Rabu, 20 Juni 2012

Mahkamah Batalkan Cekal Tanpa Batas

Permohonan judical review UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (UU Keimigrasian) yang dimohonkan oleh Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, memasuki tahap akhir yang paling menentukan, yaitu pengucapan putusan di Mahkamah Konstitusi. Mahkamah dalam amar putusan menyatakan mengabulkan sebagian permohonan Yusril. “Amar Putusan, mengadili, menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD saat mengucapkan putusan Nomor 64/PUU-IX/2011 dalam persidangan yang digelar di MK, Rabu (20/6/2012) siang.

Masih dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian sepanjang frasa “setiap kali” adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selanjutnya bunyi Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian menjadi “Jangka waktu Pencegahan berlaku paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan”. Selain itu, memerintahkan pemuatan putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia. Terakhir, menyatakan menolak permohonan Yusril untuk selain dan selebihnya.

Latar belakang diajukannya permohonan ini karena Yusril dicegah ke luar negeri selama 6 (enam) bulan berdasarkan Keputusan Jaksa Agung RI Nomor Kep-201/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 27 Juni 2011 tentang “Pencegahan Dalam Perkara Pidana”. Alasan utama pencegahan terhadap Yusril, sebagaimana tertuang dalam konsideran keputusan Jaksa Agung tersebut adalah “untuk kepentingan operasi yustisi di bidang penyidikan”. Sebab Yusril diduga terlibat dalam perkara pidana dan telah  dinyatakan sebagai tersangka sejak tanggal 24 Juni 2010.

Sebelumnya, Jaksa Agung telah menerbitkan Keputusan Nomor Kep-212/D/Dsp.3/06/2010 tanggal 25 Juni 2010 yang diktumnya mencegah Yusril ke luar negeri selama 1 (satu) tahun dengan alasan yang sama, yakni untuk “kepentingan operasi yustisi di bidang penyidikan”. Pencegahan itu berlaku sejak 25 Juni 2010 sampai 25 Juni 2011.

Dicekal UU Tak Berlaku

Jelang jangka waktu pencegahan berakhir, Jaksa Agung kembali melakukan pencegahan kepada Yusril melalui Keputusan Nomor Kep-195/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 24 Juni 2011 untuk jangka waktu (1) tahun hingga 25 Juni 2012. Alasan yang digunakan pun sama, yakni “untuk operasi yustisi di bidang penyidikan”. Padahal, salah satu dasar hukum yang digunakan untuk melakukan pencegahan itu ialah UU Nomor 9 Tahun 1992 yang telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan Pasal 142 UU 6 Tahun 2011 sejak tanggal 5 Mei 2011.

Yusril melakukan perlawanan terhadap Keputusan Jaksa Agung tersebut dengan melakukan gugatan ke PTUN Jakarta. Wakil Jaksa Agung Darmono, pada awalnya berkeras mengatakan bahwa keputusan yang menggunakan UU yang telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku itu, sebagai “keputusan yang sah dan sudah benar”. Hal ini memicu polemik antara Yusril dengan jajaran Kejagung, Menteri Hukum dan HAM dan beberapa pejabat Ditjen Imigrasi. Namun, ketika gugatan telah didaftarkan di PTUN Jakarta, Jaksa Agung tiba-tiba mencabut Keputusan Nomor 195/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 24 Juni 2011 dan menerbitkan Keputusan Pencegahan yang baru, yakni Keputusan Nomor Kep-201/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 27 Juni 2001. Diktum Keputusan ini intinya mencegah Yusril ke luar negeri selama 6 (enam) bulan, sesuai jangka waktu maksimum yang diberikan oleh Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian yang dijadikan sebagai salah satu dasar hukum dalam konsideran keputusan tersebut. Sedangkan alasan pencegahan tetap sama, yakni “untuk kepentingan operasi yustisi di bidang penyidikan.

Sampai Kiamat

Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian menyatakan, ”Jangka waktu Pencegahan berlaku paling lama 6 (enam) bulan dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan”. Menurut Yusril, frasa “dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan”, dapat menyebabkan terjadinya perpanjangan pencegahan ke luar negeri terhadap seorang warga negara pada masa penyidikan tanpa kepastian batas waktu bahkan ilâ yaumil qiyâmah (sampai datangnya hari kiamat). Hal ini menciptakan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dan bertentangan dengan hak warga negara untuk memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta hak untuk kembali sebagaimana dijamin oleh Pasal 28E ayat (1) UUD 1945.

Mahkamah berpendapat, pencegahan ke luar negeri diatur dalam Pasal 91 sampai dengan Pasal 97 UU Keimigrasian. Pasal 91 mengatur bahwa yang berwenang melakukan pencegahan adalah Menteri Hukum dan HAM. Pencegahan dilakukan berdasarkan hasil pengawasan Keimigrasian, Keputusan Menteri Keuangan dan Jaksa Agung, permintaan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, perintah Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, permintaan Kepala Badan Narkotika Nasional, dan keputusan, perintah, atau permintaan pimpinan kementerian/ lembaga lain yang berdasarkan Undang-Undang memiliki kewenangan pencegahan. Pasal 16 ayat (1) UU Keimigrasian mengatur bahwa apabila seseorang berada dalam daftar pencegahan, atau diperlukan untuk kepentingan penyidikan atas permintaan pejabat yang berwenang, maka Pejabat Imigrasi dapat menolak orang tersebut untuk keluar Wilayah Indonesia. “Dengan demikian, salah satu tujuan pencegahan adalah untuk kepentingan penyidikan, yaitu untuk mencegah seseorang yang disangka melakukan tindak pidana menghindar dari proses hukum dengan melarikan diri keluar dari wilayah Indonesia,” kata Hakim Konstitusi Anwar Usman membacakan pendapat Mahkamah.

Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian khususnya frasa “dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan” di satu sisi dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi tersangka karena tidak dapat memastikan sampai kapan penyidikan berakhir dan sampai kapan pula pencegahan ke luar negeri berakhir. Pada sisi lain dapat menimbulkan kesewenang-wenangan aparat negara yaitu Jaksa Agung, Menteri Hukum dan HAM, dan pejabat lainnya yang berwenang untuk melakukan pencegahan kepada tersangka tanpa batas waktu. Kejadian seperti ini pernah dialami oleh A.M. Fatwa. Saat bersaksi di persidangan MK, A.M. Fatwa berkisah dicegah tanpa batas waktu dan tanpa surat pencegahan pada masa pemerintahan Orde Baru yang sangat menyakitkan.

Akibat selanjutnya adalah tidak jelasnya penyelesaian suatu perkara pidana yang justru merugikan penegakan keadilan, karena keadilan yang ditunda-tunda dapat menimbulkan ketidakadilan (justice delayed is justice denied). Apalagi dengan adanya pencegahan ke luar negeri terhadap seorang tersangka tanpa batas waktu, mengakibatkan ketidakbebasan bagi tersangka dalam waktu yang tidak terbatas pula, dengan tanpa mendapat pengurangan pidana jika pada akhirnya tersangka dijatuhi pidana oleh pengadilan seperti halnya tersangka/terdakwa yang dikenai penahanan kota sebagaimana diatur dalam KUHAP. (Nur Rosihin Ana)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More