Jakarta,
MKOnline - Masuknya frasa ”....tembakau, produk yang mengandung
tembakau,....”, dalam Pasal 113 ayat (2) UU 36/ 2009 tentang Kesehatan,
secara struktural tidak tepat. Sebab, pelembagaan Pasal 113 ayat (2)
mengkategorisasi bentuk zat adiktif yang diatur dalam ayat (1). Sehingga
pembacaan sesungguhnya adalah kategorisasi yang menunjukkan zat dalam
bentuk padat, cair maupun gas. Demikian presentasi Zaenal Arifin
Muchtar dalam kapasitasnya sebagai Ahli Pemohon dalam persidangan di
Mahkamah Konstitusi (MK) Selasa (8/2/2011). Sidang pleno dengan agenda
mendengar keterangan ahli ini dihadiri Pemohon prinsipal Bambang
Sukarno (perkara Nomor 19/PUU-VIII/2010), Pemohon prinsipal Nurtanto
Wisnu Brata (perkara Nomor 34/PUU-VIII/2010) dan kuasanya, A.H. Wakil
kamal dan Iqbal Tawakkal Pasaribu.
Pemohon
perkara Nomor 34/PUU-VIII/2010 menghadirkan 5 orang pakar, yaitu Prof.
Dr. Muzdakkir, SH, MH, Ir. Purwono, MS, Dr. Revrisond Baswir, SE,
Zaenal Arifin Muchtar, SH. L.LM, Dan Prof. Dr. Saldi Isra, SH.
Sedangkan Pemohon perkara Nomor 19/PUU-VIII/2010 menghadirkan 2 orang
Saksi Fakta, Ala Sulistiono, dan dr. Subagyo. Hadir pula pihak terkait
dan kuasanya yaitu Tulus Abadi dari YLKI, Muhammad Joni, Kuasa Pihak
Terkait Komnas Perlindungan Anak, Sudaryatmo Kuasa Pihak Terkait dari
Yayasan Kanker Indonesia, Tubagus Haryo Karbianto, kuasa Pihak
Terkait dari Yayasan Jantung Indonesia, serta Ari Subagio Wibowo dari
forum warga kota Jakarta. Sedangkan dari Kemenkum dan HAM (Pemerintah)
tampak hadir antara lain, Heni Susila Wardoyo, Budi Sampurna.
Sebagaimana
dalam permohonan, Pemohon perkara Nomor 19/PUU-VIII/2010 mengujikan
Pasal 113 ayat (2) UU 36/2009 tentang Kesehatan. Sedangkan Pemohon
perkara 34/PUU-VIII/2010 mengujikan norma Pasal 113 ayat (2) sepanjang
frasa ”....tembakau, produk yang mengandung tembakau,....”, Pasal 114,
dan Pasal 199 ayat (1) UU 36/ 2009 tentang Kesehatan.
Ahli
Pemohon Mudzakkir dalam presentasinya mengatakan, perumusan norma
hukum pada Pasal 113 ayat (2) mengandung unsur ketidakjelasan atau
kesalahan dalam perumusan norma. Hal ini, lanjutnya, akan tampak jelas
jika dihubungkan dengan norma hukum Pasal 113 ayat (1). Menurutnya,
norma hukum pada Pasal 113 ayat (1) sudah tepat yaitu memuat norma
hukum yang bersifat umum, yang dapat mendasari pengaturan lebih lanjut
dalam UU pelaksanaannya. “Pengertian zat adiktif bermakna umum, genus,
tidak merujuk pada benda atau objek tertentu, tidak hanya berlaku pada
satu objek saja. Namun rumusan Pasal 113 ayat (2) ternyata secara
eksplisit menyebutkan kata-kata ‘tembakau, produk yang mengandung
tembakau’. Jelas ini susunan norma yang tidak tepat. Tembakau dan
produk yang mengandung tembakau bukan zat adiktif. Karena zat adiktif
adalah kandungan yang terdapat dalam tembakau,” paparnya.
Seharusnya,
lanjut Mudzakkir, semua tanaman yang mengandung unsur zat adiktif
disebutkan dalam Pasal 113 ayat (2). “Ini susunan yang kacau, karena
satu sisi menyebutkan tembakau, sementara tanaman-tanaman lain yang
mengandung unsur zat adiktif tidak dimasukkan di dalamnya,” lanjutnya.
Ahli
selanjutnya, Purwono memaparkan mengenai konversi tanaman tembakau ke
tanaman lainnya. Menurutnya, secara biofisik, konversi lahan tembakau
ke tanaman lain bisa dilakukan jika ditemukan jenis tanaman yang mampu
berkembang di areal tembakau. Akan tetapi, secara sosial-ekonomi, hal
ini memerlukan upaya-upaya terkait bagaimana merubah perilaku dan budaya
petani. “Petani harus dibina tentang tekhnik penguasaan tanaman yang
baru. Kemudian harus ada jaminan pasar, kalau memang harus pindah ke
komoditi yang lain,” papar pakar agronomi ini.
Pertarungan Bisnis Rokok
Sementara itu, dari sisi ekonomi dan bisnis Revrisond Baswir menyoroti tiga aspek pertarungan bisnis dalam hal ini. Pertama, pertarungan antar sesama pengusaha rokok nasional. “Pertarungan terjadi antara produsen rokok putih dengan rokok kretek,” jelasnya. Kedua, antara pengusaha rokok domestik dan multinasional. “Perusahaan rokok multinasional ingin masuk ke Indonesia dan mendominasi pasar di tanah air. Pada tahap tertentu, pertarungan itu berakhir dengan diambilalihnya pabrik rokok nasional oleh sebuah pabrikan dari mancanegara,” lanjutnya. Ketiga, antara perusahaan rokok dengan perusahaan farmasi. “Perusahaan-perusahaan farmasi inilah yang besar kemungkinan secara terus menerus berkampanye bukan anti nikotin, tapi anti cara mengkonsumsi nikotin dari cara konvensional ke cara baru yang lebih menguntungkan secara bisnis,” tandas Revrisond. Selanjutnya Revrisond menyerahkan sebuah buku karya Wanda Hamilton, “Nicotine War” untuk dijadikan sebagai salah satu alat bukti pertarungan bisnis dalam industri rokok.
Sementara itu, dari sisi ekonomi dan bisnis Revrisond Baswir menyoroti tiga aspek pertarungan bisnis dalam hal ini. Pertama, pertarungan antar sesama pengusaha rokok nasional. “Pertarungan terjadi antara produsen rokok putih dengan rokok kretek,” jelasnya. Kedua, antara pengusaha rokok domestik dan multinasional. “Perusahaan rokok multinasional ingin masuk ke Indonesia dan mendominasi pasar di tanah air. Pada tahap tertentu, pertarungan itu berakhir dengan diambilalihnya pabrik rokok nasional oleh sebuah pabrikan dari mancanegara,” lanjutnya. Ketiga, antara perusahaan rokok dengan perusahaan farmasi. “Perusahaan-perusahaan farmasi inilah yang besar kemungkinan secara terus menerus berkampanye bukan anti nikotin, tapi anti cara mengkonsumsi nikotin dari cara konvensional ke cara baru yang lebih menguntungkan secara bisnis,” tandas Revrisond. Selanjutnya Revrisond menyerahkan sebuah buku karya Wanda Hamilton, “Nicotine War” untuk dijadikan sebagai salah satu alat bukti pertarungan bisnis dalam industri rokok.
Pakar
hukum tatanegara Saldi Isra yang juga didapuk sebagai ahli Pemohon,
menjelaskan adanya rumusan pasal-pasal dalam UU Kesehatan yang
menurutnya diskriminatif. “Perumusan Pasal Pasal 113 ayat (2) itu
terkategori sebagai indirect discriminatioan,” kata Saldi. “Gagasan
niliai mulia yang ada di dalam konsideran nilai “Menimbang”, tercederai
oleh rumusan Pasal 113 ayat (2),” lanjutnya.
Pesan
yang ingin disampaikan dalam UU Kesehatan menurut Saldi, bertujuan
memelihara HAM, terutama untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik
dan sehat. Namun, pemeliharaan HAM yang diinginkan oleh pembentuk UU
ternyata dalam perumusan norma, terutama dalam Pasal 113 ayat (2),
mencederai HAM lain pula. “Setidak-tidaknya, hak untuk hidup dan
mempertahankan kehidupan serta hak untuk tidak mendapat perlakuan
diskriminatif,” papar Saldi. (Nur Rosihin Ana/mh)
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar