Pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai
kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang sudah merambah berbagai
lini dan level di negeri ini, akan melemah jika Mahkamah Konstitusi mengabulkan
permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Ancaman pidana penjara minimal empat tahun bagi koruptor,
justru menjadi efek jera bagi koruptor.
Demikian opening statement Pemerintah yang
disampaikan oleh Direktur Litigasi Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM), Mualimin Abdi, dalam persidangan
di Mahkamah Konstitusi, Kamis (7/6/2012) siang. Sidang pleno perkara
39/PUU-X/2012 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU Tipikor) Pasal
2 ayat (1), ini diajukan oleh Herlina Koibur.
Herlina Koibur adalah terpidana tindak pidana korupsi yang divonis Pengadilan Negeri Biak berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor yang
menyatakan: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Herlina lalu mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi
Jayapura. Herlina dijatuhi hukuman lebih ringan yaitu pidana penjara 2 tahun
dan denda sebesar 200 juta. Alasan ancaman pidana 2 tahun lebih ringan
dikarenakan Herlina telah ditunjuk oleh Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan
Kabupaten Supiori sebagai pelaksana kegiatan pengembangan produksi perikanan,
pengembangan budidaya teripang, pelatihan pengolahan teripang dan peningkatan
sumber daya nelayan. Namun dalam perjalanan pelaksanaan pekerjaan ini, Herlina
tidak dilibatkan secara langsung. Sedangkan uang 3 juta yang diterima Herlina
dari terdakwa lain, merupakan fee setelah pekerjaan pengadaan speedboad selesai
dilaksanakan.
Di hadapan sidang yang dilaksanakan oleh sembilan Hakim
Konstitusi, Mualimin Abdi menyatakan, ketentuan pasal UU Tipikor yang diujikan
Pemohon, justru memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi pelaku tindak
pidana korupsi. Sebaliknya, Pemerintah melihat adanya inkonsistensi Pemohon dalam
permohonannya, yaitu meminta Mahkamah memberikan tafsiran konstitusional
bersyarat (conditionally
constitutional) pada ketentuan pasal yang diujikan.
“Namun di sisi lain, Pemohon menginginkan agar norma yang dimaksud adalah
ditafsir secara kualitas dan proporsional. Pemohon juga mengatakan agar pasal
yang dimohonkan itu dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” lanjut Mualimin.
Menurut Pemerintah, kerugian yang dialami Pemohon sebetulnya
terkait dengan masalah implementasi dari penerapan norma UU Tipikor. Seharusnya
yang ditempuh Pemohon adalah melakukan upaya
hukum hingga tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali (PK).
Sebelum mengakhiri persidangan, Ketua Pleno Hakim
Konstitusi Moh. Mahfud MD menganggap cukup proses persidangan uji materi UU
Tipikor. Mahkamah memberi kesempatan kepada Pemohon dan Pemerintah untuk
membuat kesimpulan paling lambat tanggal 21 Juni 2012. Selanjutnya Mahkamah
akan menggelar Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) kemudian pengucapan putusan. (Nur
Rosihin Ana)
Mendambakan Keadilan Substantif dalam Uji Materi UU Tipikor
Berita Terkait:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar