Hubungan asmara antara Ina Mutmainah dengan Muhammad
Hibrian pada awalnya berbunga-bunga. Namun, semua sirna kala Ina berbadan dua.
Pada 12 Februari 2015, Ina melahirkan anak laki-laki dari hasil hubungannya
dengan Hibrian.
Masa-masa indah itu berlalu menjadi kelabu. Mantan
karyawati Bank Republik Indonesia (BRI) Cabang Kalianda Lampung Selatan, ini
merasa dikhianati dan dicampakkan pasangannya, Muhammad Hibrian, Hakim
Pengadilan Negeri Kalianda, Lampung Selatan. Terlebih lagi setelah Ina
mengetahui ternyata Hibrian telah berisitri.
Ina melaporkan kasusnya ke Komisi Yudisial (KY) dan
Mahkamah Agung. Dua lembaga negara pelaku kekuasaan kehakiman menjatuhkan putusan
berbeda terhadap kasus ini. KY menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap.
Sedangkan MA menjatuhkan sanksi disiplin berat.
Munculnya dua putusan berbeda inilah yang dipersoalkan
oleh Ina Mutmainah. Perbedaan putusan ini sangat rancu, tidak mendasar, dan
tumpang tindih. Ina merasa hak konstitusionalnya telah dirugikan.
Ina melalui kuasa hukum Yandi Suhendra, Dian Farizka Maskuri, dkk, mendatangi Mahkamah Konstitusi. Melalui surat bertanggal 13 Maret
2015, Ina melalui kuasanya, mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) dan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman (UU KK) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD 1945). Adapun materi yang diujikan, yaitu Pasal 32A ayat (1) UU MA
dan Pasal 39 ayat (3) UU KK.
Permohonan ini diregistrasi oleh Kepaniteraan Mahkamah
pada 23 Maret 2015 dengan Nomor 39/PUU-XIII/2015. Sidang pemeriksaan
pendahuluan perkara ini digelar pada 7 April 2015.
Pasal 32A ayat (1) UU MA
“Pengawasan internal atas tingkah laku hakim dilakukan
oleh Mahkamah Agung.”
Pasal 39 ayat (3) UU KK
“Pengawasan internal atas tingkah laku hakim dilakukan
oleh Mahkamah Agung.”
Ina Mutmainah didampingi kuasa hukum Dian Farizka Maskuri, usai menjalani sidang pemeriksaan pendahuluan di Mahkamah Konstitusi, Selasa (7/4/2015). Foto Humas MK/Ganie |
Muruah Hakim
Perubahan Ketiga UUD 1945 pada 2001 menyepakati
pembentukan KY dengan dua kewenangan Konstitusional, yaitu untuk menyeleksi
Calon Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain untuk dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Kehormatan,
martabat dan perilaku hakim harus dijaga jangan sampai jatuh terpuruk baik
akibat perbuatannya sendiri ataupun akibat perbuatan pihak lain.
Putusan hakim adalah martabat dan kehormatan hakim,
maka jika hakim memainkan putusannya sebenarnya ia telah menjatuhkan martabat
dan kehormatannya sendiri. Demikian halnya jikalau perilaku hakim tidak patut
atau tidak sesuai dengan tata susila, baik di dalam maupun di luar tugas
kedinasannya maka sebenarnya ia telah menjatuhkan kehormatan dan martabatnya
sendiri sebagai seorang hakim. Disinilah Komisi Yudisial hadir untuk menegakkannya.
Secara Konstitusional, lembaga penjaga dan penegak
perilaku hakim adalah KY. Maka ada kesalahan Konstitusional apabila ada lembaga
lain diberikan kewenangan menjaga atau menangani perilaku hakim.
Ketentuan dalam UU MA dan UU KK menyebutkan pengawasan
Internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh MA. Ketentuan ini menimbulkan
kerancuan jika disandingan dengan kewenangan KY sebagai penjaga dan penegak
perilaku hakim.
Kewenangan menjaga dan menegakkan perilaku hakim,
semata merupakan kewenangan KY. Namun faktannya dalam UU MA dan UU KK
disebutkan Pengawasan Internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh MA.
Rumusan MA sebagai pengawasan tingkah laku hakim menimbulkan kerancuan jika
disandingan dengan kewenangan KY sebagai penjaga dan penegak perilaku hakim.
Oleh karena itu, menurut Pemohon, ketentuan Pasal Pasal 32A ayat (1) UU MA dan
Pasal 39 ayat (3) UU KK, bertentangan dengan Pasal Pasal 24B ayat (1) dan 28D
ayat (1) UUD 1945.
Kewenangan KY dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, merupakan amanat Pasal
24B UUD 1945. Untuk menjalankan amanat ini, KY diberikan kewenangan, tugas dan
kewajiban melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU
KY).
Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku Hakim, KY mempunyai tugas memutuskan benar
tidaknya laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim
sebagaimana dituangkan dalam Pasal 20 ayat (1) huruf d UU KY. Untuk
melaksanakan tugas sebagaimana Pasal 20 ayat (1) huruf d UU KY, KY juga
mempunyai kewajiban yaitu menegakkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim.
Kemudian dalam hal dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim
dinyatakan terbukti maka, KY mengusulkan penjatuhan sanksi terhadap Hakim yang
diduga telah melakukan pelanggaran kepada Mahkamah Agung, sebagaimana Pasal 22D
ayat (1) UU KY.
Dua Sanksi Berbeda
KY telah memeriksa dugaan pelanggaran Kode Etik
dan/atau Pedoman Perilaku Hakim yang dilakukan oleh Hakim Pengadilan Negeri
Kalianda, Muhammad Hibrian (Terlapor). Hasil pemeriksaan, KY mengeluarkan
keputusan Nomor 138/SP.KY/X/2014. KY menjatuhkan sanksi berat kepada Muhammad
Hibrian berupa pemberhentian tetap dengan hak pensiun.
KY telah mengusulkan kepada MA untuk menjatuhkan sanksi
berat terhadap Muhammad Hibrian, berupa pemberhentian tetap dengan hak pensiun.
Namun, MA mengeluarkan penjatuhan sanksi yaitu Hakim nonpalu selama 2 (dua)
tahun pada Pengadilan Banda Aceh.
Badan Pengawas (Bawas) MA telah memeriksa dugaan
pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim yang dilakukan oleh Hakim
Pengadilan Negeri Kalianda, Muhammad Hibrian (Terlapor) dengan Nomor
1263/BP/PS.02/10/2014 tanggal 1 Oktober 2014. Kemudian Ketua MA mengeluarkan
Keputusan Nomor 11/DJU/SK/KP02.2/10/2014. Hibrian terbukti telah melakukan
perbuatan yang melanggar ketentuan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI
dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009-02/SKB/P.KY/IV/2009
angka 5.1.1 jo angka 7.1. Peraturan Bersama Mahkamah Agung RI dan Komisi
Yudisial RI Nomor 02/PB/MA/IX/2012-02/PB/P.KY/09/2012 Pasal 9 ayat (4) huruf a
dan Pasal 11 ayat (3) huruf a.
Keputusan KY Nomor 138/SP.KY/X/2014
1. Menyatakan
TERLAPOR Sdr. Muhammad Hibrian, S.H., terbukti melanggar SKB-KEPPH Angka 5.1.1
dan angka 7.1 jo PB-PP KEPPH Pasal 9 ayat (4) dan Pasal 11 ayat (3)
huruf a;
2. Menjatuhkan
sanksi berat kepada TERLAPOR Sdr. Muhammad Hibrian, S.H., berupa pemberhentian
tetap dengan hak pensiun.
Keputusan MA Nomor 11/DJU/SK/KP02.2/10/2014
Menjatuhkan hukuman disiplin
berat berupa “Hakim Non Palu Selama 2 (dua) tahun pada Pengadilan Banda
Aceh” dengan akibat hukum selama menjalani hukuman disiplin tersebut tunjangan
yang bersangkutan sebagai Hakim sebagaimna diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 94 Tahun 2012 tidak dibayarkan, kepada:
Nama
: MUHAMMAD HIBRIAN, S.H.
NIP
: 19780914 200312 1 002
Pangkat/Gol.
Ruang : Penata
(III/c)
Jabatan
: Hakim Pratama Madya
Unit
Kerja : Pengadilan Negeri Kalianda
Tidak ada satupun pasal dalam Konstitusi yang mengatur
secara eksplisit tentang kewenangan MA dalam menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Kewenangan MA yang diberikan oleh
Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 yaitu mengadili pada tingkat kasasi, menguji
peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU, dan mempunyai wewenang
lainnya yang diberikan oleh UU. Berbeda dengan kewenangan KY yang secara
eksplisit sangat jelas dan gamblang diatur dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945.
Oleh karena itu, Ina Mutmainah melalui tim kuasa hukumnya meminta Mahkamah
menyatakan Pasal 32A ayat (1) UU MA dan Pasal 39 ayat (3) UU KK bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Nur Rosihin Ana
Rubrik Catatan Perkara Majalah Konstitusi No. 98 April 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar