Contoh Permohonan Uji Materi UU ke MK
Yth. Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jalan Merdeka Barat No. 6
Jakarta 10110
Perihal: Permohonan Pengujian Pasal 1
angka 19 dan 23,Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal
11 ayat (2), Pasal 13 dan Pasal 44 Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
Dengan
hormat,
Bahwa kami yang
bertandangan dibawah ini:
I.
Pimpinan
Pusat Muhammadiyah yang didirikan
berdasarkan Ketentuan Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 5 Staatsblaad 1870 No.
64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum yang kemudian disahkan
berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 81 tertanggal 22
Agustus 1914 selanjutnya disesuaikan dengan Keputusan Menteri Hukum dan HAM
Nomor AHU-88.AH.01.07. Tahun 2010. Berkedudukan di Jalan Cik
di Tiro No.23, Yogyakarta dan Jalan Menteng Raya. No. 62 Jakarta Pusat dalam
hal ini diwakili oleh Prof. Dr. H.M Din Syamsuddin, MA dalam
kedudukannya sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah,
oleh karenanya sah bertindak untuk dan atas
nama Pimpinan Pusat Muhammadiyah; yang untuk selanjutnya disebut Pemohon
I; (vide bukti P.1)
II.
Lajnah
Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia, yang terdaftar dalam
Kementerian dalam Negeri Republik Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan
Politik No. 44/D.III.2/VI/2006. Berkedudukan di Jakarta dalam hal ini diwakili
oleh Ir. Rahmat Kurnia. M.Si dalam kedudukannya sebagai Ketua, oleh karenanya
sah bertindak untuk dan atas nama Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia, yang
untuk selanjutnya disebut Pemohon II; (vide bukti P.2)
III.
Pimpinan
Pusat Persatuan Ummat Islam, yang Keputusan Menteri Kehakiman Republik
Indonesia, No. JA/5/86/23. Dan terdaftar ulang di Departemen Dalam Negeri
Republik Indonesia No. 104/DIII.3/XII/2006. Berkedudukan di Jakarta, yang
selanjutnya disebut sebagai Pemohon III; (vide bukti P.3)
IV.
Pimpinan
Pusat Syarikat Islam Indonesia yang terdaftar dalam Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia Direktorat
Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik No. 117/D.III.3/III/2010 Berkedudukan di Jakarta dalam hal ini
diwakili oleh H. Muhammad Mufti dalam kedudukannya sebagai Presiden Lajnah
Tanfidziyah Syarikat Islam Indonesia, dan oleh karenanya sah bertindak untuk
dan atas nama Dewan Pimpinan Pusat Syarikat Islam Indonesia, yang selanjutnya
disebut sebagai Pemohon IV; (vide bukti P.4)
V.
Pimpinan
Pusat/Lajnah Tanfidziyah Syarikat Islam yang
didirikan Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM No. C-266.HT.03.06-Th.
2004 tertanggal 23 September 2004 dan keterangan terdaftar berdasarkan
keterangan Kementerian Dalam Negeri No. 09/D.III.3/II/2006. Berkedudukan di
Jalan Taman Amir Hamzah No. 2 Jakarta Pusat 10320 dalam hal ini diwakili oleh
Drs. Djauhari Syamsuddin dalam kedudukannya sebagai Ketua UmumPP Syarikat
Islam, oleh karenanya sah bertindak untuk dan atas nama PP Syarikat Islam, yang
selanjutnya disebut Pemohon V; (vide bukti
P.4)
VI.
Pimpinan
Pusat Persaudaraan Muslimin Indonesia yang
terdaftar berdasarkan keterangan Kementerian Dalam Negeri No.
82/D.I/VI/2003. Berkedudukan di Jakarta
dalam hal ini diwakili Drs. H. Imam Suhardjo HM oleh dalam kedudukannya sebagai
Sekretaris Jenderal dan oleh karenanya sah bertindak untuk dan atas nama PP
Persaudaraan Muslimin Indonesia, yang selanjutnya disebut Pemohon VI; (vide
bukti P.6)
VII.
Pimpinan
Pusat Al-Irsyad Al-Islamiyah
yang terdaftar melalui Departemen Dalam Negeri
dan Otonomi Daerah Republik Indonesia No. 80/D.I/VI/2001. Berkedudukan
di Jakarta dalam hal ini diwakili oleh KH
Abdullah Djaidi dalam kedudukannya
sebagai Ketua Umum PP Al Irsyad Al Islamiyah, oleh karenanya sah bertindak
untuk dan atas nama PP Al Irsyad Al Islamiyah, yang selanjutnya disebut Pemohon
VII (vide bukti P.7)
VIII.
Pimpinan
Besar Pemuda Muslimin Indonesia yang Berkedudukan di Jakarta dalam hal ini
diwakili oleh H. Muhtadin Sabili dalam kedudukannya sebagai Ketua PB Pemuda
Muslimin Indonesia, oleh karenannya sah bertindak untuk dan atas nama PB Pemuda Muslimin Indonesia, yang selanjutnya
disebut Pemohon VIII; (vide bukti P.8)
IX.
AL
Jami’yatul Washliyah, berdasarkan hak hukum menurut penetapan
Menteri Kehakiman tanggal 17 Oktober 1956 No: J-A-/74/25 telah diperbaharui dengan
keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia tanggal 9 Mei
2006 Nomor: C-20. HT.01.06. TH.2006 dan tercatat ditambahan negara Republik
Indonesia tanggal 19 Desember 2006 No. 101. Yang dalam hal ini diwakili oleh
Drs. HA. Aris Banadji dalam kedudukannya sebagai Ketua, oleh karenannya sah
bertindak untuk dan atas nama PB AL Jami’yatul Washliyah, yang selanjutnya
disebut Pemohon IX; (vide bukti P.9)
X.
Solidaritas
Juru Parkir, Pedagang Kaki Lima, Pengusaha, dan Karyawan (SOJUPEK), Berdasarkan Akta Pendirian No. 05 Tanggal 9 September 2011 Notaris Hanita
Sentono, SH, berkedudukan di Jalan Gadjah Mada No. 16B
Jakarta Pusat, yang diwakili oleh Lieus Sungkharisma dalam kedudukannya sebagai
koordinator, oleh karenanya sah bertindak untuk dan atas nama SOJUPEK, yang
selanjutnya disebut Pemohon X; (vide bukti P.10.)
XI.
K.H. Achmad Hasyim Muzadi, Warga Negara Indonesia, Guru, Jalan Cengger Ayam No. 25 Rt.001/0014, Tulus
Redjo, Lowokwaru, Malang, yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon XI; (vide
bukti P.11)
XII.
Drs.
H. Amidhan, Warga Negara Indonesia, Pensiunan, Komplek
Departemen Agama No. 26, Kedaung Kali Angke, Cengkareng, Jakarta Barat, yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon XII; (vide bukti
P.12)
XIII.
Prof.
Dr. Komaruddin Hidayat, Warga Negara Indonesia,
PNS, Jalan Semanggi II No. 3 RT 003/RW 003 Cempaka Putih, Ciputat Timur, Tangerang,
yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon XIII; (vide bukti P.13)
XIV.
Dr.
Eggi Sudjana. SH, M.Si, Warga Negara Indonesia, Advokat, VIP Jalan
Sultan Agung No. 1. RT 005/006, Babakan, Kota Bogor Tengah, Bogor, yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon XIV; (vide bukti P.14)
XV.
Marwan
Batubara, Warga Negara Indonesia, Wiraswasta, Jalan
Depsos I No.21, RT 001, Bintaro, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon XV; (vide bukti P.
15)
XVI.
Drs.
Fahmi Idris, MH, Warga Negara Indonesia, jalan Mampang Prapatan IV/20, RT015/002 Tegal
Parang, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, yang selanjutnya
disebut sebagai Pemohon XVI; (vide bukti P.16)
XVII.
Moch.
Iqbal Sullam, Warga Negara Indonesia, Swasta, jalan Petojo Sabangan V No. 10, RT 004/004,
Petojo Selatan, Gambir, Jakarta Pusat, yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon
XVII; (vide bukti P.17)
XVIII.
Drs.
H. Ichwan Sam, Warga Negara Indonesia,
Dosen, Komplek Patriajaya Blok A No.90B RT 002/RW 013, Jati Rahayu, Pondok
Melati, Kota Bekasi, Jawa Barat, yang
selanjutnya disebut sebagai Pemohon XVIII; (vide bukti
P.18),
XIX.
Ir.
H. Salahuddin Wahid, Warga Negara Indonesia, Jalan Irian Jaya 10
Tebu Ireng RW 11 RW 009, Jombang, Jawa Timur, yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon
XIX; (vide bukti P.19)
XX.
Nirmala
Chandra Dewi M, SH, Warga
Negara Indonesia, Wiraswasta, Jalan Cemara No. 21, RT 003/ RW.003, Gondangdia,
Menteng, Jakarta Pusat, yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon XX; (vide
bukti P.20)
XXI.
HM.
Ali Karim OEI, SH, Warga Negara Indonesia, Wiraswasta, Jalan
Duri Mas Raya I/221 RT 003/010, Duri Kepa, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, yang
selanjutnya disebut sebagai Pemohon XXI; (vide bukti P.21)
XXII.
Adhi
Massardi, Warga Negara Indonesia, Karyawan Swasta,
Pondok Timur Mas A No.22, RT. 009/013, Bekasi Selatan, Kota Bekasi, yang
selanjutnya disebut sebagai Pemohon XXII; (vide bukti P. 22)
XXIII.
Ali
Mochtar Ngabalin, Warga Negara Indonesia, Karyawan Swasta,
Jalan Menteng Raya No. 58. RT.001/009, Kebon Sirih, Menteng, Jakarta Pusat,
yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon XXIII; (vide bukti P.23)
XXIV.
Hendri
Yosodiningrat, SH, Warga Negara Indonesia, Advokat, Jalan
Margasatwa Raya, No. 888 HY Pondok labu, Cilandak, Jakarta Selatan, yang
selanjutnya disebut sebagai Pemohon XXIV; (vide bukti P. 24)
XXV.
Laode
Ida, Warga Negara Indonesia, Anggota DPD RI, Jalan
Batas Barat III No. 58, RT006/RW003, Kalisari, Pasar Rebo, Jakarta Timur, yang
selanjutnya disebut sebagai Pemohon XXV; (vide bukti P. 25)
XXVI.
Sruni
Handayani, Warga Negara Indonesia, Karyawan
Swasta, Jalan Cianjur No. 10 RT 007/004, Menteng, Jakarta Pusat, yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon XXVI; (vide bukti
P.26)
XXVII.
Juniwati
T. Masgehun S, Warga Negara Indonesia, Anggota DPD, Jalan
Kolonel Sugiono BLK D/17, Duren Sawit, Jakarta Timur,
yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon XXVII; (vide bukti P.27)
XXVIII.
Nuraiman,
Warga Negara Indonesia, Mahasiswa, Kedaung Hijau Blik D.
11/43 RT.001/005, Desa Kedaung, Pamulang, Tangerang Selatan, yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon XXVIII; (vide
bukti P.28)
XXIX.
Sultana
Saleh, Warga Negara Indonesia, Jalan. Kebon Jahe
III/2 RT.002/RW.001, Petojo Selatan, Gambir, Jakarta Pusat,
yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon XXIX; (vide bukti P.29)
XXX.
Marlis,
Warga Negara Indonesia, Wiraswasta, Jalan Kramat Pulo GG,
RT.002/003, Kramat, Senen, Jakarta Pusat, yang selanjutnya
disebut sebagai Pemohon XXX; (vide bukti P.30)
XXXI.
Fauziah
Silvia Thalib, Warga Negara Indonesia, Jalan
Tamansari IV No. 33 RT.001/003, Maphar, Tamansari, Jakarta Barat, yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon XXXI; (vide bukti
P.31)
XXXII.
King
Faisal Sulaiman, SH. LL.M, Warga Negara Indonesia, Dosen Fakultas Hukum
Universitas Khairun Ternate, Alamat di Jalan Pertamina Gambesi Ternate Provinsi
Maluku Utara, yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon XXXII; (vide
bukti P.32)
XXXIII.
Soerasa,
BA, Warga Negara Indonesia, Wartawan, Jalan
Empang Bahagia, RT 009/ RW 006, Jelambar, Grogol, Jakarta Barat, yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon XXXIII; (vide
bukti P.33)
XXXIV.
Mohammad
Hatta, Warga Negara Indonesia, Karyawan, Jalan
Empang Bahagia, RT 004 RW 002, Petukangan Utara, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon XXXIV; (vide bukti
P.34)
XXXV.
M.
Sabil Raun, Warga Negara Indonesia,Wartawan, GG.
BAHASAWAN, RT 003/007, Kebon Kacang, Tanah Abang, Jakarta Pusat, yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon XXXV; (vide bukti
P.35)
XXXVI.
Edy
Kuscahyanto, S.SI, Warga Negara Indonesia, Karyawan, Jalan Danau
Banggaibaiba D II No. 57, RT.004, Bendungan Hilir, Tanah Abang, Jakarta Pusat, yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon XXXVI; (vide bukti P.36)
XXXVII.
Yudha
Ilham, SH, Warga Negara Indonesia, Wiraswasta, Jalan
Kapten Baharudin. RT. 001/RW 004, Cianjur, yang selanjutnya
disebut sebagai Pemohon XXXVII; (vide bukti P.37)
XXXVIII. Joko Wahono,
Warga Negara Indonesia, swasta, Kaliwangan, Temon Wetan, Rt.025/RW. 003, Kulon
Progo Yogyakarta, yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon
XXXVIII; (vide bukti P.38)
XXXIX.
Dwi
Saputro Nugroho, Warga negara Indonesia, Swasta, Jalan Bumi
Pratama Timur, B Blok R/7 RT 007 RW 006 Dukuh, Kramat jati, Jakarta Timur, yang
selanjutnya disebut sebagai Pemohon XXXIX; (vide bukti P.39)
XL.
A.M
Fatwa, Warga Negara Indonesia, Jalan Kramat Pulo
Gundul RT 002/009, Tanah Tinggi, Johar Baru, Jakarta Pusat, yang selanjutnya
disebut sebagai Pemohon XL; (vide bukti P.40)
XLI.
Hj.
Elly Zanibar Madjid, Warga Negara Indonesia, Wiraswasta, Bilimun
Blok IV/12, RT008/RW10, Pondok Kelapa, Duren Sawit, Jakarta Timur, yang
selanjutnya disebut sebagai Pemohon XLI; (vide bukti P.41)
XLII.
Jamilah,
Warga Negara Indonesia, Karyawati, Jalan Tamansari III
No. 31 RT 004/003, Maphar Taman Sari, Jakarta Barat, yang selanjutnya disebut
sebagai Pemohon XLII; (vide bukti P.42)
Dalam
hal ini memberikan kuasa berdasarkan surat kuasa
khusus tertanggal 29 Maret 2012, kepada:
Dr. Syaiful Bakhri, S.H. MH, Drs. Muchtar Luthfi. S.H. Sp.N, Zulhendri Hasan, S.H., MH, Dwi Putri Cahyawati.
S.H., MH, Najamudin Lawing. S.H. MH., Maryogi.S.H.,MH.Hendra Muchlis. S.H., MH,
Umar Husin. S.H., MH, Ferry Anka Sugandar. S.H., MH,Jurizal Dwi. S.H., MH, Noor Ansyari. S.H, Jaja Setiadijaya. S.H,Sutedjo Sapto Jalu,
SH, Ibnu Sina Chandranegara. S.H dan Bachtiar. S.H
Kesemuanya
Advokat dan Pembela Umum, yang tergabung dalamTIM MAJELIS HUKUM DAN HAM PP
MUHAMMADIYAH, memilih domisili hukum di Jalan Menteng Raya No. 62, Jakarta Pusat, Faks (021) 3903024, Telp (021) 3903021-22, 331363
Untuk selanjutnya disebut PARA PEMOHON.
Sebagaimana
perihal pokok surat di atas, perkenankan untuk dan atas nama PARA PEMOHON in casu, bersama ini mengajukan Permohonan Pengujian Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001
Tentang Minyak dan GasBumi (selanjutnya disebut sebagai UU Migas) sebagaimana diuraikan sebagai berikut:
I.
Kewenangan Mahkamah
1. Bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pengujian Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(selanjutnya disebut UUD 1945) diatur dalam : (a)
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945; (b) Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; (c) Pasal 29 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; dan (d)
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam
Perkara Pengujian Undang-Undang;
2. Bahwa Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
3. Bahwa Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa “Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar”
4. Bahwa Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa “Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar”
5. Bahwa Mahkamah Konstitusi sendiri memiliki Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara
Pengujian Undang-Undang. Bahwa Hal ini jelas bahwa Mahkamah Konstitusi
mempunyai kewenangan untuk menguji UU Migas terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING)
PEMOHON
1.
Bahwa
berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi beserta penjelasannya, yang dapat mengajukan
permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD
1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
a. Perorangan warga negara Indonesia (termasuk
kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
b.
Kesatuan
masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
Undang-Undang;
c.
Badan
hukum publik atau privat; atau
d.
Lembaga
negara.
2.
Bahwa
berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
11/PUU-V/2007, serta putusan-putusan selanjutnya, Mahkamah berpendirian bahwa
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51
ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi harus
memenuhi lima syarat, yaitu:
a.
Adanya
hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
b.
Hak
dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan
oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c.
Kerugian
konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau
setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan
akan terjadi;
d.
Adanya
hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e.
Adanya
kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional
seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
3.
Bahwa
kelima syarat sebagaimana dimaksud diatas dijelaskan lagi oleh Mahkamah melalui
Putusan Mahkamah No. 27/PUU-VII/2009 dalam pengujian formil Perubahan Kedua
Undang-Undang Mahkamah Agung (hlm 59), yang menyatakan: “dari praktik
Mahkamah (2003-2009), perorangan WNI, terutama pembayar pajak (tax payer); vide
Putusan Nomor 003/PUU-I/2003) berbagai asosiasi dan NGO/LSM, yang concern
terhadap suatu Undang-Undang demi kepentingan publik, badan hukum, Pemerintah
Daerah, lembaga negara, dan lain-lain, oleh Mahkamah dianggap memiliki legal
standing untuk mengajukan permohonan pengujian, baik formil maupun materiil,
Undang-Undang terhadap UUD 1945”.
4.
Bahwa
PARA PEMOHON
adalah perorangan dan badan hukum publik
yang dirugikan hak konstitusionalnya atas berlakunya Pasal-Pasal yang
terkandung didalam UU Migas, antara lain:
a. Pasal 1 angka 19 UU Migas: ”Kontrak
Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerjasama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara
dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
b. Pasal 1 angka 23 UU Migas:“Badan Pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan
pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi”;
c. Pasal 3 huruf b UU Migas: ”Penyelenggaraan Kegiatan
Usaha Migas dan Gas Bumi bertujuan:.....(b) menjamin efektifitas
pelaksanaan dan pengendalian usaha dan mengolahan, pengangkutan, penyimpangan
dan niaga secara akuntabel yang diselenggarakan melalui
mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat dan transparan”
d. Pasal 4 ayat (3) UU Migas:”Pemerintah sebagai
pemegang Kuasa Pertambangan membentuk Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud
Pasal 1 angka 23”
e. Pasal 6 UU Migas:”(1) Kegiatan Usaha
Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 19 dilaksanakan dan dikendalikan
melalui Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat 19; (2)
Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit memuat
persyaratan: (a). Kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah
sampai pada titik peyerahan; (b). Pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana; (c). modal dan
risiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha tetap”.
f. Pasal 9 UU Migas: ”(1) Kegiatan Usaha Hulu dan
Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Angka 2 dapat
dilaksanakan oleh: a. Badan Usaha Milik Negara; b.
Badan Usaha Milik Daerah; c.
Koperasi; usaha kecil; dan badan usaha swasta; (2) Bentuk Usaha Tetap hanya
dapat melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu;”.
g. Pasal 10 UU Migas: ”(1) Badan Usaha atau Bentuk
Usaha Tetap yang melakukan usaha hulu dilarang melakukan Kegiatan Usaha Hilir;
(2) Badan Usaha yang melakukan Kegiatan Usaha Hilir tidak dapat melakukan usaha
Hulu”.
h. Pasal 11 ayat (2) UU
Migas: “Setiap Kontrak Kerja Sama yang sudah
ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia”.
i. Pasal 44 UU Migas:”(1) Pengawasan terhadap pelaksanaan Kontrak Kerja Sama Kegiatan Usaha
Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dilaksanakan oleh Badan
Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3); (2). Fungsi Badan
Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melakukan pengawasan terhadap
Kegiatan Usaha Hulu agar pengambilan sumber daya alam Minyak dan Gas Bumi milik
negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.; (3) Tugas Badan Pelaksana sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah: a. memberikan pertimbangan kepada Menteri atas
kebijaksanaannya dalam hal penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak
Kerja Sama; b. melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama; c. mengkaji dan
menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan
dalam suatu Wilayah Kerja kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan; d.
memberikan persetujuan rencana pengembangan lapangan selain sebagaimana
dimaksud dalam huruf c; e. memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran;
f. melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri mengenai pelaksanaan
Kontrak Kerja Sama; g. menunjuk penjual Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi bagian
negara yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.”
j. Pasal 13 UU Migas: ”(1) Kepada setiap Badan Usaha
atau Bentuk Usaha Tetap hanya diberikan 1 (satu) wilayah kerja; (2) dalam hal
badan usaha atau Bentuk Usaha Tetap mengusahakan beberapa wilayah kerja, harus
dibentuk badan hukum yang terpisah untuk setiap wilayah kerja.”
5.
BahwaPARA
PEMOHON memiliki hak, kerugian dan kepentingan konstitusionalin casu,
antara lain sebagai berikut:
a. Bahwa PARA PEMOHON memiliki hak yang
dijamin oleh UUD 1945 yakni: Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) Pasal 28 H
ayat (1), dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945;
b. Bahwa Pasal 28C ayat (2) menyatakan”Setiap
orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”. Bahwa PARA
PEMOHON merasakan dengan masih diberlakukannya UU Migas walaupun telah
melakukan pengujian konstitusional melalui Putusan No. 002/PUU-I/2003, PARA
PEMOHON merasakan bahwa pembatalan norma yang dilakukan oleh Mahkamah
tidaklah berdampak signifikan bagi PARA PEMOHON dan bangsa Indonesia
secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan Pemerintah kerap kali membuat peraturan
yang berada dibawah UU dan kebijakan, yang jelas bertentangan dengan makna
substantif dari Putusan Mahkamah No.002/PUU-I/2003. PARA PEMOHON
beranggapan bahwa dengan daya operasional UU a quo masih menerapkan
konsep liberalisasi Industri migas, maka konsep yang dianut UU a quo
akan terus menerus(dan bahkan
telah) merugikan kepentingan bangsa, negara dan rakyat Indonesia dalam hal
sumber daya alam. Oleh karenanya PARA PEMOHON menggunakan hak
konstitusionalnya dalam rangka membangun masyarakat, bangsa, dan negara untuk
menjadi sebagaimana yang dicita-citakan didalam Pasal 28C ayat (2) UUD 1945
yang telah dan akan terhambat jika UU Nomor 22 Tahun 2001 yang merugikan
kepentingan bangsa, negara dan rakyat Indonesia, tetap terus diberlakukan;
c. Bahwa Pasal 28D UU ayat (1) UUD 1945:”Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Bahwa PARA PEMOHONmenganggap
beberapa norma-norma yang terkandung didalam UU a quo mempunyai makna
yang multi tafsir, sehingga PARA PEMOHON beranggapan bahwa ketidakadanya
kepastian hukum dalam beberapa norma yang termaktub di dalam UU a quo
maka menghilangkan hak konstitusional PARA PEMOHON dalam memperoleh
jaminan dan perlindungan hukum;
d. Bahwa Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyatakan:
”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan”.PARA
PEMOHON merasakan bahwa dengan masih diberlakukannya UU Migasmengakibatkan kemampuan masyarakat masyarakat untuk mendapatkan hak
konstitusionalnya untuk dapat hidup sejahtera lahir dan batin, kualitas
kesehatan, pendidikan, dan tempat tinggal yang layak menjadi terhambat karena
kebijakan penentuan harga berdasarkan mekanisme persaingan usaha yang sehat dan
wajar masih terus digunakan sepanjang berlakunya UU No. 22 Tahun 2001;
e. Bahwa Pasal 33 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945 menyatakan
bahwa “(1) Perekonomian disusun sebagai usaha
bersama atas asas kekeluargaan; (2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Makna pasal ini sendiri telah ditafsirkan oleh Mahkamah pada putusan
002/PUU-I/2003, 012/PUU-2003, dan 21-22/PUU-V/2007. Secara garis besar Mahkamah
menyatakan bahwa Pasal 33 ayat (2) dan (3) tentang
pengertian ”dikuasai oleh negara” haruslah
diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber
dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas sebagal sumber
kekayaan ”bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”
termasuk pula didalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat
atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu
dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan
kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuurdaad),
pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan
(toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selanjunya menurut Mahkamah cabang-cabang
produksi yang harus dikuasai oleh negara adalah jika: “(i) cabang-cabang produksi itu penting bagi negara dan menguasai hajat
hidup orang banyak; atau (iii) penting bagi negara tetapi tidak menguasai hajat
hidup orang banyak; atau (iii) tidak penting bagi negara tetapi menguasai hajat
hidup orang banyak.”Hingga saat ini
pengelolaan Migas berdasarkan UU a quo tidak memenuhi unsur kebijakan (beleid),
tindakan pengurusan (bestuurdaad), pengaturan (regelendaad),
pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad).
Lima ketentuan tersebut merupakan satu kesatuan sehingga, hak untuk terpenuhi
hajat hidup PARA PEMOHON yang juga merupakan hajat hidup bangsa
Indonesia menjadi terhambat (Tabel.1)
|
f. Bahwa Pemohon
I s/d X memiliki hak konstitusional, Pemohon I s/d X sebagai Persyarikatan dan/atau Badan Hukum, Pemohon I s/d X juga sebagai pembayar pajak (tax payer), dan
Pemohon I s/d Xjuga concern terhadap dengan kepentingan publik, dan kesejahteraan bangsa
dan negara Indonesia.oleh karenanya Pemohon I s/d X memiliki kedudukan hukum sebagai badan hukum dalam pengujian Pasal a
quo terhadap UUD 1945
g. Bahwa Pemohon XI s/d XLII merupakan perorangan Warga Negara Indonesia yang terhalang pemenuhan haknya
yang dijamin melalui Pasal 28D ayat (1), Pasal 28 H ayat (1), dan Pasal 33 ayat
(2) dan ayat (3) UUD 1945. Oleh karenanya Pemohon VI s/d IX menggunakan haknya
sebagaimana terkandung dalam Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 dengan melakukan
pengujian Pasal a quo terhadap UUD 1945
III.
ALASAN DAN POKOK PERMOHONAN
Bangsa Indonesia dalam menjalankan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara mempunyai cita hukum (rechtsidee).
Cita hukum bangsa Indonesia inilah yang merupakan pemandu arah kehidupan bangsa
Indonesia. Pembukaan UUD 1945 adalah cita hukum bangsa Indonesia untuk
membangun negara yang merdek, berdaulat, adil dan makmur. Didalam Pembukaan UUD
1945 terdapat Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum di
Indonesia, yakni (1) Ketuhanan yang Maha Esa, (2) Kemanusiaan yang adil dan
beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4)
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, (5) Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. UUD 1945 adalah konstitusi bagi bangsa Indonesia yang
dijiwai oleh Pancasila norma fundamental bagi konstitusi itu sendiri.
Pembentukan hukum dalam perspektif keIndonesiaan adalah penjabaran Pancasila
kedalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, suatu UU tidak boleh
tidak dijiwai Pancasila, dengan tidak munculnya suatu
UU yang tidak menjiwai Pancasila maka UU tersebut telah mengkhianati
nilai-nilai keagamaan, kebangsaan, kebhinekaan dalam ketunggal ikaan hukum, dan
nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
UU Migas sejak awal pembentukannya menuai
kontroversi, dikarenakan tidak menjiwai Pancasila. Ketika reformasi bergulir, salah
satu agenda reformasi yang dibangun yang juga mempengaruhi konfigurasi politik
ketika pembentukan UU Migas adalah desakan internasional untuk mereformasi
sektor energi khususnya Migas. Reformasi sektor energi antara lain menyangkut
(1) reformasi harga energi dan (2) reformasi kelembagaan pengelola energi.
Reformasi energi bukan hanya berfokus pada upaya pencabutan subsidi Bahan Bakar
Minyak (BBM), tetapi dimaksudkan untuk memberikan peluang besar kepada
korporasi internasional untuk merambah bisnis migas di Indonesia.
Salah satu upaya desakan internasional
melalui Memorandum of Economic and Finance Policies (letter of
IntentIMF) tertanggal 20 Januari 2000 adalah mengenai monopoli
penyelenggaraan Industri Migas yang pada saat itu dituding sebagai penyeban
inefesiensi dan korupsi yang pada saat itu merajalela. Oleh karena itu salah
satu faktor pendorong pembentukan UU Migas di tahun 2001 adalah untuk
mengakomodir tekanan asing dan bahkan kepentingan asing. Sehingga monopoli pengelolaan
Migas melalui Badan Usaha Milik Negara (Pertamina) yang pada saat berlakunya UU
No. 8 Tahun 1971 menjadi simbol badan negara dalam pengelolaan migas menjadi
berpindah ke konsep oligopoli korporasi dikarenakan terbentuknya UU Migas.
Kepentingan Internasional yang menyusupi dalam setiap pertimbangan politik yang
diambil dalam UU Migas menjadikan pembentukan UU Migas meskipun dianggap
melalui prosedur formal yang telah ditentukan, tetapi bisa menjadi cacat ketika
niat pembentukan UU Migas adalah untuk mencederai amanat Pasal 33 UUD 1945.
Sehingga penguasaan negara terhadap cabang-cabang produksi yang menguasai hajat
hidup orang banyak hanyalah menjadi sebuah ilusi konstitusional semata;
-
Pasal 1 angka 19
dan 23,Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13
dan Pasal 44 Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan
dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945
-
Pasal 11 ayat (2)
Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas
Bumi bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 11 ayat (2),
Pasal 20A, dan Pasal 33 ayat (3) UUD
1945
1. Bahwa saat ini pengelolaan
Migas sejak berlakunya UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
menggunakan sistem Kontrak Kerja Sama (KKS) atau disebut juga sebagai Kontrak
Karya. Ini merupakan suatu bentuk terbuka (open system) yang dianut
sejak Kuasa Pertambangan diserahkan kepada Pemerintah cq. Menteri ESDM
sebagaimana dinyatakan didalam Pasal 6 UU Migas yakni; ”(1) Kegiatan
Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 19 dilaksanakan dan dikendalikan
melalui Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat 19; (2)
Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit memuat
persyaratan: (a). Kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah
sampai pada titik penyerahan; (b). Pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana; (c). modal dan
risiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha tetap”. Selanjutnya, Pasal 1 angka 19 UU Migas
sendiri mengaturbahwa ”Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk
kontrak kerjasama
lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi
yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.“ frasa ”bentuk kontrak kerja sama lain”
dalam Pasal 1 angka 19 UU Migas telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam
pemaknaan kontrak lainnya tersebut. hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945. Selain itu frasa “dikendalikan
melalui Kontrak Kerja Sama”menunjukan adanya
penggunaan sistem kontrak dalam pengendalian pengelolaan migas yang multitafsir
tersebut, keadaan yang demikian inimaka akan melekat asas-asas hukum kontrak
yang bersifat umum yang berlaku dalam hukum kontrak yakni asas keseimbangan dan
asas proporsionalitas kepada NEGARA. Asas keseimbangan dinyatakan
oleh Herlien Budiono sebagai (i) asas yang bersifat etikal, sehingga keadaan
pembagian beban di kedua sisi berada dalam keadaan seimbang, dan (ii) asas
keseimbangan sebagai asas yuridikal dan justice, maka ketika suatu
kontrak berkonstruksi tidak seimbang bagi para pihak, maka kontrak tersebut
dapat dinilai tidak seimbang. Asas Proporsionalitas menurut Sogar Simamora
didalam disertasinya mengemukakan bahwa
adanya kewajiban yang setimpal sepenanggungan. Keadaan yang demikian ini jelas SANGAT
MERENDAHKAN MARTABAT NEGARA, karena dalam kontrak kerja sama dalam UU Migas
yang berkontrak adalah BP Migas atas nama negara berkontrak dengan korporasi
atau korporasi swasta sehingga apabila terjadi sengketa, yang kontrak pada
umumnya selalu menunjuk arbitrase Internasional untuk memeriksa dan mengadili
sengketa sehingga, akibat hukumnya apabila negara kalah berarti kekalahan
seluruh rakyat Indonesia, disitulah inti merendahkan martabat negara.
2. Bahwa lahirnya Badan Pelaksana
Migas (BP Migas) adalah
atas perintahPasal
4 ayat (3) UU Migas yang menyatakan ”Pemerintah sebagai pemegang Kuasa
Pertambangan membentuk Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 23”
menjadikan konsep Kuasa Pertambangan menjadi kabur (obscuur). Hal ini
dikarenakan BPMigas yang bertugas mewakili negara untuk mengontrol cadangan dan
produksi migas sebagaimana dinyatakan didalam Pasal 44 UU Migas bahwa
”(1) Pengawasan terhadap pelaksanaan Kontrak
Kerja Sama Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1
dilaksanakan oleh Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3);
(2). Fungsi Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melakukan
pengawasan terhadap Kegiatan Usaha Hulu agar pengambilan sumber daya alam
Minyak dan Gas Bumi milik negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang
maksimal bagi negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.; (3) Tugas Badan
Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah: a. memberikan
pertimbangan kepada Menteri atas kebijaksanaannya dalam hal penyiapan dan
penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja Sama; b. melaksanakan
penandatanganan Kontrak Kerja Sama; c. mengkaji dan menyampaikan rencana
pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu Wilayah
Kerja kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan; d. memberikan persetujuan
rencana pengembangan lapangan selain sebagaimana dimaksud dalam huruf c; e.
memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran; f. melaksanakan monitoring
dan melaporkan kepada Menteri mengenai pelaksanaan Kontrak Kerja Sama; g.
menunjuk penjual Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi bagian negara yang dapat
memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.”
Bahwa
atas ketentuan Pasal 44 ketentuan tersebut diatas, maka pengelolaan
sebagaimana yang dikehendaki Pasal 33 ayat
(2) dan (3) UUD 1945. Ini didasari bahwa BP Migas bukan
operator (badan usaha) namun hanya berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN),
sehingga kedudukannya tidak dapat melibatkan secara langsung dalam kegiatan
eksplorasi dan produksi migas. BP Migas tak punya sumur, kilang, tanker, truk
pengangkut, dan SPBU, serta tidak bisa menjual minyak bagian negara sehingga
tak bisa menjamin keamanan pasokan BBM/BBG dalam negeri. Ini membuktikan bahwa
kehadiran BP Migas menbonsai Pasal 33
ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 dan menjadikan makna ”dikuasai negara”
yang telah ditafsirkan dan diputuskan oleh Mahkamah menjadi kabur dikarenakan
tidak dipenuhinya unsur penguasaan negara yakni mencakup fungsi mengatur,
mengurus, mengelola, dan mengawasi secara keseluruhan, hanya menjadi sebuah
ilusi konstitusional;
3. Bahwa kedudukan Badan Pelaksana
Migas (BP Migas) yang mewakili pemerintah dalam kuasa pertambangan tidak
memiliki Komisaris/pengawas. Padahal BP Migas adalah Badan Hukum Milik Negara
(BHMN), jelas ini berdampak kepada jalannya kekuasaan yang tidak terbatas
dikarenakan secara struktur kelembagaan ini menjadi cacat. Hal ini berdampak
kepada cost recovery tidak memiliki ambang batas yang jelas.Kekuasaan
yang sangat besar tersebut akan cenderung korup terbukti ketika data dari hasil
audit Badan Pemeriksa Keuangan menunjukkan bahwa selama 2000-2008 potensi
kerugian negara akibat pembebanan cost recovery sektor migas yang tidak
tepat mencapai Rp 345,996 Triliun rupiah per tahun atau 1,7
milliar tiap hari. Pada pemeriksaan semester II-2010, BPK kembali menemukan17
kasus ketidaktepatan pembebanan cost recovery yang pasti akan merugikan
negara yang tidak sedikit.
4. Bahwa Pasal 3 huruf b UU Migas menyatakan ”Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Migas
dan Gas Bumi bertujuan:.....(b) menjamin efektifitas pelaksanaan dan
pengendalian usaha dan mengolahan, pengangkutan, penyimpangan dan niaga secara
akuntabel yang diselenggarakan melalui
mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat dan transparan”. Pasal ini menunjukan
bahwa walaupun Mahkamah telah memutus Pasal 28 ayat 2 tentang penetapan ”Harga
Bahan Bakar Minyak dan Harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme
persaingan usaha yang sehat dan wajar.” Tetapi
Pasal 3 huruf b yang merupakan jantung dari UU a quobelum dibatalkan
secara bersamaan dengan putusan Mahkamah No. 002/PUU-I/2003. Maka oleh sebab itu Para
Pemohon merasa Mahkamah harus membatalkan Pasal a quo untuk mencabut
keseluruhan semangat UU Migas yang mengakomodir gagasan liberalisasi migas yang
sudah tentu bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 Ayat (2) yang menyatakan ”cabang-cabang produksi
yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai
oleh negara” dan ayat (3) yang menyatakan ”bumi dan air dan kekayaan
alam terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”;
5. Bahwa Pasal 9 UU Migas menyatakan bahwa ”(1) Kegiatan
Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Angka 2 dapat
dilaksanakan oleh: a. Badan Usaha Milik Negara; b.
Badan Usaha Milik Daerah; c.
Koperasi; usaha kecil; dan badan usaha swasta; (2) Bentuk Usaha Tetap hanya dapat
melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu;”. Frasa ”dapat”
didalam Pasal 9 jelas telah bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3),
dikarenakan Pasal ini menunjukan bahwa Badan Usaha Milik Negara (Pertamina)
hanya menjadi salah satu pemain saja dalam pengelolaan migas. Jadi, BUMN harus
bersaing dinegaranya sendiri untuk dapat mengelola migas. Konstruksi
demikian dapat melemahkan bentuk penguasaan negara terhadap sumber daya alam
yang menguasai hajat hidup orang banyak.
6. Bahwa Pasal 10 UU Migas menyatakan bahwa ”(1) Badan Usaha
atau Bentuk Usaha Tetap yang melakukan usaha hulu dilarang melakukan Kegiatan
Usaha Hilir; (2) Badan Usaha yang melakukan Kegiatan Usaha Hilir tidak dapat
melakukan usaha Hulu”. Pasal 13 UU Migas menyatakan bahwa ”(1)
Kepada setiap Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap hanya diberikan 1 (satu)
wilayah kerja; (2) dalam hal badan usaha atau Bentuk Usaha Tetap mengusahakan
beberapa wilayah kerja, harus dibentuk badan hukum yang terpisah untuk setiap
wilayah kerja.” Norma-norma ini jelas mengurangi kedaulatan negara atas
penguasaan sumber daya alam (dalam hal ini Migas) dikarenakan Pertamina harus
melakukan pemecahan organisasi secara vertikaldan
horizontal (unbundling) sehingga menciptakan manajemen baru
yang mutatis mutandis akan menentukan cost dan profitnya
masing-masing. Korban dari konsepsi ini adalah adanya persaingan terbuka dan
bagi korporasi asing adalah suatu lahan investasi yang menguntungkan, namun
merugikan bagi rakyat. Sehingga nafas Mahkamah melalui Putusan MK. No.
002/PUU-I/2003 yang tidak mengizinkan adanya suatu harga pasar yang digunakan
untuk harga minyak dan gas menjadi tidak terealisasi dikarenakan mau
tidak mau sistem yang terbangun dalam Pasal 10, dan Pasal 13 bertentangan
dengan Pasal 33 UUD 1945 dan tentunya Putusan MK No. 002/PUU-I/2003;
7. Bahwa Pasal 11 ayat (2) UU Migas menyatakan
bahwa “Setiap Kontrak Kerja Sama yang sudah ditandatangani harus
diberitahukan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”.Ketentuan
ini jelas bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Kedaulatan
berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, Pasal
11 ayat (2) UUD 1945 “Presiden dalam membuat perjanjian internasional
lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat
yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau
pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Pasal 20A
menyatakan “(1) Dewan Perwakilan Rakyat
memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan; (2) Dalam melaksanakan
fungsinya, selain hak yang diatur didalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar
ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak
menyatakan pendapat; (3) Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain
Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak
mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas; (4)
Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak anggota
Dewan Perwakilan Rakyat diatur didalam undang-undang”. Berdasarkan
konstruksi yang demikian itu, maka KKS merupakan tergolong kedalam perjanjian
internasional lainnya yang sebagaimana dimaksud Pasal 11 ayat (2) UUD 1945
yakni yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang
terkait dengan beban keuangan negara harus mendapatkan persetujuan DPR.
Pengaturan yang terdapat didalam Pasal 11 ayat (2) UU Migas telah mengingkari
Pasal 1 ayat (2) dikarenakan kedaulatan rakyat harus dilaksanakan berdasarkan
UUD, sedangkan posisi DPR yang hanya dijadikan sebagai tembusan dalam setiap
KKS maka jelas telah mengingkari kedaulatan rakyat Indonesia. selain itu, dengan sekadar pemberitahuan tertulis kepada DPR
tentang adanya Kontrak Kerja Sama dalam Minyak dan Gas Bumi yang sudah
ditandatangani, tampaknya hal itu telah mengingkari keikutsertaan rakyat
sebagai pemilik kolektif sumber daya alam, dalam fungsi toezichthoudensdaad yang
ditujukan dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan
oleh Negara atas sumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat. Karena tiap kesepakatan mengandung
di dalamnya potensi penyimpangan dalam tiap tahapan transaksi dan kenyataan
tidak adanya informasi yang memadai menyangkut aspek-aspek mendasar dalam
kontrak karya atau perjanjian bagi hasil maupun kontrak kerja sama bidang
migas, jika hanya dengan metode pemberitahuan tertulis saja kepada DPR
sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Ayat (2) UU Migas, maka pasal tersebut telah
tidak bersesuaian dengan Pasal 20A dan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945.
IV.
KESIMPULAN
UU Migas telah mendegradasikan kedaulatan negara,
kedaulatan ekonomi, dan telah ”mempermainkan’ kedaulatan hukum sehingga
menjadikan suatu UU yang dzalim terhadap bangsa Indonesia sendiri. Migas yang
merupakan salah satu sumber energi yang sejak dahulu diharapkan untuk dapat
memberikan kesejahteraan umum, dan dipergunakan untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa menjadi dikerdilkan dengan dogma ’pacta sunct survanda’. Negara
seharusnya berdaulat atas kekayaan mineral dalam perut bumi Indonesia ternyata
harus tersandera dan terdikte oleh tamu yang seharusnya patuh
dengan aturan tuan rumah. Kontrak yang dilakukan oleh
Pemerintah dengan korporasi-korporasi internasional tak ubahnya seperti
membentuk konstitusi diatas UUD 1945 yang merupakan konstitusi bagi seluruh
bangsa Indonesia. Apabila DPR dan Presiden hanya mampu diam dan membuat rakyat
menunggu datangnya UU Migas yang lebih bercorak ”merah putih” adalah suatu
kenisbian, maka PARA PEMOHON berharap bahwa palu yang dimiliki oleh
Mahkamah Konstitusi adalah palu yang diharapkan menyelamatkan UU yang dzalim
dan bertentangan dengan UUD 1945 dengan membatalkan UU Migas
V. PETITUM
Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, mohon kepada
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk menjatuhkan putusan sebagai
berikut:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk
seluruhnya;
2. Menyatakan Pasal 1 angka 19 dikarenakan frasa ”Bentuk
Kerja Sama lain”, Pasal 3 huruf b dikarenakan frasa ”yang
diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan
transparan”, Pasal 6 dikarenakan frasa ”dikendalikan melalui
Kontrak Kerja Sama” Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1, Pasa 28H ayat (1),
Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
3. Menyatakan Pasal 1 angka 23,Pasal 4 ayat (3), Pasal 9
dikarenakan frasa ”dapat”, Pasal 10, Pasal 13
dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat
(2) dan (3) UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat
4. Menyatakan Pasal 11
ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 11 ayat (2),
Pasal 20A, dan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat
5. Menyatakan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan, karena norma-norma yang terkandung bertentangan dengan
Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila terutama sila ke 5 yakni “keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Atau, apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon
putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Hormat kami,
TIM MAJELIS HUKUM DAN HAM
PP MUHAMMADIYAH
Dr. Syaiful Bakhri. S.H. MH. .........................................
Drs. Muchtar Lutfi. S.H. Sp.N. .........................................
Zulhendri Hasan. S.H., MH. .........................................
Dwi Putri Cahyawati. S.H., MH .........................................
Najamudin Lawing. S.H. MH. .........................................
Maryogi. S.H. MH. ........................................
Umar Husin S.H. MH .......................................
Feri Anka Sugandar. S.H. MH ........................................
Umar Limbong ........................................
Hendra Muchlis. S.H. ........................................
Noor Ansyari. S.H ........................................
Jaja Setiadijaya. S.H. ........................................
Sutedjo Saptojalu, SH .........................................
Ibnu Sina Chandranegara, SH …………………………….
Bachtiar, SH …………………………….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar