Larangan pengumuman hasil
survei pada masa tenang sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK pada 2009. Anehnya, larangan ini muncul
kembali dalam UU Pemilu Legislatif tahun 2012. Lima lembaga survei opini publik
dan hitungan cepat (quick count) Pemilu, merasa dirugikan karena adanya
larangan ini. MK kembali membatalkan norma serupa.
Perubahan politik pasca-runtuhnya rezim Orde Baru mendorong
media ke dalam ruang gerak baru. Semua pihak kini dapat menyalurkan aspirasi
dan berpartisipasi dalam komunikasi politik, sosial, ekonomi, budaya baik
secara lisan maupun tulisan secara bebas. Pers dan lembaga publik tumbuh subur
untuk menyajikan berita dan informasi dengan lugas, berani serta menghantarkan
realita secara jujur, objektif dan terbuka. Munculnya media cetak dan
elektronik adalah konsekuensi dari mengendurnya regulasi kepemilikan SIUPP.
Media menjadi menjadi pengawas demokrasi yang efektif.
Sejalan dengan hal tersebut, dalam konteks pembangunan
demokrasi, bermunculan juga lembaga-lembaga independen/penelitian yang bekerja
di wilayah opini publik (lembaga survei). Lembaga survei memotret masalah yang
muncul, isu-isu penting di masyarakat, mengukur tingkat kepuasan publik
terhadap pemerintah sekaligus memberikan feedback ke masyarakat tentang
informasi yang penting.
Lembaga survei bekerja sama dengan media menjadi motor
berperan aktif mendorong partisipasi publik dalam melakukan pengawasan
pemerintahan. Media dan lembaga survei menjadi wacthdog yang mengontrol
arah gerak reformasi dan demokrasi.
Pemilu bertujuan untuk menegakkan hak-hak supremasi hak
sipil politik dan ekonomi sosial budaya. “Oleh sebab itu, segala bentuk
pengekangan terhadap kebebasan berekspresi, lebih-lebih terhadap kegiatan yang
berbasis metodologis-ilmiah adalah tidak sejalan dengan semangat reformasi dan
jiwa UUD 1945”, demikian penegasan Mahkamah di dalam pertimbangan Putusan Nomor
09/PUU-VII/2009, tanggal 30 Maret 2009 terkait dengan eksistensi lembaga
survei.
Pembatalan Pertama dan Kedua
Pada 2008 muncul ketentuan yang berseberangan dengan
semangat reformasi dan jiwa Konstitusi. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, mengandung norma yang tidak sejalan
dengan semangat konstitusi, yaitu antara lain hak berekspresi dan kebebasan
informasi. Norma ini dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor
09/PUU-VII/2009, tanggal 30 Maret 2009.
Ketentuan yang kurang lebih sama, terkandung dalam
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden. Norma ini pun sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor
98/PUU-VII/2009, tanggal 3 Juli 2009. Untuk kedua kalinya, hak konstitusional
warga negara yaitu kebebasan berekspresi diselamatkan Mahkamah Konstitusi.
Larangan Muncul Kembali
Berselang tiga tahun kemudian pascaputusan MK, muncul
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(UU Pemilu Legislatif) yang menggantikan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008. Di
dalam UU Pemilu Legislatif yang baru ini mengandung norma-norma yang sudah
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 serta dinyatakan tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi.
Kontan norma-norma tersebut kembali menjadi ancaman
kebebasan berekspresi dan kebebasan mendapatkan informasi di ranah publik yang
menjadi salah satu kontrol sosial dan penyeimbang. Ilmu pengetahuan dan
informasi terpasung. Demokrasi mundur. Media dan lembaga independen seperti
lembaga survei sebagai pengawas demokrasi dan Pemilu terancam terpasung fungsi
dan tugasnya.
Menghadapi kenyataan tersebut, lima lembaga survei
mengajukan permohonan pengujian norma dalam UU Pemilu Legislatif tersebut ke MK
melalui surat permohonan bertanggal 20 Februari 2014. Permohonan diterima
Kepaniteraan MK pada 25 Februari 2014, berdasarkan Akta Penerimaan Berkas
Permohonan Nomor 62/PAN.MK/2014. Selanjutnya Kepaniteraan MK mencatat dalam
Buku Registrasi Perkara Konstitusi pada 5 Maret 2014 dengan Nomor
24/PUU-XII/2014.
Kelima lembaga survei dimaksud yaitu PT Indikator Politik
Indonesia (Lembaga Survei Indikator), PT Saiful Mujani atau Saiful Mujani
Research & Consulting (SMRC), PT Pedoman Global Utama, PT Indonesian
Consultant Mandiri, dan Yayasan Populi Indonesia. Kelima lembaga survei ini
telah melakukan berbagai survei opini publik terkait dengan politik dan
pemerintahan. Kemudian dengan menggandeng media elektronik, mengadakan acara
yang berkaitan dengan sosialisasi dan pendidikan politik pemilih. Bahkan
Lembaga Survei Indikator, SMRC, dan Pedoman Global Utama, telah menjalin
kerjasama dengan media elektronik untuk menyiarkan hasil quick count Pemilu
Legislatif 2014.
Para Pemohon mengujikan sejumlah pasal dalam UU Pemilu
Legislatif yaitu Pasal 247 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 291, serta
Pasal 317 ayat (1) dan ayat (2). Norma-norma tersebut menurut Para Pemohon
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28F, Pasal
28G ayat (1), Pasal 31 ayat (1), Pasal 31 ayat (3), Pasal 31 ayat (5) UUD 1945.
Pasal-pasal yang diujikan tersebut memuat norma mengenai
larangan pengumuman hasil survei atau jajak pendapat tentang Pemilu yang
dilakukan pada masa tenang. Pengumuman mengenai hitungan cepat (quick count)
hanya dapat diumumkan paling cepat dua jam setelah selesai pemungutan suara di
wilayah Indonesia bagian barat. Pelanggaran terhadap larangan tersebut
merupakan tindak pidana Pemilu yang diancam dengan pidana kurungan dan denda,
sehingga para Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya, yakni hak
berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat, berkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak
mencari, memperoleh, memiliki, menghimpun, mengolah, dan menyampaikan informasi
dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Eksistensi Survei
Penerapan Pasal 247 ayat (2) yang mengatur tentang
pelarangan pengumuman survei pada masa tenang, menurut Para Pemohon,
bertentangan dengan UUD 1945. Para Pemohon berdalil survei adalah usaha untuk
merekam suatu keadaan/kondisi dalam rentang waktu yang terukur berdasarkan
metodologi yang ilmiah dan sah. Sementara itu, survei opini publik yang
berkaitan dengan demokrasi dan Pemilu merupakan potret dari kondisi terkini
dari berbagai hal, antara lain; perilaku pemilih, pengetahuan pemilih, kesiapan
stakeholder/penyelenggara Pemilu, kesiapan para pendukung Pemilu (KPU, Bawaslu,
keamanan, pemantau pemilu dll), elektabilitas calon, program-progam unggulan
calon hingga kemampuan teknis pemilih saat menyalurkan suaranya.
Lembaga survei independen bekerja sama dengan media
elektronik maupun cetak melakukan fungsi ilmiah untuk membantu pemerintah dalam
menyukseskan Pemilu. Salah satunya adalah dengan melakukan survei opini publik
berkenaan dengan demokrasi dan Pemilu. Hasil survei kemudian diumumkan melalui
pemberitaan dan publikasi.
Pasal 247 ayat (2) menyatakan, “Pengumuman hasil survei atau jajak pendapat tentang Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang dilakukan pada Masa Tenang”. Di mana Pasal 247 ayat (2) berbunyi: “Partisipasi masyarakat dalam bentuk sosialisasi Pemilu, pendidikan politik bagi Pemilih, survei atau jajak pendapat tentang Pemilu, serta penghitungan cepat hasil Pemilu wajib mengikuti ketentuan yang diatur oleh KPU.”Pasal 247 ayat (5) menyatakan, “Pengumuman prakiraan hasil penghitungan cepat Pemilu hanya boleh dilakukan paling cepat 2 (dua) jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat.”Pasal 247 ayat (6) menyatakan, “Pelanggaran terhadap ketentuan ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) merupakan tindak pidana Pemilu.”Pasal 291 menyatakan, “Setiap orang yang mengumumkan hasil survei atau jajak pendapat tentang Pemilu dalam Masa Tenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 247 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”Pasal 317 ayat (1) menyatakan, “Pelaksana kegiatan penghitungan cepat yang melakukan penghitungan cepat yang tidak memberitahukan bahwa prakiraan hasil penghitungan cepat bukan merupakan hasil resmi Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 247 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).”Pasal 317 ayat (2) menyatakan, “Pelaksana kegiatan penghitungan cepat yang mengumumkan prakiraan hasil penghitungan cepat sebelum 2 (dua) jam setelah selesainya pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 247 ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).”
Pada intinya survei opini publik dilakukan untuk kepentingan
warga negara mendapatkan informasi seluas-luasnya berkenaan dengan
berlangsungnya Pemilu. “Survei
opini publik dilakukan untuk kepentingan warga negara dalam mendapatkan
informasi yang seluas-luasnya. Nah, ketentuan pasal ini yang melarang
pengumuman hasil survei di masa tenang, menurut kami ini adalah sebuah tindakan
yang sangat bertentangan dengan konstitusi, dalam hal ini adalah terkait dengan
hak untuk mendapatkan informasi yang dilindungi oleh konstitusi,” kata kuasa
hukum para Pemohon, Andi Syafrani, dalam persidangan pendahulua di MK, Senin
(24/3/2014).
Hasil survei sebagaimana hasil penelitian lain, selayaknya
dapat diumumkan kapanpun kepada publik. Pelarangan pengumuman hasil survei pada
masa tenang kontraproduktif dengan cita-cita menjaga kualitas demokrasi dan
Pemilu. Sesungguhnya pada masa hari tenang (3 hari) itulah ada banyak informasi
penting yang dapat disampaikan ke publik dan merupakan hak publik untuk
memperolehnya. Oleh karena itu, pelarangan pengumuman hasil survei pada masa
tenang menjadi tidak relevan dan melanggar hak warga negara (right to know)
di mana setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungannya sebagaimana dijamin oleh Pasal 28F UUD
1945. Selain itu, Pemilu Legislatif tahun 2014 diikuti oleh 12 partai politik
(Parpol) dan tiga Parpol lokal dengan ratusan calon anggota DPR, DPD dan DPRD.
Pada masa tenang inilah publik sesungguhnya membutuhkan informasi sebanyak
mungkin berkenaan dengan beragam aspek Pemilu.
Pelarangan pengumuman survei di masa tenang menghilangkan
semangat reformasi yakni kebebasan berekspresi dan menyuarakan pendapat. Para
Pemohon berhak untuk memublikasikan hal yang berkaitan kepentingan publik
sehubungan kesiapan pemilihan umum sebagai bagian dari freedom of information
yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Pelarangan terhadap hal
tersebut bukan hanya kontraproduktif dengan semangat reformasi melainkan juga
bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak
untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan
informasi ke Publik dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Kemudian bertentangan dengan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan
pendapat.”
Survei adalah sebuah metode pencarian informasi berdasarkan
ilmu pengetahuan yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Survei memiliki kaidah dan standar keilmuan yang tinggi yang ditujukan untuk
menunjukkan realitas yang sebenarnya ke hadapan publik. Oleh karena itu,
merupakan hak setiap warga negara mendapatkan informasi berkenaan dengan hasil
survei sebagaimana dijamin oleh Pasal 28C UUD 1945 yang menyatakan “setiap
orang berhak untuk mendapatkan manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi,
seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan
manusia.”
Sementara itu, tak ada satu bukti pun yang dapat menunjukkan
bahwa pengumuman hasil survei mengenai kesiapan dan pengetahuan pemilih atas proses
dan tata cara Pemilu, merugikan publik atau dapat menyebabkan ketidaktertiban.
Pendapat Mahkamah dalam Putusan Nomor 09/PUU-VII/2009 bahwa pengumuman hasil
survei pada masa tenang dapat menimbulkan kekisruhan dan memengaruhi masyarakat
sama sekali tidak faktual dan agak mundur karena sejauh dilakukan sesuai dengan
prinsip metodologis-ilmiah dan tidak bertendensi memengaruhi pemilih pada masa
tenang maka pengumuman hasil survei tidak dapat dilarang.
Masih berdasarkan Pendapat Mahkamah pada Putusan Nomor
09/PUU-VII/2009, bahwa hak-hak dasar yang diatur dalam Pasal 28F UUD 1945 tidak
dapat dikesampingkan. Artinya, pengumuman hasil survei tersebut tidak
inkonstitusional sepanjang tidak berkaitan dengan rekam jejak atau bentuk lain
yang dapat menguntungkan atau merugikan salah satu peserta Pemilu.
Norma Aneh dan Janggal
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya pernah menyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat pasal yang
bernorma sama dengan Pasal 247 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu
Legislatif telah dinyatakan. Yaitu Pasal 245 ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemillu Legislatif yang sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945
serta dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah
Konstitusi berdasarkan Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009, tanggal 30 Maret 2009.
Kemudian, Pasal 188 ayat (2) UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden
juga sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan Nomor
98/PUU-VII/2009, 3 Juli 2009, di mana secara mutatis mutandis menggunakan
argumentasi dan pertimbangan Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009, tanggal 30 Maret
2009.
Petikan Pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009, tanggal 30 Maret 2009, “...segala bentuk pengekangan terhadap kebebasan berekspresi, lebih-lebih terhadap kegiatan yang berbasis metodologis ilmiah, seperti yang diatur di dalam Pasal 245 ayat (2) dan ayat (3) UU 10/2008 adalah tidak sejalan dengan semangat reformasi dan jiwa UUD 1945”. (vide Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009, tanggal 30 Maret 2009, (poin 3.15, halaman 59-60)“Mahkamah berpendapat ketentuan restriktif yang diatur di dalam Pasal 245 ayat (2) dan ayat (3) UU 10/2008 tidak sejalan dengan jiwa Pasal 31 dan Pasal 28F UUD 1945”; (vide Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009, tanggal 30 Maret 2009, poin 3.16, halaman 60);“Oleh sebab itu, baik pengumuman hasil survei pada masa tenang menjelang Pemilu maupun pengumuman hasil quick count begitu selesai pemungutan suara adalah sesuai dengan hak konstitusional bahkan sejalan dengan ketentuan Pasal 28F UUD 1945.”(vide Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009, tanggal 30 Maret 2009, poin 3.19, halaman 62)”
Karenanya
merupakan keanehan dan kejanggalan, norma yang sudah dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sebanyak 2 (dua)
kali oleh Mahkamah Konsitusi dimunculkan kembali oleh pembuat Undang-Undang,
dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian sudah seharusnyalah
dengan argumentasi dan pertimbangan yang sama dengan Putusan Nomor
9/PUU-VII/2009, 30 Maret 2009 juncto Putusan Nomor 98/PUU-VII/2009,
tanggal 3 Juli 2009, Mahkamah Konstitusi secara mutatis mutandis menyatakan
Pasal 247 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 bertentangan dengan UUD
1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Pengumuman “Quick Count”
Ketentuan Pasal 247 ayat (5) mengatur tentang kebolehan
mengumumkan perhitungan cepat Pemilu dalam jangka waktu paling cepat 2 jam
setelah selesai pemungutan suara. Para Pemohon selaku peneliti (ilmuwan) selain
diikat oleh nilai moral yang hanya untuk menyuarakan kebenaran juga diikat oleh
kode etik ilmuwan. Peneliti berkewajiban untuk mematuhi kaidah-kaidah ilmiah
dan bekerja berdasarkan kaidah tersebut.
Para Pemohon sebagai watch-dog demokrasi dan Pemilu
berkewajiban secara moral untuk menjaga netralitas, imparsial dan objektifitas.
Sementara dalam konteks quick count, bekerjanya sistem ini adalah
berdasarkan penghitungan (count) dan kecepatan (quick) dan
merupakan kewajiban para Pemohon untuk menyampaikan hasil penghitungan cepat (quick
count) secepat-cepatnya dan tidak dibatasi oleh waktu. Bila kewajiban para
Pemohon dalam menjalankan tugas dibatasi oleh waktu sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 247 ayat (5) UU Pemilu Legislatif maka yang terjadi adalah potensi
hilangnya hak masyarakat untuk mendapatkan informasi serta hilangnya prinsip
penghitungan cepat “quick count”. Penerapan Pasal 247 ayat (5) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2012 berpotensi merugikan hak konstitusional para Pemohon yang
dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28F UUD 1945.
Padahal sejatinya sejarah lahirnya quick count atau
juga dikenal dengan istilah Parallel Vote Tabulation (PVT) adalah dimaksudkan
sebagai data pembanding bagi hitungan resmi yang dilakukan oleh Penyelenggara
Pemilu. Data quick count berfungsi selain menyampaikan informasi lebih
awal soal perhitungan suara, juga menjadi panduan awal perhitungan untuk
mengawal perolehan suara hingga selesai dalam tahapan resmi yang dilakukan
penyelenggara secara berjenjang, mulai dari Tempat Pemungutan Suara (TPS)
hingga ke level tertinggi yang ditentukan.
Di Asia, quick count pertama kali diselenggarakan
oleh lembaga independen NAMFREL untuk mengawal hasil pemilihan umum di Filipina
pada Pemilu 1986. Kemudian, di negara-negara yang baru berkembang demokrasinya,
diselenggarakanlah metode ini dengan maksud untuk mengawal hasil Pemilu dan
memastikan Pemilu berlangsung secara Jurdil dan Luber, termasuk di Indonesia.
Publik memahami bahwa hasil hitungan cepat bukanlah hasil
resmi, namun hasil ini menjadi pegangan, selama dilakukan secara benar, untuk
mengawal hasil yang kemudian akan diumumkan secara resmi oleh Penyelenggara
Pemilu karena kecepatan (quick) metode ini sebagai informasi awal. Tidak
pernah ada bukti hasil hitungan cepat yang akurat dan kredibel menjadi keliru
dan dasar konflik mengenai hasil Pemilu di mana pun. Bahkan hasil hitungan
cepat telah terbukti berkontribusi sebagai sarana “memuaskan” publik terhadap
hasil secara lebih cepat dan mencegah timbulnya konflik berkepanjangan mengenai
hasil Pemilu.
Menurut Para Pemohon, norma pembatasan waktu publikasi
hitungan cepat “paling cepat 2 (dua) jam setelah selesai pemungutan suara di
wilayah Indonesia bagian barat” bertentangan dengan konstitusi. Sebab,
pemilihan legislatif ada yang bersifat lokal yaitu DPRD dan DPD yang
pemilihannya dilakukan pada masing-masing wilayah. Misal pemilihan DPRD
Provinsi Papua yang berada di wilayah waktu Indonesia Bagian Timur (WIT) tidak
dapat disangkutpautkan dengan pemilihan DPRD Provinsi DKI Jakarta atau DPRD
Provinsi Aceh yang berada di wilayah waktu Indonesia Bagian Barat (WIB).
Kedua bagian daerah tersebut (WIB dan WIT) berselisih dua
jam. Jika penghitungan cepat (quick count) untuk wilayah DPRD Provinsi
Papua dipaksa menuruti ketentuan Pasal 247 ayat (5), maka menjadi tidak relevan
dan diskriminatif atau tidak adil. Bagaimana mungkin pengumuman cepat (quick
count) terhadap penghitungan untuk wilayah DPRD Provinsi Papua (WIT) yang
sudah selesai harus menunggu Wilayah Indonesia Barat, yang bisa jadi baru mulai
proses penghitungan tiap TPS?
Karenanya Pasal 247 ayat (5) menjadi tidak memiliki makna
dan tentu saja bertentangan dengan asas pembentukan peraturan
perundang-undangan, het beginsel van uitvoerbaarheid, yaitu suatu UU
harus dapat dilaksanakan. Pembuat UU nampaknya ingin memberlakukan ketentuan
tersebut secara universal namun ternyata praktiknya hanya secara parsial.
Secara tegas, pembuat UU telah membedakan dan memperlakukan
secara tidak adil hak pemilih orang-orang yang berada di wilayah Indonesia
Timur dan Tengah yang memiliki perbedaan waktu dengan Indonesia bagian Barat
untuk tahu lebih cepat hasil tentang perolehan suara di wilayah mereka. Yaitu
dengan memaksa mereka secara hukum untuk menunggu proses pelaksanaan pemungutan
suara di wilayah Barat. Padahal untuk siaran media yang bersifat nasional,
penontonnya tidak bisa dibatasi berdasarkan wilayah. Dus, mereka yang
telah selesai menggunakan hak pilihnya di wilayah Tengah dan Timur punya hak
yang sama dengan orang Indonesia Bagian Barat untuk sama-sama memperoleh
kecepatan mengenai hasil, bukan penundaan.
Sesuai dengan pendapat Mahkamah pada Putusan Nomor
09/PUU-VII/2009, tanggal 30 Maret 2009, bahwa pembatasan waktu pengumuman
penghitungan cepat tidak relevan karena penghitungan cepat tidak akan
mempengaruhi kebebasan pemilih untuk mejatuhkan pilihan. Sebab Penghitungan
cepat dilakukan saat penghitungan sudah selesai. Dalam hal tidak bisa dilakukan
jika pemungutan dan/atau penghitungan suara belum selesai.
Kemudian masih dalam putusan tersebut, menurut Mahkamah
tidak ada data yang akurat untuk menunjukkan bahwa pengumuman cepat hasil quick
count itu telah menggangu ketertiban umum atau menimbulkan keresahan di
dalam masyarakat. Dari sejumlah quick count selama ini tidak satu pun
yang menimbulkan keresahan atau mengganggu ketertiban masyarakat, sebab sejak
awal hasil quick count tersebut memang tidak dapat disikapi sebagai
hasil resmi.
Survei dan penghitungan cepat yang penyebarannya dijamin
oleh UUD 1945 adalah survei dan penghitungan cepat yang didasarkan pada
keilmuan dan tidak berdasarkan keinginan atau latar belakang untuk mempengaruhi
pemilih. Oleh karenanya netralitas survei dan penghitungan cepat sangatlah
penting.
Dengan demikian, terang dan jelas alasan para Pemohon
berkenaan dengan uji materil Pasal 247 ayat (5). Sudah selayaknya Mahkamah
Konstitusi menyatakan Pasal 247 ayat (5) bertentangan dengan UUD 1945 serta
tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Terlebih lagi, pasal yang bernorma sama
dengan Pasal 247 ayat (5) UU 8/2012 berupa norma pembatasan pengumuman hasil
perhitungan cepat (quick count), sudah dinyatakan bertentangan dengan
UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi.
Tindak Pidana
Penerapan Pasal 247 ayat (6), Pasal 291 dan Pasal 317 ayat
(1) dan ayat (2) yang mengkualifikasikan perbuatan pengumuman survei di masa
tenang, pengumuman penghitungan cepat yang tidak memberitahukan sebagai bukan
hasil resmi, pengumuman hasil penghitungan cepat kurang dari 2 jam setelah
pemungutan suara waktu Indonesia Barat, sebagai tindak pidana. Menurut para
Pemohon, pemberian sanksi pidana atas ketentuan pelaporan ke KPU berkenaan
dengan sumber dana, metode penelitian serta pengumuman hasil quick count bukan
merupakan hasil resmi KPU adalah tidak relevan karena persoalan tersebut
merupakan persoalan administrasi semata. Hal ini ibarat seseorang diwajibkan
untuk melaporkan diri dalam hal berpindah tempat tinggal.
Perbuatan pidana (straafbaar feit) ditetapkan sebagai
sebuah kejahatan adalah karena perbuatan tersebut sama sekali bertentangan
dengan hati nurani dan rasa keadilan masyarakat yang beradab dan secara
sosiologis merupakan perbuatan tercela (mala in se). Sekalipun tidak
pernah ditetapkan dalam Undang-Undang (wet) sebagai sebuah kejahatan
seperti pada perbuatan pemerkosaan (Pasal 285 KUHP), pencurian (Pasal 362 KUHP)
atau pembunuhan (Pasal 338 KUHP), masyarakat tetap memandang bahwa perbuatan
itu adalah perbuatan keji dan nista (rechtdelicten).
Sementara sanksi terhadap pelanggaran dapat terjadi
berdasarkan perspektif yuridis yaitu perbuatan dapat diberikan sanksi karena
ditetapkan sebagai suatu pelanggaran melalui perumusan perundang-undangan (mala
prohibita). Karena itu, kriminalisasi dalam hukum pidana sesungguhnya
adalah merupakan perwujudan kemauan sosiologis masyarakat.
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 247 ayat (6),
Pasal 291, dan Pasal 317 erat dengan persoalan politik. Penanganannya pun tentu
akan sarat dengan kepentingan politik dan rentan digunakan oleh pihak tertentu
untuk menekan pihak lainnya. Karenanya, penerapan pasal tersebut berpotensi
mengekang kebebasan berekspresi (freedom of information) para Pemohon
sekaligus memasung hak untuk mendapatkan informasi (right to know)
masyarakat luas terhadap informasi seputar Pemilu sebagaimana dijamin dalam
Pasal 31 ayat (1) UUD 1945. Penerapan pasal tersebut menimbulkan kekhawatiran
para Pemohon dalam menjalankan tugasnya. Pasal 247 ayat (6) dan Pasal 291
berpotensi menghilangkan rasa aman dan kepastian hukum sebagaimana dijamin oleh
Pasal 28D ayat (1).
Memasukkan pelarangan pengumuman hasil survei minimal 2 jam
setelah pemungutan suara di waktu Indonesia Bagian Barat selesai adalah tidak
relevan. Karena sebenarnya hal tersebut tidak pernah benar-benar bisa
dilaksanakan. Pembuat Undang-Undang tidak menyadari bahwa Indonesia sangat luas
sementara mekanisme pemilihan juga beragam, ada perwakilan lokal dan nasional.
Para Pemohon tentu akan kesulitan menentukan batas waktu untuk mengumumkan quick
count hasil daerah Waktu Indonesia Timur, sementara di sisi lain harus
memastikan bahwa seluruh pemilihan di daerah Waktu Indonesia Barat sudah
selesai. Hak tersebut akan membatasi hak para Pemohon untuk menyebarkan
informasi (freedom of information) sementara di sisi lain secara a
contrario menghalangi hak masyarakat untuk mendapatkan pengetahuan (right
to know) yang sudah dijamin oleh UUD 1945.
Penundaan waktu dua jam setelah pemungutan suara selesai di
wilayah Indonesia Bagian Barat, berarti selisih sekitar 4 jam setelah
pemungutan suara di Indonesia bagian Timur, membuka potensi adanya ruang
kecurangan atau tindakan-tindakan pelanggaran pemilu lainnya di wilayah
Indonesia bagian Timur. Selisih waktu 4 jam bukanlah waktu yang pendek bagi
potensi munculnya hal-hal yang tidak diinginkan mengenai hasil pemilu di
wilayah Indonesia Timur. Karenanya penundaan waktu ini, meski hanya dua jam
untuk Indonesia Barat atau empat jam untuk Indonesia Timur, berpotensi terhadap
terbukanya ruang bagi hal-hal yang dapat membahayakan dan menciderai demokrasi
yang sedang dan terus kita bangun bersama melalui Pemilu. Dengan demikian
nampak bahwa persoalan adminisratif yang dibawa ke ranah hukum pidana adalah berlebihan.
Sesuai dengan pendapat Mahkamah pada Putusan Nomor 09/PUU-VII/2009, tanggal 30
Maret 2009, bahwa penggunaan hukum pidana yang sesungguhnya dapat dilakukan
secara proporsional dan rasional dan hanya dijadikan sebagai upaya terakhir (ultimate
remedy, ultimum remedium), sehingga hukum pidana tidak kehilangan
kewibawaan karena aplikasi yang kurang cermat dan serampangan, dan menimbulkan
kriminalisasi yang berlebihan dan salah arah.
Padahal pasal yang bernorma sama dengan Pasal 247 ayat (6),
Pasal 291, dan Pasal 317 UU 8/2012, sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD
1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi. Pasal
yang dibatalkan MK dimaksud, yaitu Pasal 245 ayat (5), Pasal 282 dan Pasal 307
UU 10/2008 berdasarkan Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009, tanggal 30 Maret 2009.
Kemudian, Pasal 188 ayat (5), Pasal 228 dan Pasal 255 UU 42/2008juga sudah
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan Nomor 98/PUU-VII/2009,
tanggal 3 Juli 2009, dengan pertimbangan secara mutatis mutandis menggunakan
argumentasi dan pertimbangan Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009, tanggal 30 Maret
2009.
Jika dilihat secara sistematis, ketentuan tentang
keterlibatan lembaga survei, pelaksana hitungan cepat dan publikasinya adalah
bagian dari ketentuan mengenai partisipasi masyarakat. Secara intensional dan
redaksional, penempatan norma dan ketentuan ini seharusnya dipahami sebagai
langkah pembuat UU untuk mendorong dan mengajak serta masyarakat dan stakeholders
lainnya yang berkaitan dengan Pemilu untuk sama-sama berperan aktif dalam
mewujudkan proses dan hasil Pemilu yang dicita-citakan.
Sebagai sebuah upaya endorsement, maka adalah janggal
dan aneh jika kemudian kegiatan dan langkah partisipasi yang seharusnya
bersifat sukarela dan tanpa paksaan kemudian dibebani dengan pelbagai larangan,
bahkan dengan ancaman hukum pidana. Alih-alih norma dan ketentuan ini dapat
menggugah peran serta masyarakat sebagaimana yang dimaksudkan, dengan pelbagai
larangan dan ancaman pidana, ketentuan pasal-pasal a quo dapat secara a
contrario menurunkan tingkat partisipasi dan menakutkan masyarakat,
khususnya media dan lembaga survei dan penyelenggara hitungan cepat, untuk
berpartipasi dalam mewujudkan proses dan hasil Pemilu yang baik. Oleh
karenanya, secara sistematis pembentukan perundang-undangan, ketentuan
norma-norma dalam pasal-pasal yang diujikan dalam permohonan ini, sejak awal
sudah mengalami cacat hukum dan terlebih bertentangan dengan norma-norma konstitusional
sebagai telah disebutkan di atas.
“Mutatis Mutandis”
Mahkamah berpendapat secara redaksional Pasal 247 ayat (2),
ayat (5), dan ayat (6), Pasal 291, serta Pasal 317 ayat (1) dan ayat (2) UU
8/2012 memang tidak persis sama dengan Pasal 245 ayat (2), ayat (3), ayat (5)
dan ayat (5), Pasal 282 dan Pasal 307 UU 10/2008. Akan tetapi norma pasal yang
dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya dalam permohonan tersebut pada
prinsipnya sama. Yaitu merupakan larangan pengumuman hasil survei atau jajak pendapat
pada masa tenang, pengumuman hasil penghitungan cepat beberapa waktu sesudah
pemungutan suara dan pelanggaran yang dilakukan tersebut merupakan tindak
pidana Pemilu dengan ancaman pidana tertentu.
Mahkamah dalam Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009, tanggal 30
Maret 2009, telah menyatakan ketentuan dalam Pasal 245 ayat (2), ayat (3), dan
ayat (5), Pasal 282 dan Pasal 307 UU 10/2008 bertentangan dengan UUD 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pertimbangan Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009,
tanggal 30 Maret 2009 tersebut mutatis mutandis berlaku pula terhadap
permohonan ini.
Selain itu, Mahkamah menegaskan bahwa objektivitas lembaga
yang melakukan survei dan penghitungan cepat (quick count) haruslah
independen dan tidak dimaksudkan untuk menguntungkan atau memihak salah satu
peserta Pemilu. “Sehingga lembaga survei yang mengumumkan hasil survei dan
penghitungan cepat (quick count) harus tetap bertanggung jawab baik
secara ilmiah maupun secara hukum,” kata Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati
membacakan pendapat Mahkamah Putusan Nomor 24/PUU-XII/2014.
Berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah,
permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum. Walhasil, amar putusan
Mahkamah menyatakan mengabulkan seluruh permohonan. “Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk
seluruhnya,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva didampingi delapan
anggota hakim konstitusi, Arief Hidayat, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati,
Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Patrialis Akbar, Wahiduddin Adams, dan
Aswanto, saat membacakan amar Putusan Nomor 24/PUU-XII/2014, Kamis (3/4/2013)
di Ruang Sidang Pleno MK.
Putusan Nomor 24/PUU-XII/2014PemohonPT Indikator Politik IndonesiaPT Saiful Mujani, Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC)PT Pedoman Global UtamaPT Indonesian Consultant MandiriYayasan Populi IndonesiaAmar Putusan1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;1.1. Menyatakan Pasal 247 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 291, serta Pasal 317 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5316) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;1.2. Menyatakan Pasal 247 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 291, serta Pasal 317 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5316) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;2. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Nur Rosihin Ana
dalam Rubrik Ruang Sidang Majalah Konstitusi No. 87 - Mei 2014, hal 18-25. klik di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar