Konsideran huruf c Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
(UU Advokat) menyebutkan advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan
bertanggung jawab dalam menegakkan hukum, perlu dijamin dan dilindungi oleh
undang-undang demi terselenggaranya upaya penegakan supremasi hukum. Untuk
secara bertanggungjawab, maka advokat harus disumpah terlebih dulu. Adapun
sumpah advokat dilakukan dalam sidang terbuka Pengadilan Tinggi (PT).
UU Advokat menentukan sumpah advokat
dijalankan dalam sidang terbuka PT, dengan menugaskan Panitera PT untuk
mengirimkan salinan berita acara sumpah kepada Mahkamah Agung (MA), Menteri dan
Organisasi Advokat. Ketentuan ini menunjukkan bahwa acara sumpah advokat
melibatkan kewenangan PT. Dalam hal ini, ternyata MA memerintahkan agar PT di
seluruh Indonesia hanya menyelenggarakan sidang sumpah kepada advokat anggota
Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI). MA tidak memperbolehkan PT menyumpah
advokat selain anggota PERADI. Padahal, organisasi advokat di Indonesia bukan
hanya PERADI.
Hal tersebut tentu merupakan bentuk
diskriminasi yang sangat merugikan para advokat yang bukan anggota PERADI.
Menghadapi kenyataan tersebut, seorang advokat bernama Ismet, mengadu ke MK.
Warga Jl. Sutorejo Tengah, Surabaya ini menyampaikan surat permohonan ke MK
bertanggal 27 Maret 2014. Kepaniteraan Mahkamah meregistrasi permohonan Ismet
dengan Nomor 40/PUU-XII/2014.
Ismet dalam surat permohonannya mengujikan
Pasal 4 ayat (1) dan (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4288) (untuk selanjutnya
disingkat UU Advokat) terhadap UUD 1945.
Pasal 4 ayat (1) UU Advokat menyatakan,
“Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau
berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah
domisili hukumnya.” Selanjutnya Pasal 4 ayat (2) UU Advokat menentukan rumusan
sumpah advokat. Pasal 4 ayat (3) UU Advokat menyebutkan, “Salinan berita acara
sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh Panitera Pengadilan Tinggi yang
bersangkutan dikirimkan kepada Mahkamah Agung, Menteri, dan Organisasi
Advokat.” Tampaklah bahwa Pasal 4 ayat (3) UU Advokat tersebut sebagai
kelanjutan teknis akibat ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU Advokat tersebut.
Dalam permohonan tersebut, Ismet memaparkan
kesulitan yang dialaminya dalam menjalani profesi sebagai advokat untuk
beracara di dalam sidang pengadilan. Hal ini disebabkan Ketua MA mengeluarkan
Surat Nomor 089/KMA/VI/2010 yang memerintahkan Ketua Pengadilan Tinggi
se-Indonesia untuk mengambil sumpah calon advokat yang diusulkan PERADI.
Pengadilan Tinggi tidak bersedia menyelenggarakan sumpah advokat untuk advokat
yang bukan anggota PERADI.
Ismet berkisah seputar karirnya sebagai
advokat. Selepas lulus dari Universitas Surabaya dengan menyandang gelar
sarjana hukum, Ismet memutuskan bekerja di bidang hukum. Ismet mengawali karir
sebagai advokat dengan bersama para advokat alumni Universitas Surabaya. Di
sela-sela kesibukan, Ismet juga melanjutkan studi magister hukum di Universitas
Airlangga Surabaya hingga meraih gelar Magister Hukum. Baru pada 2004, Ismet bersama Subagyo mendirikan kantor hukum IS & Partners, yang
selanjutnya diubah menjadi Ismet, Subagyo & Partners.
Untuk melengkapi persyaratan sebagai
advokat, pada 2005 Ismet mengikuti ujian advokat di PERADI. Namun muncul isu
kecurangan dalam penyelenggaraan Ujian Advokat oleh PERADI. Ismet bersama-sama
dengan para peserta ujian lainnya bereaksi dengan melakukan protes ke kantor
pusat PERADI di Jakarta. Konflik tersebut berlanjut dengan sengketa di
Pengadilan.
Ismet tidak turut menjadi penggugat kepada
PERADI yang diduga melakukan kecurangan. Dia masih berusaha mengikuti ujian
advokat PERADI. Namun, dia dinyatakan gagal dalam ujian. Dia menganggap
kegagalan dalam ujian merupakan implikasi dari aksi Ismet mengorganisir
“perlawanan” kepada PERADI.
Selanjutnya Ismet hijrah dengan bergabung
menjadi anggota Kongres Advokat Indonesia (KAI). Dia mengukuti ujian advokat
yang diselenggarakan KAI dan berhasil lulus. Berbekal bukti telah bekerja
bersama-sama dengan advokat Subagyo sejak tahun 2004, Ismet mengajukan kepada
KAI agar disumpah sebagai advokat.
Namun KAI hanya dapat menyelenggarakan
sumpah advokat bekerjasama dengan Rohaniwan. MA melarang PT menyelenggarakan
sumpah advokat yang bukan anggota PERADI. Ketua MA melalui surat
Nomor 089/KMA/VI/2010 memerintahkan Ketua Pengadilan Tinggi se-Indonesia untuk
mengambil sumpah calon advokat yang diusulkan PERADI. Akibatnya, berita acara
sumpah Pemohon pada umumnya tidak diakui para hakim karena terbentur ketentuan
Pasal 4 ayat (1) UU Advokat yang menentukan sumpah advokat dilaksanakan dalam
sidang terbuka di Pengadilan Tinggi.
Ketua MA pernah menegaskan bahwa tidak ada
diskriminasi terhadap advokat dari organisasi advokat manapun. Melalui surat
tertanggal 23 Maret 2011 Nomor 052/KMA/HK 01/III/2011 Ketua Mahkamah Agung
menjelaskan tidak mendiskriminasi advokat, atau membolehkan advokat dari
organisasi advokat mana saja boleh beracara di muka pengadilan. Namun tetap
saja PT tidak bersedia melakukan sidang sumpah terbuka untuk advokat anggota
KAI. Akibatnya, advokat anggota KAI ditolak untuk beracara di muka sidang pengadilan,
karena berita acara sumpah KAI yang tidak diselenggarakan oleh PT.
Pembangkangan Hukum
Upaya hukum seakan membentur tembok.
Menggugat keputusan MA dan Ketua PT yang menolak melakukan sidang terbuka
sumpah advokat untuk advokat selain anggota PERADI, merupakan upaya yang
sia-sia. Sebab, jika keputusan tersebut digugat di Pengadilan Umum atau
Pengadilan Tata Usaha Negara, puncak dari peradilan tersebut adalah Mahkamah
Agung, sehingga peradilan semacam itu akan melanggar asas hakim dilarang
mengadili perkaranya sendiri.
Bahkan Putusan MK Nomor 101/PUU-VII/2009
yang telah mewajibkan agar PT melakukan sidang terbuka sumpah advokat kepada
advokat dari organisasi advokat apa saja, bukan hanya PERADI, ternyata tidak
dipatuhi MA dan PT. Hal ini menunjukkan bahwa selain telah terjadi
pembangkangan hukum oleh MA, juga membuktikan pelanggaran asas kemandirian
advokat. Para advokat diikat oleh ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU Advokat yang
dalam praktiknya atau ditafsirkan secara merampas kemandirian advokat, sehingga
asas kemandirian advokat berdasarkan UU Advokat telah dilanggar dengan
menggunakan dasar Pasal 4 ayat (1) UU Advokat.
Nur Rosihin Ana
Catatan Perkara Majalah Konstitusi Edisi Mei 2014 (hal 50). klik di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar