UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2003
TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2011
TENTANG PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003
TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
DALAM SATU NASKAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang
merdeka mempunyai peranan penting guna menegakkan konstitusi dan prinsip negara
hukum sesuai dengan kewenangan dan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi sebagian sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-Undang tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
Mengingat: 1. Pasal
7A, Pasal 7B, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22E ayat (2), Pasal 24, Pasal 24C, dan
Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316);
3. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN
ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Mahkamah
Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Dewan
Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disingkat DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
3. Permohonan
adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi mengenai:
a. pengujian
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b. sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. pembubaran
partai politik;
d. perselisihan
tentang hasil pemilihan umum; atau
e. pendapat
DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4. Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi adalah perangkat yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi
untuk memantau, memeriksa dan merekomendasikan tindakan terhadap Hakim
Konstitusi, yang diduga melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
Konstitusi.
BAB II
KEDUDUKAN DAN SUSUNAN
Bagian Pertama
Kedudukan
Pasal 2
KEDUDUKAN DAN SUSUNAN
Bagian Pertama
Kedudukan
Pasal 2
Mahkamah Konstitusi
merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Pasal 3
Mahkamah Konstitusi berkedudukan di Ibukota Negara Republik
Indonesia.
Bagian Kedua
Susunan
Pasal 4
(1) Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 (sembilan)
orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(2) Susunan Mahkamah Konstitusi terdiri atas
seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan 7
(tujuh) orang anggota hakim konstitusi.
(3) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi
dipilih dari dan oleh anggota hakim konstitusi untuk masa jabatan selama 2
(dua) tahun 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal pengangkatan Ketua dan Wakil
Ketua Mahkamah Konstitusi.
(3a) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi yang
terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dipilih kembali dalam jabatan
yang sama untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
(4) Sebelum Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah
Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terpilih, rapat pemilihan Ketua
dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipimpin oleh hakim konstitusi yang paling
tua usianya.
(4a) Rapat pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) dihadiri paling sedikit 7 (tujuh) orang anggota hakim konstitusi.
(4b) Dalam hal kuorum rapat sebagaimana dimaksud
pada ayat (4a) tidak terpenuhi, rapat ditunda paling lama 2 (dua) jam.
(4c) Apabila penundaan rapat sebagaimana dimaksud
pada ayat (4b) telah dilakukan dan kuorum rapat belum terpenuhi, rapat dapat
mengambil keputusan tanpa kuorum.
(4d) Pengambilan keputusan dalam rapat pemilihan
Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4c)
dilakukan secara musyawarah mufakat untuk mencapai aklamasi.
(4e) Apabila keputusan tidak dapat dicapai secara
aklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4d), keputusan diambil berdasarkan
suara terbanyak melalui pemungutan suara yang dilakukan secara bebas dan
rahasia.
(4f) Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah
Konstitusi dilakukan dalam 1 (satu) kali rapat pemilihan.[1]
(4g) Calon yang memperoleh suara terbanyak dalam
pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (4f) ditetapkan sebagai Ketua Mahkamah
Konstitusi.[2]
(4h) Calon yang memperoleh suara terbanyak kedua
dalam pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (4f) ditetapkan sebagai Wakil
Ketua Mahkamah Konstitusi.[3]
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pemilihan Ketua dan Wakil Ketua diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi.
Pasal 5
Hakim konstitusi
adalah pejabat negara.
Pasal 6
(1) Kedudukan keprotokolan dan hak keuangan
Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi berlaku ketentuan peraturan
perundang-undangan bagi pejabat negara.
(2) Negara memberikan jaminan keamanan hakim
konstitusi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai penyelenggara
kekuasaan kehakiman.
(3) Hakim konstitusi hanya dapat dikenai tindakan
kepolisian atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan tertulis dari
Presiden, kecuali dalam hal:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
atau
b. berdasarkan bukti permulaan yang cukup
disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana
mati, tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara, atau tindak pidana
khusus.
Bagian Ketiga
Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal
Pasal 7
Di Mahkamah Konstitusi dibentuk sebuah kepaniteraan dan
sekretariat jenderal untuk membantu pelaksanaan tugas dan wewenang Mahkamah
Konstitusi.
Pasal 7A
(1) Kepaniteraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 merupakan jabatan fungsional yang menjalankan tugas teknis administratif
peradilan Mahkamah Konstitusi.
(2) Tugas teknis administratif peradilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. koordinasi pelaksanaan teknis peradilan di
Mahkamah Konstitusi;
b. pembinaan
dan pelaksanaan administrasi perkara;
c. pembinaan pelayanan teknis kegiatan peradilan
di Mahkamah Konstitusi; dan
d. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh
Ketua Mahkamah Konstitusi sesuai dengan
bidang tugasnya.
Pasal 7B
(1) Sekretariat jenderal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 menjalankan tugas teknis administratif Mahkamah Konstitusi.
(2) Tugas teknis administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. koordinasi pelaksanaan administratif di
lingkungan sekretariat jenderal dan kepaniteraan;
b. penyusunan rencana dan program dukungan teknis
administratif;
c. pelaksanaan kerja sama dengan masyarakat dan
hubungan antarlembaga;
d. pelaksanaan dukungan fasilitas kegiatan
persidangan; dan
e. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh
Ketua Mahkamah Konstitusi sesuai dengan bidang tugasnya.
Pasal 8
Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi, fungsi,
tugas, dan wewenang sebuah Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah
Konstitusi diatur dengan Peraturan Presiden atas usul Mahkamah Konstitusi.
Pasal 9
Anggaran Mahkamah Konstitusi dibebankan pada mata anggaran
tersendiri dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
BAB III
KEKUASAAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Bagian Pertama
Wewenang
Pasal 10
KEKUASAAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Bagian Pertama
Wewenang
Pasal 10
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a.
menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b.
memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
c.
memutus pembubaran partai politik; dan
d.
memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum.
(2) Mahkamah
Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
(3) Ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berupa:
a. pengkhianatan terhadap negara adalah tindak
pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam undang-undang.
b. korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana
korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang.
c. tindak pidana berat lainnya adalah tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
d. perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat
merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden.
e. tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Penjelasan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:[4]
Pasal 10
Ayat
(1)
Putusan Mahkamah
Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang
dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam
Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final
and binding).
Ayat
(2)
Yang dimaksud
dengan “pendapat DPR” adalah pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden yang diambil dalam Keputusan Paripurna sesuai
dengan Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat tentang Tata Tertib.
Ayat
(3)
Cukup jelas.
Pasal 11
Untuk kepentingan pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10, Mahkamah Konstitusi berwenang memanggil pejabat negara, pejabat
pemerintah, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan.
Bagian Kedua
Tanggung Jawab dan Akuntabilitas
Pasal 12
Tanggung Jawab dan Akuntabilitas
Pasal 12
Mahkamah Konstitusi bertanggung jawab mengatur organisasi,
personalia, administrasi, dan keuangan sesuai dengan prinsip pemerintahan yang
baik dan bersih.
Pasal 13
(1) Mahkamah
Konstitusi wajib mengumumkan laporan berkala kepada masyarakat secara terbuka
mengenai:
a. permohonan yang terdaftar, diperiksa, dan
diputus;
b. pengelolaan keuangan dan tugas administrasi
lainnya.
(2) Laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimuat dalam berita berkala yang diterbitkan
oleh Mahkamah Konstitusi.
Pasal 14
Masyarakat mempunyai akses untuk mendapatkan putusan
Mahkamah Konstitusi.
BAB IV
PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN
HAKIM KONSTITUSI
Bagian Pertama
Pengangkatan
Pasal 15
HAKIM KONSTITUSI
Bagian Pertama
Pengangkatan
Pasal 15
(1) Hakim konstitusi harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. memiliki integritas dan kepribadian yang
tidak tercela;
b. adil; dan
c. negarawan yang menguasai konstitusi dan
ketatanegaraan.
(2) Untuk dapat diangkat
menjadi hakim konstitusi, selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), seorang calon hakim konstitusi harus memenuhi syarat:
a. warga negara Indonesia;
b. berijazah doktor dan magister dengan dasar
sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum;
c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
berakhlak mulia;
d. berusia paling rendah 47 (empat puluh tujuh)
tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat pengangkatan;
e. mampu secara jasmani dan rohani dalam
menjalankan tugas dan kewajiban;
f. tidak pernah dijatuhi pidana penjara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
g. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan
putusan pengadilan; dan
h. mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum
paling sedikit 15 (lima belas) tahun dan/atau pernah menjadi pejabat negara.[5]
(3) Selain persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) calon hakim konstitusi juga
harus memenuhi kelengkapan administrasi dengan menyerahkan:
a. surat pernyataan kesediaan untuk menjadi
hakim konstitusi;
b. daftar riwayat hidup;
c. menyerahkan fotokopi ijazah yang telah dilegalisasi
dengan menunjukkan ijazah asli;
d. laporan daftar harta kekayaan serta sumber
penghasilan calon yang disertai dengan dokumen pendukung yang sah dan telah
mendapat pengesahan dari lembaga yang berwenang; dan
e. nomor pokok wajib pajak (NPWP).
Pasal 16
Dihapus.
Pasal 17
Hakim konstitusi dilarang merangkap menjadi:
a. pejabat negara lainnya;
b. anggota partai politik;
c. pengusaha;
d. advokat; atau
e. pegawai negeri.
Pasal 18
(1) Hakim
konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga)
orang oleh DPR, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden, untuk ditetapkan dengan
Keputusan Presiden.
(2) Keputusan
Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam jangka waktu
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak pengajuan calon diterima Presiden.
Pasal 19
Pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan
dan partisipatif.
Pasal 20
(1) Ketentuan
mengenai tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi diatur
oleh masing-masing lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
ayat (1).
(2) Pemilihan hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan secara obyektif dan akuntabel.
Pasal 21
(1) Sebelum memangku jabatannya, hakim
konstitusi mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya, yang berbunyi
sebagai berikut:
Sumpah hakim
konstitusi:
“Demi Allah saya
bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban hakim konstitusi dengan
sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan
perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa”
Janji hakim konstitusi:
“Saya berjanji bahwa
saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban hakim konstitusi dengan
sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan
perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa”
(2) Pengucapan
sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di hadapan
Presiden.
(3) Sebelum memangku
jabatannya, Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi mengucapkan sumpah atau
janji menurut agamanya di hadapan Mahkamah Konstitusi yang berbunyi sebagai
berikut:
Sumpah Ketua/Wakil
Ketua Mahkamah Konstitusi:
“Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban
Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya,
memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan
menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada
nusa dan bangsa.”
Janji Ketua/Wakil Ketua
Mahkamah Konstitusi:
“Saya berjanji bahwa
saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Ketua/Wakil Ketua Mahkamah
Konstitusi dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan
segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada
nusa dan bangsa.”
Bagian Kedua
Masa Jabatan
Pasal 22
Masa Jabatan
Pasal 22
Masa jabatan hakim konstitusi selama 5 (lima) tahun dan
dapat dipilih kembali hanya untuk 1(satu) kali masa jabatan berikutnya.
Bagian Ketiga
Pemberhentian
Pemberhentian
Pasal 23
(1) Hakim konstitusi
diberhentikan dengan hormat dengan alasan:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang
diajukan kepada Ketua Mahkamah Konstitusi;
c. telah berusia 70 (tujuh puluh) tahun;
d. telah berakhir masa jabatannya; atau
e. sakit jasmani atau rohani secara
terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya
yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
(2) Hakim konstitusi
diberhentikan tidak dengan hormat apabila:
a. dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. tidak menghadiri persidangan yang menjadi
tugas dan kewajibannya selama 5 (lima) kali berturut-turut tanpa alasan yang
sah;
d. melanggar sumpah atau janji jabatan;
e. dengan sengaja menghambat Mahkamah Konstitusi
memberi putusan dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7B ayat (4)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
f. melanggar larangan rangkap jabatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17;
g. tidak lagi memenuhi syarat sebagai hakim
konstitusi; dan/atau
h. melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
Konstitusi.
(3) Permintaan pemberhentian
tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, huruf
d, huruf e, huruf f, huruf g, dan/atau huruf h dilakukan setelah yang
bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi.
(4) Pemberhentian hakim
konstitusi ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas permintaan Ketua Mahkamah
Konstitusi.
(5) Keputusan Presiden
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 14
(empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal Presiden menerima permintaan
pemberhentian.
Pasal 24
(1) Hakim
konstitusi sebelum diberhentikan dengan tidak hormat, diberhentikan sementara
dari jabatannya dengan Keputusan Presiden atas permintaan Ketua Mahkamah Konstitusi, kecuali alasan pemberhentian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a.
(2) Pemberhentian
sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 60 (enam puluh) hari
kerja dan dapat diperpanjang untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.
(3) Dalam hal
perpanjangan waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah berakhir tanpa
dilanjutkan dengan pemberhentian, yang bersangkutan direhabilitasi dengan
Keputusan Presiden.
(4) Keputusan
Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dikeluarkan dalam
jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya permintaan
Ketua Mahkamah Konstitusi.
(5) Sejak dimintakan
pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim konstitusi
yang bersangkutan dilarang menangani perkara.
Pasal 25
(1) Apabila
terhadap seorang hakim konstitusi ada perintah penahanan, hakim konstitusi yang
bersangkutan diberhentikan sementara dari jabatannya.
(2) Hakim konstitusi
diberhentikan sementara dari jabatannya apabila dituntut di muka pengadilan
dalam perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana meskipun tidak ditahan.
(3) Pemberhentian
sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lama 60 (enam
puluh) hari kerja dan dapat diperpanjang untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja.
(4) Dalam hal
perpanjangan waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah berakhir dan belum
ada putusan pengadilan, terhadap yang bersangkutan diberhentikan sebagai hakim
konstitusi.
(5) Apabila di kemudian hari
putusan pengadilan menyatakan yang bersangkutan tidak bersalah, yang
bersangkutan direhabilitasi.
Pasal 26
(1) Mahkamah Konstitusi
memberitahukan kepada lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 ayat (1) mengenai hakim konstitusi yang akan diberhentikan dalam jangka
waktu paling lama 6 (enam) bulan sebelum:
a. memasuki usia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (1) huruf c; atau
b. berakhir masa jabatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (1) huruf d.
(2) Dalam jangka waktu
paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak Mahkamah Konstitusi menerima
Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4), Mahkamah
Konstitusi memberitahukan kepada lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (1) mengenai hakim konstitusi yang diberhentikan berdasarkan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf
e, atau ayat (2).
(3) Lembaga yang berwenang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengajukan pengganti hakim
konstitusi kepada Presiden dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak menerima pemberitahuan Mahkamah Konstitusi.
(4) Keputusan Presiden
tentang pengangkatan pengganti hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak pengajuan
diterima Presiden.
(5) Hakim konstitusi yang
menggantikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melanjutkan sisa jabatan hakim
konstitusi yang digantikannya.[6]
Pasal 27
Ketentuan mengenai tata cara pemberhentian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 diatur lebih lanjut oleh
Mahkamah Konstitusi.
BAB IVA
KODE ETIK DAN PEDOMAN PERILAKU
HAKIM KONSTITUSI
SERTA MAJELIS KEHORMATAN
MAHKAMAH KONSTITUSI
Pasal 27A
(1) Mahkamah Konstitusi
wajib menyusun Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi yang berisi
norma yang harus dipatuhi oleh setiap hakim konstitusi dalam menjalankan
tugasnya untuk menjaga integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan
negarawan.
(2) Untuk menegakkan Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dibentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang keanggotaannya terdiri
atas:
a. 1 (satu) orang hakim konstitusi;
b. 1 (satu) orang anggota Komisi Yudisial;
c. 1 (satu) orang dari unsur DPR;[7]
d. 1 (satu) orang dari unsur pemerintah yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum; dan[8]
e. 1 (satu) orang hakim agung.[9]
(3) Dalam melaksanakan
tugasnya, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi berpedoman pada:[10]
a. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi;
b. tata beracara persidangan Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi; dan
c. norma dan peraturan perundang-undangan.
(4) Tata beracara
persidangan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf b memuat mekanisme penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim Konstitusi dan jenis sanksi.[11]
(5) Sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dapat berupa:[12]
a. teguran tertulis;
b. pemberhentian sementara; atau
c. pemberhentian.
(6) Keanggotaan Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang berasal dari hakim konstitusi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi.[13]
(7) Ketentuan lebih lanjut
mengenai susunan, organisasi, dan tata beracara persidangan Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi.
Pasal 27B
Untuk menjaga dan menegakkan integritas dan kepribadian yang
tidak tercela, keadilan, dan kenegarawanan:
a. hakim konstitusi wajib:
1. menaati peraturan perundang-undangan;
2. menghadiri persidangan;
3. menjalankan hukum acara sebagaimana mestinya;
4. menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
Konstitusi;
5. memperlakukan para pihak yang berperkara
dengan adil, tidak diskriminatif, dan tidak memihak; dan
6. menjatuhkan putusan secara objektif didasarkan
pada fakta dan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
b. hakim konstitusi
dilarang:
1. melanggar sumpah jabatan/janji;
2. menerima suatu pemberian atau janji dari pihak
yang berperkara, baik langsung maupun tidak langsung; dan/atau
3. mengeluarkan pendapat atau pernyataan di luar
persidangan atas suatu perkara yang sedang ditanganinya mendahului putusan.
BAB V
HUKUM ACARA
HUKUM ACARA
Bagian Pertama
Umum
Pasal 28
Umum
Pasal 28
(1) Mahkamah
Konstitusi memeriksa, mengadili, dan memutus dalam sidang pleno Mahkamah
Konstitusi dengan 9 (sembilan) orang hakim konstitusi, kecuali dalam keadaan
luar biasa dengan 7 (tujuh) orang hakim konstitusi yang dipimpin oleh Ketua
Mahkamah Konstitusi.
(2) Dalam hal
Ketua Mahkamah Konstitusi berhalangan memimpin sidang pleno sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), sidang dipimpin oleh Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi.
(3) Dalam hal Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi
berhalangan pada waktu yang bersamaan, sidang pleno dipimpin oleh ketua
sementara yang dipilih dari dan oleh Anggota Mahkamah Konstitusi.
(4) Sebelum sidang pleno sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Mahkamah Konstitusi dapat membentuk panel hakim yang anggotanya terdiri atas
sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim konstitusi untuk memeriksa yang
hasilnya dibahas dalam sidang pleno untuk diambil putusan.
(5) Putusan
Mahkamah Konstitusi diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
(6) Tidak dipenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
berakibat putusan Mahkamah Konstitusi tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan
hukum.
Bagian Kedua
Pengajuan Permohonan
Pasal 29
Pengajuan Permohonan
Pasal 29
(1) Permohonan
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh pemohon atau kuasanya
kepada Mahkamah Konstitusi.
(2) Permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya dalam 12 (dua
belas) rangkap.
Pasal 30
Permohonan wajib dibuat dengan uraian yang jelas mengenai:
a. pengujian undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
c. pembubaran partai
politik;
d. perselisihan tentang
hasil pemilihan umum; atau
e. pendapat DPR bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 31
(1) Permohonan
sekurang-kurangnya harus memuat:
a. nama dan alamat pemohon;
b. uraian mengenai perihal yang menjadi dasar
permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30; dan
c. hal-hal yang diminta untuk diputus.
(2) Pengajuan permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai dengan alat bukti yang
mendukung permohonan tersebut.
Bagian Ketiga
Pendaftaran Permohonan dan Penjadwalan Sidang
Pendaftaran Permohonan dan Penjadwalan Sidang
Pasal 32
(1) Terhadap setiap
Permohonan yang diajukan, Panitera Mahkamah Konstitusi melakukan pemeriksaan
kelengkapan Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 31.
(2) Dalam hal Permohonan
belum memenuhi kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon diberi
kesempatan untuk melengkapi Permohonan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh)
hari kerja sejak pemberitahuan kekuranglengkapan tersebut diterima pemohon.
(3) Permohonan yang telah
memenuhi kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicatat dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi dan kepada pemohon diberikan tanda terima.
(4) Dalam hal kelengkapan
Permohonan tidak dipenuhi dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Panitera Mahkamah Konstitusi menerbitkan akta yang menyatakan bahwa
Permohonan tidak diregistrasi dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dan
diberitahukan kepada pemohon disertai dengan pengembalian berkas Permohonan.
Pasal 33
Buku Registrasi Perkara Konstitusi memuat antara lain
catatan tentang kelengkapan administrasi dengan disertai pencantuman nomor
perkara, tanggal penerimaan berkas permohonan, nama pemohon, dan pokok perkara.
Pasal 33A
(1) Mahkamah Konstitusi
menyampaikan salinan Permohonan kepada DPR dan Presiden dalam jangka waktu
paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal Permohonan dicatat dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi.
(2) Penyampaian salinan
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan tanda terima.
Pasal 34
(1) Mahkamah Konstitusi
menetapkan hari sidang pertama dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas)
hari kerja sejak Permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
(2) Penetapan hari sidang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan kepada pemohon, termohon, dan
pihak terkait serta diumumkan kepada masyarakat.
(3) Pengumuman sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan menempelkannya di papan pengumuman yang
khusus dibuat untuk itu dan/atau melalui media cetak atau media elektronik.
(4) Pemberitahuan penetapan hari sidang
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus sudah diterima oleh para pihak yang
berperkara dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sebelum hari
persidangan.
Pasal 35
(1) Pemohon dapat menarik kembali Permohonan
sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan.
(1a) Dalam
hal pemohon menarik kembali Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Panitera Mahkamah Konstitusi menerbitkan Akta Pembatalan Registrasi Permohonan
dan memberitahukan kepada pemohon disertai dengan pengembalian berkas
Permohonan.
(2) Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengakibatkan Permohonan tidak dapat diajukan kembali.
Pasal 35A
Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 tidak
dibebani biaya perkara.
Bagian Keempat
Alat Bukti
Pasal 36
Alat Bukti
Pasal 36
(1) Alat bukti
ialah:
a. surat atau tulisan;
b. keterangan saksi;
c. keterangan ahli;
d. keterangan para pihak;
e. petunjuk; dan
f. alat bukti lain berupa informasi yang
diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat
optik atau yang serupa dengan itu.
(2) Alat bukti
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, harus dapat dipertanggungjawabkan
perolehannya secara hukum.
(3) Dalam hal alat bukti
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
perolehannya secara hukum, tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah.
(4) Mahkamah Konstitusi
menentukan sah atau tidak sahnya alat bukti dalam persidangan Mahkamah
Konstitusi.
Pasal 37
Mahkamah Konstitusi menilai alat-alat bukti yang diajukan ke
persidangan dengan memperhatikan persesuaian antara alat bukti yang satu dengan
alat bukti yang lain.
Pasal 38
(1) Para pihak, saksi, dan
ahli wajib hadir memenuhi panggilan Mahkamah Konstitusi.
(2) Surat
panggilan harus sudah diterima oleh yang dipanggil dalam jangka waktu paling
lambat 3 (tiga) hari sebelum hari persidangan.
(3) Para pihak yang
merupakan lembaga negara dapat diwakili oleh pejabat yang ditunjuk atau
kuasanya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(4) Jika saksi tidak hadir
tanpa alasan yang sah meskipun sudah dipanggil secara patut menurut hukum,
Mahkamah Konstitusi dapat meminta bantuan kepolisian untuk menghadirkan saksi
tersebut secara paksa.
Bagian Kelima
Pemeriksaan Pendahuluan
Pasal 39
Pemeriksaan Pendahuluan
Pasal 39
(1) Sebelum mulai memeriksa
pokok perkara, Mahkamah Konstitusi mengadakan pemeriksaan kelengkapan dan
kejelasan materi permohonan.
(2) Dalam pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Mahkamah Konstitusi wajib memberi nasihat kepada pemohon
untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan dalam jangka waktu paling
lambat 14 (empat belas) hari.
Bagian Keenam
Pemeriksaan Persidangan
Pasal 40
Pemeriksaan Persidangan
Pasal 40
(1) Sidang Mahkamah
Konstitusi terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim.
(2) Setiap orang yang hadir dalam persidangan wajib menaati tata
tertib persidangan.
(3) Ketentuan mengenai tata
tertib persidangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Mahkamah
Konstitusi.
(4) Pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), merupakan penghinaan terhadap
Mahkamah Konstitusi.
Pasal 41
(1) Dalam pemeriksaan
persidangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, hakim konstitusi memeriksa
Permohonan beserta alat bukti yang diajukan.
(2) Untuk kepentingan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim konstitusi wajib
memanggil para pihak yang berperkara untuk memberi keterangan yang dibutuhkan
dan/atau meminta keterangan secara tertulis kepada lembaga negara yang terkait
dengan Permohonan.
(3) Lembaga negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyampaikan penjelasannya dalam
jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak permintaan hakim konstitusi
diterima.
(4) Pemeriksaan persidangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pemeriksaan pokok Permohonan;
b. pemeriksaan alat bukti tertulis;
c. mendengarkan keterangan para pihak yang
berperkara;
d. mendengarkan keterangan saksi;
e. mendengarkan keterangan ahli;
f. mendengarkan keterangan pihak terkait;
g. pemeriksaan rangkaian data, keterangan,
perbuatan, keadaan, dan/atau peristiwa yang sesuai dengan alat bukti lain yang
dapat dijadikan petunjuk; dan
h. pemeriksaan alat bukti lain yang berupa
informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik
dengan alat optik atau yang serupa dengan alat bukti itu.
Pasal 42
Saksi dan ahli yang dipanggil wajib hadir untuk memberikan
keterangan.
Pasal 42A
(1) Saksi dan ahli dapat
diajukan oleh para pihak yang berperkara, pihak terkait, atau dihadirkan oleh
Mahkamah Konstitusi.
(2) Saksi dan ahli
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan keterangan di bawah sumpah atau
janji.
(3) Saksi dan ahli
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masing-masing berjumlah paling sedikit 2
(dua) orang.
Pasal 43
Dalam pemeriksaan persidangan, pemohon dan/atau termohon
dapat didampingi atau diwakili oleh kuasanya berdasarkan surat kuasa khusus
untuk itu.
Pasal 44
(1) Dalam hal pemohon
dan/atau termohon didampingi oleh selain kuasanya di dalam persidangan, pemohon
dan/atau termohon harus membuat surat keterangan yang khusus untuk itu.
(2) Surat keterangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjukkan dan diserahkan kepada hakim
konstitusi di dalam persidangan.
Bagian Ketujuh
Putusan
Pasal 45
Putusan
Pasal 45
(1) Mahkamah
Konstitusi memutus perkara berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim.
(2) Putusan Mahkamah
Konstitusi yang mengabulkan permohonan harus didasarkan pada sekurang-kurangnya
2 (dua) alat bukti.
(3) Putusan Mahkamah
Konstitusi wajib memuat fakta yang terungkap dalam persidangan dan pertimbangan
hukum yang menjadi dasar putusan.
(4) Putusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diambil secara musyawarah untuk mufakat
dalam sidang pleno hakim konstitusi yang dipimpin oleh ketua sidang.
(5) Dalam sidang
permusyawaratan, setiap hakim konstitusi wajib menyampaikan pertimbangan atau
pendapat tertulis terhadap permohonan.
(6) Dalam hal
musyawarah sidang pleno hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
tidak dapat menghasilkan putusan, musyawarah ditunda sampai musyawarah sidang
pleno hakim konstitusi berikutnya.
(7) Dalam hal
musyawarah sidang pleno setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat
dicapai mufakat bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak.
(8) Dalam hal
musyawarah sidang pleno hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
tidak dapat diambil dengan suara terbanyak, suara terakhir ketua sidang pleno
hakim konstitusi menentukan.
(9) Putusan
Mahkamah Konstitusi dapat dijatuhkan pada hari itu juga atau ditunda pada hari
lain yang harus diberitahukan kepada para pihak.
(10) Dalam
hal putusan tidak tercapai mufakat bulat sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan
ayat (8), pendapat anggota Majelis Hakim yang berbeda dimuat dalam putusan.
Pasal 45A[14]
Putusan Mahkamah Konstitusi
tidak boleh memuat amar putusan yang tidak diminta oleh pemohon atau melebihi
permohonan pemohon, kecuali terhadap hal tertentu yang terkait dengan pokok
permohonan.
Pasal 46
Putusan Mahkamah Konstitusi
ditandatangani oleh hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus, dan panitera.
Pasal 47
Putusan Mahkamah Konstitusi
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno
terbuka untuk umum.
Pasal 48
(1) Mahkamah Konstitusi
memberi putusan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Setiap putusan Mahkamah
Konstitusi harus memuat:
a. kepala putusan berbunyi: “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b. identitas pihak;
c. ringkasan permohonan;
d. pertimbangan terhadap fakta yang terungkap
dalam persidangan;
e. pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;
f. amar putusan; dan
g. hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi,
dan panitera.
Pasal 48A
(1) Mahkamah Konstitusi
mengeluarkan ketetapan dalam hal:
a. permohonan tidak merupakan kewenangan
Mahkamah Konstitusi untuk mengadili perkara yang dimohonkan; atau
b. pemohon menarik kembali Permohonan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1a).
(2) Amar ketetapan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a berbunyi, “Menyatakan Mahkamah Konstitusi tidak
berwenang mengadili permohonan pemohon”.
(3) Amar ketetapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berbunyi, “Menyatakan permohonan
pemohon ditarik kembali”.
Pasal 49
Mahkamah Konstitusi wajib mengirimkan salinan putusan kepada
para pihak dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan
diucapkan.
Bagian Kedelapan
Pengujian Undang-Undang terhadap
Pengujian Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar
Pasal 50
Dihapus.
Pasal 50A[15]
Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak menggunakan
undang-undang lain sebagai dasar pertimbangan hukum.
Pasal 51
(1) Pemohon adalah pihak
yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
(2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib menguraikan dengan jelas
bahwa:
a. pembentukan undang-undang tidak memenuhi
ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
dan/atau
b. materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau
bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 51A
(1) Permohonan pengujian
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
harus memuat hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31.
(2) Uraian mengenai hal yang
menjadi dasar Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b
untuk perkara Permohonan pengujian undang-undang meliputi:
a. kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan
pengujian;
b. kedudukan hukum pemohon yang berisi uraian
tentang hak dan/atau kewenangan konstitusi pemohon yang dianggap dirugikan
dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk dilakukan pengujian; dan
c. alasan Permohonan pengujian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b diuraikan dengan jelas dan terperinci.
(3) Dalam hal permohonan
pengujian berupa permohonan pengujian formil, pemeriksaan dan putusan yang
dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi didasarkan pada peraturan perundang-undangan
yang mengatur tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam hal permohonan
pengujian berupa permohonan pengujian formil, hal yang dimohonkan untuk diputus
dalam permohonan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf c
meliputi:
a. mengabulkan Permohonan pemohon;
b. menyatakan bahwa pembentukan undang-undang
dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan
c. menyatakan undang-undang tersebut tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
(5) Dalam hal permohonan
pengujian berupa permohonan pengujian materiil, hal yang dimohonkan untuk
diputus dalam permohonan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1)
huruf c meliputi:
a. mengabulkan Permohonan pemohon;
b. menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal,
dan/atau bagian dari undang-undang dimaksud bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan
c. menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal,
dan/atau bagian dari undang-undang dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
Pasal 52
Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah
dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi kepada DPR dan Presiden untuk
diketahui, dalam jangka waktu paling lam bat 7
(tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi.
Pasal 53
Mahkamah Konstitusi memberitahukan kepada Mahkamah Agung
adanya permohonan pengujian undang-undang dalam jangka waktu paling lambat 7
(tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi.
Pasal 54
Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau
risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada
Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau
Presiden.
Pasal 55
Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila
undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam
proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.
Pasal 56
(1) Dalam hal Mahkamah
Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi
syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dan Pasal 51, amar putusan
menyatakan permohonan tidak dapat diterima.
(2) Dalam hal Mahkamah
Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan,
amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
(3) Dalam hal permohonan
dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan
tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(4) Dalam hal pembentukan
undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, amar
putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
(5) Dalam hal
undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya
sebagian atau keseluruhan, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.
Pasal 57
(1) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar
putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian
undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
(2) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar
putusannya menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi
ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.
(2a) Putusan Mahkamah Konstitusi tidak
memuat: [16]
a. amar
selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2);
b. perintah
kepada pembuat undang-undang; dan
c. rumusan
norma sebagai pengganti norma dari undang-undang yang dinyatakan bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(3) Putusan Mahkamah
Konstitusi yang mengabulkan permohonan wajib dimuat dalam Berita Negara
Republik Indonesia dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
sejak putusan diucapkan.
Pasal 58
Undang-undang yang diuji
oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan
bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 59
(1) Putusan Mahkamah
Konstitusi mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 disampaikan kepada DPR, Dewan Perwakilan Daerah,
Presiden, dan Mahkamah Agung.
(2) Jika diperlukan
perubahan terhadap undang-undang yang telah diuji, DPR atau Presiden segera
menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.[17]
Pasal 60
(1) Terhadap materi muatan
ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat
dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar
pengujian berbeda.
Bagian Kesembilan
Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang
Kewenangannya Diberikan oleh
Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang
Kewenangannya Diberikan oleh
Undang-Undang Dasar
Pasal 61
Pasal 61
(1) Pemohon
adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai kepentingan langsung
terhadap kewenangan yang dipersengketakan.
(2) Pemohon wajib menguraikan
dengan jelas dalam permohonannya tentang kepentingan langsung pemohon dan
menguraikan kewenangan yang dipersengketakan serta menyebutkan dengan jelas
lembaga negara yang menjadi termohon.
Pasal 62
Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah
dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi kepada termohon dalam jangka
waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi.
Pasal 63
Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan
pada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan
kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.
Pasal 64
(1) Dalam hal
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi
syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61, amar putusan menyatakan permohonan
tidak dapat diterima.
(2) Dalam hal
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan,
amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
(3) Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas bahwa termohon tidak
mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kewenangan yang dipersengketakan.
(4) Dalam hal
permohonan tidak beralasan, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.
Pasal 65
Dihapus.
Pasal 66
(1) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan
bahwa termohon tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kewenangan yang
dipersengketakan, termohon wajib melaksanakan putusan tersebut dalam jangka
waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan diterima.
(2) Jika putusan tersebut tidak dilaksanakan dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaan kewenangan termohon batal demi
hukum.
Pasal 67
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai sengketa kewenangan
disampaikan kepada DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan Presiden.
Bagian Kesepuluh
Pembubaran Partai Politik
Pasal 68
Pembubaran Partai Politik
Pasal 68
(1) Pemohon
adalah Pemerintah.
(2) Pemohon wajib
menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang ideologi, asas, tujuan,
program, dan kegiatan partai politik yang bersangkutan, yang dianggap
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 69
Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah
dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi kepada partai politik yang
bersangkutan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak
permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
Pasal 70
(1) Dalam hal
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan tidak memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68, amar putusan menyatakan permohonan tidak
dapat diterima.
(2) Dalam hal
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan
menyatakan permohonan dikabulkan.
(3) Dalam hal Mahkamah
Konstitusi berpendapat bahwa permohonan tidak beralasan, amar putusan
menyatakan permohonan ditolak.
Pasal 71
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan atas
pembubaran partai politik wajib diputus dalam jangka waktu paling lambat 60
(enam puluh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi.
Pasal 72
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pembubaran partai
politik disampaikan kepada partai politik yang bersangkutan.
Pasal 73
(1) Pelaksanaan putusan
pembubaran partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dilakukan dengan
membatalkan pendaftaran pada Pemerintah.
(2) Putusan
Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan oleh
Pemerintah dalam Berita Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu paling
lambat 14 (empat belas) hari sejak putusan diterima.
Bagian Kesebelas
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
Pasal 74
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
Pasal 74
(1) Pemohon
adalah:
a. perorangan warga negara Indonesia calon
anggota Dewan Perwakilan Daerah peserta pemilihan umum;
b. pasangan calon Presiden
dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden; dan
c. partai politik peserta pemilihan umum.
(2) Permohonan
hanya dapat diajukan terhadap penetapan hasil pemilihan umum yang dilakukan
secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum yang mempengaruhi:
a. terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan
Daerah;
b. penentuan pasangan calon yang masuk pada
putaran kedua pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta terpilihnya pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden;
c. perolehan kursi partai politik peserta
pemilihan umum di suatu daerah pemilihan.
(3) Permohonan
hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 X 24 (tiga kali dua
puluh empat) jam sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil
pemilihan umum secara nasional.
Pasal 75
Dalam permohonan yang diajukan, pemohon wajib menguraikan
dengan jelas tentang:
a. kesalahan hasil
penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil
penghitungan yang benar menurut pemohon; dan
b. permintaan untuk
membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum
dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon.
Pasal 76
Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah
dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi kepada Komisi Pemilihan Umum
dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan dicatat
dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
Pasal 77
(1) Dalam hal
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon
dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
74, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima.
(2) Dalam hal Mahkamah
Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan
permohonan dikabulkan.
(3) Dalam hal permohonan
dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan
membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum
dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar.
(4) Dalam hal
permohonan tidak beralasan amar putusan menyatakan permohonan ditolak.
Pasal 78
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan atas
perselisihan hasil pemilihan umum wajib diputus dalam jangka waktu:
a. paling lambat 14 (empat
belas) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi, dalam hal pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden;
b. paling lambat 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi, dalam hal pemilihan umum anggota DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pasal 79
(1) Putusan Mahkamah
Konstitusi tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden disampaikan kepada:
a. Majelis Permusyawaratan Rakyat;
b. DPR;
c. Dewan Perwakilan Daerah;
d. Presiden/Pemerintah;
e. Komisi Pemilihan Umum;
f. partai politik atau gabungan partai politik
yang mengajukan calon; dan
g. pasangan calon peserta pemilihan umum.
(2) Putusan Mahkamah
Konstitusi tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota DPR, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah disampaikan kepada
Presiden, pemohon, dan Komisi Pemilihan Umum.
(3) Putusan Mahkamah
Konstitusi tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum bersifat final dan
mengikat.
Bagian Keduabelas
Pendapat DPR Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh
Pendapat DPR Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden
Pasal 80
Pasal 80
(1) Pemohon adalah DPR.
(2) Pemohon wajib
menguraikan dengan jelas dalam permohonannya mengenai dugaan:
a. Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau
b. Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(3) Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
pemohon wajib menyertakan keputusan DPR dan proses pengambilan keputusan
mengenai pendapat DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7B ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, risalah dan/atau
berita acara rapat DPR, disertai bukti mengenai dugaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).
Pasal 81
Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah
dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi kepada Presiden dalam jangka
waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi.
Pasal 82
Dalam hal Presiden dan/atau Wakil Presiden mengundurkan diri
pada saat proses pemeriksaan di Mahkamah Konstitusi, proses pemeriksaan
tersebut dihentikan dan permohonan dinyatakan gugur oleh Mahkamah Konstitusi.
Pasal 83
(1) Apabila Mahkamah
Konstitusi berpendapat bahwa permohonan tidak memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 80, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat
diterima.
(2) Apabila Mahkamah
Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden, amar putusan menyatakan membenarkan pendapat DPR.
(3) Apabila Mahkamah
Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terbukti
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau tidak
terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.
Pasal 84
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan atas
pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80,
wajib diputus dalam jangka waktu paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak
permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
Pasal 85
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pendapat DPR wajib
disampaikan kepada DPR dan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 86
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 86
Mahkamah Konstitusi dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang
diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya menurut
Undang-Undang ini.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 87[18]
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. hakim konstitusi yang
saat ini menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi tetap
menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sampai dengan masa
jabatannya berakhir berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi; dan
b. hakim konstitusi yang
saat ini menjabat tetap menjabat sampai dengan diberhentikan berdasarkan
ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 88
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2003
TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2011
TENTANG PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
DALAM SATU NASKAH
I. UMUM
Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 24 menegaskan bahwa kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Berdasarkan Pasal 24C
ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan
hasil pemilihan umum; dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain,
atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang ini
merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi. Perubahan Undang-Undang tersebut dilatarbelakangi karena terdapat
beberapa ketentuan yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum
masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan.
Beberapa pokok materi
penting dalam perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, antara lain susunan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi;
pengawasan hakim konstitusi; masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah
Konstitusi, syarat pendidikan untuk dapat diangkat sebagai hakim konstitusi,
serta Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim Mahkamah Konstitusi.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal
2
Cukup jelas.
Pasal
3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal
5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “jaminan keamanan dalam melaksanakan
tugasnya” adalah penjagaan keamanan yang diberikan kepada hakim konstitusi
dalam menghadiri dan memimpin persidangan. Hakim konstitusi harus diberikan
perlindungan keamanan oleh aparat terkait, yakni aparat kepolisian, agar hakim
konstitusi mampu memeriksa, mengadili, dan memutus perkara secara baik dan
benar tanpa adanya tekanan atau intervensi dari pihak mana pun.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “tindakan kepolisian” adalah:
a. pemanggilan sehubungan dengan tindak pidana;
b. permintaan keterangan mengenai tindak pidana;
c. penangkapan;
d. penahanan;
e. penggeledahan; dan/atau
f. penyitaan.
Yang dimaksud dengan “tindak pidana khusus”, antara
lain tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana
narkotika, dan tindak pidana teroris.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 7A
Cukup jelas.
Pasal
7B
Cukup jelas.
Pasal
8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni
putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak
diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 11
Yang dimaksud dengan “keterangan” adalah segala
keterangan lisan dan tertulis, termasuk dokumen yang berkaitan dengan perkara
yang sedang diperiksa.
Pasal 12
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin kemandirian
dan kredibilitas Mahkamah Konstitusi dalam mengatur organisasi, personalia,
administrasi, dan keuangan sesuai dengan prinsip-prinsip transparansi dan
akuntabilitas.
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Kewajiban memberikan laporan berkala berdasarkan
ketentuan ini tidak mengurangi kewajiban membuat laporan keuangan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal
15
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Huruf
a
Cukup jelas.
Huruf
b
Cukup jelas.
Huruf
c
Yang dimaksud dengan “bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa” adalah menjalankan ajaran agama.
Huruf
d
Cukup jelas.
Huruf
e
Cukup jelas.
Huruf
f
Cukup jelas.
Huruf
g
Cukup jelas.
Huruf
h
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Surat pernyataan yang dimaksud dalam ketentuan ini juga
memuat tentang telah terpenuhinya seluruh persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ketentuan ayat (1) dan surat pernyataan tersebut disimpan pada Mahkamah
Konstitusi.
Pasal 17
Huruf a
Pejabat negara lainnya, misalnya anggota DPR, anggota
Dewan Perwakilan Daerah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, hakim atau
hakim agung, menteri, dan pejabat lain sebagaimana ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pengusaha” adalah direksi atau
komisaris perusahaan.
Huruf d
Selama menjadi hakim konstitusi, advokat tidak boleh
menjalankan profesinya.
Huruf e
Selama menjadi hakim konstitusi, status pegawai negeri
yang bersangkutan iberhentikan sementara sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 18
Ayat (1)
Penerbitan Keputusan Presiden dalam ketentuan ini
bersifat administratif.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 19
Berdasarkan ketentuan ini, calon hakim konstitusi
dipublikasikan di media massa baik cetak maupun elektronik, sehingga masyarakat
mempunyai kesempatan untuk ikut memberi masukan atas calon hakim yang
bersangkutan.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal
23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “dituntut di muka pengadilan”
Adalah pelimpahan berkas perkara yang bersangkutan ke pengadilan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “rehabilitasi” adalah pengembalian
hak-hak pribadi dan nama baik yang bersangkutan tanpa mengembalikan
kedudukannya sebagai hakim konstitusi.
Pasal
26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal
27A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Peraturan Mahkamah Konstitusi dalam ketentuan ini
dibuat dengan persetujuan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
Pasal
27B
Cukup jelas.
Pasal
28
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keadaan luar biasa” adalah
meninggal dunia atau terganggu fisik/jiwanya sehingga tidak mampu melaksanakan
kewajiban sebagai hakim konstitusi.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “berhalangan” adalah keadaan luar
biasa sebagaimana dimaksud pada penjelasan ayat (1).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal
32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal
33A
Cukup jelas.
Pasal
34
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan media elektronik adalah situs (web site) Mahkamah
Konstitusi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal
35
Cukup jelas.
Pasal
35A
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Petunjuk
yang dimaksud dalam ketentuan ini hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi,
surat, dan barang bukti.
Huruf f
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 37
Alat bukti yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah
alat bukti petunjuk.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “penghinaan terhadap Mahkamah
Konstitusi” dalam ketentuan ini dikenal dengan istilah Contempt of Court.
Pasal
41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal
42A
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keyakinan Hakim” adalah keyakinan
Hakim berdasarkan alat bukti.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Berdasarkan ketentuan ini dalam sidang permusyawaratan
pengambilan putusan tidak ada suara abstain.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal
45A
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Dalam
pertimbangan hukum memuat dasar hukum yang menjadi dasar putusan.
Huruf f
Cukup
jelas.
Huruf g
Cukup
jelas.
Pasal 48A
Ayat (1)
Huruf a
Ketetapan
Mahkamah Konstitusi mengenai “permohonan tidak merupakan kewenangan Mahkamah
Konstitusi” dilakukan berdasarkan tugas dan kewenangan serta sebelum masuk
pemeriksaan di persidangan.
Huruf b
Yang
dimaksud “pemohon menarik kembali Permohonan” adalah pada saat Permohonan sudah
masuk pemeriksaan di persidangan atau setelah sidang panel.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Yang dimaksud dengan “setelah perubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” adalah perubahan pertama
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tanggal 19
Oktober 1999.
Pasal
50A
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Y ang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah
hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “perorangan” termasuk kelompok
orang yang mempunyai kepentingan sama.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal
51A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan”,
antara lain Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta peraturan
perundang-undangan lain yang terkait, seperti Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat
tentang Tata Tertib.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal
57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal
59
Cukup jelas.
Pasal
60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Yang dimaksud dengan “pelaksanaan kewenangan” adalah
tindakan baik tindakan nyata maupun tindakan hukum yang merupakan pelaksanaan
kewenangan yang dipersengketakan.
Dalam mengeluarkan penetapan Mahkamah Konstitusi
mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan oleh pelaksanaan kewenangan yang
dipersengketakan.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Pemerintah” adalah Pemerintah
Pusat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penetapan hasil pemilihan umum”
Adalah jumlah suara yang diperoleh peserta pemilihan umum.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 75
Huruf a
Berdasarkan ketentuan ini pemohon menunjukkan dengan
jelas tempat penghitungan suara dan kesalahan dalam penjumlahan penghitungan
suara.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal
79
Cukup jelas.
Pasal 80
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “risalah dan/atau berita acara
rapat DPR” adalah risalah dan/atau berita acara rapat alat kelengkapan DPR
maupun rapat paripurna DPR.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengisi kemungkinan
adanya kekurangan atau kekosongan dalam hukum acara berdasarkan Undang-Undang
ini.
Pasal
87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup
jelas.
[1] Sejak hari Selasa, tanggal 18 Oktober
2011, ayat ini tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011.
[2] Sejak hari Selasa, tanggal 18 Oktober
2011, ayat ini tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011.
[3] Sejak hari Selasa, tanggal 18 Oktober
2011, ayat ini tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011.
[4] Sejak hari Selasa, tanggal 18 Oktober
2011, pasal ini tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011.
[5] Sejak hari Selasa, tanggal 18 Oktober
2011, ketentuan (huruf h.) ini sepanjang frasa “dan/atau
pernah menjadi pejabat negara”, tidak lagi mempunyai kekuatan hukum
mengikat berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011.
[6] Sejak hari Selasa, tanggal 18 Oktober
2011, ayat ini tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011.
[7] Sejak hari Selasa, tanggal 18 Oktober
2011, ketentuan (huruf c.) ini tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat
berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011.
[8] Sejak hari Selasa, tanggal 18 Oktober
2011, ketentuan (huruf d.) ini tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat
berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011.
[9] Sejak hari Selasa, tanggal 18 Oktober
2011, ketentuan (huruf e.) ini tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat
berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011.
[10] Sejak hari Selasa, tanggal 18 Oktober 2011,
ayat ini tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011.
[11] Sejak hari Selasa, tanggal 18 Oktober 2011,
ayat ini tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011.
[12] Sejak hari Selasa, tanggal 18 Oktober 2011,
ayat ini tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011.
[13] Sejak hari Selasa, tanggal 18 Oktober 2011,
ayat ini tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011.
[14] Sejak hari Selasa, tanggal 18 Oktober
2011, pasal ini tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
48/PUU-IX/2011.
[15] Sejak hari Selasa, tanggal 18 Oktober 2011,
pasal ini tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor
49/PUU-IX/2011.
[16] Sejak hari Selasa, tanggal 18 Oktober
2011, ayat ini tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor
48/PUU-IX/2011.
[17] Sejak hari Selasa, tanggal 18 Oktober
2011, ayat ini tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor
49/PUU-IX/2011.
[18] Sejak hari Selasa, tanggal 18 Oktober
2011, pasal ini tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
49/PUU-IX/2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar