Selasa, 21 April 2015

Gaji Terlarang Pembina Yayasan

Yayasan dilarang memberi gaji kepada pembina dan pengawas. UU Yayasan digugat.

Tidak semua profesi dan jabatan serta merta mendapatkan imbalan berbentuk gaji atau sejenisnya. Tengoklah misalnya jabatan pembina dan pengawas yayasan yang terlarang mendapatkan imbalan gaji.
Pembina dan pengawas yayasan sama sekali tidak digaji. Bahkan terlarang menerima gaji, upah, honorarium, yang bersumber dari kekayaan yayasan. Pelanggaran terhadap hal ini pun berbuntut sanksi pidana. Demikian ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (UU Yayasan).
Dahlan Pido, Pembina Yayasan Toyib Salmah Habibie, merasa dirugikan akibat berlakunya ketentuan tersebut. Sebagai pembina yayasan, Dahlan terlarang menerima dana yang bersumber dari kekayaan yayasan. Dahlan lalu melayangkan permohonan uji materi UU Yayasan ke MK. Permohonan Dahlan diregistrasi oleh Kepaniteraan Mahkamah dengan Nomor 5/PUU-XIII/2015.
Dahlan yang hadir di persidangan tanpa didampingi kuasa hukum menyatakan pengecualian terhadap pembina untuk mendapatkan gaji, telah melanggar prinsip keadilan dan persamaan di depan hukum. Dahlan mendalilkan, kegiatan yayasan dilakukan secara bersama-sama oleh pengurus, pembina, dan pengawas.
Oleh karena itu menurut Dahlan, selayaknya hak-hak pembina juga diperlakukan sama dengan pengurus, termasuk hak untuk mendapatkan gaji. “Pembina dan pengurus, serta pengawas sama-sama bekerja melaksanakan tugas untuk tercapainya tujuan yayasan,” kata Dahlan Pido dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan di MK, Kamis (22/1/2015).
Menurut Dahlan, ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) UU Yayasan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, dalam petitum, Dahlan meminta Mahkamah menyatakan ketentuan dalam UU Yayasan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.

Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU Yayasan
(1)      Kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh Yayasan berdasarkan Undang-Undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji, upah, maupun honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas.
(2)      Pengecualian atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditentukan dalam Anggaran Dasar Yayasan bahwa Pengurus menerima gaji, upah, atau honorarium, dalam hal Pengurus Yayasan:
a.     Bukan pendiri Yayasan dan tidak terafiliasi dengan Pendiri, Pembina, dan Pengawas; dan
b.     Melaksanakan kepengurusan Yayasan secara langsung dan penuh.

Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) UU Yayasan
(1)      Setiap anggota organ Yayasan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
(2)      Selain pidana penjara, anggota organ yayasan sebagaimana dimaksu dalam ayat (1) juga dikenakan pidana tambahan berupa kewajiban mengembalikan uang, barang, atau kekayaan yayasan yang dialihkan atau dibagikan.
Halal Jadi Haram
Kerugian konstitusional akibat berlakunya ketentuan dalam UU Yayasan ini, juga dirasakan oleh Safri Nurmantu. Kiprah Safri di yayasan antara lain, sebagai pendiri Yayasan Ilomata/STIAMI dan Yayasan Nurul Amal.
Sebagai dosen sekaligus pembina dan pengurus yayasan, Safri memberikan kuliah, merancang, mengawasi sistem pendidikan yang didirikan oleh yayasan. “Dengan adanya UU Yayasan tersebut, imbalan yang tadinya halal di hadapan Allah dan di hadapan negara, berubah menjadi haram di hadapan negara,” kata Safri Nurmantu saat bertindak sebagai ahli dalam persidangan kali keempat yang digelar di MK, Senin (16/3/15).

Sarang Pencucian Uang
Menanggapi permohonan Dahlan Dipo, anggota Komisi III DPR RI Junimart Girsang mengungkapkan adanya kecenderungan mendirikan yayasan untuk berlindung di balik status badan hukum yayasan. Kecenderungan lainnya, yayasan didirikan untuk memperkaya diri para pendiri, pengurus, dan pengawas, atau untuk kegiatan pencucian uang. “Ada dugaan yayasan digunakan untuk menampung kekayaan yang berasal dari para pendiri atau pihak lain yang diperoleh dengan cara melawan hukum,” kata Junimart Girsang saat menyampaikan keterangan DPR RI dalam persidangan MK, Selasa (24/2/2015).

  Junimart Girsang. Foto Humas MK/Ganie.

Salah satu upaya hukum untuk mencegah kecenderungan tersebut, terang Junimart, maka diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU Yayasan. Pelarangan pengalihan dan pembagian kekayaan yayasan sebagaimana ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Yayasan dimaksudkan agar kekayaan yayasan hanya dipergunakan untuk mencapai maksud dan tujuan didirikannya yayasan yaitu sebagai wadah untuk pengembangan kegiatan sosial, keagamaan, kemanusiaan, dan tidak untuk kepentingan lainnya. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 26 ayat (4) UU Yayasan.
Kemudian mengenai pengujian Pasal 70 UU Yayasan, DPR berpendapat bahwa ketentuan pemberian sanksi adalah merupakan bagian dari upaya penegakan hukum agar ketentuan yang diatur dalam norma-norma UU Yayasan khususnya Pasal 5 Undang-Undang Yayasan dapat dipatuhi, sehingga maksud dan tujuan dari dibentuknya UU Yayasan dapat terwujud. Hal tersebut telah sejalan dengan prinsip negara hukum dan kepastian hukum sebagaimana diamanatkan pada Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Mengembalikan Fungsi Yayasan
Sejatinya, yayasan merupakan badan hukum yang mempunyai maksud dan tujuan bersifat sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Yayasan mempunyai organ yang terdiri atas Pembina, Pengurus, dan Pengawas. Ketiga organ yayasan ini masing-masing memiliki fungsi, wewenang, dan tugas yang tegas. Hal ini untuk menghindari kemungkinan konflik intern yayasan yang tidak hanya dapat merugikan kepentingan yayasan melainkan juga pihak lain.
Menurut Pemerintah, ketentuan Pasal 5 UU Yayasan bertujuan untuk memisahkan kekayaan yayasan dengan kekayaan pendirinya. Demi tercapainya tujuan yayasan dan untuk menjamin yayasan tidak disalahgunakan, maka seseorang yang menjadi pembina, pengurus, dan pengawas yayasan harus bekerja secara sukarela tanpa menerima gaji, upah, atau honor tetap.
Pada umumnya pendiri yayasan merupakan donator sekaligus pengurus. Sebelum adanya UU Yayasan, banyak terjadi pendiri merangkap jabatan sebagai pengurus atau sebaliknya. “Hal ini mengakibatkan timbulnya kepentingan pribadi dari pengurus yayasan yang tentu saja dapat merugikan yayasan,” kata Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Wicipto Setiadi, saat menyampaikan keterangan Pemerintah dalam persidangan di MK, Selasa (24/2/2015).
Sudah sewajarnya ada perbedaan antara pengurus sebagai pendiri dan pengurus yang tidak terafiliasi dengan pendiri. Pemerintah menegaskan ketentuan ini tidak diskriminatif dan tidak bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.

Nur Rosihin Ana
Rubrik Ruang Sidang Majalah Konstitusi No. 98 April 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More