yang
didirikan oleh orang perseorangan.” Definisi yang demikian mengancam
kelangsungan koperasi. Filosofi, nilai, dan prinsip koperasi terancam oleh
ideologi lainnya (antara lain kapitalisme dan komunisme). Penggusuran filosofi
koperasi dari kolektivisme menjadi kapitalisme merupakan lonceng kematian
koperasi.
Hal
tersebut mendasari enam badan hukum privat yang bergerak di sektor
perkoperasian dan anggota koperasi untuk mengujikan materi UU Koperasi ke
Mahkamah Konstitusi. Keenam badan hukum privat dimaksud yakni Gabungan Koperasi
Pegawai Republik Indonesia (GKPRI) Provinsi Jawa Timur, Pusat Koperasi Unit
Desa (PUSKUD) Jawa Timur, Pusat Koperasi Wanita Jawa Timur (Puskowanjati),
Pusat Koperasi Annisa’ Jawa Timur, Pusat Koperasi BUEKA Assakinah Jawa Timur
Gabungan Koperasi Susu Indonesia. Sedangkan dua pemohon perorangan yakni Agung
Haryono dan Mulyono.
Adapun
materi UU Perkoperasian yang diujikan yaitu Pasal 1 angka 1, Pasal 37 ayat (1)
huruf f, Pasal 50 ayat (1) huruf a, Pasal 50 ayat 2 huruf a dan huruf e, Pasal
55 ayat (1), Pasal 56 ayat (1), Pasal 57 ayat (2), BAB VII yang terdiri atas
Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, Pasal 72, Pasal 73,
Pasal 74, Pasal, 75, Pasal 76, dan Pasal 77, serta Pasal 80, Pasal 82, Pasal
83, dan Pasal 84 UU Perkoperasian.
Pasal
1 angka 1 UU Perkoperasian menyatakan, “Koperasi adalah badan hukum yang
didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum Koperasi, dengan pemisahan
kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi
aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai
dengan nilai dan prinsip Koperasi.”
Kapitalisasi
Koperasi
Menurut
para Pemohon, ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Perkoperasian bertentangan dengan
Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang menjamin hak konstitusional para Pemohon untuk
melakukan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Definisi koperasi yang
menekankan bahwa koperasi didirikan oleh orang perseorangan, bertentangan
dengan asas kekeluargaan dan mengingkari prinsip koperasi yang sejati yaitu
usaha bersama (on cooperative basis).
Definisi
koperasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Perkoperasian hanya
berorientasi pada makna koperasi sebagai entitas yang bernilai materialitas dan
bukan pada penempatan serta keterlibatan manusia (orang-orang) dalam proses
terbentuk dan keberlangsungan hidup koperasi. Hal ini menempatkan manusia
menjadi objek badan usaha dan bukan subjek dari koperasi.
Berdasarkan
tafsir historis, Penjelasan Pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa dalam Pasal 33
tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua
di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran
masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu
perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.
Berdasarkan
Penjelasan Pasal 33 tersebut, makna koperasi menurut UUD 1945 harus mengandung
unsur: dasar pembangunan ekonomi adalah demokrasi ekonomi; adanya semangat
usaha bersama (kolektivisme); dan berorientasi pada kemakmuran bersama, bukan
orang seorang.
Bahkan
di dalam Rancangan Soal Perekonomian Indonesia Merdeka yang diterima oleh
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), terdapat uraian mengenai
koperasi yang menjadi pilihan untuk membangun perekonomian Indonesia. “Orang
Indonesia hidup dalam tolong menolong! Perekonomian Indonesia Merdeka akan
berdasar kepada tjita-tjita tolong menolong dan usaha bersama, jang akan
diselenggarakan berangsur-angsur dengan mengembangkan kooperasi.” (Muhammad
Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Djilid Pertama, 1959, Hlm.
737).
Oleh
karena itu, paham kolektif (kolektivisme) seharusnya yang mendasari definisi
koperasi, dan bukan paham individual (individualisme). Mohammad Hatta pernah
menyebutkan bahwa cita-cita koperasi Indonesia menentang individualisme dan
kapitalisme secara fundamental. Paham koperasi Indonesia menciptakan masyarakat
Indonesia yang kolektif, berakar pada adat istiadat hidup Indonesia yang asli,
tetapi ditumbuhkan pada tingkat yang lebih tinggi, sesuai dengan tuntutan zaman
modern. Semangat kolektivisme Indonesia yang akan dihidupkan kembali dengan
koperasi mengutamakan kerjasama dalam suasana kekeluargaan antara manusia
pribadi, bebas dari penindasan dan paksaan.
Definisi
koperasi yang lebih lanjut diatur di dalam UU Perkoperasian, tidak boleh
menyimpang dari maksud pembentuk UUD. Mohammad Hatta sebagai salah satu
pembentuk UUD 1945 mengatakan bahwa “Asas Kekeluargaan adalah mengenai
koperasi.” Istilah asas kekeluargaan itu berasal dari Taman Siswa, untuk
menentukan bagaimana guru dan murid-murid yang tinggal padanya hidup sebagai
suatu keluarga. Begitu pula-lah hendaknya corak koperasi Indonesia. Hubungan
antara anggota koperasi satu sama lain harus mencerminkan sebagai orang-orang
yang bersaudara, satu keluarga. Rasa solidaritas harus dipupuk dan diperkuat.
Anggota dididik mempunyai sifat “individualitas”, insaf akan harga dirinya.
Apabila ia telah insaf akan harga dirinya sebagai anggota koperasi, tekadnya
akan kuat membela kepentingan koperasinya. Ingatannya akan tertuju kepada kepentingan
bersama, sebagai anggota-anggota koperasi.
“Individualitas”
sangat berbeda dengan “individualisme”. Sikap “Individualitas” menjadikan
seorang anggota koperasi sebagai pembela dan pejuang yang giat bagi
koperasinya. Sedangkan “individualisme” ialah sikap yang mengutamakan
kepentingan diri sendiri dibandingkan kepentingan orang lain dan kalau perlu
mencari keuntungan bagi diri sendiri dengan mengorbankan kepentingan orang
lain.
Koperasi
sebagaimana dikemukakan oleh Bung Hatta pada dasarnya adalah sebuah sistem
nilai. Sebagai sebuah sistem nilai, koperasi tidak hanya ingin menampilkan
perbedaan bentuknya dari bentuk-bentuk perusahaan yang lain. Koperasi
sesungguhnya ingin menegakkan seperangkat nilai tertentu dalam bidang
perekonomian. Bahwa secara struktural koperasi tampil berbeda dari bentukbentuk
perusahaan yang lain, hal itu semata-mata merupakan artikulasi dari nilai-nilai
yang diembannya tersebut. Sesuai dengan nilai-nilai yang diembannya, koperasi
adalah perkumpulan orang, bukan perkumpulan modal (Revrisond Baswir, mengutip
Mohammad Hatta, 1954, hal. 190).
Dari
Usaha Bersama ke Pribadi
Pendefinisian
koperasi sebagai sebuah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan,
jelas menunjukkan bahwa semangat (legal policy) pembentuk UU ini adalah
mengubah paradigma keberadaan koperasi yang sebelumnya merupakan usaha bersama
menjadi usaha pribadi. Secara gramatikal, definisi demikian juga tidak tepat.
Koperasi berasal dari bahasa latin yaitu cum yang berarti dengan, dan aperari
yang berarti bekerja. Kemudian dalam bahasa Inggris dikenal istilah co dan operation.
Dalam bahasa Belanda disebut co-operatieve
vereneging yang berarti bekerja bersama dengan orang
lain untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Hal ini sesuai dengan prinsip usaha
koperasi yaitu, “dari oleh dan untuk anggota”. Pada koperasi tak ada majikan
dan tak ada buruh, semuanya pekerja yang bekerjasama untuk menyelenggarakan
keperluan bersama (Hatta, 1954).
Jadi,
makna koperasi didirikan bukan untuk kepentingan seorang individu untuk
menyejahterakan dirinya dengan cara mendirikan koperasi kemudian merekrut orang
lain dalam usahanya sebagaimana tersurat dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UU
Perkoperasian. “Ini yang kemudian dikhawatirkan oleh Bung Hatta juga, di dalam
koperasi ada konstruksi seperti badan usaha umum atau badan usaha swasta, yaitu
ada majikan dan buruh. Seharusnya di dalam koperasi semua adalah pemilik dan
semua pemilik adalah pelanggan, jadi tidak ada strata antara buruh dan
majikan,” kata kuasa hukum pemohon, Aan Eko Widiarto, dalam persidangan
pendahuluan di MK, Rabu (20/3/2013) silam.
Disamakan
Perusahaan
Pendirian
koperasi oleh orang perseorangan sebagaimana definisi koperasi dalam UU
Perkoperasian tidak disinggung sama sekali oleh para ahli maupun ICA atau ILO.
ICA dan ILO justru sangat jelas menandaskan bahwa Koperasi adalah perkumpulan
orang-orang. Dengan demikian salah besar bila definisi koperasi dititikberatkan
pada pendirian koperasi yang dilakukan oleh orang perseorangan. Penggunaan
frasa “didirikan oleh orang perseorangan” pada batasan pengertian koperasi
dalam Pasal 1 angka 1 UU Perkoperasian menjadikan koperasi mirip dengan
ketentuan pendirian commanditaire
vennootschap (CV) sebagaimana terdapat dalam Pasal 19
KUHD (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) yang menyatakan, “Perseroan yang
terbentuk dengan cara meminjamkan uang atau disebut juga perseroan komanditer,
didirikan antara seseorang atau antara beberapa orang persero yang bertanggung
jawab secara tanggung-renteng untuk keseluruhannya, dan satu orang atau lebih
sebagai pemberi pinjaman uang.”
Bahkan
Perseroan Terbatas (PT) saja sebagai sebuah badan hukum yang jelas-jelas
berorientasi mencari keuntungan, tidak didefinisikan sebagai badan hukum yang
didirikan oleh orang perseorangan. Definisi PT dalam Pasal 1 UU Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan, “Perseroan Terbatas, yang
selanjutnya disebut perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan
modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal
dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya”.
Definisi
koperasi dalam UU Perkoperasian menunjukkan political
will dari pembentuk UU yang menyamakan koperasi
dengan perusahaan (PT, CV, UD, Firma, dan Perusahaan Perorangan). Koperasi
bukanlah PT yang diberi nama Koperasi. Pemilik PT adalah para pemegang saham
dan pelanggan PT adalah para konsumen yang membeli barang dan jasa dari PT itu.
Sedangkan
pemilik Koperasi adalah juga pelanggannya sendiri. Jika PT berusaha mencari
laba yang dipungut dari para pelanggannya, maka Koperasi tidak mencari laba.
Sebab, tidak masuk akal memungut laba pada diri sendiri, karena pelanggan adalah
sekaligus pemilik yang sama.
Sekelompok
orang yang memiliki kepentingan bersama untuk mendirikan koperasi haruslah
orang-orang yang sering bertemu, baik yang berdasar alasan se-rukun tempat
tinggal, se-RT se-RW, setempat kerja, seprofesi, atau pun sejenis mata
pencaharian. Sukma dasar dari koperasi adalah “menolong diri sendiri secara
bersama-sama”. Secara bersama-sama itulah akan membentuk sinergi yaitu
kemampuan yang berlipatganda untuk menyelesaikan kepentingan bersama. (Meutia
Farida Hatta Swasono; 2012:12-13).
Jantung
UU
Pembentuk
UU Perkoperasian seharusnya menggunakan rumusan definisi yang sama sebagaimana
definisi koperasi dalam UU yang mengatur tentang perkoperasian yang pernah
berlaku sebelumnya. Hal ini berdasarkan Lampiran II angka 103 UU Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang menyatakan,
“Apabila rumusan definisi dari suatu Peraturan Perundang-undangan dirumuskan
kembali dalam Peraturan Perundang-undangan yang akan dibentuk, rumusan definisi
tersebut harus sama dengan rumusan definisi dalam Peraturan Perundang-undangan
yang telah berlaku tersebut.”
Batasan
pengertian koperasi tidak boleh bertentangan dengan pasal konstitusi. Sebab,
ibu dari Undang-Undang (wet/gesetz) itu adalah konstitusi (de moeder
van der wet). Atau dalam bahasa lain, mengutip Alexander Hamilton,
konstitusi merupakan yang tertinggi sebagai master, tuan, dan seluruh pejabat
penafsir konstitusi (pembuat peraturan di bawah konstitusi) merupakan pelayan.
Dengan demikian apabila pelayan-pelayan itu menafsir konstitusi tidak cocok ke
dalam peraturan maka berarti pelayan lebih besar daripada tuannya (will be
greater than his master).
Definisi
atau batasan pengertian sebagaimana terdapat dalam Bab I Ketentuan Umum suatu
peraturan perundang-undangan menurut Lampiran II angka 107 UU Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, adalah berfungsi untuk
menjelaskan makna suatu kata atau istilah. Dengan demikian definisi tersebut
sangat menentukan isi atau materi muatan pasal yang mengalir kemudian.
Definisi
koperasi merupakan “jantung” dari UU Perkoperasian. Definisi yang salah tentang
koperasi akan mengakibatkan makna yang salah tentang koperasi dan akhirnya
berakibat fatal dengan salahnya materi muatan dalam pasal lebih lanjut. “Saya
kira ini persis di jantung persoalan,” kata Revrisond Baswir saat menyampaikan
keterangan sebagai ahli Pemohon dalam persidangan di MK, Selasa (4/6/2013).
Lahirnya
UU Perkoperasian sangat merugikan hak konstitusional para Pemohon. Oleh karena
itu, para Pemohon dalam petitum meminta MK menyatakan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2012 tentang Perkoperasian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
berkuatan hukum mengikat. Atau setidak-tidaknya, menyatakan Pasal 1 angka 1,
Pasal 37 ayat (1) huruf f, Pasal 50 ayat (1) huruf a, Pasal 50 ayat 2 huruf a
dan huruf e, Pasal 55 ayat (1), Pasal 56 ayat (1), Pasal 57 ayat (2), BAB VII
yang terdiri atas Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71,
Pasal 72, Pasal 73, Pasal 74, Pasal, 75, Pasal 76, dan Pasal 77, serta Pasal
80, Pasal 82, Pasal 83, dan Pasal 84 UU Nomor 17 Tahun 2012 tentang
Perkoperasian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkuatan hukum mengikat.
Untuk
mendukung dalil-dalilnya, Pemohon mengajukan sebelas alat bukti. Selain itu,
Pemohon juga mengajukan lima ahli dan empat saksi. Ahli yang dihadirkan Pemohon
yaitu Revrisond Baswir, Prof. Ahmad Erani Yustika, Muchammad Ali Safa’at, B.
Hestu Cipto Handoyo, dan Maryunani.
Sistem
Ekonomi Negara
Mahkamah
dalam pendapatnya menyatakan sistem ekonomi Indonesia harus disusun oleh
negara. Negara tidak boleh membiarkan sistem ekonomi tumbuh dan berkembang
secara alamiah menurut mekanisme pasar yang berjalan berdasarkan penawaran dan
permintaan (supply and demand). Sistem ekonomi dengan mekanisme yang demikian
pada gilirannya akan membentuk nilai serba materi di dalam masyarakat. Ketika
itulah masyarakat mengagungkan materi dan ketika itu pula modal materiil adalah
segala-galanya.
Secara
konseptual, penyusunan sistem ekonomi harus memandu masyarakat ke arah
terbentuknya sistem perekonomian sebagai usaha bersama. Usaha bersama merupakan
modal utama untuk mencapai tujuan bersama, memajukan kesejahteraan umum dengan
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam usaha bersama
tersebut terdapat individu sebagai sumber daya manusia dengan ilmu pengetahuan,
keahlian, semangat, daya juang dan sebagainya yang juga merupakan bagian
penting dari suatu modal, di samping modal lain seperti modal keuangan,
peralatan, teknologi dan modal materiil lainnya. Keseluruhan individu tersebut
terjalin di dalam suatu ikatan upaya secara bersama-sama dalam rangka mencapai
tujuan bersama.
Koperasi
merupakan bangun persekutuan yang mengimplementasikan prinsip dalam susunan
perekonomian sebagaimana diuraikan di atas dalam skala yang lebih sempit.
Prinsip tersebut merupakan ketentuan konstitusional di dalam UUD 1945. Mohammad
Hatta sebagai Bapak Koperasi Indonesia dalam Buku Kumpulan Pidato II
menyatakan, “... ruang Sidang Ekonomi Asas kekeluargaan itu ialah kooperasi.
Asas kekeluargaan itu adalah istilah dari Taman Siswa, untuk menunjukkan
bagaimana guru dan murid-murid yang tinggal padanya hidup sebagai suatu
keluarga. Itu pulalah hendaknya corak kooperasi Indonesia. Hubungan antara
anggotaanggota kooperasi satu sama lain harus mencerminkan orang-orang
bersaudara, suatu keluarga. Rasa solidarita dipupuk dan diperkuat. Anggota
dididik menjadi orang yang mempunyai individualita, insaf akan harga dirinya.
Apabila ia insaf akan harga dirinya sebagai anggota koperasi, tekadnya akan
kuat untuk membela kepentingan kooperasinya. ...Individualita lain sekali dari
individualisme. Individualisme adalah sikap yang mengutamakan diri sendiri dan
mendahulukan kepentingan diri sendiri dari kepentingan orang lain. Kalau perlu
mencari keuntungan bagi diri sendiri dengan mengorbankan kepentingan orang
lain. Individualita menjadikan seorang anggota kooperasi sebagai pembela dan
pejuang yang giat bagi kooperasinya...” (Mohammad Hatta, Kumpulan Pidato II,
hal. 215, PT. Toko Gunung Agung Tbk. Jakarta 2002).
Dalam
buku yang lain Mohammad Hatta, menyatakan “... Koperasi punya disiplin dan
dinamik sendiri. Sandarannya adalah orang, bukan uang! Koperasi adalah
merupakan kumpulan dari pada manusia, sedangkan uang faktor kedua. Sedang PT
adalah merupakan kumpulan modal.” (Mohammad Hatta, Bung Hatta Menjawab, hal.
183, PT. Toko Gunung Agung Tbk. Jakarta 2002).
Eksistensi
Definisi
Suatu
pengertian (definisi) merupakan soal yang fundamental dalam UU, karena memuat
filosofi dari entitas yang diaturnya. Oleh karena itu, Mahkamah bukan hanya
mempertimbangkan hal yang terkait dengan frasa “orang perseorangan”, tetapi
juga terhadap keseluruhan rumusan pengertian dalam pasal tersebut.
Batasan
pengertian (definisi) adalah berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata atau
istilah. Hal ini sebagaimana termaktub dalam Bab I Ketentuan Umum suatu
peraturan perundang-undangan menurut Lampiran II angka 107 UU Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5234). Dengan demikian, meski tidak mengandung norma, namun suatu
pengertian memiliki posisi penting dalam UU. Terlebih lagi manakala pengertian
tersebut dikaitkan dengan pasal lain.
Menurut
Mahkamah, koperasi pada hakikatnya merupakan bagian dari tata susunan ekonomi
Indonesia yang diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan,
“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.”
Pasal tersebut diletakkan di dalam Bab XIV yang berjudul, “Perekonomian
Nasional Dan Kesejahteraan Sosial”. Atas dasar judul tersebut dengan mengaitkan
rumusan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 dapat dipahami secara jelas pengertian
filosofisnya. Pasal tersebut merupakan pasal yang tidak diubah pada waktu
perubahan UUD 1945. Selain itu, untuk memperoleh pengertian yang menjadi
intensi dari pembentuk UUD 1945 secara lebih tepat dari pasal tersebut, perlu
dikutip Penjelasannya (sebelum perubahan) sebagai dokumen penting yang
menyatakan, “Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi
dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan
anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan
kemakmuran orang seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah
koperasi.”
Berdasarkan
Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 beserta Penjelasannya tersebut, koperasi merupakan
bagian penting dari tata susunan ekonomi nasional atau tata susunan ekonomi
Indonesia. Suatu tata susunan ekonomi mesti dirancang sesuai dengan nilai yang
dijunjung tinggi yang kemudian menjadi karakternya, yaitu nilai dan karakter
kolektif, yang merupakan kebalikan dari nilai individualistik yang tidak dianut
oleh UUD 1945. Koperasi sebagai bagian dari suatu tata susunan ekonomi mesti
didesain, disosialisasikan, diperjuangkan, dan dilaksanakan. “Bukan tata
susunan yang diserahkan kepada mekanisme pasar, meski pasar harus menjadi
perhatian penting dalam percaturan perekonomian internasional,” kata Hakim
Konstitusi Arief Hidayat membacakan pendapat Mahkamah dalam Putusan Nomor
28/PUUXI/2013, Rabu (28/5/2014).
Selanjutnya,
untuk mempertimbangkan apakah pengertian koperasi dalam Pasal 1 angka 1 UU
Perkoperasian tersebut mengarah ke individualisme sebagaimana didalilkan para
Pemohon, Mahkamah mengutip pengertian koperasi dalam berbagai UU yang pernah
berlaku sebelumnya, sebagaimana disebutkan di muka. Yakni Pasal 2 ayat (1) UU
Nomor 79 Tahun 1958 tentang Perkumpulan Koperasi, Pasal 3 UU Nomor 14 Tahun
1965 tentang Perkoperasian; Pasal 3 UU Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok
Perkoperasian; Pasal 1 angka 1 UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
Dengan
melakukan perbandingan beberapa pengertian dalam berbagai Undang-Undang
tersebut, menurut Mahkamah, jelas bahwa hal yang ditonjolkan dalam perumusan
pengertian koperasi adalah mengenai siapa koperasi itu. Dengan perkataan lain,
rumusan yang mengutamakan koperasi dalam perspektif subjek atau sebagai pelaku
ekonomi, yang merupakan sebagian dari sistem ekonomi. Untuk maksud tersebut
dirumuskan dengan kata atau frasa, perkumpulan, organisasi ekonomi, atau
organisasi ekonomi rakyat.
Rumusan
dalam empat UU tersebut sangat berbeda dengan Pasal 1 angka 1 UU Nomor 17 Tahun
2012 tentang Perkoperasian yang menyatakan bahwa koperasi adalah badan hukum.
Rumusan bahwa koperasi adalah badan hukum tidak mengandung pengertian
substantif mengenai koperasi sebagaimana dimaksud Pasal 33 ayat (1) UUD 1945
dan Penjelasannya yang merujuk pada pengertian sebagai bangun perusahaan yang
khas. “Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil Pemohon bahwa pengertian
koperasi dalam pasal tersebut mengandung individualisme, sehingga dalil
permohonan para Pemohon a quo beralasan menurut hukum,” lanjut Hakim Konstitusi
Arief Hidayat.
Ruh
yang Luruh
Menurut
Mahkamah, Filosofi definisi koperasi dalam UU Nomor 17 Tahun 2012 tentang
Perkoperasian, tidak sesuai dengan hakikat susunan perekonomian sebagai usaha
bersama dan berdasarkan asas kekeluargaan yang termuat di dalam Pasal 33 ayat
(1) UUD 1945. Definisi tersebut telah ternyata dielaborasi dalam pasalpasal
lain di dalam UU Perkoperasian.
Hal
tersebut di suatu sisi mereduksi atau bahkan menegasikan hak dan kewajiban
anggota dengan menjadikan kewenangan pengawas terlalu luas, dan skema
permodalan yang mengutamakan modal materiil dan finansial yang mengesampingkan
modal sosial yang justru menjadi ciri fundamental koperasi sebagai suatu
entitas khas pelaku ekonomi berdasarkan UUD 1945. Pada sisi lain koperasi
menjadi sama dan tidak berbeda dengan Perseroan Terbatas, sehingga hal demikian
telah menjadikan koperasi kehilangan ruh konstitusionalnya sebagai entitas
pelaku ekonomi khas bagi bangsa yang berfilosofi gotong royong.
Menurut
Mahkamah, meskipun permohonan para Pemohon hanya mengenai pasal tertentu, namun
oleh karena pasal tersebut mengandung materi muatan norma substansial yang
menjadi jantung UU Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian, sehingga jikapun
hanya pasal-pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat maka akan menjadikan pasal-pasal yang lain
dalam UU Nomor 17 Tahun 2012 ruang Sidang Ekonomi tidak dapat berfungsi lagi.
“Oleh karena itu permohonan para Pemohon harus dinyatakan beralasan menurut
hukum untuk seluruh materi muatan UU 17/2012,” kata Hakim Konstitusi Muhammad
Alim melanjutkan pendapat Mahkamah.
Sementara
Berlaku UU Lama
Mahkamah
dalam amar putusan menyatakan UU Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 212, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5355) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
berkekuatan hukum mengikat.
Konsekuensi
dinyatakannya UU Nomor 17 Tahun 2012 bertentangan dengan UUD 1945 mengakibatkan
terjadinya kevakuman hukum di bidang koperasi yang dapat menimbulkan
ketidakpastian dan ketidakadilan. Untuk menghindari hal ini, sementara waktu
sebelum terbentuknya UU tentang perkoperasian sebagai pengganti UU Nomor 17
Tahun 2012, maka UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian berlaku untuk
sementara waktu.
“Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502)
berlaku untuk sementara waktu sampai dengan terbentuknya Undang-Undang yang
baru” kata Ketua MK membacakan amar putusan Nomor 28/PUU-XI/2013, Rabu
(28/5/2014).
Koleksi Definisi KoperasiSekadar perbandingan, UU Koperasi yang berlaku sebelumnya juga pernah memuat definisi koperasi. Pada era Orde Lama dan Orde Baru pernah berlaku empat UU tentang perkoperasian. Tak satu pun dari empat UU ini yang mendefinisikan koperasi sebagai badan usaha yang didirikan oleh orang perseorangan. Namun anehnya pada era Reformasi ini melalui UU Perkoperasian, koperasi didefinisikan sebagai badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan. Berikut definisi koperasi dalam empat UU tersebut.Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 79 Tahun 1958 tentang Perkumpulan Koperasi menyatakan, “Koperasi ialah suatu perkumpulan yang beranggotakan orang-orang atau badan-badan hukum yang tidak merupakan konsentrasi modal.”Kemudian Pasal 3 UU Nomor 14 Tahun 1965 tentang Perkoperasian menyebutkan, “Koperasi adalah organisasi ekonomi dan alat Revolusi yang berfungsi sebagai tempat persemaian insan masyarakat serta wahana menuju Sosialisme Indonesia berdasarkan Pancasila.”Definisi koperasi juga termaktub dalam Pasal 3 UU Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perkoperasian yang menyatakan, “Koperasi Indonesia adalah organisasi ekonomi rakyat yang berwatak sosial beranggotakan orangorang atau badan-badan hukum Koperasi yang merupakan tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.”Kemudian Pasal 1 angka 1 UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian menyatakan, “Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.”Definisi mengenai koperasi juga dikemukakan oleh para pakar. Menurut International Co-operative Alliance (ICA), “Koperasi adalah perkumpulan otonom dari orang-orang yang bersatu secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan dan aspirasi- aspirasi ekonomi sosial dan budaya bersama melalui perusahaan yang mereka miliki bersama dan mereka kendalikan secara demokratis.” (Kongres ICA ke 100 di Manchester 23 September1995). Dalam definisi International Labour Organization (ILO), terdapat 6 elemen yang dikandung dalam koperasi, yaitu: Koperasi adalah perkumpulan orang–orang; Penggabungan orang–orang berdasarkan kesukarelaan; Terdapat tujuan ekonomi yang ingin dicapai; Koperasi berbentuk organisasi bisnis yang diawasi dan dikendalikan secara demokratis; Terdapat kontribusi yang adil terhadap modal yang dibutuhkan; dan Anggota koperasi menerima risiko dan manfaat secara seimbang.Menurut M. Hatta (dalam Sitio dan Tamba, 2001: 17), Koperasi adalah usaha bersama untuk memperbaiki nasib penghidupan ekonomi berdasarkan tolong menolong, semangat tolong menolong tersebut didorong oleh keinginan memberi jasa kepada kawan, berdasarkan seorang buat semua dan semua buat seorang.Menurut Hanel (1989: 30), koperasi adalah organisasi dibentuk oleh kelompok-kelompok orang yang mengelola perusahaan bersama, yang diberi tugas untuk menunjang kegiatan ekonomi individual para anggotanya. Koperasi adalah organisasi yang otonom yang berada dalam lingkungan sosial ekonomi dan sistem ekonomi yang memungkinkan setiap individu dan setiap kelompok orang merumuskan tujuan-tujuannya secara otonom, dan mewujudkan tujuan-tujuan itu melalui aktivitas-aktivitas ekonomi, yang dilaksanakan secara bersama.Menurut Arifinal Chaniago (1984), koperasi sebagai suatu perkumpulan yang beranggotakan orang–orang atau badan hukum, yang memberikan kebebasan kepada anggota untuk masuk dan keluar, dengan bekerja sama secara kekeluargaan menjalankan usaha untuk mempertinggi kesejahteraan jasmaniah para anggotanya. Menurut Dooren, koperasi tidaklah hanya kumpulan orang-orang, akan tetapi juga merupakan kumpulan dari badan-badan hukum. Menurut Munkner, koperasi sebagai organisasi tolong menolong yang menjalankan “urus niaga” secara kumpulan, yang berasaskan konsep tolong-menolong. Aktivitas dalam urus niaga semata-mata bertujuan ekonomi, bukan sosial seperti yang dikandung gotong-royong.Menurut Widiyanti dan Sunindhia (1992:1), koperasi berasal dari perkataan co dan operation, yang mengandung arti kerja sama untuk mencapai tujuan. Oleh sebab itu definisi koperasi adalah suatu perkumpulan yang beranggotakan orang-orang atau badan-badan, yang memberikan kebebasan masuk dan keluar sebagai anggota, dengan bekerja sama secara kekeluargaan menjalankan usaha, untuk mempertinggi kesejahteraan jasmaniah para anggotanya.
Maryunani
Kekuatan Posisi Tawar Koperasi Petani Jepang
Permasalahan koperasi di Indonesia sangat pelik. Perjalanan panjang koperasi
Indonesia masih mempermasalahkan tentang pengerjaan koperasi. Sedangkan
perkembangan koperasi di belahan dunia sudah mampu memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap perekonomian negaranya. Koperasi mampu mengawasi
sektor-sektor strategis dan turut menentukan menentukan kebijakan ekonomi.
Misalnya koperasi Zen-Noh di Jepang. Induk koperasi berbasis pertanian yang
dibentuk tahun 1972 ini merupakan koperasi terbesar di dunia. Hampir semua
kebutuhan petani Jepang dipenuhi oleh koperasi, mulai dari pengadaan berbagai
peralatan, dan input pertanian, permodalan, sampai permasalahan hasil produksi.
Bahkan kebutuhan sehari-hari pun diperoleh dari koperasi. Para petani Jepang
memiliki bargaining position yang luar biasa kuatnya dalam konstelasi ekonomi dan
politik negara. Berbagai komoditi pertanian yang dihasilkan oleh petani,
harganya jauh lebih mahal ketimbang komoditi sejenis dari negara lain.
Sementara pemerintah Indonesia mengambil sikap impor lebih baik daripada
melakukan aktivitasnya sendiri untuk menghasilkan hasil pertanian. “Pemerintah
Jepang tidak demikian. Tidak sembarang mengimpor komoditi yang dianggap mahal,
tanpa ada persetujuan dengan petani,” kata Maryunani saat menjadi ahli Pemohon
dalam persidangan di MK, Kamis (4/7/2013).
Kekuatan yang luar biasa yang dimiliki oleh petani, karena mereka sangat
solid, berhimpun diri di dalam koperasi pertanian. Soliditas itu ternyata bukan
hanya mampu mempengaruhi kebijakan di dalam negeri tapi juga mengembangkan
jejaring bisnis sampai ke mancanegara. “Jadi, semua ini memungkinkan latar
belakang para petani Jepang itu berhimpun di dalam koperasi, berhimpun pada
Zen-Noh. Jadi, saya kira, berbeda dengan apa yang ada di negeri ini,"
tegasnya.
Ahmad Erani Yustika
Ruh Koperasi Luruh
Substansi koperasi itu merupakan suatu gerakan bersama. Mereka yang
terlibat dalam koperasi memiliki solidaritas bersama, kesadaran bersama untuk
berhimpun. Tujuan koperasi pun tidak dipandu oleh insentif, tetapi lebih banyak
kepada tujuan-tujuan sosial. Adapun jika kemudian ada hasil yang bisa dimaknai
secara ekonomi, maka itu bagian dari sesuatu yang harus disyukuri sebagai
konsekuensi dari kegiatan ekonomi tadi.
Namun lahirnya UU Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian justru
meluruhkan ruh koperasi sebagai gerakan ekonomi bersama. “Beberapa hal yang
menjadi ruh koperasi tadi itu kita lihat hilang di dalam formulasi
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012. Di dalam beberapa pasal, itu ada beberapa
khasanah pemikiran yang aspek-aspek komersil dan kapitalistik itu muncul di
sana,” kata Ahmad Erani Yustika saat bertindak sebagai ahli Pemohon dalam
persidangan di MK, Rabu (19/6/2013).
Misalnya penggunaan kata “orang perorangan” dalam Pasal 1 UU Nomor 17 Tahun
2012. Penggunaan kata “orang perorangan” tersebut berbeda maknanya dengan
“orang seorang” seperti halnya di dalam di dalam penjelasan UUD 1945. Kemudian
adanya pembatasan jenis koperasi sehingga bidang koperasi menjadi sedemikian
ketat diatur, membuat koperasi menjadi lebih birokratis, mengikuti prosedur
seperti yang dilakukan oleh usaha yang lain dalam bentuk PT maupun CV.
Aspek prosedur pendirian koperasi pun semakin mendekati kesamaan dengan
badan usaha yang lain. Misalnya penggunaan istilah sertifikat maupun saham di
dalam pasal UU Nomor 17 Tahun 2012. “Sebetulnya bukan hanya kita berbicara
mengenai istilah, tapi konsekuensi dari penggunaan instrumen sertifikat saham
tersebut dalam kegiatan koperasi, maka ruh sebagai suatu kegiatan ekonomi yang
memiliki prinsip-prinsip kekeluargaan dan insentif sosial lebih besar ketimbang
insentif ekonomi itu menjadi hilang,” jelasnya.
Muchammad Ali Safa’at
Persekutuan Organis menjadi Persekutuan Mekanis
Jka ditelaah secara keseluruhan, politik hukum UU Nomor 17 Tahun 2012
adalah untuk memperkuat koperasi. Kita bisa melihat dari konsiderannya, yaitu
agar dapat bersaing dengan badan usaha lain. “Tapi dengan cara membuat tatanan
yang mempermudah masuknya modal dari luar koperasi ke dalam koperasi,” kata
Muchammad Ali Safa’at saat bertindak sebagai ahli Pemohon dalam persidangan di
MK, Rabu (19/6/2013).
Oleh karena itu, pengaturan koperasi lebih mengarah dan mereduksi koperasi
sebagai badan hukum privat, bukan sebagai sebuah gerakan perekonomian.
“Koperasi akan berubah dari persekutuan yang bersifat organis menjadi
persekutuan yang bersifat mekanis,” jelas Ali.
Hal ini dapat dilihat dari ketentuan tentang sertifikat modal, larangan
membagi laba dari modal penyertaan, pembatasan satu jenis usaha, serta bukan
anggota dapat menjadi pengurus yang justru mengesampingkan asas, nilai, dan
prinsip yang sudah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 itu
sendiri. “Pasal 1 angka 1 telah mengubah hakikat koperasi sebagai kumpulan
orang menjadi kumpulan modal,” tegasnya.
Pemerintah
Koperasi Utamakan Kemakmuran Anggota
Koperasi dapat didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum yang
dilaksanakan sesuai dengan nilai yang mendasari kegiatan koperasi, yaitu
kekeluargaan, menolong diri sendiri, bertanggung jawab, demokrasi persamaan,
berkeadilan, dan kemandirian. Dengan demikian, anggapan para Pemohon yang
menyatakan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Perkoperasian menyebabkan koperasi
bersifat individualisme, menurut Pemerintah, adalah anggapan yang tidak benar.
“Karena koperasi dalam melaksanakan usahanya mengutamakan kemakmuran anggota
pada khsususnya dan masyarakat pada umumnya, bukan kemakmuran orang
perseorangan,” kata Deputi I Bidang Kelembagaan Koperasi dan UKM Kementerian
Koperasi dan UKM RI, Setyo Heriyanto, saat menyampaikan opening statemen
Pemerintah dalam persidangan di MK, Kamis (2/5/2013).
Oleh karena itu, menurut Pemerintah, sangat tidak beralasan jika para
Pemohon memersoalkan definisi koperasi tersebut. Definisi koperasi tersebut
justru memberikan gambaran dan arah yang jelas mengenai tujuan, nilai dan
prinsip yang melandasi pendirian koperasi Indonesia.
DPR
Mencegah Koperasi Jadi Tempat Pencucian Uang
Pembentukan UU Perkoperasian bukan dimaksudkan untuk membatasi koperasi.
Ketentuan Pasal 80 UU Perkoperasian dimaksudkan supaya koperasi tetap berbasis
pada anggota dan memperkuat permodalan koperasi. Saat pembahasan pasal ini di
DPR, DPR bersama Pemerintah telah mengantisipasi jangan sampai koperasi
mengalami masalah keuangan (defisit), sehingga harus mengundang pemilik modal.
Kekhawatiran DPR jika permohonan pasal ini dikabulkan MK, maka akan membuka
pintu masuk pemilik modal.
“Kalau kita buka pintu pasar ini, seperti yang disampaikan oleh Pemohon,
maka koperasi nanti cenderung menjadi alat cuci uang, bikin koperasi, koperasi
dibikin bangkrut, lalu pemodal masuk. Uang yang semula tidak halal jadi halal
di koperasi,” kata Anggota Komisi IV DPR Benny K. Harman ketika menyampaikan
pendapat DPR dalam persidangan di MK, Selasa (4/6/2013).
Burhanuddin Abdullah
Tak Sekelas Koperasi Dunia
Masyarakat Indonesia masih berpikir bahwa koperasi adalah satu-satunya cara
untuk mensejahterakan dirinya sehingga masyarakat membangun koperasi. Maka
tidak mengherankan jika sekarang jumlah koperasi tumbuh subur, hampir mencapai
200.000 dengan jumlah penduduk yang terlibat di dalam keanggotaan koperasi
mencapai sekitar 40.000.000. “Tetapi, dari 200.000 koperasi itu tidak satu pun
koperasi kita yang sekelas koperasi besar di dunia,” kata Burhanuddin Abdullah
saat menjadi ahli Pemerintah dalam persidangan di MK, Kamis, (4/7/2013).
Menurut mantan Gubernur Bank Indonesia ini, Koperasi di Indonesia
memerlukan persyaratan-persyaratan tertentu agar dapat berkiprah baik di dalam
negeri, secara regional maupun internasional. Persyaratan dimaksud yaitu, modal
pengetahuan yang cukup, modal finansial yang memadai, stabil dan berkembang,
modal keterampilan manajerial yang handal, fokus pada core business tertentu
yang digarap, dan skala ekonomi yang dirancang dengan baik dan dijalankan
secara profesional.
Bagong Suryanto
UU Perkoperasian Siapkan Pelaku UKM Berkompetisi
Undang-Undang Perkoperasian dibuat dalam kerangka mempersiapkan para pelaku
usaha kecil supaya siap bertarung dalam iklim persaingan yang rasional
kalkulatif, yang semakin kompetitif. Banyak koperasi yang tumbuh dengan baik
karena memiliki good person. Namun, ketika masuk dalam iklim persaingan yang
sangat rasional kalkulatif, sangat kompetitif, akan berisiko jika tidak
didukung oleh good system.
“Sistem yang baik itu tidak menggantungkan diri pada figur orang-orang
tertentu, tapi mengandalkan kepada rules of the game yang memang dimiliki oleh
koperasi itu sebagai spirit usaha bersama yang memang betul-betul inovatif dan
kreatif,” kata Bagong Suryanto, saat bertindak sebagai ahli Pemerintah dalam
persidangan di MK, Kamis, (18/7/2013).
Sonny Dewi Judiasih
Setara dengan BUMN dan BUMS
Koperasi, BUMN dan BUMS merupakan tiga pilar perekonomian nasional,
sehingga tidak ada perbedaan badan hukum di antara ketiganya. “Jadi, koperasi
terhadap badan hukum yang lain adalah setara,” kata Sonny Dewi Judiasih selaku
ahli Pemerintah dalam persidangan di MK, Kamis (4/7/2013).
Namun dalam kenyataannya justru dipilah antara Perseroan Terbatas (PT)
dengan koperasi sebagai badan hukum. Keberadaan UU Perkoperasian merupakan
pembaruan hukum yang diamanatkan oleh UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025. Selain itu, UU
Perkoperasian juga mencakup asas mengenai koperasi, seperti yang tercantum
dalam Pasal 3 UU Perkoperasian. “Asas koperasi mempunyai tempat tersendiri di
dalam UU Perkoperasian. Ini berarti penekanan oleh pembentuk UU yang sangat
memperhatikan keberadaan dari Pasal 33 UUD 1945,” jelasnya.
Nur
Rosihin Ana
Dalam
Majalah Konstitusi No. 88 – Juni 2014, hal 22-35
Tidak ada komentar:
Posting Komentar