Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang bersifat
final dan mengikat adalah tidak tepat sebagaimana layaknyaputusan lembaga
peradilan. DKPP tidak termasuk dalam salah satu lingkungan peradilan di bawah
MA. DKPP juga bukan lembaga pemegang kekuasaan Kehakiman.
Berawal dari adanya iklan Asosiasi Pedagang Pasar Indonesia
(APPSI) dalam Pemilukada DKI Jakarta Tahun 2012. APPSI dalam iklannya
memberikan dukungan kepada pasangan calon gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan
Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Basuki). Iklan disiarkan secara serentak pada 27
Agustus 2012 melalui beberapa stasiun televisi nasional. Kubu pasangan Fauzi
Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara) pun bereaksi. Sebab, iklan tayang di luar jam
kampanye. Foke-Nara melaporkan kasus ini ke Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu)
DKI Jakarta. Selanjutnya laporan diteruskan ke aparat yang berwenang yaitu ke
Polda Metro Jaya.
Saat melapor ke Polda Metro Jaya inilah, tim Foke-Nara didampingi
oleh Ramdansyah yang kala itu menjabat Ketua Panwaslu DKI Jakarta. Keberadaan
Ramdansyah ini sontak mengundang protes tim pasangan Jokowi-Basuki. Ramdansyah
dinilai tidak netral dan melanggar kode etik.
Buntutnya, pada 10 Oktober 2012, Ramdansyah diadukan ke Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Pengaduan diajukan oleh Sufni Dasco
Ahmad dari Partai Gerindra Jakarta yang memberi Kuasa Khusus kepada Pengadu M.
Said Bakhri.
Singkatnya, DKPP memberhentikan Ramdansyah melalui Putusan Nomor
15/DKPP-PKE-I/2012. Amar Putusan DKPP Rl Nomor 15/DKPP-PKE-I/2012 tertanggal 31
Oktober 2012 ini memutuskan:
1) Menjatuhkan sanksi berupa
Pemberhentian Tetap kepada Teradu selaku Ketua Panwaslu Provinsi DKI Jakarta
atas nama Ramdansyah dan keanggotaan Panwaslu Provinsi DKI Jakarta, terhitung
sejak dibacakannya Putusan ini.
2) Memerintahkan kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu)
untuk menindaklanjuti Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu ini sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menindaklanjuti putusan DKPP tersebut, Badan Pengawas Pemilihan
Umum (Bawaslu) mengadakan Rapat Pleno pada 2 November 2012. Bawaslu pun
menjatuhkan sanksi berupa Pemberhentian Tetap kepada Ramdansyah sebagai Anggota
Panwaslukada Provinsi DKI Jakarta dengan Surat Keputusan Bawaslu Nomor 712-KEP
TAHUN 2012 tertanggal 16 November 2012, tentang Pemberhentian Anggota Panitia
Pengawas Pemilihan Umum Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Dalam Rangka
Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta.
Padahal menurut Ramdansyah, Pemilukada Provinsi DKI Jakarta Tahun
2012 mendapatkan apresiasi dari berbagai kalangan. Presiden RI Soesilo Bambang
Yudhoyono menyatakan Pemilukada DKI Jakarta Tahun 2012 berjalan dengan baik dan
menjadi teladan. Pandangan positif dari Menteri Dalam Negeri yang diucapkan
dalam pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI terpilih 15 Oktober 2012.
Penilaian Positif juga datang dari sejumlah pengamat dan pakar, antara lain Sri
Budi Eko Wardani (Direktur Puskapol UI ) dan Siti Zuhro (Peneliti LIPI)
terhadap kinerja KPU dan Panwaslu DKI.
Fakta tersebut tentu bertentangan dengan Keputusan DKPP yang
menganggap penyelenggara tidak netral dan langsung memberhentikan ketua
merangkap anggota Panwaslu DKI secara permanen. “Keputusan DKPP ini
bertentangan dengan (pernyataan) Presiden RI, Menkominfo, Mendagri, pengamat,
maupun masyarakat yang memberikan penghargaan terhadap Penyelenggaraan
Pemilukada DKI Tahun 2012 yang berjalan baik dan lancar,” kata Ramdansyah dalam
persidangan Pendahuluan di MK, Selasa (2/4/2013) lalu.
Gugat Sifat Final dan Mengikat
Ramdansyah sangat keberatan dengan putusan DKPP yang final dan
mengikat. Sebab DKPP bukanlah kekuasaan kehakiman. DKPP juga bukan
penyelenggara Pemilu. Ramdansyah pun mengajukan permohonan ke MK bertanggal 28
Februari 2013. Permohonan diterima Kepaniteraan MK pada 4 Maret 2013
berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 100/PAN.MK/2013.
Kepaniteraan MK kemudian meregistrasi permohonan Ramdansyah dengan Nomor
31/PUU-XI/2013.
Sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum (UU Penyelenggara Pemilu) diujikan Ramdan ke MK.
Yaitu Pasal 28 ayat (3), Pasal 28 ayat (4), Pasal 100 ayat (4), Pasal 101 ayat
(1), Pasal 112 ayat (9), Pasal 112 ayat (10), Pasal 112 ayat (12), Pasal 112 ayat
(13), dan Pasal 113 ayat (2). Pasal-pasal tersebut berisi materi mengenai
pemberhentian yang diputus oleh DKPP. Menurut Ramdan, pasal-pasal yang diujikan
tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E ayat (1), Pasal 22E
ayat (5), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Pasal 112 ayat (10) UU Penyelenggara
Pemilu menyatakan, “Putusan DKPP berupa sanksi atau rehabilitasi diambil dalam
rapat pleno DKPP.”
Pasal 112 ayat (12) UU Penyelenggara
Pemilu menyatakan, “Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) bersifat final
dan mengikat.”
Dalam permohonan, Ramdansyah
mengambil posisi hukum (legal standing)
sebagai perseorangan WNI, mantan Ketua dan Anggota Panwaslu Pemilukada DKI
Jakarta yang menangani bidang hukum dan penanganan pelanggaran. Saat menjalani
profesi di Panwas ini, Ramdan telah menjalankan asas kepastian hukum yaitu
dengan meneruskan laporan dugaan pelanggaran Pemilukada DKI Jakarta yang bukan
kewenangannya. Semua dilakukan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Namun,
upaya Ramdan menjalankan amanat perintah UU, diganjar pemberhentian secara
permanen. Hal ini tentu menganggu asas kepastian hukum dan kepentingan
masyarakat, khususnya masyarakat yang melakukan pengaduan dan laporan kepada
Bawaslu/Panwaslu. Terlebih lagi, laporan dugaaan ketidaknetralan itu
berdasarkan bukti foto Ramdan dengan tim kampanye pasangan calon bersama
wartawan di Polda Metro Jaya. Sementara Putusan DKPP terhadap penyelenggara
Pemilu KPU DKI Jakarta Dahlia Umar terkait daftar pemilih tetap yang
berubah-ubah dan berpotensi kehilangan hak konstitusi warga Jakarta pada
Pemilukada DKI tahun 2012, Putusan DKPP hanya berupa surat peringatan tertulis.
“Jadi, di sini ada persoalan bahwa ketika saya menjalankan tugas sesuai dengan
kewenangan undang-undang, tapi kemudian berdasarkan bukti yang lemah kemudian
saya diberhentikan,” jelas Ramdan.
Padahal
dalam persidangan DKPP Ramdan sudah menjelaskan semua tuduhan terkait
ketidaknetralan adalah tidak benar. Semua berkas laporan ditindaklanjuti dan
dikaji oleh Panwaslu Provinsi DKI, termasuk iklan APPSI yang dilaporkan oleh
Tim Foke-Nara maupun laporan dari Tim Jokowi-Basuki.
Pemberhentian
sebagai anggota dan Ketua Panwaslu Provinsi DKI Jakarta telah merenggut hak
konstitusional Ramdan sebagai warga negara untuk mendaftar menjadi
penyelenggara Pemilu/Pemilukada. Akibat pemberhentian ini, Ramdan kesulitan
dalam beraktivitas. Misalnya saat ia mengajukan diri sebagai pengajar di sebuah
universitas swasta, pihak universitas menanyakan status putusan DKPP. “Ketika
mau mengajar di sebuah universitas swasta, ternyata saya juga ditolak karena
dipertanyakan terkait dengan proses pemberhentian DKPP itu. Sehingga tidak ada
upaya hukum lainnya yang bisa menjelaskan terkait dengan pemberhentian oleh
DKPP, sehingga saya mencoba mengajukan judicial review kepada Mahkamah
Konstitusi,” kata Ramdan menerangkan kerugian konstitusionalnya.
Selain itu, norma dalam UU Penyelenggara Pemilu yang menurut
Ramdan bermasalah tersebut, dapat menyebabkan terganggunya kinerja
penyelenggara Pemilu baik Bawaslu dan jajarannya dan KPU beserta jajarannya.
Akibat selanjutnya yaitu terhambatnya penyelenggaraan Pemilu, serta menimbulkan
ketidakpastian hukum terhadap tugas dan kewenangan Bawaslu, KPU dan jajarannya.
Elemen Pendukung
Ramdansyah berdalil, dalam sistem ketatanegaraan RI, DKPP bukanlah
merupakan penyelenggara Pemilu seperti KPU dan Bawaslu yang dinyatakan tegas di
dalam Pasal 1 angka 5 UU Penyelenggara Pemilu. Posisi DKPP hanyalah sebagai suporting
element/auxiliary organ dalam fungsi penyelenggaraan Pemilu, yakni untuk
menegakkan martabat, keluhuran, dan Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Hal ini
dinyatakan di dalam Pasal 1 angka 22 UU Penyelenggara Pemilu yang menyatakan,
“Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, selanjutnya disingkat DKPP, adalah
lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu dan
merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu.”
Penyelenggara Pemilu sebagai lembaga terhormat harus dijaga
kehormatannya melalui sebuah lembaga pendukung (supporting organ) yaitu
DKPP, untuk menegakkan kehormatan penyelenggara Pemilu. Sebagai lembaga penegak
kehormatan penyelenggara Pemilu, kewenangan DKPP dalam UU seharusnya
memperhatikan kewenangan yang dimiliki oleh penyelenggara Pemilu yakni
kewenangan pembinaan dan supervisi yang dimiliki KPU dan Bawaslu terhadap
jajarannya di tingkat bawah.
Kewenangan pembinaan dan supervisi yang dimiliki KPU dan Bawaslu
telah dinegasikan dengan adanya putusan DKPP yang bersifat final. Padahal
keberadaan penyelenggara Pemilu di tingkat provinsi, kabupaten/kota sampai di
lapangan, diangkat oleh penyelenggara Pemilu setingkat di atasnya. “Kewenangan
DKPP sebagai lembaga etik itu tidak bisa lebih dari kewenangan Badan Pengawas
Pemilu atau pun KPU,” dalil Ramdan.
UU Penyelenggara Pemilu sudah jelas dan tegas menempatkan DKPP
sebagai lembaga pembinaan eksternal terhadap jajaran penyelenggara Pemilu.
Lembaga pembinaan eksternal tidak seharusnya diberikan kewenangan untuk memutus
dengan putusan yang bersifat final sehingga menegasikan kewenangan pembinaan
dan supervisi yang dimiliki oleh Bawaslu dan KPU sebagaimana dimaksud di dalam
UU Penyelenggara Pemilu. Fungsi pembinaan dan supervisi yang dinegasikan di
sini adalah dalam proses pemberhentian jajaran penyelenggara Pemilu yang
diangkat oleh Bawaslu dan KPU. Jajaran penyelenggara Pemilu diangkat melalui
suatu keputusan yang diputuskan di dalam rapat pleno Bawaslu dan KPU, namun
pemberhentiannya tidak melalui rapat pleno Bawaslu dan KPU melainkan oleh DKPP
dengan putusan bersifat final.
Bukan Kekuasaan Kehakiman
Ramdansyah juga berdalil bahwa DKPP bukanlah lembaga yang
menjalankan kekuasaan kehakiman. Begitu pula, DKPP tidak tepat apabila
dikatakan sebagai badan lain yang menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman.
Sebab, “badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
diatur dalam undang-undang” adalah badan badan lain yang berkaitan fungsinya dengan
badan peradilan yaitu kejaksaan atau kepolisian sebagai badan penuntut atau
penyidik. “Kekuasaan kehakiman itu tidak pernah menyebutkan, misalkan DKPP
sebagai lembaga peradilan,” terang Ramdan.
Dengan demikian, sangat tidak tepat apabila karakteristik putusan
DKPP sama dengan putusan lembaga peradilan yang bersifat final dan mengikat.
Menurut Ramdan, seharusnya DKPP tidak membuat putusan melainkan sebatas
rekomendasi.
Sangat tidak tepat jika putusan DKPP bersifat final dan mengikat.
Sebab faktanya Putusan DKPP dalam menjatuhkan sanksi pemberhentian tidaklah
bersifat final karena masih harus ditindaklanjuti dengan Keputusan Bawaslu dan
KPU. Putusan DKPP sangat mendekati sifatnya dengan Keputusan Tata Usaha Negara
(TUN) yang masih memerlukan persetujuan sebagaimana dimaksud Pasal 2 huruf c
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Sifat final dalam sebuah putusan pengadilan dengan Keputusan
Pejabat TUN merupakan hal yang berbeda. Dalam putusan pengadilan, sifat final
dimaknai tidak adanya upaya hukum yang bisa dilakukan terhadap putusan. Sifat
final dalam putusan pengadilan juga tidak memerlukan persetujuan lebih lanjut
dan bisa langsung dieksekusi. Sedangkan Putusan DKPP tidak dapat langsung
dieksekusi tanpa adanya Keputusan Bawaslu dan KPU.
Pertanggungjawaban hukum terhadap Putusan DKPP yang bersifat final
dan mengikat pun tidak dapat dilakukan. Sebab, yang dapat dimintai
pertanggungjawaban secara Hukum Administrasi Negara di Peradilan Tata Usaha
Negara adalah Keputusan KPU atau Keputusan Bawaslu yang melaksanakan Putusan
DKPP untuk memberhentikan jajaran KPU dan Bawaslu yang menjadi objek gugatan di
peradilan TUN.
Menurut Ramdan, pertanggungjawaban putusan DKPP yang bersifat
final dan mengikat hanya kepada Tuhan dan tidak terdapat mekanisme check and
balances di dalamnya. Akibatnya, DKPP dalam memutus dapat bertindak melampaui
wewenang dan melebihi tuntutan (ultra petita). Keputusan DKPP yang melampaui
kewenangannya sudah pernah dieksaminasi oleh sejumlah pihak. Saldi Isra, Refly
Harun dan Titi Anggraini melakukan eksaminasi Putusan DKPP Nomor
25-26/DKPP/PKE-I/2012.
Eksistensi Komisi Etik
Keberadaan komisi etik di Indonesia tidak bisa dilepaskan
perkembangannya dari semangat reformasi yang menghendaki adanya alat kontrol
terhadap kinerja penyelenggara negara. Setidaknya ada beberapa komisi etik yang
lahir pasca reformasi seperti Komisi Yudisial (KY), Majelis Kehormatan Hakim
Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi, Majelis Kehormatan Hakim pada Mahkamah
Agung, Badan Kehormatan (BK) DPR, Komisi Etik KPK, Komisi Kejaksaan, dan
lain-lain.
Sebagai perbandingan, dalam proses pemberhentian hakim yang
dilakukan oleh KY tidak serta merta hanya KY yang memutus melainkan harus
melibatkan MA. Artinya Putusan KY tidak final. Sifat Putusan Komisi Yudisial
adalah usulan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 22D ayat
(1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY) yang menyatakan, “Dalam hal
dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim dinyatakan
terbukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22C huruf a, Komisi Yudisial
mengusulkan penjatuhan sanksi terhadap Hakim yang diduga melakukan pelanggaran
kepada Mahkamah Agung.”
Kemudian usulan pemberhentian hakim tersebut ditindaklanjuti
dengan membentuk majelis kehormatan hakim yang terdiri dari unsur MA. Pasal 22F
UU KY menyatakan, “Majelis Kehormatan Hakim memeriksa dan memutus adanya dugaan
pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim yang diusulkan oleh
Komisi Yudisial atau Mahkamah Agung dalam waktu paling lama 60 (enam puluh)
hari terhitung sejak tanggal usulan diterima.”
Apabila pembelaan diri hakim ditolak oleh Majelis Kehormatan
Hakim, Majelis Kehormatan Hakim menyampaikan usul pemberhentian kepada Ketua
MA. Hal ini dinyatakan di dalam Pasal 11A ayat (10) Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahhkamah Agung (UU MA) yang menyatakan, ”Dalam hal pembelaan diri sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) ditolak, Majelis Kehormatan Hakim menyampaikan keputusan
usul pemberhentian kepada Ketua Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial paling lama
7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal pemeriksaan selesai.”
Begitu pula dalam proses penegakan kode etik hakim konstitusi di
Mahkamah Konstitusi pun melibatkan lembaga Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi.
Putusan dari Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi bersifat rekomendasi.
Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah
Konstitusi menyatakan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi adalah perangkat
yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi untuk memantau, memeriksa dan
merekomendasikan tindakan terhadap Hakim Konstitusi, yang diduga melanggar Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi.
Kemudian di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga ada Dewan
Kehormatan Kode Etik BPK. Dewan etik BPK ini dalam menjatuhkan sanksi etik
kepada Anggota BPK hanya bersifat usulan/rekomendasi sebagaimana dimaksud di
dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan juncto
Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 1 Tahun 2011 tentang Majelis
Kehormatan Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan.
Tak satupun dari ketiga Komisi Etik/Majelis Etik/Dewan Kehormatan
dari tiga lembaga tersebut yang mempunyai putusan yang bersifat final dan
mengikat. Pemberhentian hakim di Mahkamah Agung, pemberhentian Hakim Konstitusi
pada Mahkamah Konstitusi, dan pemberhentian Anggota BPK oleh Komisi
Etik/Majelis Etik/Dewan Kehormatan hanya berupa rekomendasi/usulan
pemberhentian.
Bahwa untuk menjaga muruah atau kewibawaan lembaga DKPP sebagai
lembaga penjaga dan penegak kode etik penyelenggara Pemilu, usulan atau
rekomendasi DKPP haruslah bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan oleh penyelenggara
Pemilu. Sehingga penyelenggara Pemilu tidak dapat membuat keputusan
pemberhentian di luar dari rekomendasi yang telah dijatuhkan oleh DKPP.
Final dan Mengikat bagi Presiden, KPU, dan Bawaslu
Penyelenggara peradilan di Indonesia terdiri dari Mahkamah Agung
(MA) dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan Mahkamah Konstitusi (MK). DKPP tidak termasuk
dalam pengadilan khusus yang masuk dalam salah satu lingkungan peradilan di
bawah MA sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 27
ayat (1) UU 48/2009 serta tidak termasuk pula sebagai salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman.
Mengenai posisi DKPP, Mahkamah pernah mengeluarkan pertimbangan
hukum. Yakni pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 115/PHPU.D-XII/2013
ihwal sengketa perselisihan hasil Pemilukada Kota Tangerang yang menegaskan,
“DKPP adalah organ tata usaha negara yang bukan merupakan lembaga peradilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 UUD 1945 yang memiliki kekuasaan yang
merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan.”
Menurut Mahkamah, objek perkara yang ditangani DKPP terbatas hanya
kepada perilaku (etika) pribadi atau orang perseorangan pejabat atau petugas
penyelenggara Pemilu. Keberadaan DKPP sebagai lembaga etik yang menangani
pelanggaran kode etik yang dilakukan penyelenggara Pemilu diperlukan dalam
upaya mengawal terselenggaranya Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil. Hal ini selengkapnya tertuang dalam ketentuan Pasal 1 angka
22, Pasal 109 ayat (2) UU Penyelenggara Pemilu.
Mahkamah berpendapat DKPP memiliki wewenang untuk memberikan
putusan atas ada atau tidak adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh
penyelenggara Pemilu beserta sanksi yang dapat dijatuhkan kepada penyelenggara
Pemilu tanpa dapat dipengaruhi oleh lembaga manapun, termasuk Presiden, KPU,
maupun Bawaslu. Hal tersebut merupakan wujud dari independensi dan kemandirian
DKPP sebagai salah satu lembaga yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan
Pemilu.
Adapun mengenai sanksi yang diputuskan oleh DKPP adalah sanksi
pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh pejabat atau perseorangan
penyelenggara Pemilu. Putusan DKPP bersifat final dan mengikat bagi Presiden,
KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu. Tindak lanjut keputusan
DKPP yang dilakukan oleh Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota,
maupun Bawaslu adalah keputusan pejabat tata usaha negara (TUN) yang
melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
bersifat individual, konkrit, dan final. “Oleh karena itu hanya keputusan
Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu tersebut yang
dapat menjadi objek gugatan di peradilan TUN,” kata Hakim Konstitusi Ahmad
Fadlil Sumadi membacakan Pendapat Mahkamah dalam Putusan Nomor 31/PUU-XI/2013,
Kamis (3/4/2014) di MK.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, Putusan DKPP
yang bersifat final dan mengikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (12)
UU Penyelenggara Pemilu dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab timbul
pertanyaan apakah final dan mengikat yang dimaksud dalam UU tersebut adalah
sama dengan putusan lembaga peradilan.
Untuk menghindari ketidakpastian hukum tersebut, Mahkamah
menegaskan bahwa putusan final dan mengikat DKPP tidak dapat disamakan dengan
putusan final dan mengikat dari lembaga peradilan pada umumnya. Sebab DKPP
adalah perangkat internal penyelenggara Pemilu yang diberi wewenang oleh UU.
Sifat final dan mengikat dari putusan DKPP haruslah dimaknai final dan mengikat
bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu dalam
melaksanakan putusan DKPP. Adapun keputusan Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU
Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu adalah merupakan keputusan pejabat TUN yang
bersifat konkrit, individual, dan final yang dapat menjadi objek gugatan di
peradilan TUN.
Kemudian, apakah peradilan TUN akan
memeriksa dan menilai kembali putusan DKPP yang menjadi dasar keputusan
Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu, hal tersebut
adalah merupakan kewenangan peradilan TUN. “Dengan demikian putusan final dan
mengikat yang dimaksud dalam Undang-Undang a quo haruslah dimaknai final dan
mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu
yang melaksanakan Putusan DKPP,” lanjut Ahmad Fadlil Sumadi.
Walhasil, Mahkamah dalam amar
putusan mengabulkan sebagian permohonan Ramdansyah. “Mengabulkan Permohonan
Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Hamdan Zoelva dalam sidang pengucapan
Putusan Nomor 31/PUU-XI/2013, Kamis (3/4/2014) di MK.
Mahkamah menyatakan frasa “bersifat
final dan mengikat” dalam Pasal 112 ayat (12) UU Penyelenggara Pemilu (Lembaran
Negara RI Tahun 2011 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5246) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat,
sepanjang tidak dimaknai, “Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) bersifat
final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu.”
Petikan Amar Putusan Nomor 31/PUU-XI/2013
1. Mengabulkan Permohonan Pemohon untuk sebagian,
yaitu:
1.1. Frasa “bersifat final dan mengikat” dalam Pasal
112 ayat (12) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan
Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 101, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5246) bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak
dimaknai, “Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) bersifat final dan
mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu”;
1.2.
Frasa “bersifat final dan mengikat” dalam Pasal 112 ayat (12) Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5246) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak
dimaknai, “Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) bersifat final dan
mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu”;
2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam
Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
3. Menolak
permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
Ikhtilaf Pendapat
Suparji
Putusan DKPP Hendaknya Bersifat Rekomendasi
Secara struktural, DKPP tidak lebih tinggi dari KPU dan Bawaslu, karena pengawasan terhadap KPU itu dilakukan oleh Bawaslu dan DPR. DKPP bukan lembaga peradilan baru yang lebih tinggi dari yang lain. Ditinjau dari fungsi kelembagaannya, DKPP adalah lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dan merupakan satu-kesatuan fungsi penyelenggara pemilu.
Ditinjau dari fungsi kelembagaannya, DKPP adalah lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu dan merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu. DKPP merupakan lembaga pembina eksternal dan bukan pelaku kekuasaan kehakiman. Sebagai pembina eksternal, DKPP merupakan lembaga yang ditujukan menjaga keluhuran serta martabat penyelenggara Pemilu. “Maka putusan DKPP hendaknya bersifat rekomendasi, bukan final dan mengikat,” kata Suparji saat bertindak sebagai ahli di persidangan MK, Rabu (29/5/2013).Putusan tersebut hendaknya menyediakan upaya hukum yang lain. Sebab pada umumnya, lembaga kode etik di Indonesia keputusannya tidak bersifat final dan wajib dilaksanakan. “Tetapi memberikan rekomendasi dan pelaksanaannya tergantung dari lembaga yang berwenang,” tegasnya.
Denny Iskandar
Ramdan Jalankan Kewajiban
Saat Pemilukada Jakarta 2012, Denny menjadi Tim Kampanye Pasangan Jokowi-Basuki. Denny ditugaskan memenuhi panggilan klarifikasi Panwaslu DKI atas nama Pasangan Jokowi-Basuki. APPSI selaku pihak yang memasang iklan, juga turut dipanggil. “Ini adalah langkah prosedural yang menjadi kewajiban bagi ketua Panwaslu,” kata Denny Iskandar saat bersaksi untuk Ramdansyah, dalam persidangan di MK, Rabu (29/5/2013).Ketua Panwaslu DKI Jakarta, Ramdansyah, dilaporkan tidak netral. Saat itu, Ramdan tengah melaporkan kasus iklan APPSI ke Polda Metro Jaya. Dalam bukti foto di media massa cetak, Ramdan berpose di sebelah Tim Kampanye Foke-Nara dan para wartawan.
Apa yang dilakukan Ramdansyah yaitu meneruskan suatu peristiwa hukum sesuai laporan tim kampanye dari Pasangan Foke-Nara ke Polda Metro Jaya (Gakkumdu), itu merupakan kewajiban penyelenggara Pemilu. “Kalau yang bersangkutan tidak meneruskan peristiwa hukum ini, saya yakin tim Fauzi Bowo-Nachrowi akan menyeret Ketua Panwaslu DKI ke DKPP,” tegasnya.
Alamsyah Mahmud Gayo
Apresiasi Pemilukada DKI
Penyelenggaraan Pemilukada DKI Jakarta Tahun 2012 berjalan lancar. Partisipasi Panwaslu DKI dalam menyukseskan Pemilu sangatlah signifikan. Hal ini terlihat dalam penyelesaian kasus Daftar Pemilih Tetap (DPT). Banyak pemilih yang tidak dapat menggunakan haknya pada putaran pertama, tetapi kemudian dapat memilih pada putaran kedua, setelah Panwaslu DKI mendorong KPUD DKI untuk membuka posko pendaftaran DPT untuk memperbaiki DPT yang dianggap kurang baik oleh DKPP. Belum lagi, upaya Panwaslu DKI dalam mencegah potensi konflik ke dalam isu SARA, yang dapat muncul di DKI Jakarta.
Pemilukada DKI Jakarta Tahun 2012 mendapatkan apresiasi dari berbagai kalangan secara, baik dari Presiden, Mendagri, Menkopolhukam, bahkan dari kalangan pengamat politik. “Kami pun memberikan apresiasi kepada penyelenggara pemilu, baik KPU dan Panwaslu DKI,” kata Kepala Bidang Pengembangan Demokrasi Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) DKI Jakarta, Alamsyah Mahmud Gayo, dalam persidangan MK, Senin (17/6/2013).Namun, patut disayangkan, DKPP mengeluarkan putusan pemberhentian Ketua Panwaslu DKI Jakarta, Ramdansyah. “Saya tidak melihat Saudara Ramdansyah melakukan pelanggaran atau berat sebelah kepada salah satu pasangan calon. Sehingga wajar jika yang bersangkutan mendapat apresiasi dari banyak pihak,” tegas Alamsyah.
Pemerintah
Putusan DKPP Final Mengikat dan Wajib DIlaksanakan
Kalimat "suatu komisi pemilihan umum" dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 tidak merujuk kepada sebuah nama institusi. Tetapi menunjuk pada fungsi penyelenggaraan Pemilu yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Dengan demikian, fungsi penyelenggaraan Pemilu tidak hanya dilaksanakan oleh KPU, tetapi termasuk juga lembaga pengawas pemilihan umum dalam hal ini Bawaslu. “Dalam penyelenggaraan Pemilu tersebut terdapat pula Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, sebagai lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu yang merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu,” kata Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Politik, Hukum, dan Hubungan Antar Lembaga, Reydonnyzar Moenek, saat menyampaikan keterangan Pemerintah dalam persidangan di MK, Selasa (7/5/2013).
Putusan DKPP berupa sanksi atau rehabilitasi diambil dalam rapat pleno DKPP. “Sanksi dapat berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara, atau pemberhentian tetap yang putusannya bersifat final dan mengikat dan wajib dilaksanakan oleh penyelenggara Pemilu.” Lanjut Donny Moenek.DKPP tidak memutuskan secara administrasi pemberhentian anggota penyelenggara Pemilu yang melanggar kode etik, tetapi keputusan DKPP tersebut wajib ditindaklanjuti dalam bentuk surat keputusan penyelenggara pemilu. “Putusan DKPP tersebut tidak bersifat ultra petita karena merupakan kewenangan DKPP yang diberikan oleh UU dalam memutus dugaan pelanggaran etika yang dilakukan penyelenggara Pemilu,” tegas Donny.
DPR
Putusan DKPP Jamin Kepastian Hukum
UU Penyelenggara Pemilu lebih menjamin kepastian hukum seseorang terkait persoalan etika yang diberikan kewenangan oleh UU untuk diselesaikan oleh DKPP. Putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat menjamin kepastian hukum dan kepastian waktu penyelesaian mengingat Pemilu memiliki rangkaian tahapan dan program yang memiliki sekuens waktu tertentu yang pasti. “Putusannya yang bersifat final dan mengikat menjamin kepastian hukum,” kata Anggota Komisi III DPR, Yahdil Harahap dalam persidangan MK, Rabu (29/5/2013)Dalam UU Penyelenggara Pemilu, pembentuk UU memberikan kewenangan kepada DKPP sebagai lembaga quasi yudicial terutama bidang pelanggaran kode etik untuk membuat putusan yang bersifat final dan mengikat. Hal ini merupakan pilihan kebijakan hukum (legal policy) yang tidak dapat diuji, kecuali dilakukan secara sewenang-wenang (willekeur) dan melampaui kewenangan pembuat Undang-Undang (detournement de pouvoir). Dengan perkataan lain, kebijakan tersebut menjadi kewenangan pembuat UU dalam hal ini Presiden bersama DPR. “Kebijakan yang demikian menjadi kewenangan pembuat undang-undang,” tegasnya.
DKPP
Hormati Putusan MK
DKPP pada 25 April 2013 menyampaikan surat ke MK. Surat bernomor 501/DKPP/IV/2013 perihal Sidang Pleno tentang Pengujian UU Nomor 15 Tahun 2011, menyatakan bahwa DKPP mengucapkan terima kasih kepada MK yang memberi kesempatan kepada DKPP untuk memberi keterangan dalam sidang pleno uji materi UU Penyelenggara Pemilu.Sebagai lembaga pelaksana UU, DKPP menyatakan akan menghormati dan melaksanakan apa yang diputuskan terkait UU, baik oleh lembaga pembentuk UU maupun oleh MK. Oleh karena itu, DKPP memandang tidak perlu melibatkan diri dalam pengujian UU Penyelenggara Pemilu ini. DKPP mempercayakan sepenuhnya kepada kearifan Majelis Hakim MK yang memeriksa dan memutus perkara tersebut.
Bawaslu
Menjalankan Putusan DKPP
Bawaslu pada 16 Oktober 2012 memberikan penghargaan kepada Panwaslu DKI Jakarta atas kinerja pengawasan Pemilukada DKI Jakarta. Sebulan kemudian, pada 16 November 2012 Bawaslu memberhentikan Ramdansyah. Pemberhentian ini semata-mata untuk menjalankan putusan DKPP. “Semata-mata untuk menjalankan putusan DKPP Nomor 15/DKPP-PKE-I/2012,” kata Anggota Bawaslu Divisi Hukum dan Penindakan Pelanggaran, Endang Wihdatiningtyas, dalam persidangan MK, Selasa (7/5/2013).Dengan demikian, Bawaslu telah menjalankan ketentuan Pasal 112 ayat (13) juncto ayat (10) juncto ayat (12) UU Penyelenggara Pemilu. “Bawaslu wajib menjalankan keputusan DKPP yang bersifat final dan mengikat,” lanjut Endang.
Surat Keputusan Bawaslu Nomor 712/Kep Tahun 2012 tentang Pemberhentian Anggota Panwaslu DKI Jakarta, Ramdansyah, tertanggal 16 November 2012, tidak cacat hukum “Secara prosedur/formal, dan secara materiil/substansial adalah tidak mengandung cacat hukum dan telah dikeluarkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, serta tidak bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik,” tegasnya.
Nur Rosihin Ana, Laporan Utama Majalah Konstitus Edisi Mei 2014. klik di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar