Berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 (UU APBN-P 2012) khususnya Pasal 7 ayat
(6) huruf a, memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan
penyesuaian harga jual subsidi BBM kepada rakyat sesuai dengan mekanisme pasar.
“Ini bertentangan dengan Putusan MK,” kata Andi Muhammad Asrun saat bertindak
sebagai kuasa hukum Pemohon perkara 45/PUU-X/2012 dalam persidangan di Mahkamah
Konstitusi (MK), Senin (28/5/2012) siang.
Permohonan uji formil dan materiil UU APBN-P 2012
diajukan oleh M. Komarudin, Ketua Umum Federasi Ikatan Buruh Indonesia (FISBI) dan
Muhammad Hafidz (perkara 45/PUU-X/2012) serta Ahmad Daryoko Presiden
Konfederasi Serikat Nasional (KSN), Kgs. Muhammad Irzan Zulpakar, Mukhtar
Guntur Kilat dkk (perkara 46/PUU-X/2012). Persidangan dengan agenda pemeriksaan
pendahuluan ini dilaksanakan oleh Panel Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar (Ketua
Panel), Hamdan Zoelva dan Maria Farida Indrati.
Pada 31 Maret 2012 lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
telah menyetujui Rancangan Perubahan UU APBN Tahun 2012 yang diajukan oleh Pemerintah,
menjadi UU APBN Tahun 2012. Dengan diberlakukannya UU tersebut, terdapat
tambahan pasal dan ayat, khususnya Pasal 7 ayat (6) huruf a yang menyatakan: “Dalam
hal harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude oil Price/ICP)
dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15%
(limabelas perseratus) dari ICP yang diasumsikan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran
2012, Pemerintah dapat melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan
pendukungnya”.
Sejak awal pengajuan Rancangan Perubahan UU APBN 2012 pada akhir
Februari 2012 hingga pembahasan RUU di DPR, telah muncul penolakan keras dari
masyarakat buruh, mahasiswa, tani, nelayan, sopir, politisi, pengusaha, LSM,
hingga ibu-ibu rumah tangga. Mereka beranggapan, kenaikan harga jual BBM kepada
rakyat, berakibat naiknya harga berbagai kebutuhan, baik sebelum maupun sesudah
kenaikan harga jual BBM kepada rakyat. “Menurut kami,
banyak kesalahannya dari segi istilah maupun substansinya. Sudah banyak yang
mengajukan keberatan, baik dari publik, masyarakat umum, maupun dari
fraksi-fraksi di DPR,” kata Andi M. Asrun.
Perspektif Filosofis Sosiologis,
dan Yuridis
Pengujian
konstitusionalitas Pasal 7 ayat (6) huruf a UU APBN-P Tahun 2012, lanjut Asrun,
secara formal dilatarbelakangi alasan bahwa penyusunan pasal tersebut bertentangan
dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur
dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Asrun
mengutip pendapat Yusril Ihza Mahendra yang mengatakan, asas-asas hukum dan
asas-asa pembuatan peraturan perundang-undangan yang baik, merupakan conditio
sine quanon bagi berhasilnya suatu peraturan perundang-undangan yang dapat
diterima dan berlaku di seluruh masyarakat Indonesia, karena telah mendapat
dukungan landasan filosofis, yuridis, dan sosilogis.
Dari Sudut filosofis, pembentukan peraturan
perundang-undangan seharusnya ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat. Reaksi penolakan
yang datang dari berbagai elemen masyarakat terhadap Pasal 7 ayat (6) huruf a UU
APBN-P Tahun 2012 merupakan indikasi hal tersebut tidak memenuhi syarat
filosofis pembentukan peraturan perundang-undangan.
Dari sudut sosiologis, peraturan perundang-undangan
yang dibentuk haruslah diterima oleh masyarakat. Tetapi bercermin dari protes
yang dilancarkan secara masif oleh berbagai elemen masyarakat, menjadi inkasi
kuat pasal dalam UU tersebut tidak diterima masyarakat.
“Bercermin dari sudut sosiologis dan filosofis Pasal
7 ayat (6) huruf a Undang-Undang APBN-P Tahun 2012, dari perspektif sosilogis
tidak dapat diterapkan oleh pemerintah,” dalil Asrun.
Kemudian, dari pengujian formil, ketentuan Pasal 7 ayat
(6) huruf a UU APBN-P 2012 telah melanggar putusan Mahkamah Konstitusi. MK
dalam putusan Nomor 2/PUU-I/2003 membatalkan ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi karena dianggap bertentangan
dengan UUD 1945, akibat menyerahkan harga minyak untuk ditentukan oleh
mekanisme pasar bebas.
“Pasal 7 ayat (6) huruf a UU APBN-P Tahun 2012,
secara materiil bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), Pasal
23 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945,”
tandas Asrun. (Nur Rosihin Ana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar