Catatan Perkara MK
Profesi tukang gigi merupakan bagian dari budaya bangsa yang harus dilestarikan eksistensinya. Profesi ini dilakoni secara tradisional yang berlangsung turun-temurun dan telah ada sebelum Republiki Indonesia lahir. Keberadaan tukang gigi lebih dulu ada dibandingkan profesi dokter gigi. Oleh karena itu, negara wajib memelihara, melestarikan suatu identitas budaya dan harus menghormati hak masyarakat tradisional sebagai khazanah budaya bangsa.
Profesi tukang gigi merupakan bagian dari budaya bangsa yang harus dilestarikan eksistensinya. Profesi ini dilakoni secara tradisional yang berlangsung turun-temurun dan telah ada sebelum Republiki Indonesia lahir. Keberadaan tukang gigi lebih dulu ada dibandingkan profesi dokter gigi. Oleh karena itu, negara wajib memelihara, melestarikan suatu identitas budaya dan harus menghormati hak masyarakat tradisional sebagai khazanah budaya bangsa.
Pelarangan
terhadap profesi tukang gigi merupakan upaya sistematis memberangus khazanah
kebudayaan bangsa. Selain itu, pelarangan terhadap tukang gigi untuk
menjalankan profesinya merupakan bentuk ketidakadilan dan perlakuan yang
diskriminatif di hadapan hukum. Pelarangan ini hanyalah akal-akalan semata
dengan dalih atas nama kesehatan. Padahal sesungguhnya yang terjadi adalah
perebutan dan perampasan mengais rejeki semata.
Demikian
antara lain dalil permohonan pengujian (judicial review) ketentuan Pasal
73 ayat (2) dan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
(UU Praktik Kedokteran) terhadap UUD 1945. Permohonan diajukan oleh H. Hamdani Prayogo.
Pasal 73 ayat (2) UU Praktik Kedokteran menyatakan: “Setiap orang dilarang menggunakan
alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang
menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi
yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik.” Kemudian Pasal 78 menyatakan:
“Setiap orang yang
dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang
bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda
registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin
praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah).”
Pemohon melalui
kuasa hukumnya, M.
Sholeh Amin, A. Wirawan Adnan, AH. Wakil Kamal, IiM Abdul Halim, Rinny Ariany,
Nirsam MN Makarau, menyatakan ketentuan Pasal 73 ayat (2) dan Pasal 78 UU Praktik Kedokteran tersebut bertentangan dengan Pasal 28D
ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28I ayat (1), Pasal 28I
ayat (2), dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945. Akibat
berlakunya ketentuan Pasal7 3 ayat (1) dan Pasal 78 UU Praktik Kedokteran
tersebut, Pemohon telah tidak mendapatkan ketidakpastian hukum yang adil dan
tidak mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Sebab, norma yang
terkandung dalam Pasal 73 ayat (2) dan Pasal 78 UU
Praktik Kedokteran tersebut bersifat multitafsir dan sangat luas,
sehingga jika ada bidang pekerjaan yang bersentuhan atau ada kemiripan dengan
pekerjaan dokter atau dokter gigi, dianggap telah melakukan praktik kedokteran.
Ancaman
Pidana dan Denda
Frasa
“Setiap orang yang
dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain,” bisa
diartikan sama, identik atau mirip dengan pekerjaan tukang gigi, tukang urut
patah tulang, keterampilan tukang pembuat kaki palsu, pekerja optik
(menggunakan alat untuk mengetahui plus atau minusnya mata), penjual jamu, dukun
beranak, dan lain sebagainya. Semuanya profesi tersebut dilarang karena dianggap menggunakan alat
atau metode atau cara lain yang dapat diartikan menimbulkan kesan seolah-olah
yang bersangkutan dokter. Terlebih lagi, larangan tersebut disertai ancaman
pidana penjara yang sangat berat, yaitu paling lama 5 (lima) tahun atau denda
paling banyak Rp 150.000.000. Sementara rumusan norma perbuatan pidana tersebut
tidak jelas dan tegas, sehingga tidak sesuai prinsip lex certa yang
menjadi asas hukum pidana serta tidak memberikan kepastian hukum yang adil
sebagaimana dijamin konstitusi.
Akibat berlakunya
Pasal 73 ayat (1) dan Pasal 78 UU Praktik Kedokteran yang bersifat multitafsir
tersebut, Pemerintah RI melalui Menteri Kesehatan RI mengeluarkan Peraturan
Menteri Kesehatan (Permenkes) RI Nomor 1871/MENKES/PER/IX/2011 Tahun 2011
tentang Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/IV/1989
tentang Pekerjaan Tukang Gigi. Pasal 2 ayat (1) Permenkes Nomor 1871
menyatakan: “(1) Tukang gigi yang telah melaksanakan pekerjaannya berdasarkan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 Tentang Pekerjaan
Tukang Gigi masih dapat menjalankan pekerjaannya sebagai Tukang Gigi sampai
berlakunya Peraturan ini dan/atau habis masa berlaku izin yang bersangkutan,
dan tidak dapat diperpanjang kembali. (2) Kewenangan pekerjaan Tukang Gigi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. membuat sebagian/seluruh gigi
tiruan lepasan dari akrilik; dan b. memasang gigi tiruan lepasan.”
Keluarnya
Permenkes tersebut merujuk kepada UU Praktik Kedokteran yang mengandung
ketidakpastian hukum yang adil karena mengandung banyak tafsir. Sehingga secara
sepihak Pemerintah RI melalui Menkes menafsirkannya secara keliru yaitu membuat
larangan kepada para tukang gigi untuk tidak menjalankan pekerjaannya lagi, tanpa
memperhatikan hak-hak tukang gigi yang sekarang berjumlah kurang lebih 75.000 sebagai
warga negara yang semestinya dilindungi oleh Negara sebagaimana termuat dalam Pasal
28D ayat ( 2) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
di hadapan hukum.”
Berlakunya ketentuan Pasal 73 ayat (2) dan Pasal 78 UU Praktik
Kedokteran mengakibatkan Para Pemohon dan kurang lebih 75.000 tukang gigi
kehilangan pekerjaan karena dianggap telah melakukan pekerjaan yang sama dengan
praktek kedokteran. Ketika para Pemohon tetap melaksanakan pekerjaannya maka
diancam dengan ancaman Pidana Penjara dan/atau denda.
Oleh karena
itu, dalam petitum para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 73
ayat (2) dan Pasal 78 UU Praktik Kedokteran bertentangan dengan UUD 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Atau menyatakan Pasal 73 ayat (2) dan
Pasal 78 UU Praktik Kedokteran bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally
unconstitutional), kecuali sepanjang dimaknai alat, metode atau cara lain
tersebut yang bersifat tradisional, atau diakui secara turun temurun, dan atau
telah lazim diterima secara umum, maka dapat dilakukan oleh orang yang memiliki
keahlian tertentu selain dokter dan dokter gigi, seperti tukang gigi, tukang urut patah tulang dan semacamnya.
Nur Rosihin Ana
Update:
Uji materi UU Praktik Kedokteran dikabulkan MK dalam persidangan pengucapan putusan yang digelar pada 15 Januari 2013. Selengkapnya putusan uji materi UU Praktik Kedokteran dapat dibaca di sini
Update:
Uji materi UU Praktik Kedokteran dikabulkan MK dalam persidangan pengucapan putusan yang digelar pada 15 Januari 2013. Selengkapnya putusan uji materi UU Praktik Kedokteran dapat dibaca di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar