Jumat, 16 Mei 2014

Meluruskan Putusan DKPP

Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang bersifat final dan mengikat adalah tidak tepat sebagaimana layaknyaputusan lembaga peradilan. DKPP tidak termasuk dalam salah satu lingkungan peradilan di bawah MA. DKPP juga bukan lembaga pemegang kekuasaan Kehakiman.
Berawal dari adanya iklan Asosiasi Pedagang Pasar Indonesia (APPSI) dalam Pemilukada DKI Jakarta Tahun 2012. APPSI dalam iklannya memberikan dukungan kepada pasangan calon gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Basuki). Iklan disiarkan secara serentak pada 27 Agustus 2012 melalui beberapa stasiun televisi nasional. Kubu pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara) pun bereaksi. Sebab, iklan tayang di luar jam kampanye. Foke-Nara melaporkan kasus ini ke Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) DKI Jakarta. Selanjutnya laporan diteruskan ke aparat yang berwenang yaitu ke Polda Metro Jaya.
Saat melapor ke Polda Metro Jaya inilah, tim Foke-Nara didampingi oleh Ramdansyah yang kala itu menjabat Ketua Panwaslu DKI Jakarta. Keberadaan Ramdansyah ini sontak mengundang protes tim pasangan Jokowi-Basuki. Ramdansyah dinilai tidak netral dan melanggar kode etik.
Buntutnya, pada 10 Oktober 2012, Ramdansyah diadukan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Pengaduan diajukan oleh Sufni Dasco Ahmad dari Partai Gerindra Jakarta yang memberi Kuasa Khusus kepada Pengadu M. Said Bakhri.
Singkatnya, DKPP memberhentikan Ramdansyah melalui Putusan Nomor 15/DKPP-PKE-I/2012. Amar Putusan DKPP Rl Nomor 15/DKPP-PKE-I/2012 tertanggal 31 Oktober 2012 ini memutuskan:
1)  Menjatuhkan sanksi berupa Pemberhentian Tetap kepada Teradu selaku Ketua Panwaslu Provinsi DKI Jakarta atas nama Ramdansyah dan keanggotaan Panwaslu Provinsi DKI Jakarta, terhitung sejak dibacakannya Putusan ini.
2) Memerintahkan kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) untuk menindaklanjuti Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu ini sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menindaklanjuti putusan DKPP tersebut, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mengadakan Rapat Pleno pada 2 November 2012. Bawaslu pun menjatuhkan sanksi berupa Pemberhentian Tetap kepada Ramdansyah sebagai Anggota Panwaslukada Provinsi DKI Jakarta dengan Surat Keputusan Bawaslu Nomor 712-KEP TAHUN 2012 tertanggal 16 November 2012, tentang Pemberhentian Anggota Panitia Pengawas Pemilihan Umum Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Dalam Rangka Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Padahal menurut Ramdansyah, Pemilukada Provinsi DKI Jakarta Tahun 2012 mendapatkan apresiasi dari berbagai kalangan. Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono menyatakan Pemilukada DKI Jakarta Tahun 2012 berjalan dengan baik dan menjadi teladan. Pandangan positif dari Menteri Dalam Negeri yang diucapkan dalam pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI terpilih 15 Oktober 2012. Penilaian Positif juga datang dari sejumlah pengamat dan pakar, antara lain Sri Budi Eko Wardani (Direktur Puskapol UI ) dan Siti Zuhro (Peneliti LIPI) terhadap kinerja KPU dan Panwaslu DKI.
Fakta tersebut tentu bertentangan dengan Keputusan DKPP yang menganggap penyelenggara tidak netral dan langsung memberhentikan ketua merangkap anggota Panwaslu DKI secara permanen. “Keputusan DKPP ini bertentangan dengan (pernyataan) Presiden RI, Menkominfo, Mendagri, pengamat, maupun masyarakat yang memberikan penghargaan terhadap Penyelenggaraan Pemilukada DKI Tahun 2012 yang berjalan baik dan lancar,” kata Ramdansyah dalam persidangan Pendahuluan di MK, Selasa (2/4/2013) lalu.

Gugat Sifat Final dan Mengikat
Ramdansyah sangat keberatan dengan putusan DKPP yang final dan mengikat. Sebab DKPP bukanlah kekuasaan kehakiman. DKPP juga bukan penyelenggara Pemilu. Ramdansyah pun mengajukan permohonan ke MK bertanggal 28 Februari 2013. Permohonan diterima Kepaniteraan MK pada 4 Maret 2013 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 100/PAN.MK/2013. Kepaniteraan MK kemudian meregistrasi permohonan Ramdansyah dengan Nomor 31/PUU-XI/2013.
Sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (UU Penyelenggara Pemilu) diujikan Ramdan ke MK. Yaitu Pasal 28 ayat (3), Pasal 28 ayat (4), Pasal 100 ayat (4), Pasal 101 ayat (1), Pasal 112 ayat (9), Pasal 112 ayat (10), Pasal 112 ayat (12), Pasal 112 ayat (13), dan Pasal 113 ayat (2). Pasal-pasal tersebut berisi materi mengenai pemberhentian yang diputus oleh DKPP. Menurut Ramdan, pasal-pasal yang diujikan tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E ayat (1), Pasal 22E ayat (5), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Pasal 112 ayat (10) UU Penyelenggara Pemilu menyatakan, “Putusan DKPP berupa sanksi atau rehabilitasi diambil dalam rapat pleno DKPP.”
Pasal 112 ayat (12) UU Penyelenggara Pemilu menyatakan, “Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) bersifat final dan mengikat.”
Dalam permohonan, Ramdansyah mengambil posisi hukum (legal standing) sebagai perseorangan WNI, mantan Ketua dan Anggota Panwaslu Pemilukada DKI Jakarta yang menangani bidang hukum dan penanganan pelanggaran. Saat menjalani profesi di Panwas ini, Ramdan telah menjalankan asas kepastian hukum yaitu dengan meneruskan laporan dugaan pelanggaran Pemilukada DKI Jakarta yang bukan kewenangannya. Semua dilakukan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Namun, upaya Ramdan menjalankan amanat perintah UU, diganjar pemberhentian secara permanen. Hal ini tentu menganggu asas kepastian hukum dan kepentingan masyarakat, khususnya masyarakat yang melakukan pengaduan dan laporan kepada Bawaslu/Panwaslu. Terlebih lagi, laporan dugaaan ketidaknetralan itu berdasarkan bukti foto Ramdan dengan tim kampanye pasangan calon bersama wartawan di Polda Metro Jaya. Sementara Putusan DKPP terhadap penyelenggara Pemilu KPU DKI Jakarta Dahlia Umar terkait daftar pemilih tetap yang berubah-ubah dan berpotensi kehilangan hak konstitusi warga Jakarta pada Pemilukada DKI tahun 2012, Putusan DKPP hanya berupa surat peringatan tertulis. “Jadi, di sini ada persoalan bahwa ketika saya menjalankan tugas sesuai dengan kewenangan undang-undang, tapi kemudian berdasarkan bukti yang lemah kemudian saya diberhentikan,” jelas Ramdan.
Padahal dalam persidangan DKPP Ramdan sudah menjelaskan semua tuduhan terkait ketidaknetralan adalah tidak benar. Semua berkas laporan ditindaklanjuti dan dikaji oleh Panwaslu Provinsi DKI, termasuk iklan APPSI yang dilaporkan oleh Tim Foke-Nara maupun laporan dari Tim Jokowi-Basuki.
Pemberhentian sebagai anggota dan Ketua Panwaslu Provinsi DKI Jakarta telah merenggut hak konstitusional Ramdan sebagai warga negara untuk mendaftar menjadi penyelenggara Pemilu/Pemilukada. Akibat pemberhentian ini, Ramdan kesulitan dalam beraktivitas. Misalnya saat ia mengajukan diri sebagai pengajar di sebuah universitas swasta, pihak universitas menanyakan status putusan DKPP. “Ketika mau mengajar di sebuah universitas swasta, ternyata saya juga ditolak karena dipertanyakan terkait dengan proses pemberhentian DKPP itu. Sehingga tidak ada upaya hukum lainnya yang bisa menjelaskan terkait dengan pemberhentian oleh DKPP, sehingga saya mencoba mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi,” kata Ramdan menerangkan kerugian konstitusionalnya.
Selain itu, norma dalam UU Penyelenggara Pemilu yang menurut Ramdan bermasalah tersebut, dapat menyebabkan terganggunya kinerja penyelenggara Pemilu baik Bawaslu dan jajarannya dan KPU beserta jajarannya. Akibat selanjutnya yaitu terhambatnya penyelenggaraan Pemilu, serta menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap tugas dan kewenangan Bawaslu, KPU dan jajarannya.

Elemen Pendukung
Ramdansyah berdalil, dalam sistem ketatanegaraan RI, DKPP bukanlah merupakan penyelenggara Pemilu seperti KPU dan Bawaslu yang dinyatakan tegas di dalam Pasal 1 angka 5 UU Penyelenggara Pemilu. Posisi DKPP hanyalah sebagai suporting element/auxiliary organ dalam fungsi penyelenggaraan Pemilu, yakni untuk menegakkan martabat, keluhuran, dan Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Hal ini dinyatakan di dalam Pasal 1 angka 22 UU Penyelenggara Pemilu yang menyatakan, “Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, selanjutnya disingkat DKPP, adalah lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu dan merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu.”
Penyelenggara Pemilu sebagai lembaga terhormat harus dijaga kehormatannya melalui sebuah lembaga pendukung (supporting organ) yaitu DKPP, untuk menegakkan kehormatan penyelenggara Pemilu. Sebagai lembaga penegak kehormatan penyelenggara Pemilu, kewenangan DKPP dalam UU seharusnya memperhatikan kewenangan yang dimiliki oleh penyelenggara Pemilu yakni kewenangan pembinaan dan supervisi yang dimiliki KPU dan Bawaslu terhadap jajarannya di tingkat bawah.
Kewenangan pembinaan dan supervisi yang dimiliki KPU dan Bawaslu telah dinegasikan dengan adanya putusan DKPP yang bersifat final. Padahal keberadaan penyelenggara Pemilu di tingkat provinsi, kabupaten/kota sampai di lapangan, diangkat oleh penyelenggara Pemilu setingkat di atasnya. “Kewenangan DKPP sebagai lembaga etik itu tidak bisa lebih dari kewenangan Badan Pengawas Pemilu atau pun KPU,” dalil Ramdan.
UU Penyelenggara Pemilu sudah jelas dan tegas menempatkan DKPP sebagai lembaga pembinaan eksternal terhadap jajaran penyelenggara Pemilu. Lembaga pembinaan eksternal tidak seharusnya diberikan kewenangan untuk memutus dengan putusan yang bersifat final sehingga menegasikan kewenangan pembinaan dan supervisi yang dimiliki oleh Bawaslu dan KPU sebagaimana dimaksud di dalam UU Penyelenggara Pemilu. Fungsi pembinaan dan supervisi yang dinegasikan di sini adalah dalam proses pemberhentian jajaran penyelenggara Pemilu yang diangkat oleh Bawaslu dan KPU. Jajaran penyelenggara Pemilu diangkat melalui suatu keputusan yang diputuskan di dalam rapat pleno Bawaslu dan KPU, namun pemberhentiannya tidak melalui rapat pleno Bawaslu dan KPU melainkan oleh DKPP dengan putusan bersifat final.
Bukan Kekuasaan Kehakiman
Ramdansyah juga berdalil bahwa DKPP bukanlah lembaga yang menjalankan kekuasaan kehakiman. Begitu pula, DKPP tidak tepat apabila dikatakan sebagai badan lain yang menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman. Sebab, “badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang” adalah badan badan lain yang berkaitan fungsinya dengan badan peradilan yaitu kejaksaan atau kepolisian sebagai badan penuntut atau penyidik. “Kekuasaan kehakiman itu tidak pernah menyebutkan, misalkan DKPP sebagai lembaga peradilan,” terang Ramdan.
Dengan demikian, sangat tidak tepat apabila karakteristik putusan DKPP sama dengan putusan lembaga peradilan yang bersifat final dan mengikat. Menurut Ramdan, seharusnya DKPP tidak membuat putusan melainkan sebatas rekomendasi.
Sangat tidak tepat jika putusan DKPP bersifat final dan mengikat. Sebab faktanya Putusan DKPP dalam menjatuhkan sanksi pemberhentian tidaklah bersifat final karena masih harus ditindaklanjuti dengan Keputusan Bawaslu dan KPU. Putusan DKPP sangat mendekati sifatnya dengan Keputusan Tata Usaha Negara (TUN) yang masih memerlukan persetujuan sebagaimana dimaksud Pasal 2 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Sifat final dalam sebuah putusan pengadilan dengan Keputusan Pejabat TUN merupakan hal yang berbeda. Dalam putusan pengadilan, sifat final dimaknai tidak adanya upaya hukum yang bisa dilakukan terhadap putusan. Sifat final dalam putusan pengadilan juga tidak memerlukan persetujuan lebih lanjut dan bisa langsung dieksekusi. Sedangkan Putusan DKPP tidak dapat langsung dieksekusi tanpa adanya Keputusan Bawaslu dan KPU.
Pertanggungjawaban hukum terhadap Putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat pun tidak dapat dilakukan. Sebab, yang dapat dimintai pertanggungjawaban secara Hukum Administrasi Negara di Peradilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan KPU atau Keputusan Bawaslu yang melaksanakan Putusan DKPP untuk memberhentikan jajaran KPU dan Bawaslu yang menjadi objek gugatan di peradilan TUN.
Menurut Ramdan, pertanggungjawaban putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat hanya kepada Tuhan dan tidak terdapat mekanisme check and balances di dalamnya. Akibatnya, DKPP dalam memutus dapat bertindak melampaui wewenang dan melebihi tuntutan (ultra petita). Keputusan DKPP yang melampaui kewenangannya sudah pernah dieksaminasi oleh sejumlah pihak. Saldi Isra, Refly Harun dan Titi Anggraini melakukan eksaminasi Putusan DKPP Nomor 25-26/DKPP/PKE-I/2012.

Eksistensi Komisi Etik
Keberadaan komisi etik di Indonesia tidak bisa dilepaskan perkembangannya dari semangat reformasi yang menghendaki adanya alat kontrol terhadap kinerja penyelenggara negara. Setidaknya ada beberapa komisi etik yang lahir pasca reformasi seperti Komisi Yudisial (KY), Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi, Majelis Kehormatan Hakim pada Mahkamah Agung, Badan Kehormatan (BK) DPR, Komisi Etik KPK, Komisi Kejaksaan, dan lain-lain.
Sebagai perbandingan, dalam proses pemberhentian hakim yang dilakukan oleh KY tidak serta merta hanya KY yang memutus melainkan harus melibatkan MA. Artinya Putusan KY tidak final. Sifat Putusan Komisi Yudisial adalah usulan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 22D ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY) yang menyatakan, “Dalam hal dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim dinyatakan terbukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22C huruf a, Komisi Yudisial mengusulkan penjatuhan sanksi terhadap Hakim yang diduga melakukan pelanggaran kepada Mahkamah Agung.”
Kemudian usulan pemberhentian hakim tersebut ditindaklanjuti dengan membentuk majelis kehormatan hakim yang terdiri dari unsur MA. Pasal 22F UU KY menyatakan, “Majelis Kehormatan Hakim memeriksa dan memutus adanya dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim yang diusulkan oleh Komisi Yudisial atau Mahkamah Agung dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal usulan diterima.”
Apabila pembelaan diri hakim ditolak oleh Majelis Kehormatan Hakim, Majelis Kehormatan Hakim menyampaikan usul pemberhentian kepada Ketua MA. Hal ini dinyatakan di dalam Pasal 11A ayat (10) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahhkamah Agung (UU MA) yang menyatakan, ”Dalam hal pembelaan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditolak, Majelis Kehormatan Hakim menyampaikan keputusan usul pemberhentian kepada Ketua Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal pemeriksaan selesai.”
Begitu pula dalam proses penegakan kode etik hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi pun melibatkan lembaga Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi. Putusan dari Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi bersifat rekomendasi.
Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi adalah perangkat yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi untuk memantau, memeriksa dan merekomendasikan tindakan terhadap Hakim Konstitusi, yang diduga melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi.
Kemudian di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga ada Dewan Kehormatan Kode Etik BPK. Dewan etik BPK ini dalam menjatuhkan sanksi etik kepada Anggota BPK hanya bersifat usulan/rekomendasi sebagaimana dimaksud di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan juncto Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 1 Tahun 2011 tentang Majelis Kehormatan Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan.
Tak satupun dari ketiga Komisi Etik/Majelis Etik/Dewan Kehormatan dari tiga lembaga tersebut yang mempunyai putusan yang bersifat final dan mengikat. Pemberhentian hakim di Mahkamah Agung, pemberhentian Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi, dan pemberhentian Anggota BPK oleh Komisi Etik/Majelis Etik/Dewan Kehormatan hanya berupa rekomendasi/usulan pemberhentian.
Bahwa untuk menjaga muruah atau kewibawaan lembaga DKPP sebagai lembaga penjaga dan penegak kode etik penyelenggara Pemilu, usulan atau rekomendasi DKPP haruslah bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan oleh penyelenggara Pemilu. Sehingga penyelenggara Pemilu tidak dapat membuat keputusan pemberhentian di luar dari rekomendasi yang telah dijatuhkan oleh DKPP.

Final dan Mengikat bagi Presiden, KPU, dan Bawaslu
Penyelenggara peradilan di Indonesia terdiri dari Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan Mahkamah Konstitusi (MK). DKPP tidak termasuk dalam pengadilan khusus yang masuk dalam salah satu lingkungan peradilan di bawah MA sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 27 ayat (1) UU 48/2009 serta tidak termasuk pula sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman.
Mengenai posisi DKPP, Mahkamah pernah mengeluarkan pertimbangan hukum. Yakni pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 115/PHPU.D-XII/2013 ihwal sengketa perselisihan hasil Pemilukada Kota Tangerang yang menegaskan, “DKPP adalah organ tata usaha negara yang bukan merupakan lembaga peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 UUD 1945 yang memiliki kekuasaan yang merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan.”
Menurut Mahkamah, objek perkara yang ditangani DKPP terbatas hanya kepada perilaku (etika) pribadi atau orang perseorangan pejabat atau petugas penyelenggara Pemilu. Keberadaan DKPP sebagai lembaga etik yang menangani pelanggaran kode etik yang dilakukan penyelenggara Pemilu diperlukan dalam upaya mengawal terselenggaranya Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Hal ini selengkapnya tertuang dalam ketentuan Pasal 1 angka 22, Pasal 109 ayat (2) UU Penyelenggara Pemilu.
Mahkamah berpendapat DKPP memiliki wewenang untuk memberikan putusan atas ada atau tidak adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu beserta sanksi yang dapat dijatuhkan kepada penyelenggara Pemilu tanpa dapat dipengaruhi oleh lembaga manapun, termasuk Presiden, KPU, maupun Bawaslu. Hal tersebut merupakan wujud dari independensi dan kemandirian DKPP sebagai salah satu lembaga yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan Pemilu.
Adapun mengenai sanksi yang diputuskan oleh DKPP adalah sanksi pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh pejabat atau perseorangan penyelenggara Pemilu. Putusan DKPP bersifat final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu. Tindak lanjut keputusan DKPP yang dilakukan oleh Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu adalah keputusan pejabat tata usaha negara (TUN) yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang bersifat individual, konkrit, dan final. “Oleh karena itu hanya keputusan Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu tersebut yang dapat menjadi objek gugatan di peradilan TUN,” kata Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi membacakan Pendapat Mahkamah dalam Putusan Nomor 31/PUU-XI/2013, Kamis (3/4/2014) di MK.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, Putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (12) UU Penyelenggara Pemilu dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab timbul pertanyaan apakah final dan mengikat yang dimaksud dalam UU tersebut adalah sama dengan putusan lembaga peradilan.
Untuk menghindari ketidakpastian hukum tersebut, Mahkamah menegaskan bahwa putusan final dan mengikat DKPP tidak dapat disamakan dengan putusan final dan mengikat dari lembaga peradilan pada umumnya. Sebab DKPP adalah perangkat internal penyelenggara Pemilu yang diberi wewenang oleh UU. Sifat final dan mengikat dari putusan DKPP haruslah dimaknai final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu dalam melaksanakan putusan DKPP. Adapun keputusan Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu adalah merupakan keputusan pejabat TUN yang bersifat konkrit, individual, dan final yang dapat menjadi objek gugatan di peradilan TUN.

Kemudian, apakah peradilan TUN akan memeriksa dan menilai kembali putusan DKPP yang menjadi dasar keputusan Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu, hal tersebut adalah merupakan kewenangan peradilan TUN. “Dengan demikian putusan final dan mengikat yang dimaksud dalam Undang-Undang a quo haruslah dimaknai final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu yang melaksanakan Putusan DKPP,” lanjut Ahmad Fadlil Sumadi.
Walhasil, Mahkamah dalam amar putusan mengabulkan sebagian permohonan Ramdansyah. “Mengabulkan Permohonan Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Hamdan Zoelva dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 31/PUU-XI/2013, Kamis (3/4/2014) di MK.
Mahkamah menyatakan frasa “bersifat final dan mengikat” dalam Pasal 112 ayat (12) UU Penyelenggara Pemilu (Lembaran Negara RI Tahun 2011 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5246) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai, “Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) bersifat final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu.”

Petikan Amar Putusan Nomor 31/PUU-XI/2013
1.  Mengabulkan Permohonan Pemohon untuk sebagian, yaitu:
1.1. Frasa “bersifat final dan mengikat” dalam Pasal 112 ayat (12) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5246) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) bersifat final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu”;
1.2. Frasa “bersifat final dan mengikat” dalam Pasal 112 ayat (12) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5246) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) bersifat final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu”;
2.  Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
3.  Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;


Ikhtilaf Pendapat

Suparji
Putusan DKPP Hendaknya Bersifat Rekomendasi
Secara struktural, DKPP tidak lebih tinggi dari KPU dan Bawaslu, karena pengawasan terhadap KPU itu dilakukan oleh Bawaslu dan DPR. DKPP bukan lembaga peradilan baru yang lebih tinggi dari yang lain. Ditinjau dari fungsi kelembagaannya, DKPP adalah lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dan merupakan satu-kesatuan fungsi penyelenggara pemilu.
Ditinjau dari fungsi kelembagaannya, DKPP adalah lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu dan merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu. DKPP merupakan lembaga pembina eksternal dan bukan pelaku kekuasaan kehakiman. Sebagai pembina eksternal, DKPP merupakan lembaga yang ditujukan menjaga keluhuran serta martabat penyelenggara Pemilu. “Maka putusan DKPP hendaknya bersifat rekomendasi, bukan final dan mengikat,” kata Suparji saat bertindak sebagai ahli di persidangan MK, Rabu (29/5/2013).Putusan tersebut hendaknya menyediakan upaya hukum yang lain. Sebab pada umumnya, lembaga kode etik di Indonesia keputusannya tidak bersifat final dan wajib dilaksanakan. “Tetapi memberikan rekomendasi dan pelaksanaannya tergantung dari lembaga yang berwenang,” tegasnya.

Denny Iskandar
Ramdan Jalankan Kewajiban
Saat Pemilukada Jakarta 2012, Denny menjadi Tim Kampanye Pasangan Jokowi-Basuki. Denny ditugaskan memenuhi panggilan klarifikasi Panwaslu DKI atas nama Pasangan Jokowi-Basuki. APPSI selaku pihak yang memasang iklan, juga turut dipanggil. “Ini adalah langkah prosedural yang menjadi kewajiban bagi ketua Panwaslu,” kata Denny Iskandar saat bersaksi untuk Ramdansyah, dalam persidangan di MK, Rabu (29/5/2013).Ketua Panwaslu DKI Jakarta, Ramdansyah, dilaporkan tidak netral. Saat itu, Ramdan tengah melaporkan kasus iklan APPSI ke Polda Metro Jaya. Dalam bukti foto di media massa cetak, Ramdan berpose di sebelah Tim Kampanye Foke-Nara dan para wartawan.
Apa yang dilakukan Ramdansyah yaitu meneruskan suatu peristiwa hukum sesuai laporan tim kampanye dari Pasangan Foke-Nara ke Polda Metro Jaya (Gakkumdu), itu merupakan kewajiban penyelenggara Pemilu. “Kalau yang bersangkutan tidak meneruskan peristiwa hukum ini, saya yakin tim Fauzi Bowo-Nachrowi akan menyeret Ketua Panwaslu DKI ke DKPP,” tegasnya.

Alamsyah Mahmud Gayo
Apresiasi Pemilukada DKI
Penyelenggaraan Pemilukada DKI Jakarta Tahun 2012 berjalan lancar. Partisipasi Panwaslu DKI dalam menyukseskan Pemilu sangatlah signifikan. Hal ini terlihat dalam penyelesaian kasus Daftar Pemilih Tetap (DPT). Banyak pemilih yang tidak dapat menggunakan haknya pada putaran pertama, tetapi kemudian dapat memilih pada putaran kedua, setelah Panwaslu DKI mendorong KPUD DKI untuk membuka posko pendaftaran DPT untuk memperbaiki DPT yang dianggap kurang baik oleh DKPP. Belum lagi, upaya Panwaslu DKI dalam mencegah potensi konflik ke dalam isu SARA, yang dapat muncul di DKI Jakarta.
Pemilukada DKI Jakarta Tahun 2012 mendapatkan apresiasi dari berbagai kalangan secara, baik dari Presiden, Mendagri, Menkopolhukam, bahkan dari kalangan pengamat politik. “Kami pun memberikan apresiasi kepada penyelenggara pemilu, baik KPU dan Panwaslu DKI,” kata Kepala Bidang Pengembangan Demokrasi Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) DKI Jakarta, Alamsyah Mahmud Gayo, dalam persidangan MK, Senin (17/6/2013).Namun, patut disayangkan, DKPP mengeluarkan putusan pemberhentian Ketua Panwaslu DKI Jakarta, Ramdansyah. “Saya tidak melihat Saudara Ramdansyah melakukan pelanggaran atau berat sebelah kepada salah satu pasangan calon. Sehingga wajar jika yang bersangkutan mendapat apresiasi dari banyak pihak,” tegas Alamsyah.

Pemerintah
Putusan DKPP Final Mengikat dan Wajib DIlaksanakan
Kalimat "suatu komisi pemilihan umum" dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 tidak merujuk kepada sebuah nama institusi. Tetapi menunjuk pada fungsi penyelenggaraan Pemilu yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Dengan demikian, fungsi penyelenggaraan Pemilu tidak hanya dilaksanakan oleh KPU, tetapi termasuk juga lembaga pengawas pemilihan umum dalam hal ini Bawaslu. “Dalam penyelenggaraan Pemilu tersebut terdapat pula Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, sebagai lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu yang merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu,” kata Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Politik, Hukum, dan Hubungan Antar Lembaga, Reydonnyzar Moenek, saat menyampaikan keterangan Pemerintah dalam persidangan di MK, Selasa (7/5/2013).
Putusan DKPP berupa sanksi atau rehabilitasi diambil dalam rapat pleno DKPP. “Sanksi dapat berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara, atau pemberhentian tetap yang putusannya bersifat final dan mengikat dan wajib dilaksanakan oleh penyelenggara Pemilu.” Lanjut Donny Moenek.DKPP tidak memutuskan secara administrasi pemberhentian anggota penyelenggara Pemilu yang melanggar kode etik, tetapi keputusan DKPP tersebut wajib ditindaklanjuti dalam bentuk surat keputusan penyelenggara pemilu. “Putusan DKPP tersebut tidak bersifat ultra petita karena merupakan kewenangan DKPP yang diberikan oleh UU dalam memutus dugaan pelanggaran etika yang dilakukan penyelenggara Pemilu,” tegas Donny. 

DPR
Putusan DKPP Jamin Kepastian Hukum
UU Penyelenggara Pemilu lebih menjamin kepastian hukum seseorang terkait persoalan etika yang diberikan kewenangan oleh UU untuk diselesaikan oleh DKPP. Putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat menjamin kepastian hukum dan kepastian waktu penyelesaian mengingat Pemilu memiliki rangkaian tahapan dan program yang memiliki sekuens waktu tertentu yang pasti. “Putusannya yang bersifat final dan mengikat menjamin kepastian hukum,” kata Anggota Komisi III DPR, Yahdil Harahap dalam persidangan MK, Rabu (29/5/2013)Dalam UU Penyelenggara Pemilu, pembentuk UU memberikan kewenangan kepada DKPP sebagai lembaga quasi yudicial terutama bidang pelanggaran kode etik untuk membuat putusan yang bersifat final dan mengikat. Hal ini merupakan pilihan kebijakan hukum (legal policy) yang tidak dapat diuji, kecuali dilakukan secara sewenang-wenang (willekeur) dan melampaui kewenangan pembuat Undang-Undang (detournement de pouvoir). Dengan perkataan lain, kebijakan tersebut menjadi kewenangan pembuat UU dalam hal ini Presiden bersama DPR. “Kebijakan yang demikian menjadi kewenangan pembuat undang-undang,” tegasnya. 

DKPP
Hormati Putusan MK
DKPP pada 25 April 2013 menyampaikan surat ke MK. Surat bernomor 501/DKPP/IV/2013 perihal Sidang Pleno tentang Pengujian UU Nomor 15 Tahun 2011, menyatakan bahwa DKPP mengucapkan terima kasih kepada MK yang memberi kesempatan kepada DKPP untuk memberi keterangan dalam sidang pleno uji materi UU Penyelenggara Pemilu.Sebagai lembaga pelaksana UU, DKPP menyatakan akan menghormati dan melaksanakan apa yang diputuskan terkait UU, baik oleh lembaga pembentuk UU maupun oleh MK. Oleh karena itu, DKPP memandang tidak perlu melibatkan diri dalam pengujian UU Penyelenggara Pemilu ini. DKPP mempercayakan sepenuhnya kepada kearifan Majelis Hakim MK yang memeriksa dan memutus perkara tersebut. 

Bawaslu
Menjalankan Putusan DKPP
Bawaslu pada 16 Oktober 2012 memberikan penghargaan kepada Panwaslu DKI Jakarta atas kinerja pengawasan Pemilukada DKI Jakarta. Sebulan kemudian, pada 16 November 2012 Bawaslu memberhentikan Ramdansyah. Pemberhentian ini semata-mata untuk menjalankan putusan DKPP. “Semata-mata untuk menjalankan putusan DKPP Nomor 15/DKPP-PKE-I/2012,” kata Anggota Bawaslu Divisi Hukum dan Penindakan Pelanggaran, Endang Wihdatiningtyas, dalam persidangan MK, Selasa (7/5/2013).Dengan demikian, Bawaslu telah menjalankan ketentuan Pasal 112 ayat (13) juncto ayat (10) juncto ayat (12) UU Penyelenggara Pemilu. “Bawaslu wajib menjalankan keputusan DKPP yang bersifat final dan mengikat,” lanjut Endang.
Surat Keputusan Bawaslu Nomor 712/Kep Tahun 2012 tentang Pemberhentian Anggota Panwaslu DKI Jakarta, Ramdansyah, tertanggal 16 November 2012, tidak cacat hukum “Secara prosedur/formal, dan secara materiil/substansial adalah tidak mengandung cacat hukum dan telah dikeluarkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, serta tidak bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik,” tegasnya.

Nur Rosihin Ana, Laporan Utama Majalah Konstitus Edisi Mei 2014. klik di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More