Selasa, 20 Mei 2014

MK Kembali Batalkan Larangan “Quick Count” di Masa Tenang

Larangan pengumuman hasil survei pada masa tenang sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK pada 2009. Anehnya, larangan ini muncul kembali dalam UU Pemilu Legislatif tahun 2012. Lima lembaga survei opini publik dan hitungan cepat (quick count) Pemilu, merasa dirugikan karena adanya larangan ini. MK kembali membatalkan norma serupa.

Perubahan politik pasca-runtuhnya rezim Orde Baru mendorong media ke dalam ruang gerak baru. Semua pihak kini dapat menyalurkan aspirasi dan berpartisipasi dalam komunikasi politik, sosial, ekonomi, budaya baik secara lisan maupun tulisan secara bebas. Pers dan lembaga publik tumbuh subur untuk menyajikan berita dan informasi dengan lugas, berani serta menghantarkan realita secara jujur, objektif dan terbuka. Munculnya media cetak dan elektronik adalah konsekuensi dari mengendurnya regulasi kepemilikan SIUPP. Media menjadi menjadi pengawas demokrasi yang efektif.
Sejalan dengan hal tersebut, dalam konteks pembangunan demokrasi, bermunculan juga lembaga-lembaga independen/penelitian yang bekerja di wilayah opini publik (lembaga survei). Lembaga survei memotret masalah yang muncul, isu-isu penting di masyarakat, mengukur tingkat kepuasan publik terhadap pemerintah sekaligus memberikan feedback ke masyarakat tentang informasi yang penting.
Lembaga survei bekerja sama dengan media menjadi motor berperan aktif mendorong partisipasi publik dalam melakukan pengawasan pemerintahan. Media dan lembaga survei menjadi wacthdog yang mengontrol arah gerak reformasi dan demokrasi.
Pemilu bertujuan untuk menegakkan hak-hak supremasi hak sipil politik dan ekonomi sosial budaya. “Oleh sebab itu, segala bentuk pengekangan terhadap kebebasan berekspresi, lebih-lebih terhadap kegiatan yang berbasis metodologis-ilmiah adalah tidak sejalan dengan semangat reformasi dan jiwa UUD 1945”, demikian penegasan Mahkamah di dalam pertimbangan Putusan Nomor 09/PUU-VII/2009, tanggal 30 Maret 2009 terkait dengan eksistensi lembaga survei.

Pembatalan Pertama dan Kedua
Pada 2008 muncul ketentuan yang berseberangan dengan semangat reformasi dan jiwa Konstitusi. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, mengandung norma yang tidak sejalan dengan semangat konstitusi, yaitu antara lain hak berekspresi dan kebebasan informasi. Norma ini dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 09/PUU-VII/2009, tanggal 30 Maret 2009.
Ketentuan yang kurang lebih sama, terkandung dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Norma ini pun sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 98/PUU-VII/2009, tanggal 3 Juli 2009. Untuk kedua kalinya, hak konstitusional warga negara yaitu kebebasan berekspresi diselamatkan Mahkamah Konstitusi.

Larangan Muncul Kembali
Berselang tiga tahun kemudian pascaputusan MK, muncul Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu Legislatif) yang menggantikan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008. Di dalam UU Pemilu Legislatif yang baru ini mengandung norma-norma yang sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 serta dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi.
Kontan norma-norma tersebut kembali menjadi ancaman kebebasan berekspresi dan kebebasan mendapatkan informasi di ranah publik yang menjadi salah satu kontrol sosial dan penyeimbang. Ilmu pengetahuan dan informasi terpasung. Demokrasi mundur. Media dan lembaga independen seperti lembaga survei sebagai pengawas demokrasi dan Pemilu terancam terpasung fungsi dan tugasnya.
Menghadapi kenyataan tersebut, lima lembaga survei mengajukan permohonan pengujian norma dalam UU Pemilu Legislatif tersebut ke MK melalui surat permohonan bertanggal 20 Februari 2014. Permohonan diterima Kepaniteraan MK pada 25 Februari 2014, berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 62/PAN.MK/2014. Selanjutnya Kepaniteraan MK mencatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi pada 5 Maret 2014 dengan Nomor 24/PUU-XII/2014.
Kelima lembaga survei dimaksud yaitu PT Indikator Politik Indonesia (Lembaga Survei Indikator), PT Saiful Mujani atau Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), PT Pedoman Global Utama, PT Indonesian Consultant Mandiri, dan Yayasan Populi Indonesia. Kelima lembaga survei ini telah melakukan berbagai survei opini publik terkait dengan politik dan pemerintahan. Kemudian dengan menggandeng media elektronik, mengadakan acara yang berkaitan dengan sosialisasi dan pendidikan politik pemilih. Bahkan Lembaga Survei Indikator, SMRC, dan Pedoman Global Utama, telah menjalin kerjasama dengan media elektronik untuk menyiarkan hasil quick count Pemilu Legislatif 2014.
Para Pemohon mengujikan sejumlah pasal dalam UU Pemilu Legislatif yaitu Pasal 247 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 291, serta Pasal 317 ayat (1) dan ayat (2). Norma-norma tersebut menurut Para Pemohon bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28F, Pasal 28G ayat (1), Pasal 31 ayat (1), Pasal 31 ayat (3), Pasal 31 ayat (5) UUD 1945.
Pasal-pasal yang diujikan tersebut memuat norma mengenai larangan pengumuman hasil survei atau jajak pendapat tentang Pemilu yang dilakukan pada masa tenang. Pengumuman mengenai hitungan cepat (quick count) hanya dapat diumumkan paling cepat dua jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat. Pelanggaran terhadap larangan tersebut merupakan tindak pidana Pemilu yang diancam dengan pidana kurungan dan denda, sehingga para Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya, yakni hak berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat, berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak mencari, memperoleh, memiliki, menghimpun, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Eksistensi Survei
Penerapan Pasal 247 ayat (2) yang mengatur tentang pelarangan pengumuman survei pada masa tenang, menurut Para Pemohon, bertentangan dengan UUD 1945. Para Pemohon berdalil survei adalah usaha untuk merekam suatu keadaan/kondisi dalam rentang waktu yang terukur berdasarkan metodologi yang ilmiah dan sah. Sementara itu, survei opini publik yang berkaitan dengan demokrasi dan Pemilu merupakan potret dari kondisi terkini dari berbagai hal, antara lain; perilaku pemilih, pengetahuan pemilih, kesiapan stakeholder/penyelenggara Pemilu, kesiapan para pendukung Pemilu (KPU, Bawaslu, keamanan, pemantau pemilu dll), elektabilitas calon, program-progam unggulan calon hingga kemampuan teknis pemilih saat menyalurkan suaranya.
Lembaga survei independen bekerja sama dengan media elektronik maupun cetak melakukan fungsi ilmiah untuk membantu pemerintah dalam menyukseskan Pemilu. Salah satunya adalah dengan melakukan survei opini publik berkenaan dengan demokrasi dan Pemilu. Hasil survei kemudian diumumkan melalui pemberitaan dan publikasi.

Pasal 247 ayat (2) menyatakan, “Pengumuman hasil survei atau jajak pendapat tentang Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang dilakukan pada Masa Tenang”. Di mana Pasal 247 ayat (2) berbunyi: “Partisipasi masyarakat dalam bentuk sosialisasi Pemilu, pendidikan politik bagi Pemilih, survei atau jajak pendapat tentang Pemilu, serta penghitungan cepat hasil Pemilu wajib mengikuti ketentuan yang diatur oleh KPU.”
Pasal 247 ayat (5) menyatakan, “Pengumuman prakiraan hasil penghitungan cepat Pemilu hanya boleh dilakukan paling cepat 2 (dua) jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat.”
Pasal 247 ayat (6) menyatakan, “Pelanggaran terhadap ketentuan ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) merupakan tindak pidana Pemilu.”
Pasal 291 menyatakan, “Setiap orang yang mengumumkan hasil survei atau jajak pendapat tentang Pemilu dalam Masa Tenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 247 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”
Pasal 317 ayat (1) menyatakan, “Pelaksana kegiatan penghitungan cepat yang melakukan penghitungan cepat yang tidak memberitahukan bahwa prakiraan hasil penghitungan cepat bukan merupakan hasil resmi Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 247 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).”
Pasal 317 ayat (2) menyatakan, “Pelaksana kegiatan penghitungan cepat yang mengumumkan prakiraan hasil penghitungan cepat sebelum 2 (dua) jam setelah selesainya pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 247 ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).”

Pada intinya survei opini publik dilakukan untuk kepentingan warga negara mendapatkan informasi seluas-luasnya berkenaan dengan berlangsungnya Pemilu. “Survei opini publik dilakukan untuk kepentingan warga negara dalam mendapatkan informasi yang seluas-luasnya. Nah, ketentuan pasal ini yang melarang pengumuman hasil survei di masa tenang, menurut kami ini adalah sebuah tindakan yang sangat bertentangan dengan konstitusi, dalam hal ini adalah terkait dengan hak untuk mendapatkan informasi yang dilindungi oleh konstitusi,” kata kuasa hukum para Pemohon, Andi Syafrani, dalam persidangan pendahulua di MK, Senin (24/3/2014).
Hasil survei sebagaimana hasil penelitian lain, selayaknya dapat diumumkan kapanpun kepada publik. Pelarangan pengumuman hasil survei pada masa tenang kontraproduktif dengan cita-cita menjaga kualitas demokrasi dan Pemilu. Sesungguhnya pada masa hari tenang (3 hari) itulah ada banyak informasi penting yang dapat disampaikan ke publik dan merupakan hak publik untuk memperolehnya. Oleh karena itu, pelarangan pengumuman hasil survei pada masa tenang menjadi tidak relevan dan melanggar hak warga negara (right to know) di mana setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungannya sebagaimana dijamin oleh Pasal 28F UUD 1945. Selain itu, Pemilu Legislatif tahun 2014 diikuti oleh 12 partai politik (Parpol) dan tiga Parpol lokal dengan ratusan calon anggota DPR, DPD dan DPRD. Pada masa tenang inilah publik sesungguhnya membutuhkan informasi sebanyak mungkin berkenaan dengan beragam aspek Pemilu.
Pelarangan pengumuman survei di masa tenang menghilangkan semangat reformasi yakni kebebasan berekspresi dan menyuarakan pendapat. Para Pemohon berhak untuk memublikasikan hal yang berkaitan kepentingan publik sehubungan kesiapan pemilihan umum sebagai bagian dari freedom of information yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Pelarangan terhadap hal tersebut bukan hanya kontraproduktif dengan semangat reformasi melainkan juga bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi ke Publik dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Kemudian bertentangan dengan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.”
Survei adalah sebuah metode pencarian informasi berdasarkan ilmu pengetahuan yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Survei memiliki kaidah dan standar keilmuan yang tinggi yang ditujukan untuk menunjukkan realitas yang sebenarnya ke hadapan publik. Oleh karena itu, merupakan hak setiap warga negara mendapatkan informasi berkenaan dengan hasil survei sebagaimana dijamin oleh Pasal 28C UUD 1945 yang menyatakan “setiap orang berhak untuk mendapatkan manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan manusia.”
Sementara itu, tak ada satu bukti pun yang dapat menunjukkan bahwa pengumuman hasil survei mengenai kesiapan dan pengetahuan pemilih atas proses dan tata cara Pemilu, merugikan publik atau dapat menyebabkan ketidaktertiban. Pendapat Mahkamah dalam Putusan Nomor 09/PUU-VII/2009 bahwa pengumuman hasil survei pada masa tenang dapat menimbulkan kekisruhan dan memengaruhi masyarakat sama sekali tidak faktual dan agak mundur karena sejauh dilakukan sesuai dengan prinsip metodologis-ilmiah dan tidak bertendensi memengaruhi pemilih pada masa tenang maka pengumuman hasil survei tidak dapat dilarang.
Masih berdasarkan Pendapat Mahkamah pada Putusan Nomor 09/PUU-VII/2009, bahwa hak-hak dasar yang diatur dalam Pasal 28F UUD 1945 tidak dapat dikesampingkan. Artinya, pengumuman hasil survei tersebut tidak inkonstitusional sepanjang tidak berkaitan dengan rekam jejak atau bentuk lain yang dapat menguntungkan atau merugikan salah satu peserta Pemilu.

Norma Aneh dan Janggal
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya pernah menyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat pasal yang bernorma sama dengan Pasal 247 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif telah dinyatakan. Yaitu Pasal 245 ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemillu Legislatif yang sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 serta dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009, tanggal 30 Maret 2009. Kemudian, Pasal 188 ayat (2) UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden juga sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan Nomor 98/PUU-VII/2009, 3 Juli 2009, di mana secara mutatis mutandis menggunakan argumentasi dan pertimbangan Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009, tanggal 30 Maret 2009.
Petikan Pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009, tanggal 30 Maret 2009, “...segala bentuk pengekangan terhadap kebebasan berekspresi, lebih-lebih terhadap kegiatan yang berbasis metodologis ilmiah, seperti yang diatur di dalam Pasal 245 ayat (2) dan ayat (3) UU 10/2008 adalah tidak sejalan dengan semangat reformasi dan jiwa UUD 1945”. (vide Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009, tanggal 30 Maret 2009, (poin 3.15, halaman 59-60)
“Mahkamah berpendapat ketentuan restriktif yang diatur di dalam Pasal 245 ayat (2) dan ayat (3) UU 10/2008 tidak sejalan dengan jiwa Pasal 31 dan Pasal 28F UUD 1945”; (vide Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009, tanggal 30 Maret 2009, poin 3.16, halaman 60);
“Oleh sebab itu, baik pengumuman hasil survei pada masa tenang menjelang Pemilu maupun pengumuman hasil quick count begitu selesai pemungutan suara adalah sesuai dengan hak konstitusional bahkan sejalan dengan ketentuan Pasal 28F UUD 1945.”(vide Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009, tanggal 30 Maret 2009, poin 3.19, halaman 62)”
Karenanya merupakan keanehan dan kejanggalan, norma yang sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sebanyak 2 (dua) kali oleh Mahkamah Konsitusi dimunculkan kembali oleh pembuat Undang-Undang, dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian sudah seharusnyalah dengan argumentasi dan pertimbangan yang sama dengan Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009, 30 Maret 2009 juncto Putusan Nomor 98/PUU-VII/2009, tanggal 3 Juli 2009, Mahkamah Konstitusi secara mutatis mutandis menyatakan Pasal 247 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Pengumuman “Quick Count”
Ketentuan Pasal 247 ayat (5) mengatur tentang kebolehan mengumumkan perhitungan cepat Pemilu dalam jangka waktu paling cepat 2 jam setelah selesai pemungutan suara. Para Pemohon selaku peneliti (ilmuwan) selain diikat oleh nilai moral yang hanya untuk menyuarakan kebenaran juga diikat oleh kode etik ilmuwan. Peneliti berkewajiban untuk mematuhi kaidah-kaidah ilmiah dan bekerja berdasarkan kaidah tersebut.
Para Pemohon sebagai watch-dog demokrasi dan Pemilu berkewajiban secara moral untuk menjaga netralitas, imparsial dan objektifitas. Sementara dalam konteks quick count, bekerjanya sistem ini adalah berdasarkan penghitungan (count) dan kecepatan (quick) dan merupakan kewajiban para Pemohon untuk menyampaikan hasil penghitungan cepat (quick count) secepat-cepatnya dan tidak dibatasi oleh waktu. Bila kewajiban para Pemohon dalam menjalankan tugas dibatasi oleh waktu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 247 ayat (5) UU Pemilu Legislatif maka yang terjadi adalah potensi hilangnya hak masyarakat untuk mendapatkan informasi serta hilangnya prinsip penghitungan cepat “quick count”. Penerapan Pasal 247 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 berpotensi merugikan hak konstitusional para Pemohon yang dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28F UUD 1945.
Padahal sejatinya sejarah lahirnya quick count atau juga dikenal dengan istilah Parallel Vote Tabulation (PVT) adalah dimaksudkan sebagai data pembanding bagi hitungan resmi yang dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu. Data quick count berfungsi selain menyampaikan informasi lebih awal soal perhitungan suara, juga menjadi panduan awal perhitungan untuk mengawal perolehan suara hingga selesai dalam tahapan resmi yang dilakukan penyelenggara secara berjenjang, mulai dari Tempat Pemungutan Suara (TPS) hingga ke level tertinggi yang ditentukan.
Di Asia, quick count pertama kali diselenggarakan oleh lembaga independen NAMFREL untuk mengawal hasil pemilihan umum di Filipina pada Pemilu 1986. Kemudian, di negara-negara yang baru berkembang demokrasinya, diselenggarakanlah metode ini dengan maksud untuk mengawal hasil Pemilu dan memastikan Pemilu berlangsung secara Jurdil dan Luber, termasuk di Indonesia.
Publik memahami bahwa hasil hitungan cepat bukanlah hasil resmi, namun hasil ini menjadi pegangan, selama dilakukan secara benar, untuk mengawal hasil yang kemudian akan diumumkan secara resmi oleh Penyelenggara Pemilu karena kecepatan (quick) metode ini sebagai informasi awal. Tidak pernah ada bukti hasil hitungan cepat yang akurat dan kredibel menjadi keliru dan dasar konflik mengenai hasil Pemilu di mana pun. Bahkan hasil hitungan cepat telah terbukti berkontribusi sebagai sarana “memuaskan” publik terhadap hasil secara lebih cepat dan mencegah timbulnya konflik berkepanjangan mengenai hasil Pemilu.
Menurut Para Pemohon, norma pembatasan waktu publikasi hitungan cepat “paling cepat 2 (dua) jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat” bertentangan dengan konstitusi. Sebab, pemilihan legislatif ada yang bersifat lokal yaitu DPRD dan DPD yang pemilihannya dilakukan pada masing-masing wilayah. Misal pemilihan DPRD Provinsi Papua yang berada di wilayah waktu Indonesia Bagian Timur (WIT) tidak dapat disangkutpautkan dengan pemilihan DPRD Provinsi DKI Jakarta atau DPRD Provinsi Aceh yang berada di wilayah waktu Indonesia Bagian Barat (WIB).
Kedua bagian daerah tersebut (WIB dan WIT) berselisih dua jam. Jika penghitungan cepat (quick count) untuk wilayah DPRD Provinsi Papua dipaksa menuruti ketentuan Pasal 247 ayat (5), maka menjadi tidak relevan dan diskriminatif atau tidak adil. Bagaimana mungkin pengumuman cepat (quick count) terhadap penghitungan untuk wilayah DPRD Provinsi Papua (WIT) yang sudah selesai harus menunggu Wilayah Indonesia Barat, yang bisa jadi baru mulai proses penghitungan tiap TPS?
Karenanya Pasal 247 ayat (5) menjadi tidak memiliki makna dan tentu saja bertentangan dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan, het beginsel van uitvoerbaarheid, yaitu suatu UU harus dapat dilaksanakan. Pembuat UU nampaknya ingin memberlakukan ketentuan tersebut secara universal namun ternyata praktiknya hanya secara parsial.
Secara tegas, pembuat UU telah membedakan dan memperlakukan secara tidak adil hak pemilih orang-orang yang berada di wilayah Indonesia Timur dan Tengah yang memiliki perbedaan waktu dengan Indonesia bagian Barat untuk tahu lebih cepat hasil tentang perolehan suara di wilayah mereka. Yaitu dengan memaksa mereka secara hukum untuk menunggu proses pelaksanaan pemungutan suara di wilayah Barat. Padahal untuk siaran media yang bersifat nasional, penontonnya tidak bisa dibatasi berdasarkan wilayah. Dus, mereka yang telah selesai menggunakan hak pilihnya di wilayah Tengah dan Timur punya hak yang sama dengan orang Indonesia Bagian Barat untuk sama-sama memperoleh kecepatan mengenai hasil, bukan penundaan.
Sesuai dengan pendapat Mahkamah pada Putusan Nomor 09/PUU-VII/2009, tanggal 30 Maret 2009, bahwa pembatasan waktu pengumuman penghitungan cepat tidak relevan karena penghitungan cepat tidak akan mempengaruhi kebebasan pemilih untuk mejatuhkan pilihan. Sebab Penghitungan cepat dilakukan saat penghitungan sudah selesai. Dalam hal tidak bisa dilakukan jika pemungutan dan/atau penghitungan suara belum selesai.
Kemudian masih dalam putusan tersebut, menurut Mahkamah tidak ada data yang akurat untuk menunjukkan bahwa pengumuman cepat hasil quick count itu telah menggangu ketertiban umum atau menimbulkan keresahan di dalam masyarakat. Dari sejumlah quick count selama ini tidak satu pun yang menimbulkan keresahan atau mengganggu ketertiban masyarakat, sebab sejak awal hasil quick count tersebut memang tidak dapat disikapi sebagai hasil resmi.
Survei dan penghitungan cepat yang penyebarannya dijamin oleh UUD 1945 adalah survei dan penghitungan cepat yang didasarkan pada keilmuan dan tidak berdasarkan keinginan atau latar belakang untuk mempengaruhi pemilih. Oleh karenanya netralitas survei dan penghitungan cepat sangatlah penting.
Dengan demikian, terang dan jelas alasan para Pemohon berkenaan dengan uji materil Pasal 247 ayat (5). Sudah selayaknya Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 247 ayat (5) bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Terlebih lagi, pasal yang bernorma sama dengan Pasal 247 ayat (5) UU 8/2012 berupa norma pembatasan pengumuman hasil perhitungan cepat (quick count), sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi.

Tindak Pidana
Penerapan Pasal 247 ayat (6), Pasal 291 dan Pasal 317 ayat (1) dan ayat (2) yang mengkualifikasikan perbuatan pengumuman survei di masa tenang, pengumuman penghitungan cepat yang tidak memberitahukan sebagai bukan hasil resmi, pengumuman hasil penghitungan cepat kurang dari 2 jam setelah pemungutan suara waktu Indonesia Barat, sebagai tindak pidana. Menurut para Pemohon, pemberian sanksi pidana atas ketentuan pelaporan ke KPU berkenaan dengan sumber dana, metode penelitian serta pengumuman hasil quick count bukan merupakan hasil resmi KPU adalah tidak relevan karena persoalan tersebut merupakan persoalan administrasi semata. Hal ini ibarat seseorang diwajibkan untuk melaporkan diri dalam hal berpindah tempat tinggal.
Perbuatan pidana (straafbaar feit) ditetapkan sebagai sebuah kejahatan adalah karena perbuatan tersebut sama sekali bertentangan dengan hati nurani dan rasa keadilan masyarakat yang beradab dan secara sosiologis merupakan perbuatan tercela (mala in se). Sekalipun tidak pernah ditetapkan dalam Undang-Undang (wet) sebagai sebuah kejahatan seperti pada perbuatan pemerkosaan (Pasal 285 KUHP), pencurian (Pasal 362 KUHP) atau pembunuhan (Pasal 338 KUHP), masyarakat tetap memandang bahwa perbuatan itu adalah perbuatan keji dan nista (rechtdelicten).
Sementara sanksi terhadap pelanggaran dapat terjadi berdasarkan perspektif yuridis yaitu perbuatan dapat diberikan sanksi karena ditetapkan sebagai suatu pelanggaran melalui perumusan perundang-undangan (mala prohibita). Karena itu, kriminalisasi dalam hukum pidana sesungguhnya adalah merupakan perwujudan kemauan sosiologis masyarakat.
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 247 ayat (6), Pasal 291, dan Pasal 317 erat dengan persoalan politik. Penanganannya pun tentu akan sarat dengan kepentingan politik dan rentan digunakan oleh pihak tertentu untuk menekan pihak lainnya. Karenanya, penerapan pasal tersebut berpotensi mengekang kebebasan berekspresi (freedom of information) para Pemohon sekaligus memasung hak untuk mendapatkan informasi (right to know) masyarakat luas terhadap informasi seputar Pemilu sebagaimana dijamin dalam Pasal 31 ayat (1) UUD 1945. Penerapan pasal tersebut menimbulkan kekhawatiran para Pemohon dalam menjalankan tugasnya. Pasal 247 ayat (6) dan Pasal 291 berpotensi menghilangkan rasa aman dan kepastian hukum sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1).
Memasukkan pelarangan pengumuman hasil survei minimal 2 jam setelah pemungutan suara di waktu Indonesia Bagian Barat selesai adalah tidak relevan. Karena sebenarnya hal tersebut tidak pernah benar-benar bisa dilaksanakan. Pembuat Undang-Undang tidak menyadari bahwa Indonesia sangat luas sementara mekanisme pemilihan juga beragam, ada perwakilan lokal dan nasional. Para Pemohon tentu akan kesulitan menentukan batas waktu untuk mengumumkan quick count hasil daerah Waktu Indonesia Timur, sementara di sisi lain harus memastikan bahwa seluruh pemilihan di daerah Waktu Indonesia Barat sudah selesai. Hak tersebut akan membatasi hak para Pemohon untuk menyebarkan informasi (freedom of information) sementara di sisi lain secara a contrario menghalangi hak masyarakat untuk mendapatkan pengetahuan (right to know) yang sudah dijamin oleh UUD 1945.
Penundaan waktu dua jam setelah pemungutan suara selesai di wilayah Indonesia Bagian Barat, berarti selisih sekitar 4 jam setelah pemungutan suara di Indonesia bagian Timur, membuka potensi adanya ruang kecurangan atau tindakan-tindakan pelanggaran pemilu lainnya di wilayah Indonesia bagian Timur. Selisih waktu 4 jam bukanlah waktu yang pendek bagi potensi munculnya hal-hal yang tidak diinginkan mengenai hasil pemilu di wilayah Indonesia Timur. Karenanya penundaan waktu ini, meski hanya dua jam untuk Indonesia Barat atau empat jam untuk Indonesia Timur, berpotensi terhadap terbukanya ruang bagi hal-hal yang dapat membahayakan dan menciderai demokrasi yang sedang dan terus kita bangun bersama melalui Pemilu. Dengan demikian nampak bahwa persoalan adminisratif yang dibawa ke ranah hukum pidana adalah berlebihan. Sesuai dengan pendapat Mahkamah pada Putusan Nomor 09/PUU-VII/2009, tanggal 30 Maret 2009, bahwa penggunaan hukum pidana yang sesungguhnya dapat dilakukan secara proporsional dan rasional dan hanya dijadikan sebagai upaya terakhir (ultimate remedy, ultimum remedium), sehingga hukum pidana tidak kehilangan kewibawaan karena aplikasi yang kurang cermat dan serampangan, dan menimbulkan kriminalisasi yang berlebihan dan salah arah.
Padahal pasal yang bernorma sama dengan Pasal 247 ayat (6), Pasal 291, dan Pasal 317 UU 8/2012, sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi. Pasal yang dibatalkan MK dimaksud, yaitu Pasal 245 ayat (5), Pasal 282 dan Pasal 307 UU 10/2008 berdasarkan Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009, tanggal 30 Maret 2009. Kemudian, Pasal 188 ayat (5), Pasal 228 dan Pasal 255 UU 42/2008juga sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan Nomor 98/PUU-VII/2009, tanggal 3 Juli 2009, dengan pertimbangan secara mutatis mutandis menggunakan argumentasi dan pertimbangan Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009, tanggal 30 Maret 2009.
Jika dilihat secara sistematis, ketentuan tentang keterlibatan lembaga survei, pelaksana hitungan cepat dan publikasinya adalah bagian dari ketentuan mengenai partisipasi masyarakat. Secara intensional dan redaksional, penempatan norma dan ketentuan ini seharusnya dipahami sebagai langkah pembuat UU untuk mendorong dan mengajak serta masyarakat dan stakeholders lainnya yang berkaitan dengan Pemilu untuk sama-sama berperan aktif dalam mewujudkan proses dan hasil Pemilu yang dicita-citakan.
Sebagai sebuah upaya endorsement, maka adalah janggal dan aneh jika kemudian kegiatan dan langkah partisipasi yang seharusnya bersifat sukarela dan tanpa paksaan kemudian dibebani dengan pelbagai larangan, bahkan dengan ancaman hukum pidana. Alih-alih norma dan ketentuan ini dapat menggugah peran serta masyarakat sebagaimana yang dimaksudkan, dengan pelbagai larangan dan ancaman pidana, ketentuan pasal-pasal a quo dapat secara a contrario menurunkan tingkat partisipasi dan menakutkan masyarakat, khususnya media dan lembaga survei dan penyelenggara hitungan cepat, untuk berpartipasi dalam mewujudkan proses dan hasil Pemilu yang baik. Oleh karenanya, secara sistematis pembentukan perundang-undangan, ketentuan norma-norma dalam pasal-pasal yang diujikan dalam permohonan ini, sejak awal sudah mengalami cacat hukum dan terlebih bertentangan dengan norma-norma konstitusional sebagai telah disebutkan di atas.

“Mutatis Mutandis”
Mahkamah berpendapat secara redaksional Pasal 247 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 291, serta Pasal 317 ayat (1) dan ayat (2) UU 8/2012 memang tidak persis sama dengan Pasal 245 ayat (2), ayat (3), ayat (5) dan ayat (5), Pasal 282 dan Pasal 307 UU 10/2008. Akan tetapi norma pasal yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya dalam permohonan tersebut pada prinsipnya sama. Yaitu merupakan larangan pengumuman hasil survei atau jajak pendapat pada masa tenang, pengumuman hasil penghitungan cepat beberapa waktu sesudah pemungutan suara dan pelanggaran yang dilakukan tersebut merupakan tindak pidana Pemilu dengan ancaman pidana tertentu.
Mahkamah dalam Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009, tanggal 30 Maret 2009, telah menyatakan ketentuan dalam Pasal 245 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), Pasal 282 dan Pasal 307 UU 10/2008 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pertimbangan Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009, tanggal 30 Maret 2009 tersebut mutatis mutandis berlaku pula terhadap permohonan ini.
Selain itu, Mahkamah menegaskan bahwa objektivitas lembaga yang melakukan survei dan penghitungan cepat (quick count) haruslah independen dan tidak dimaksudkan untuk menguntungkan atau memihak salah satu peserta Pemilu. “Sehingga lembaga survei yang mengumumkan hasil survei dan penghitungan cepat (quick count) harus tetap bertanggung jawab baik secara ilmiah maupun secara hukum,” kata Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati membacakan pendapat Mahkamah Putusan Nomor 24/PUU-XII/2014.
Berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum. Walhasil, amar putusan Mahkamah menyatakan mengabulkan seluruh permohonan. “Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva didampingi delapan anggota hakim konstitusi, Arief Hidayat, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Patrialis Akbar, Wahiduddin Adams, dan Aswanto, saat membacakan amar Putusan Nomor 24/PUU-XII/2014, Kamis (3/4/2013) di Ruang Sidang Pleno MK.


Putusan Nomor 24/PUU-XII/2014
Pemohon
PT Indikator Politik Indonesia
PT Saiful Mujani, Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC)
PT Pedoman Global Utama
PT Indonesian Consultant Mandiri
Yayasan Populi Indonesia
Amar Putusan
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
1.1.      Menyatakan Pasal 247 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 291, serta Pasal 317 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5316) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.2.      Menyatakan Pasal 247 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 291, serta Pasal 317 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5316) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.



Nur Rosihin Ana

dalam Rubrik Ruang Sidang Majalah Konstitusi No. 87 - Mei 2014, hal 18-25. klik di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More