Persyaratan
bagi partai politik (parpol) untuk bisa menjadi peserta pemilu berikutnya
(Pemilu 2014), harus memenuhi ambang batas perolehan suara 3,5% dari jumlah
suara sah secara nasional (ambang batas parlemen atau parliamentary
threshold/PT).
Ketentuan ini mengundang keberatan sejumlah parpol peserta Pemilu 2009 yang
tidak memenuhi parliamentary threshold (PT) 3.5% yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Demokrasi
Pembaruan (PDP), Partai Nasional Banteng Kerakyatan Indonesia PNBKI) dan Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI)
mengajukan permohonan yang kemudian diregistrasi oleh Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi (MK) dengan nomor 54/PUU-X/2012. Para Pemohon tersebut melakukan uji
formil UU Nomor 8
Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD (UU Pemilu). Keberatan
juga dilayangkan oleh parpol baru, yaitu Partai Nasional Demokrat (NasDem),
dengan registrasi nomor 55/PUU-X/2012. Nasdem mengujikan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu.
Mahkamah
Konstitusi (MK) pada Jum’at (15/6/2012) pagi, menggelar sidang pemeriksaan
pendahuluan untuk kedua permohonan tersebut. Sidang dilaksanakan oleh Panel Hakim
Konstitusi Achmad Sodiki (Ketua Panel), M. Akil Mochtar dan Muhammad Alim. Sebelumnya,
pada Kamis kemarin, Mahkamah telah menyidangkan ketentuan PT dalam UU Pemilu
yang diajukan oleh 22 parpol dan perorangan warga negara.
“Political
Representative”
Di hadapan Pleno Hakim Konstitusi, Kader PDP Max Lau
Siso menyatakan ketentuan dalam UU Pemilu menghilangkan kedaulatan rakyat dan keterwakilan
politik rakyat. Kenaikan PT dan pemberlakuannya secara flat nasional, secara
nyata menghilangkan suara rakyat sebagai pemilih dalam pemilu, dan melahirkan
para anggota DPR, DPRD provinsi maupun DPRD kabupaten/kota yang tidak dipilih
berdasarkan pilihan rakyat. “Dengan demikian, keterwakilan politik rakyat political
representative yang sesungguhnya menjadi tujuan pemilu menjadi tidak ada,
sebab ada keterputusan antara pilihan rakyat dengan yang mewakili rakyat di DPR,
DPRD provinsi, maupun DPRD kabupaten/kota,” kata Max.
Partai politik yang tidak memenuhi PT, jelas Max Lau
Siso, tidak hanya kehilangan kursi di DPR, melainkan juga di tingkat DPRD
provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Akibatnya, banyak entitas komunitas lokal
yang tidak terwadahi dan tidak terwakili dalam DPR/DPRD provinsi DPRD
kabupaten/kota.
Melanjutkan pernyataan Max, kader PPDI, Lasmidara
menyatakan, pembentukan UU menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil (fair
legal uncertainty). Sebab, Pemohon sebelumnya sudah mendapat jaminan untuk
menjadi peserta Pemilu 2014 sebagaimana ketentuan Pasal 8 ayat (2) dan
Penjelasan Pasal 8 ayat (2) UU Pemilu Tahun 2008 yang tidak membedakan antara
parpol peserta Pemilu 2009, baik parpol yang memenuhi PT maupun yang tidak
memenuhi PT. Dengan demikian bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan ayat
(3) serta Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945,” kata Lasmidara.
Berdasarkan
hal tersebut, para Pemohon dalam petitum meminta Mahkamah menyatakan UU Nomor
8 Tahun 2012 secara keseluruhan baik formil maupun materiil tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Kemudian menyatakan UU Nomor 10 Tahun 2008 berlaku
kembali sebagai UU Pemilu 2014.
Verifikasi yang Diskriminatif
Partai NasDem sebagai Pemohon nomor 55/PUU-X/2012) mengujikan
Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu. Pasal 8 ayat (1) menyatakan, “Partai
Politik Peserta Pemilu Terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari
jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai partai politik peserta
pemilu pada pemilu berikutnya.”
Kemudian Pasal 8 ayat (2) menyatakan, “Partai politik
yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau
partai politik baru dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan: a.
Berstatusbadan hukum sesuai dengan UU tentang Partai Plotik; b. Memiliki
kepengurusan di seluruh provinsi; c. Memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh
lima persen) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan; d. Memiliki
kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang
bersangkutan; e. Menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan
perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat; f. Memiliki anggota
sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari
jumlah Penduduk pada kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada
huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota; g. Mempunyai
kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu; h. Mengajukan nama, lambing dan
tanda gambar partai politik kepada KPU; dan i. Menyerahkan nomor rekening dana
kampanye Pemilu atas nama partai politik kepada KPU.
Partai Nasdem melalui kuasa hukumnya, Sondang
Tampubolon menyatakan Partai NasDem sangat sepakat dengan adanya proses verifikasi
oleh KPU. Hingga saat ini Partai NasDem telah melakukan verifikasi hingga tingkat
kecamatan. Partai NasDem memersoalkan adanya diskrminasi dalam proses
verifikasi. “Permasalahan terjadi, Yang Mulia, karena ada di saat ada
perlakukan masalah diskriminasi terhadap verifikasi, di mana partai yang tidak
lolos ambang batas pada pemilu sebelumnya dan partai baru diwajibkan ada proses
verifikasi,” kata Sondang.
Sondang menambahkan, syarat verifikasi partai yang
telah lolos PT pada Pemilu sebelumnya (Pemilu 2009) berbeda dengan syarat verifikasi
yang ada dalam UU Pemilu 2012. “Salah satu contoh yang sangat mencolok, Yang
Mulia, di Pasal 8 ayat (2) di poin D, di sini disebutkan, memiliki kepengurusan
di 50% jumlah kecamatan di kabupaten yang bersangkutan. Sementara di Undang-Undang
sebelumnya tidak ada persyaratan verifikasi sampai tingkat kecamatan,” kata
Sondang menyontohkan.
Dalam petitum, Partai NasDem meminta Mahkamah
menyatakan Pasal 8 ayat
(1) UU Nomor 8 Tahun 2012 bertentangan dengan dengan Pasal 22E (1), Pasal 28D
(1), dan Pasal 28 I (2) UUD 1945. Kemudian menyatakan Pasal 8 ayat (2) UU Nomor
8 Tahun 2012 sepanjang frasa “yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara
pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru” bertentangan
dengan Pasal 22E ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (Nur Rosihin Ana)
Berita terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar